Tinjauan Unsur-Unsur Budaya Islam

E. Tinjauan Unsur-Unsur Budaya Islam

Yang utama dalam pembahasan ini adalah proses “SINKRETISME” ataupun “EKLEKTISME“, suatu proses sintesa kreatif antara lama dan baru, mengacu perubahan fisik maupun nonfisik. Kombinasi beberapa elemen lama dan baru tersebut menciptakan suatu proses bertahap yang akan mampu membantu masyarakat memperoleh pengalaman perubahan yang bertahap, berlapis lapis dan lancar. Tampilan konfigurasi Budaya aseli, HinduBudha dan Islam terlihat buahnya pada Arsitektur Jawa. Semua kebudayaan tersebut bersinkretik dengan kebudayaan lama, sehingga corak kebudayaan Jawa asli masih terlihat. Kebudayaan asli, Hindu Jawa, dan Islam, ketiganya dengan apik mengalami sinkretisasi yang ditampilkan dalam bentuk ornamen- ornamen. Dan pada akhirnya unsur Islam mendominasi, terutama dari segi filosofis dan makna dari setiap bagian fisik rumah. Berikut beberapa makna filosofis yang mendapat pengaruh dari Islam yang terdapat pada bagian bangunan rumah tradisional Kudus : 1. Lantai, terdapat lima jenjang tingkatan lantai, bagi warga masyarakat pemilik rumah yang bersangkutan, lima jenjang tersebut merupakan simbol dari Rukun Islam yang terdiri dari lima hal, yaitu : membaca dua kalimat syahadat, melaksanakan ibadah shalat, berpuasa di bulan Ramadhan, memberikan zakat, dan melaksanakan ibadah haji ke kota suci Mekkah bagi yang mampu. Secara berurutan, jenjang lantai pertama digambarkan sebagai Rukun Islam yang pertama, yaitu membaca dua kalimat syahadat. Mengucapkan syahadat, yaitu pengakuan secara lisan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah. Sebagai Rukun Islam yang pertama merupakan landasan pokok keabsahan seorang muslim. Lantai kedua digambarkan sebagai Rukun Islam yang kedua, yaitu melaksanakan ibadah shalat. Ibadah shalat merupakan salah satu rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim yang telah terkena beban hukum syara’ mukallaf. Istilah ‘shalat’ dalam arti bahasa bermakna do’a atau pujian. Shalat menurut fuqaha diartikan sebagai ibadah yang terdiri perbuatan atau gerakan dan perkataan atau ucapan tertentu, yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. 81 Lima kali dalam satu hari satu malam seseorang dilatih untuk itu. Pada akhirnya perasaan akan kehadiran Allah bersamanya itu akan mendarah daging, menjadi sikap mental yang tidak bisa terpisahkan dari dirinya. 82 Lantai ketiga digambarkan sebagai Rukun Islam yang ketiga, yaitu berpuasa di bulan Ramadhan. Ibadah ‘shiyam’ atau puasa menurut arti bahasa bermakna menahan diri dari sesuatu dan meninggalkan sesuatu yang berarti menahan. Menurut istilah syara’ yang dimaksud dengan shiyam adalah menahan diri dari makan, minum dan bersenang-senang dengan istri, mulai dari fajar hingga maghrib, karena mengharap akan ridho Allah dan menyiapkan diri untuk bertaqwa kepada-Nya, dengan jalan memperhatikan Allah dan dengan mendidik bermacam kehendak. Lantai keempat digambarkan sebagai Rukun Islam yang keempat, yaitu 81 Musthafa Kamal Pasha, dkk, Fikih Islam Yogyakarta : Citra Karsa Mandiri, 2002, h. 36. 82 Hembing Wijayakusuma, Hikmah Shalat Untuk Pengobatan dan Kesehatan Jakarta : Pustaka Kartini, 1997, h. 116. memberikan zakat. Ditinjau dari arti bahasa atau etimologi zakat yang berasal dari kata ‘zakka’ bermakna mensucikan, membersihkan atau berkembang. Menurut istilah syara’, zakat adalah kadar harta yang tertentu, diberikan kepada yang berhak menerimanya, dengan beberapa syarat, semata-mata mencari ridho Allah. Zakat tidak gugur dari seorang muslim selama diwajibkan dalam hartanya. Zakat diwajibkan atas seorang muslim yang memiliki satu nishab, sebagai kelebihan dari hutang-hutang dan kebutuhannya, dan sebaliknya zakat tidak diwajibkan terhadap non muslim. 83 Jenjang lantai yang terakhir digambarkan sebagai Rukun Islam yang kelima, yaitu melaksanakan ibadah haji ke kota suci Mekkah bagi yang mampu. Asal mula arti haji menurut bahasa atau etimologi adalah ‘al-qashdu’ atau menyengaja. Sedangkan arti haji menurut istilah atau terminologi berarti bersengaja mendatangi baitullah Ka’bah untuk melakukan beberapa amal ibadah dengan tata cara yang tertentu dan dilaksanakan pada waktu yang tertentu pula, menurut syarat-syarat yang ditentukan oleh syara’, semata-mata mencari ridho Allah. Ibadah haji yang ditetapkan sebagai kewajiban atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syaratnya adalah salah satu dari rangkaian rukun Islam, yang ditetapkan pada tahun keenam Hijrah. Kewajiban melakukan ibadah ini bagi setiap muslim hanya berlaku sekali saja sepanjang hidupnya. Dan apabila ada yang berkehendak melakukannya untuk kedua atau lebih 83 Taqyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif-Perspektif Islam. Penerjemah M. Maghfur Wachid Surabaya : Risalah Gusti, 1999, h. 256. banyak lagi maka ibadah tersebut hanya bernilai ibadah sunnah, bukan bernilai wajib lagi. 2. Jendela, memiliki nilai kultural, yaitu anak perempuan yang sedang menginjak usia remaja menurut adat yang ditiru dari budaya Arab, dilarang keluar rumah dan apabila ada tamu yang bertandang untuk meminang, maka anak perempuan dilarang keluar dari kamar dan satu satunya kesempatan bagi si wanita untuk melihat keluar atau mengintip calon kekasih dilakukan lewat jendela. Demikian salah satu pertimbangan dalam penentuan ukuran dan bentuk jendela karena budaya yang berlaku di masayarakat saat itu. Wanita harus berada dirumah dan dilarang keluar ketengah masyarakat sebelum menikah. 3. Tiang Soko Geder, tiang tersebut disebut juga dengan tiang keseimbangan dan memiliki makna sebagai sarana untuk mengingatkan semua penghuni rumah agar senantiasa tetap meyakini bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa yaitu hanya satu yang wajib disembah. Konsep keyakinan tersebut menjadi prinsip dasar atau umum dalam setiap kehidupan ucapan, sikap, gerak dan tindakan para pemilik rumah. Bagi warga masyarakat pemilik rumah tersebut, tiang tunggal di ruang jagasatru, diasosiasikan sebagai huruf Arab, yaitu tulisan alif, yang merupakan huruf awal dalam tulisan bahasa Arab. 84 Soko geder di ruang jagasatru, juga dimaksudkan sebagai simbol pegangan hidup orang Islam. Tiang tunggal 84 Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, Tesis S2, Universitas Indonesia, 1992, h. 261. tersebut, dengan demikian, bukan sekedar unsur bangunan yang bersifat konstruktif, melainkan lebih dari itu, yaitu sebagai simbol aqidah tauhid. Ornamen berupa ragam hias ukiran kayu pada rumah tinggal tradisional Kudus memiliki motif-motif ukiran yang bersumber dari kebudayaan Jawa asli. Secara keseluruhan, bentuk ukiran-ukiran pada bidang- bidang kayu dimana telah memunculkan discontinuity dari motif-motif ukiran yang terjadi, yang berupa kompartemen-kompartemen yang motif ragam hiasnya tidak saling menerus satu sama lain, ada dugaan kuat bahwa pengaruh kebudayaan Islam sangat dominan. Dalam satu kompartemen tidak boleh ada ruang tersisa, karena hal tersebut termasuk salah satu pemborosan, atau ada pemahaman bahwa dalam satu kompartemen harus dipenuhi agar setan tidak mempunyai tempat lagi. 85 Beberapa bagian unsur bangunan yang di dalamnya terdapat unsur estetik dengan motif hiasan ukiran yang berasal dari kebudayaan Islam, antara lain, motif arabesk, motif masjid, dan motif binatang berupa burung phoenix atau hong. Secara terinci akan dikemukakan dalam penjelasan berikut. Dimulai dari motif arabesk, yang terdapat dilihat pada tiang-tiang dinding pembatas ruang jogosatru dan gedongan serta tiang-tiang dinding pada sentong utama. Dengan motif jalinan tali terwujud dari abstraksi bentuk- bentuk tanaman menjalar, geometrik, atau kaligrafi dalam suatu rangkaian jalinan yang ritmis, saling menyambung tanpa henti yang berada pada bidang berbentuk segienam panjang. Motif arabesk dalam bidang segienam panjang, 85 Ashadi, “Mencari Korelasi antara Arsitektur Masjid dengan Rumah Tinggal Tradisional di Kudus, Jawa Tengah : dengan Pendekatan Historis dan Deskriptif”, Laporan Penelitian Fakultas Tekhnik, Universitas Pancasila, 2000, h. 131. susunan garis tidak berawal dan tidak berakhir. Arabesk, yakni motif perhiasan yang terdiri dari dari garis-garis, lajur-lajur, daun-daun, bunga- bunga. Arabesk mencakup dua bentuk pokok, yaitu stilisasi tumbuhan, dan pola geometris. Ia bukan merupakan bentuk tiruan naturalis, tetapi karena pandangan tauhid yang dipegang oleh kaum muslim arabesk merupakan ornamen dalam bentuk flora dan geometris yang abstrak non-figuratif, 86 yang memberi kesan ketakterhinggaan dan ketakterbatasan infinit. Melalui kontemplasi pola infinit ini, jiwa pengamat akan diarahkan kepada transendensi Tuhan. corak abstrak sebagai “ornamen arabesk” yang terdiri dari corak geometris dan corak “stilasi” dari tumbuh-tumbuhan dan bunga- bungaan. Hal ini adalah jalan keluar dimana adanya larangan dalam ajaran Islam untuk tidak boleh menampilkan gambar-gambar atau lukisan sebagai hiasan dengan motif manusia, binatang atau makhluk bernyawa lainnya secara realistis. 87 Ajaran Islam tentang tauhid, yang tidak memberi peluang penggambaran Tuhan dalam wujud seperti manusia, dan larangan pemberhalaan terhadap obyek-obyek seperti arca yang digambarkan menyerupai manusia atau manusia setengah hewan seperti dalam agama Hindu, Mesir Kuna dan Pagan Romawi, juga membuat motif geometri, arabesk dan kaligrafi berkembang pesat. Pengaruh estetika Peripatetik ini terus berlanjut hingga kini, dan telah mendorong pesatnya perkembangan motif 86 Dalam seni helenistik yang menganut naturalisme dan antropomorfisme, kedua pola arabesk digunakan sebagai hiasan tambahan sederhana untuk patung atau gambar naturalis. Elya Munfarida, ”Formulasi Konsep Estetika Seni Islam dalam Perspektif Ismail Raji al-Faruqi”, Jurnal Studi Islam dan Budaya , vol. 3, no. 2 Juli-Desember 2005, h. 5. 87 Zulfikri, ”Ruang Dalam dan Ornamen”, artikel diakses pada 30 April 2009 dari http:zulfikri.wordpress.com20081107konsep-dasar-arsitektur-masjid geometris, arabesk dan kaligrafi khat hingga masa yang paling akhir. 88 Filosof Peripatetik memandang ilmu sebagai sesuatu yang harus mencerminkan keteraturan dan adanya sistematika dalam dirinya. Demikian pula pandangan mereka tentang seni. Seni kaligrafi, arabesk dan geometris memperlihatkan prinsip-prinsip yang dicita-citakan para filosof Peripatetik. Tiga bentuk seni visual ini tidak memberi peluang adanya fokus yang harus dijadikan tumpuan perhatian seperti penggambaran Dewa dalam bentuk arca seperti di candi-candi Hindu dan Buddha. Rangkaian arabesk yang ritmis dan diulang-ulang bentuknya, seperti juga rangkaian ayat al-Qur’an pada sebuah lukisan kaligrafi, dimaksudkan untuk membawa jiwa penikmatnya pergi meninggalkan alam rupa menuju alam arupa transenden. Dengan demikian kehadiran Tuhan yang tak terlukiskan itu dapat dirasakan. Kemudian motif masjid, terdapat dalam ruang tamu atau jogosatru, terutama pada bagian gebyok. Gebyok bagian depan dan tengah pada rumah tinggal tradisional Kudus berupa panil-panil dalam kompartemen- kompartemen dengan bentuk segiempat panjang posisi berdiri ditambahkan dengan garis-garis lengkung mendekati setengah lingkaran di atasnya seperti bentuk pintu dan jendela masjid bidang dalam polos, tidak berukir, dengan segala variasinya seperti halnya elemen lengkungan pada bangunan dinding atau kubah masjid gaya Arab. Yang terakhir motif binatang berupa burung phoenix atau hong, yang terdapat pada ambang tengah pintu sorong kere. Motif burung hong menurut 88 Ahmad Samantho, “Seni, Falsafah dan Agama”, artikel diakses pada 30 April 2009 dari http:ahmadsamantho.wordpress.com20080809islam-tradisi-estetik-dan-sastranya cerita setempat adalah pengaruh dari kebudayaan Cina. Burung Hong adalah mahluk mitologi yang melambangkan ketulusan hati, keadilan, kesetiaan, dan perikemanusiaan. Menurut kepercayaan Cina, kemunculannya hanya apabila negara dalam kondisi makmur sentosa dan diperintah oleh raja yang adil. Merupakan mahluk dewata, gabungan dari berbagai burung antara lain ayam jengger, burung layang-layang paruh, merak ekor. Ornamen ini banyak dijumpai di kelenteng, antara lain pada bagian bubungan atap. 89 Phoenix Phoenix dalam mitologi Mesir adalah burung legendaris yang keramat. Burung Api ini digambarkan memiliki bulu yang sangat indah berwarna merah dan keemasan. Phoenix dikatakan dapat hidup selama 500 atau 1461 tahun. Setelah hidup selama itu, Phoenix membakar dirinya sendiri. Setelah itu, dari abunya, munculah burung Phoenix muda. Phoenix merupakan simbol dari keabadian, lambang dari siklus kehidupan setelah mati, dan simbol dari kebangkitan tubuh setelah mati. Phoenix menjadi simbol suci pemujaan terhadap Dewa matahari di Heliopolis, Mesir. Burung Phoenix simbol dari Dewa Matahari - Ra. 90 Tetapi hiasan-hiasan dengan motif burung sebenarnya juga sudah ada dalam kebudayaan Islam, terutama Islam Timur Tengah, dijelaskan bahwa kebudayaan ragam hias dengan motif binatang berupa burung phoenix berasal dari Persia Iran, bahkan pada zaman kebudayaan Hindu Jawa, bentuk motif burung juga sudah ada. 89 “Ornamen Burung Hong”, artikel diakses pada 30 April 2009 dari http:purbakala.jawatengah.go.iddetail_berita.php?act=viewidku=9 90 “Ornamen Burung Phoenix”, artikel diakses pada 30 April 2009 dari http:www.wikipedia.org 89

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan yang diambil adalah sebagai berikut : Sebelum masuknya Islam di Kudus atau pada masa-masa awal kehadiran Sunan Kudus, terutama abad ke-15 dan 16 M, rumah tinggal masyarakat Kudus masih sederhana, yaitu berbentuk kampung, dan hal tersebut juga terbukti karena diseluruh tanah Jawa pada masa tersebut menggunakan rumah tersebut. Karena pada masa-masa tersebut belum bermunculan para pedagang maupun saudagar dikarenakan mata pencaharian masyarakat Kudus adalah bertani dan berladang, dan kondisinya tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di pulau Jawa. Hal tersebut juga diperkuat dengan penggunaan atap dapur pada rumah Kudus saat ini yang berbentuk kampung yang merujuk kepada awal mula bentuk rumah penduduk Jawa pada umumnya. Dan hal ini bisa jadi mengindikasikan bahwa dahulunya bentuk atap kampung telah menjadi umum di lingkungan masyarakat Kudus Kuno. Pada perkembangan selanjutnya, perkembangan rumah tradisional Kudus mengalami transformasi ke bentuk atap joglo meskipun bentuk-bentuk atap kampung masih diterapkan, terutama untuk bagian dapur. Seiring dengan kehadiran Sunan Kudus dan Kyai Telingsing turut membantu masuknya kebudayaan Islam dan Cina, semakin memperkaya ragam budaya yang