pada tahun 1953 jumlah penduduknya telah meningkat menjadi 309.273 jiwa,
28
lalu pada tahun 1991, menjadi 609.604 jiwa,
29
dan kemudian pada tahun 2003 jumlah penduduk Kabupaten Daerah Tingkat II Kudus tercatat sebanyak
813.000 jiwa. Jika dihitung dengan luas wilayahnya, yaitu sekitar 42.515,644 Km
2
, maka kepadatan penduduknya adalah 1.912 jiwakm²;
30
suatu angka yang yang menunjukkan betapa padatnya penduduk wilayah ini. Secara etnis,
sebagian besar penduduk Kecamatan Kota Kudus adalah berasal dari suku Jawa. Karenanya, dari titik pandang kesukuan penduduk Kota Kudus tidak
terlihat heterogen. Meski demikian, sebagian kecil dari penduduknya ada yang berasal dari etnis keturunan Cina dan etnis asing lainnya.
B. Keadaan Sosial dan Budaya Masyarakat Kudus
Orang-orang Kudus Kulon, dalam kesehariannya bermukim di daerah sekitar Masjid Menara Kudus, yaitu di Desa Kauman, Langgar Dalem,
Damaran, Kerjasan, dan Desa Kajeksan dalam sebagian besar rumah-rumah pencu
. Perkampungan di Kudus Kulon, merupakan daerah yang unik dan tertutup. Rumah-rumah yang dihuni oleh warga masyarakat setempat sebagian
besar berada di balik pagar-pagar tembok yang cukup tinggi, sehingga dari luar, penampilan bentuk rumah yang tampak hanyalah atapnya yang menjulang
tinggi, karena perbatasan tembok dinding atau pagar antar rumah itulah
28
Solichin Salam, Kudus Purbakala dalam Perjuangan Islam Kudus : Menara Kudus, 1977, h. 3.
29
Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, Tesis S2, Universitas Indonesia, 1992, h. 43.
30
Wikipedia, “Peta Lokasi kabupaten Kudus”, artikel diakses pada 23 Agustus 2008 dari http:id.wikipedia.orgwikiKudus
menciptakan lorong-lorong sempit di sela-sela pemukiman penduduk, dan apabila seseorang mencoba menelusuri jalan-jalan kampung yang lebih pantas
disebut sebagai lorong-lorong sempit yang memiliki lebar sekitar satu meter.
31
Ciri-ciri lain yang menandai pola pemukiman orang-orang Kudus Kulon ini, adalah selain orientasi arah rumah yang senantiasa menghadap ke
selatan bukan ke arah utara yang menghadap ke gunung Muria, juga hadirnya bangunan masjid ataupun langgar mushala yang cukup banyak, yang bukan
saja berfungsi sebagai tempat sembahyang tetapi juga berfungsi sebagai tempat berkumpul warga masyarakat setempat dalam membicarakan persoalan
kemasyarakatan ataupun sebagai tempat untuk menjalin hubungan sosial sehari-hari. Masjid atau langgar seakan menjadi pusat pemukiman yang
dikelilingi oleh rumah-rumah penduduk. Melihat pola pemukimannya, tampak bahwa kehidupan warga
masyarakat Kudus Kulon ini seakan ingin menutup diri dari orang luar. Berkenaan dengan hal ini, masyarakat Kudus Kulon memang eksklusif.
32
Hal ini tampaknya disebabkan oleh perjalanan sejarahnya yang panjang. Keadaan
psikologis serta rasa sensitif sebagai golongan minoritas pada waktu dulu, yaitu sebagai kelompok santri yang terjepit di antara kelompok abangan dan priyayi,
serta pengaruh yang mendalam semangat juang Sunan Kudus dalam jiwa masyarakat Kudus Kulon inilah agaknya yang menjadi salah satu variabel yang
31
Fatah Syukur, “Tradisi Masyarakat dan Pendidikan Islam di kudus Jawa Tengah”, artikel diakses pada 21 Agustus 2008 dari http:citraedukasi.blogspot.com200802tradisi-
masyarakat-kudus.html
32
Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, Tesis S2, Universitas Indonesia, 1992, h. 58.
membuat mereka berjuang keras untuk dapat bertahan dalam hidup dan berakibat mereka seakan ingin memisahkan diri dari kelompok luar.
Hingga kini, kehidupan masyarakat Kudus Kulon masih terkesan eksklusif. Mereka pada umumnya memiliki semangat dagang dan etos kerja
yang tinggi. Rumah yang megah, usaha industri rumah tangga dan perdagangan tembakau yang ditekuni dalam kehidupan sehari-hari, adalah
bukti hasil semangat dagang dan etos kerjanya yang tinggi itu. Dengan kombinasi antara masyarakat industri dan masyarakat santri ini,
maka ada kekhasan tersendiri yang dimiliki oleh masyarakat kota Kudus. Sebagaimana penelitian yang pernah dilakukan oleh Radjasa Mu’tasim, yang
kemudian dibukukan bersama Abdul Munir Mulkhan, menuliskan kondisi masyarakat Damaran di Kudus hampir semua penduduk di Damaran bekerja 8
jam pada siang hari di rumah mereka sendiri. Selain anggota keluarga, terdapat pula pekerja dari luar. Sesekali tampak penduduk atau pekerja itu keluar pergi
ke pasar atau warung. Suasana tersebut akan segera berubah total ketika malam tiba, terutama antara waktu Maghrib dan Isya’. Pada saat seperti inilah semua
warga Damaran mengaji. Mereka yang tidak mengaji, tidak membuat gaduh. Jika pada saat demikian ada orang yang keluar rumah, apalagi duduk bersantai,
akan segera diperingatkan oleh orang tua mereka. Orang menganggap bahwa duduk santai atau keluar rumah tanpa tujuan yang jelas pada jam-jam pengajian
itu tabu atau ‘saru’.
33
Gambaran masyarakat Damaran tersebut dapat mewakili
33
Radjasa Mu’tasim dan Abdul Munir Mulkhan, Bisnis Kaum Sufi, Studi Tarekat dalam Masyarakat Industri
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998, h. 57.
kondisi umum sosial religius dan ekonomi masyarakat Kudus Kulon dan sebagian besar masyarakat Kudus.
Apa yang digambarkan secara umum mengenai pola kehidupan sehari- hari masyarakat Kudus Kulon tersebut, tampak berbeda bila dibandingkan
dengan kehidupan masyarakat Kudus Wetan. Orang-orang Kudus Wetan, pada umumnya bermukim di lingkungan
rumah-rumah yang relatif terbuka. Kendati di wilayah ini juga dijumpai cukup banyak rumah pencu, namun jalan-jalan kampung lebih lebar dan agak leluasa.
Pagar-pagar halaman rumah, pada umumnya relatif lebih transparan sehingga dari luar dapat terlihat bentuk keseluruhan rumah. Bentuk rumah mereka cukup
bervariasi, dan umumnya berbentuk tembok, setengah tembok, dan kayu dengan atap kampung, limasan, dan sebagian lagi menggunakan gaya
bangunan modern. Orientasi rumah kendati masih ada yang cenderung menghadap ke selatan terutama rumah pencu, namun banyak juga yang
menghadap ke arah jalan. Suasana kehidupan sehari-hari di wilayah Kudus Wetan tampak lebih
longgar dari ikatan-ikatan tradisi, meskipun di wilayah ini dihuni juga oleh orang-orang santri. Hal ini karena selain warga masyarakatnya banyak yang
merupakan pendatang, termasuk juga warga keturunan Cina, juga bervariasi dalam hal agama yang dipeluknya. Wilayah ini lebih merupakan wilayahnya
golongan priyayi dan abangan. Pola kehidupan sehari-hari masyarakat Kudus Wetan ini, memperlihatkan corak kehidupan yang lebih modern. Hal ini
didukung oleh kondisi wilayah tersebut yang lebih banyak berfungsi sebagai daerah pusat pemerintahan, transportasi, dan perdagangan.
Sistem kekeluargaan dalam lingkungan masyarakat Kudus, seperti halnya keluarga Jawa pada umumnya, berbentuk keluarga inti atau “batih”
yang terdiri atas suami, istri dan anak-anaknya. Sekalipun demikian, acapkali keberadaan bentuk keluarga tersebut bertambah anggotanya, yaitu terdapatnya
beberapa orang anggota yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga itu, antara lain ayah, ibu, kakak, adik, atau keponakan dari kedua atau
salah satu pasangan suami istri tersebut. Pada umumnya, orang-orang tua di Kudus dalam memilihkan jodoh
untuk anak-anaknya baik lelaki ataupun perempuan, masih memandang kepada ‘nasab’ atau darah keturunan kedua belah pihak. Bahkan ada pula yang masih
suka mempergunakan hitungan atau dalam bahasa Jawa ‘petungan’ dalam mengawinkan anak-anaknya.
34
Di kalangan penduduk yang berharta, umumnya mereka mengawinkan anaknya dengan keluarga terdekat mereka sendiri yang sama-sama sederajat
atau kaya dengan maksud agar supaya harta bendanya tidak jatuh ke tangan orang lain. Padahal cara yang demikian itu, adalah bertentangan dengan norma-
norma etik dalam Islam. Agama yang menjadi anutan dan dipeluk oleh sebagian besar penduduk di daerah tersebut.
Masyarakat Kudus dikenal memiliki adat-istiadat atau tradisinya yang kuat untuk merayakan hari-hari besar agama seperti halnya masyarakat Jawa
34
Solichin Salam, Kudus Purbakala dalam Perjuangan Islam Kudus : Menara Kudus, 1977, h. 7.
yang beragama Islam lainnya, juga memiliki tradisi untuk merayakan hari-hari tertentu yang dianggap memiliki nilai-nilai historis atau istimewa di dalam
lingkungan kehidupan keagamaan mereka. Tradisi perayaan hari besar yang umum berlaku di kalangan umat Islam di Jawa atau bahkan di Indonesia yang
dilakukan oleh masyarakat Kudus adalah tradisi perayaan Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha, Muludan Maulid Nabi, Buka Luwur, dan Dandangan.
Pertama, tradisi perayaan Hari Raya Idul Fitri, seperti diketahui merupakan rangkaian dari pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Kekhasan tradisi ini di lingkungan masyarakat Kudus, lebih khusus lagi masyarakat Kudus Kulon tampak pada terciptanya suasana meriah bertemunya
semua anggota kerabat. Pada hari itu, selain diadakan secara bersama ziarah ke kubur para leluhurnya, juga diperkenalkannya jalinan pertalian keluarga besar
mereka, terutama diantara anak-anak. Suasana meriah dimulai sejak malam hari raya, Shubuh tiba dengan
bunyi takbir yang bergema di dalam rumah atau lewat masjid-masjid di seluruh kampung dan pada waktu pelaksanaan shalat Idul Fitri di Masjid-Masjid atau
di lapangan. Usai shalat Id, acara kunjungan kerabat yang lebih muda kepada kerabat yang lebih tua dan juga tetangga dekat dimulai. Di saat mereka
berkunjung, di atas meja ruang tamu senantiasa penuh dengan jenis makanan atau kue-kue berbagai macam. Cara penyajian kue-kue dan minuman dalam
menyuguh para tamu di hari raya tersebut di lingkungan masyarakat Kudus Kulon memiliki keunikan tersendiri. Kue-kue tersebut biasanya diletakkan di
dalam wadah atau toples yang mulutnya atau lubangnya sempit yang secara
teknis, menyulitkan tamu untuk mengambil banyak dan gelas atau cangkir yang berukuran kecil-kecil atau di bawah ukuran standar dengan minuman
yang sedikit. Cara penyajian yang demikian ini memunculkan stereotip masyarakat Kudus Kulon sebagai masyarakat yang medit kikir.
35
Cara penyajian suguhan minuman dan kue-kue di hari raya tersebut, dapat dilihat sebagai manifestasi gaya hidup yang mengutamakan makna hemat
atau efisiensi dari warga masyarakat yang bersangkutan. Bahwa pada saat-saat seperti itu, orang yang bertamu diasumsikan telah banyak menerima suguhan
sebelumnya, sehingga jika diberi suguhan dalam jumlah yang banyak biasanya tidak akan dihabiskan yang berarti sama saja dengan pemborosan atau mubazir.
Kedua, perayaan hari raya Islam yang menjadi tradisi masyarakat Kudus adalah Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Qurban. Inti perayaan hari
raya ini adalah mengucapkan takbir, tahlil, dan tahmid malam hari sebelumnya, shalat Id di masjid atau di lapangan, dan penyembelihan binatang
untuk Qurban yang dibagikan kepada para fakir miskin. Muludan
Maulid Nabi, yaitu perayaan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad saw pada tanggal 12 Robiul Awal, menjadi salah satu tradisi
masyarakat Kudus. Inti perayaan adalah kegiatan ceramah-ceramah agama di masjid-masjid setempat dengan pembicara tokoh-tokoh ulama setempat. Selain
itu, dalam rangka menyambut tibanya hari tersebut secara tradisional, di dalam
35
Fatah Syukur, “Tradisi Masyarakat dan Pendidikan Islam di kudus Jawa Tengah”, artikel diakses pada 21 Agustus 2008 dari http:citraedukasi.blogspot.com200802tradisi-
masyarakat-kudus.html dan Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, Tesis S2, Universitas Indonesia, 1992, h. 94.
masjid sehabis shalat Isya’ para remaja mengadakan acara yang populer dengan berjanjen.
36
Dandangan , adalah suatu upacara tradisional dan merupakan adat
orang-orang Islam di Kudus yang berpusat di Desa Kauman dan Desa Langgar Dalem. Upacara ini pada dasarnya adalah perayaan untuk menyambut
kedatangan Bulan Ramadhan atau bulan puasa. Menurut cerita, istilah Dandangan
sesungguhnya berasal dari bunyi Bedug Masjid Menara yang ditabuh oleh petugas masjid sebagai tanda dimulainya bulan puasa. Karena
bunyi Bedug
yang ditabuh
tersebut terdengar
suara :
ndang...ndang...ndang...ndang...ndang ,
maka bunyi
tersebut disebut
Dandangan .
37
Upacara ini, biasanya dimulai sekitar lima hari menjelang hari datangnya bulan puasa. Para pedagang kecil selama hari-hari tersebut berjubel
mrema atau menggelar barang dagangannya, apakah itu berupa barang-barang
kerajinan atau makanan lainnya terutama di sekitar kompleks Masjid Menara. Puncak upacara ini adalah sehari sebelum dimulainya bulan puasa, yaitu ketika
sore menjelang, Bedug di Masjid Menara ditabuh bertalu-talu dan pada malam harinya oleh pemuka agama setempat diumumkan dimulainya bulan puasa
pada esok harinya. Selesai pengumuman ini, malam hari itu juga di masjid shalat tarawih.
Buka Luwur , diadakan setiap tahun bertepatan dengan tanggal 10
Muharram Assyura. Buka Luwur adalah upacara tradisional penggantian kain
36
Berjanjen, yaitu pembacaan syair-syair yang menyangkut pribadi Nabi Muhammad yang dilagukan secara bersama dan adakalanya diiringi dengan musik terbangan rebana.
37
Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, Tesis S2, Universitas Indonesia, 1992, h. 97.
kelambu yang dijadikan penutup makam Sunan Kudus. Upacara ini cukup meriah kendatipun tidak semeriah acara Dandangan. Karena upacara
tradisional ini ditekankan pada acara-acara ritual; antara lain, Tahtiman Al- Qur’an, Tahlil umum, pengajian, pencucian pusaka-pusaka Sunan Kudus dan
penggantian kain kelambu makam. Biasanya dalam upacara ini dilengkapi dengan selamatan yang disertai dengan pembacaan tahlil dan do’a, menurut
kepercayaan barang siapa memperoleh kain kelambu dan nasi selametan yang dibagikan akan mendapat berkah. Banyak masyarakat dari Kudus dan
sekitarnya, bahkan yang berasal dari luar kota yang datang dengan maksud mendapatkan nasi tersebut. Benar tidaknya kepercayaan masyarakat tentang
nasi luwur yang membawa berkah, dan bahkan bisa menyembuhkan berbagai penyakit ini, hal tersebut diserahkan kepada keyakinan masing-masing
masyarakat itu sendiri. Mengawali prosesi pemasangan luwur baru ditandai dengan alunan
Qalam Ilahi Al-Quran, dilanjutkan pembacaan Tahlil, dan doa yang dipimpin oleh seorang ulama. Hampir semua tokoh masyarakat dan ulama sepuh
38
menghadiri acara tersebut, Sekjen GAPPRI, dan Ketua MUI Kudus. Prosesi dilanjutkan dengan pemasangan luwur baru yang sudah disiapkan di
Pendapa Tajug. Luwur kemudian dibawa ke Makam Sunan Kudus Ja’far Sodiq oleh seorang ulama didampingi oleh petugas luwur kemudian dengan hati-hati
dipasang sampai sempurna. Setelah itu pembacaan Tahlil dipimpin oleh seorang ulama dan diikuti para hadirin. Karena sempitnya cungkup Makam
38
Sepuh, berarti dituakan, seseorang yang dtuakan karena telah memiliki karismatik dan pengalaman yang cukup banyak.
Sunan Kudus, hanya beberapa ulama sepuh yang bisa masuk dan dekat dengan batu nisan. Sementara undangan lain duduk bersimpuh mengelilingi di luar
cungkup. Tradisi serupa Buka Luwur juga terjadi di makam-makam para wali
yang lain, misalnya di tempat Sunan Muria, Mbah Mutammaqin Kajen-Pati dan tempat-tempat para sunan yang lain di sekitar daerah ini. Bahkan di desa-
desa yang terdapat makam tua yang dianggap sebagai sesepuh desa, pendiri sebuah desa, maka peringatan buka luwur inipun diadakan. Sehingga ada pula
tradisi Buka Luwur yang diadakan di tingkat regional dan di tingkat lokal. Peringatan buka luwur ini biasa juga disebut Khaul Mbah Sunan. Akan tetapi
tidak jelas, kenapa peringatan Khaul itu mesti diletakkan pada bulan Sura Muharram. Apakah upacara ini ada kaitannya dengan imitasi acara penggantian
kain Kiswah kain sebagai penutup Ka’bah di Makkah, atau ada kaitannya dengan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi pada bulan Suro, misalnya
meninggalnya Husain, cucu Nabi, di Karbala.
C. Kehidupan Religi Masyarakat Kudus