Kepatuhan Wajib Pajak TINJAUAN PUSTAKA

Setoran BPHTB SSB di Kantor Pelayanan Pajak, dengan memenuhi semua persyaratan administrasi perpajakan dalam melakukan validasi Surat Setoran BPHTB atau sifat patuh pada ketaatan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Tujuan utama dari instansi perpajakan adalah menciptakan suatu iklim kepatuhan dan kesadaran Wajib Pajak WP atau Pengusaha Kena Pajak PKP, dimana: 1. Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak paham dan berusaha untuk memahami UU pajak, 2. Melaksanakan syarat administrasi perpajaknnya. 3. Mengisi formulir pajak dengan cepat. 4. Menghitung pajak tepat pada waktunya. Intinya untuk mendorong timbulnya kepatuhan disiplin WP, maka harus diusahakan sedemikian rupa supaya WP dapat benar-benar memahami masalah perpajakan terutama berakitan dengan sistem self assessmen serta pelaksanaan administrasi perpajakannya.. Kepatuhan Materi BPHTB, meliputi hal-hal sebagai berikut: a. Penyampain SSB yang disampaikan ke KP PBB oleh Wajib Pajak dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 hari sejak tanggal pemabayaran atau perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. b. Mencantumkan NPWP pada formulir Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.khususnya nilai tranksaksi yang diatas Rp 60.000.000,00 54 c. Wajib Pajak harus meminta tanda tangan dari Notaris PPAT, cap dari Bank pada saat menyampaikan SSB ke kantor Pajak. d. Wajib Pajak harus melunasi Pajak Bumi dan Bangunan, selama 10 tahun terakhir pada saat melakukan validasi SSB di Kantor Pajak. e. Wajib Pajak harus melampirkan dokumen-dokumen terkait Sertifikat, STTS, Formulir Penyampaian, Print Tunggakan, SSP pada saat melakukan validasi SSB di Kantor Pajak f. Wajib Pajak selalu dapat mempertanggung jawabkan dan menjelaskan besarnya BPHTB yang harus dibayar. g. Wajib Pajak tidak memperoleh Surat Keterangan Pajak Kurang Bayar SKPKB dari Kantor Pajak. h. Wajib Pajak harus Melampirkan Lembar NTPN setiap penyampaian SSB. i. Wajib Pajak selalu memasukan SSB secara tepat waktu.

H. Pembuatan Kartu NPWP

Sejak adanya reformasi perpajakan pada Tahun 1983, telah terjadi perubahan dalam sistem penomoran NPWP. Dalam rangka mendukung sistem administrasi perpajakan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1983. Beberapa masalah yang diduga muncul adalah pertama, apakah pencantuman NPWP, PKP PPN, dan Nomor Register dalam setiap melakukan tranksaksi pajak tidak merepotkan Wajib Pajak. Kedua, apakah petugas administrasi perpajakan tidak akan mengalami kesulitan dalam 55 mengidentifikasi wajib pajak yang mana yang telah melakukan tranksaksi, ketiga, apakah sistem penomoran NPWP dewasa ini cukup mendukung sistem administrasi perpajakan secara kesuluruhan, dan keempat, sudahkah wajib pajak memperoleh NPWP secara mudah. Nomor Pokok Wajib Pajak NPWP merupakan identitas wajib pajak. Sistem pemberian NPWP sebelum diberlakukannnya reformasi perpajakan Tahun 1983, diatur dan dikelola oleh masing-masing Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Kanwil DJP. Dalam sistem yang lama antara kantor pusat dan cabang dari wajib pajak memiliki NPWP yang berbeda. Sistem pemberian NPWP model lama ini dinilai tidak fleksibel, sebab apabila wajib pajak pindah kewilayah lain, NPWP yang dimilikinya tidak berlaku lagi. wajib pajak harus mengajukan NPWP baru ke Kanwil DJP setempat. Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 9 Tahun 1983, sistem penomoran NPWP tidak lagi dibuat oleh kanwil DJP, akan tetapi dibuat secara nasional. Pada tahun 1985 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1983 mulai diberlakukan secara efektif. Pada saat diberlakukannya undang-undang tersebut ditemukan adanya kesulitan untuk mendeteksi wajib pajak mana yang telah melakukan pembayaran pajak dari Kantor Cabang yang sama dalam satu Kanwil DJP. Hal ini dapat terjadi karena banyaknya Kantor Cabang dari suatu unit usaha yang sama, sedangkan NPWP Kantor Cabang tersebut adalah sama. Persoalan tersebut diatasi dengan menerbitkan Nomor Pengusaha Kena Pajak PPNPKP PPN. Semua Wajib Pajak yang terkena 56