40
BAB III RUMAH TRADISIONAL KUDUS SEBELUM MASUKNYA ISLAM DI
KUDUS
A. Tinjauan Sejarah
Untuk mengawali topik pembahasan ini, terlebih dahulu perlu disinggung secara singkat beberapa aspek historis mengenai kemunculan
rumah tradisional Kudus pada masa ”Indianisasi” yang berarti membicarakan juga rumah Jawa, karena pada masa-masa tersebut bentuk-bentuk rumah tidak
terlalu berbeda di seluruh tanah Jawa, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sehingga nantinya diharapkan dapat memahami lebih lanjut mengenai latar
belakang berkembangnya perwujudan bentuk rumah tersebut. Membicarakan awal perkembangan atau sejarah rumah Jawa, bukanlah
suatu hal yang mudah. Sulitnya pembicaraan mengenai hal ini terutama karena tidak adanya keterangan tertulis yang dapat dipertanggungjawabkan kepastian
bagaimana asal usulnya, kapan mulai diciptakan, dan siapa perancang pertamanya,
45
dan sampai saat ini masih merupakan hal yang belum jelas karena kurangnya sumber-sumber tertulis pada jaman sebelum ”Indianisasi”.
Rumah Jawa termasuk dalam kelompok yang disebut dengan the folk tradition
, yaitu bersifat anonim, berkembang secara turun temurun melalui media lisan dalam lingkungan masyarakat setempat tanpa dapat diketahui
kapan mulai diciptakan dan siapa perancang atau pemilik pertamanya.
45
R. Ismunandar K, Joglo, Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, 3
th
ed. Semarang : Dahara Prize, 1990, h. 11, dan Hamzuri, “Rumah Tradisional Jawa”, Proyek Pengembangan
Permuseuman DKI Jakarta T.tp. : Departemen pendidikan dan Kebudayaan RI, t.t., h. 1.
Data dan kodifikasi arsitektur tradisional Jawa yang terekam dengan jelas adalah pada saat mulai ”Indianisasi” sedangkan sebelumnya sangat sulit
sekali ditelusuri kebenaran perwujudan arsitekturnya. Sangat miskin data yang ada, baik yang berupa inskripsi maupun artefak yang tertinggal. Banyak
hipotesis yang mengacu kepada gambar-gambar bangunan yang terpampang di dinding percandian Hindu gaya Jawa Tengah. Hipotesa inipun patut
dipertanyakan kebenarannya, sebab gambar-gambar tersebut apakah merupakan bentukan yang telah hadir sebelum Hindu masuk atau pada saat
Hindu berkembang. Salah satu indikator dari akibat kuatnya ”Indianisasi” mempengaruhi Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah kehadiran bentuk
bangunan yang tidak mempunyai kolong rumah panggung. Bentuk ini berbeda dengan bentuk yang dimiliki daerah tetangganya seperti Jawa Barat,
Sumatra, Sulawesi, Kalimantan dan kawasan Indonesia Timur yang memiliki kolong pada bangunannya. Menurut Parmono Atmadi, hal ini bisa saja akibat
terpengaruh kebudayaan India yang berbentuk bangunan percandian yang ada di India. Menurut suatu naskah tentang rumah Jawa koleksi museum pusat
Dep. PK No.Inv.B.G.608 disebutkan bahwa rumah orang Jawa pada mulanya dibuat dari bahan batu, teknik penyusunannya seperti batu-batu
candi. Tetapi bukan berarti rumah orang Jawa meniru bentuk candi, bahkan beberapa ahli menduga bahwa candi meniru bentuk rumah tertentu pada waktu
itu.
46
46
Hamzuri, “Rumah Tradisional Jawa”, Proyek Pengembangan Permuseuman DKI Jakarta
T.tp. : Departemen pendidikan dan Kebudayaan RI, t.t., h. 1.
Namun dugaan ini masih perlu dibuktikan lebih lanjut mengingat bahwa bangunan candi di Jawa dibuat seiring dengan masuknya agama Hindu
dan Buddha ke Jawa dari India dan seperti telah diketahui orang India sebagai pembawa ajaran agama Hindu dan Buddha telah mempunyai pengetahuan
yang cukup canggih dalam pembuatan bangunan candi di India Manasara dan Silpasastra. Pada relief candi Borobudur abad VIII yang diteliti oleh Parmono
Atmadi ditemui gambaran tentang bangunan rumah konstruksi kayu yang mempunyai bentuk atap pelana, limasan dan tajug.
47
Pada relief candi Borobudur tidak ditemui bentuk atap Joglo.
Sumber-sumber tertulis yang dapat ditemui tentang rumah tinggal tradisional orang Jawa antara lain adalah Kawruh Kalang, Serat Centhini dan
kitab-kitab Primbon. Kawruh Kalang yang ditulis pada masa pemerintahan Pakubuwono IX
1861-1883 M menguraikan tentang jenis rumah, konstruksi dan bahan bangunan yang dipakai, pedoman perhitungan waktu untuk mendirikan rumah
dan kepercayaan mistik yang melatarbelakanginya. Serat Centhini ditulis atas perintah Susuhunan Pakubuwono V 1820-
1823 M berisi ajaran yang ditulis dalam bentuk puisi yang dinyanyikan tembang tentang berbagai aspek kehidupan yang dikumpulkan dari beberapa
ahli dibidangnya, dipimpin oleh R. Ng. Yasadipura II dan R. Ng. Sastrodipura. Pengetahuan tentang rumah Jawa terdapat dalam pupuh 223 sampai 230
47
Parmono Atmadi, “Beberapa Patokan Perencanaan Bangunan Candi” Desertasi S3 Fakultas Teknik, Universitas Gajah Mada, 1979, h. 26.
berupa cerita Ki Wreksadikara Lurah Kalang Kamplong kepada Mas Cabolang.
Kitab Primbon merupakan kitab yang masih banyak ditemui dan dipergunakan oleh masyarakat Jawa. Ada beberapa macam kitab Primbon
antara lain Primbon Betaljemur Adammakna, Primbon Jawa Sabda Guru dan Primbon Sabda Pandhita. Primbon yang terbanyak membahas tentang rumah
adalah Primbon Betaljemur Adammakna yang memuat tentang rumah mulai dari bab 167-199. Primbon ini sebagian besar berisi perhitungan petungan
48
yang mengatur hari-hari yang baik dalam memilih waktu untuk membangun, menempati dan pindah rumah serta hal-hal lain yang bersangkutan dengan
rumah.
49
Dari ketiga sumber-sumber tertulis tersebut memberikan gambaran tentang rumah tinggal Jawa pada masa sekitar abad XVIII yang sebagian besar
bahan bangunannya terbuat dari kayu. Dalam Kawruh Kalang bab II dan Serat Centhini pupuh 227 Asmarandana disebutkan ada bentuk rumah tinggal orang
Jawa yaitu bentuk kampung, limasan, joglo dan tajug. Menurut Dakung 1982, Ismunandar 1986, Hamzuri tanpa tahun,
bersumber dari Mintobudoyo, bahwa ada 5 bentuk dasar rumah Jawa yaitu Panggang Pe, Kampung, Limasan, Joglo dan Tajug.
48
Petungan merupakan sebuah sistem numerologi dimana orang mencari waktu yang tepat untuk melakukan tindakan agar tepat sehingga dirinya aman atau dengan kata lain sebagai
usaha untuk menyelaraskan kejadian di bumi dengan dunia adikodrati.
49
Alim J. Setiawan, “Rumah Tinggal Orang Jawa; Suatu Kajian Tentang Dampak Perubahan Wujud Arsitektur Terhadap Tata Nilai Sosial Budaya dalam Rumah Tinggal Orang
Jawa di Ponorogo” Tesis S2, Universitas Indonesia, 1991, h. 66.
Bentuk yang paling sederhana adalah bentuk Panggang Pe, terdiri dari satu ruangan terbuka dengan atap satu bidang datar yang dipasang miring satu
arah. Penggunaan rumah bentuk ini sifatnya sementara misalnya sebagai tempat istirahat petani di sawah, dan jarang dipergunakan sebagai tempat
tinggal tetap. Bentuk ini tidak disebut dalam Kawruh Kalang maupun Serat Centhini diduga karena bukan merupakan rumah tinggal.
Jika dua buah bangunan bentuk Panggang Pe ini dihubungkan menjadi setangkup dengan garis atap yang lebih tinggi menjadi satu garis mendatar
nok maka menjadi bentuk kampung. Bentuk kampung adalah bentuk yang paling sederhana dengan dua buah atap katepung.
Bentuk limasan merupakan bentuk yang sudah agak rumit, sedangkan yang paling rumit dan sempurna adalah bentuk tajug. Bentuk ini ditentukan
oleh bentuk atapnya. Bentuk atap ini berkembang baik dari segi bentuk maupun dari segi konstruksinya mulai dari bentuk Panggang Pe kemudian
menjadi bentuk Kampung, bentuk Limasan, Joglo dan Tajug. Bentuk Tajug disebut juga bentuk masjid, karena itu jarang dipakai untuk rumah tinggal.
Dengan demikian sebenarnya hanya ada tiga bentuk dasar rumah tinggal orang Jawa yaitu kampung, limasan dan joglo.
Pada relief candi tidak didapati bentuk joglo, hal ini menimbulkan dugaan bahwa bentuk joglo tersebut timbul setelah masa kerajaan Mataram I
Hindu Buddha. Sedangkan pada Kawruh Kalang tidak didapati penjelasan mengenai bentuk panggang pe, namun disebutkan bentuk-bentuk rumah Jawa
berasal dari bentuk tajug yang sebetulnya sudah cukup rumit, jadi
perkembangan bentuk rumah Jawa dalam Kawruh Kalang justru berkembang dari bentuk yang rumit tajug ke bentuk yang lebih sederhana kampung dan
limasan. Hal tersebut kurang dapat diterima karena bentuk rumah seharusnya mulai dari yang sederhana berkembang ke arah yang lebih rumit.
50
Untuk rumah yang dibangun sebelum masuknya Islam di Kudus atau pada masa-masa awal kehadiran Sunan Kudus, rumah tinggal masyarakat
Kudus masih sederhana, yaitu berbentuk kampung. Karena pada masa-masa tersebut belum bermunculan para pedagang maupun saudagar dikarenakan
mata pencaharian masyarakat Kudus adalah bertani dan berladang, dengan sesekali menjual hasilnya, yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan daerah-
daerah lain di pulau Jawa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada masa sebelum masuknya Islam di Kudus, rumah tinggal masyarakat Kudus adalah
berbentuk kampung. Berdasarkan dari data yang didapat, penulis menyimpulkan bahwa
rumah-rumah masyarakat Kudus pada masa lalu adalah berbentuk kampung, dan hal tersebut juga terbukti karena diseluruh tanah Jawa pada masa tersebut
menggunakan rumah tersebut. Hal tersebut juga diperkuat dengan penggunaan atap dapur pada rumah Kudus saat ini yang berbentuk kampung yang merujuk
kepada awal mula bentuk rumah penduduk Jawa pada umumnya. Dan hal ini
50
Gunawan Tjahjono, “Cosmos, Center and Duality in Javanese Architectural Tradition : The Symbolic Dimensions of House Shapes in Kotagede and Surrounding” Disertasi S3,
University of California, 1989, h. 99.
bisa jadi mengindikasikan bahwa dahulunya bentuk atap kampung telah menjadi umum di lingkungan masyarakat Kudus Kuno.
51
B. Bentuk Rumah Tipe Kampung