Sunan Kudus, hanya beberapa ulama sepuh yang bisa masuk dan dekat dengan batu nisan. Sementara undangan lain duduk bersimpuh mengelilingi di luar
cungkup. Tradisi serupa Buka Luwur juga terjadi di makam-makam para wali
yang lain, misalnya di tempat Sunan Muria, Mbah Mutammaqin Kajen-Pati dan tempat-tempat para sunan yang lain di sekitar daerah ini. Bahkan di desa-
desa yang terdapat makam tua yang dianggap sebagai sesepuh desa, pendiri sebuah desa, maka peringatan buka luwur inipun diadakan. Sehingga ada pula
tradisi Buka Luwur yang diadakan di tingkat regional dan di tingkat lokal. Peringatan buka luwur ini biasa juga disebut Khaul Mbah Sunan. Akan tetapi
tidak jelas, kenapa peringatan Khaul itu mesti diletakkan pada bulan Sura Muharram. Apakah upacara ini ada kaitannya dengan imitasi acara penggantian
kain Kiswah kain sebagai penutup Ka’bah di Makkah, atau ada kaitannya dengan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi pada bulan Suro, misalnya
meninggalnya Husain, cucu Nabi, di Karbala.
C. Kehidupan Religi Masyarakat Kudus
Masyarakat Kudus, sebagaimana telah dikemukakan, adalah suatu masyarakat yang sebagian besar di antara warganya beragama Islam puritan.
Bagi mereka, nilai-nilai ajaran agama Islam bukan hanya sekedar untuk diamalkan dengan sebaik-baiknya melainkan juga sekaligus berfungsi sebagai
tuntunan atau pedoman hidup. Keyakinan orang Jawa yang beragama ‘Agami Jawi
’ terhadap Tuhan sangat mendalam dan hal tersebut dituangkan ke dalam
suatu istilah sebutan Gusti Allah Ingkang Maha Kuwaos, yaitu Tuhan adalah Sang Pencipta, penyebab dari segala kehidupan di dunia dan seluruh alam
semesta, serta hanya ada satu Tuhan.
39
Secara lebih khusus, sistem kepercayaan sebagian besar warga masyarakat Kudus terungkap dalam apa yang mereka sebut dengan istilah
Rukun Iman . Istilah ini dalam terminologi Islam, berarti pokok-pokok
kepercayaan atau suatu sistem keyakinan yang menjadi dasar tingkah laku bagi setiap muslim.
40
Sesungguhnya, bagi masyarakat Kudus, pokok-pokok kepercayaan mereka itu, baik disadari atau tidak tercermin atau terungkap
dalam berbagai hal. Berbagai pandangan, ucapan, sikap, dan tingkah laku perbuatan mereka dalam kehidupan sehari-hari memperlihatkan bukti-bukti
mengenai hal ini. Dilihat dari segi agama, penduduk Kabupaten Kudus sebagian besar
memeluk agama Islam. Hal tersebut dapat dimaklumi manakala dikaitkan dengan latar belakang sejarah kota yang bersangkutan. Sekalipun demikian,
selain Islam, terdapat sejumlah agama lain non-Islam yang dipeluk oleh sebagian kecil penduduknya, yaitu agama Katolik, Kristen Protestan, Kong Hu
Tju, Buddha, dan Hindu, serta penganut kepercayaan Samin kebatinan maupun Vrijdenker. Menurut data sensus penduduk menurut agama pada tahun
2000, disebutkan bahwa pemeluk agama Islam 688.086 orang, Katolik 5.207 orang, Protestan 8.970 orang, Hindu 84 orang, Buddha 1.302 orang, dan
39
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa Jakarta : Balai Pustaka, 1984, h. 322.
40
Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, Tesis S2, Universitas Indonesia, 1992, h. 75.
lainnya 72 orang.
41
Karena itu tidak mengherankan, apabila dalam soal perkawinan dan pembagian harta pusaka, yang berlaku bukanlah hukum adat,
melainkan Hukum Islam. Sebagian besar penduduk yang memeluk agama Islam itu bermukim di
wilayah Kudus Kulon, yang meliputi atau tersebar di Desa Kauman, Kerjasan, Langgar Dalem, Demangan, Janggalan, Damaran, dan Kajeksan. Sementara
sebagian kecil lainnya bermukim di wilayah Kudus Wetan, yang meliputi atau tersebar di Desa Panjunan, Kramat, Wergu, Nganguk, Glantengan, Barongan,
Mlati, Rendeng, Demakan, Burikan, dan Kaliputu. Wilayah Kudus Kulon, oleh karena sebagian besar penduduknya
beragama Islam, maka tidak mengherankan jika mendapat sebutan sebagai suatu kawasan kaum santri dengan Desa Kauman sebagai pusatnya. Sementara
wilayah Kudus Wetan, walaupun terdapat cukup banyak kaum santri, namun mempunyai penduduk yang lebih heterogen bila dilihat dari segi agama yang
dipeluknya. Hal ini, karena di wilayah tersebut sebagian diantaranya terdapat orang-orang Cina, beberapa orang Kristen dan Katolik yang kebanyakan dari
mereka dapat dikategorikan dalam kelompok priyayi dan abangan. Kudus Kulon, memang merupakan suatu kawasan yang warga
masyarakatnya sebagian terdiri dari kaum santri fanatik dan masih mengacu pendapat kyai atau tokoh masyarakatnya. Dijadikannya figur kyai sebagai
tokoh panutan masyarakat Kudus Kulon itu menunjukkan bahwa dalam proses perjalanan sejarahnya, pengaruh ajaran Sunan Kudus begitu besar dan mampu
41
Badan Pusat Statistik Jawa Tengah , “Hasil Sensus Penduduk Menurut
Agama”, artikel
diakses pada
30 Oktober
2008 dari
http:jateng.bps.go.id2006web06bab104web06_1040301.htm
menembus batas waktu hingga sekarang. Dalam melakukan aktivitas kerja sehari-hari, misalnya, motivasi warga masyarakat Kudus Kulon bukan sekedar
untuk mencari keuntungan materi semata, melainkan lebih dimotivasi semangat untuk beribadah, yaitu menjalankan perintah ajaran agama.
Di segi yang lain, gaya hidup yang Islami tersebut, bukan saja tampak mewarnai kehidupan sehari-hari warga masyarakat Kudus Kulon secara
individual, tetapi juga tampak tercermin dalam kehidupan yang bersifat kolektif. Mengakarnya secara kuat lembaga sosial keagamaan, seperti Nu dan
Muhammadiyah sebagai dua organisasi masyarakat yang mereka miliki adalah bukti mengenai hal tersebut. Bertahan dan berkembangnya pondok-pondok
pesantren, madrasah-madrasah, dan lembaga-lembaga pendidikan formal lainnya yang bercirikan dan bernafaskan Islam yang dikelola oleh dua
organisasi tersebut merupakan bukti perwujudan tindakan kolektif mereka yang bersifat Islami. Mereka benar-benar fanatik dalam menghayati dan
mengaktualisasikan nilai-nilai kepercayaan yang dipeluknya. Bahwa dalam kehidupan kesehariannya warga masyarakat Kudus
Kulon begitu fanatik dalam menjalankan ajaran agamanya, hal tersebut memang merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Hal ini,
karena secara historis telah melalui proses pewarisan nilai-nilai yang cukup panjang, terutama di dalam lingkungan keluarga mereka masing-masing.
Meski fanatik, namun mereka tetap dapat mengembangkan sikap toleransi terhadap warga yang bukan termasuk dalam kelompok agamanya. Sebagai
suatu contoh sikap toleransi itu, tercermin dalam sikap mereka yang tidak mau
menyembelih ternak sapi meskipun mereka tahu bahwa sesuai dengan ajaran Islam, hal tersebut tidak diharamkan.
42
Terbentuknya sifat tersebut karena mereka mengikuti ajaran yang diberikan oleh Sunan Kudus, yaitu menghormati
keyakinan orang-orang yang beragama Hindu. Seperti diketahui bahwa lembu ataupun sapi adalah binatang yang
dianggap suci oleh orang-orang yang beragama Hindu. Secara politis hal tersebut dapat dilihat sebagai salah satu strategi Sunan Kudus dalam
mengembangkan ajaran agama Islam yang pada waktu itu masih banyak orang yang beragama Hindu. Namun secara obyektif, ajaran tersebut tetap
menunjukkan adanya maksud untuk menghormati atau menghargai unsur keyakinan orang lain.
Sampai sekarang mitos tersebut masih dipercayai dan dipegang teguh. Menurut masyarakat, bila ada orang Kudus Kulon yang melanggar pantangan
tersebut, maka akan mendapatkan sebuah bala’ atau petaka yang akan menimpa.
43
Terlepas dari benar dan tidaknya mitos dan kepercayaan tersebut, yang jelas ada semacam “kearifan lokal” yang dilakukan Sunan Kudus, dalam
rangka mewujudkan masyarakat multikultural untuk hidup bersama secara damai.
Kehidupan beragama di wilayah ini kelihatan harmonis, antara satu umat dengan umat lainnya terjadi saling hormat menghormati. Paling tidak
sikap toleransi ini terlihat antara pemilik perusahaan, yang sebagian besar
42
Haram adalah istilah dalam agama Islam yang dipergunakan oleh masyarakat setempat sebagai suatu pengklasifikasian terhadap hal-hal yang terlarang atau harus dihindari.
43
M. Mustaqim, “Kudus Kulon, Akar Kesadaran Multikultural”, artikel diakses pada 21 Agustus
2008 dari
http:belajarsejarahsosial.blogspot.com200610kudus-kulon-akar-
kesadaran.html
berbeda agama dengan para karyawan. Namun demikian pihak perusahaan tidak menghalangi kesempatan beribadat bagi para karyawan, misalnya bila
akan menunaikan shalat lima waktu dan sebagainya. Kendatipun sikap toleransi ini cukup tinggi, namun apabila disentuh oleh permasalahan SARA,
maka sikap toleransi tersebut dapat berubah menjadi kemarahan besar. Salah satu contoh adalah kejadian yang terjadi pada tahun 1918; waktu itu ada
perayaan ummat Tionghoa dengan Leang-leong berjalan dari Klenteng melewati depan Menara Kudus. Leang-leong adalah salah satu pertunjukan
karnaval dengan memakai media ular naga besar yang diangkat beberapa orang dan di atas ular tersebut ada orang yang duduk. Dalam Leang-leong tersebut
ada adegan seseorang dengan berpakaian santri seperti seorang kyai yang berdansa bercumbu dengan seorang gadis seksi prostitutes. Atraksi ini
dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap kyai dan ummat Islam, yang berakibat kepada kemarahan ummat Islam sampai terjadi peristiwa pembakaran
beberapa rumah-rumah para penduduk yang dianggap berkebangsaan Tionghoa yang
berada di
sekitar Menara
Kudus. Kejadian tersebut nampak merupakan akumulasi dari ketegangan dan konflik
antara orang-orang minoritas Cina dengan penduduk Muslim pribumi di Kudus. Ketegangan dan konflik tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor,
antara lain perbedaan etnik, persaingan dagang dan perasaan keagamaan. Jumlah penduduk Kudus waktu itu terdiri dari 38800 penduduk pribumi, 4000
orang Cina, 230 orang Eropa dan 40 orang bangsa asing lainnya. Secara umum
diketahui bahwa orang-orang Cina status ekonominya lebih tinggi dan karena itu mereka lebih disenangi oleh Belanda.
44
Selanjutnya, dalam pergaulan hidup sehari-hari, tampak bahwa masyarakat Kudus Kulon tidak begitu mempersoalkan tingkat pelapisan sosial.
Konsep tentang wong cilik rakyat jelata atau priyayi tidak berlaku di sini. Oleh karena itu, sikap saling menghargai dalam pergaulan hidup antar tetangga
tampak dalam kesehariannya. Kyai dan haji, adalah status sosial yang dianggap memiliki derajat lebih tinggi dan dihormati dalam struktur sosial masyarakat
setempat. Hal ini karena orientasi kehidupan mereka adalah berusaha mencapai derajat sebagai orang yang bertaqwa atau muttaqin.
Kyai dan haji, dengan demikian, adalah simbol status orang yang memiliki predikat sebagai muttaqin, untuk memperoleh status tersebut tidaklah
mudah karena memerlukan pemilikan ketaqwaan yang tinggi. Untuk menjalankan ibadah haji, misalnya, tidak cukup hanya dengan tersedianya
persyaratan material semata, melainkan yang lebih menentukan adalah kadar persyaratan ketaqwaannya.
44
Fatah Syukur , “Tradisi Masyarakat dan Pendidikan Islam di kudus Jawa Tengah”,
artikel diakses pada 21 Agustus 2008 dari http:citraedukasi.blogspot.com200802tradisi- masyarakat-kudus.html
40
BAB III RUMAH TRADISIONAL KUDUS SEBELUM MASUKNYA ISLAM DI