Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Dan Aspek Sosial Ekonomi Yang Mempengaruhinya (Di Das Cipunagara Dan Sekitarnya, Jawa Barat)

(1)

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN

DAN ASPEK SOSIAL EKONOMI YANG

MEMPENGARUHINYA

(Di DAS Cipunagara dan Sekitarnya, Jawa Barat)

Oleh :

IVONG VERAWATY

A14063518

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Bismillahirrohmanirrohim……..

Betapapun kulukiskan keagungan-Mu dengan goresan tinta,… dengan untaian kata-kata…ataupun dengan bait-bait puisi cinta,,, Engkau tetap yang Maha Agung,, Ya Rabb... sedang semua

makna akan lebur, mencair di tengah keagungan-Mu. Wahai Rabb-ku……”

Ku persembahkan karya kecil ini,,,, Untuk orang-orang yang selalu mendukung dan mengasihiku Ayah, Ibu, Kakak dan Adikku……


(3)

RINGKASAN

IVONGVERAWATY

.

Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Aspek Sosial Ekonomi Yang Mempengaruhinya (Di DAS Cipunagara dan Sekitarnya, Jawa

Barat). Dibawah bimbingan KOMARSA GANDASASMITA dan

KHURSATUL MUNIBAH.

Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan peningkatan kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Permintaan akan lahan untuk mencukupi kebutuhan tersebut juga meningkat. Sementara itu, ketersediaan lahan untuk memenuhi semua kebutuhan hidup manusia terbatas. Hal ini akan mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan menjadi bentuk penggunaan lahan lainnya. Perubahan penggunaan lahan disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah faktor sosial dan ekonomi. Misalnya, perubahan hutan menjadi ladang karenanilai ekonomi komoditas tertentu yang tinggi, dan karena kebutuhan pangan yang meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk.

Penelitian ini menggunakan data PODES dan Kabupaten dalam Angka untuk menentukan faktor penduga kondisi sosial dan ekonomi, kemudian dilakukan analisis multiple regression untuk melihat besarnya pengaruh faktor penduga terhadap perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada daerah penelitian. Perubahan luas penggunaan lahan dianalisis pada tahun 1990 - 2000, dan 2000 - 2008. Analisis pada tahun 1990 - 2000 dilkukan per kecamatan, dan analisis tahun 2000 - 2008 dilakukan secara 2 tahap, yaitu analisis per kecamatan dan per desa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan lahan terbesar pada tiga titik tahun pengamatan adalah sawah, berkisar 45% dari luas total penggunaan lahan. Besar perubahan luas penggunaan lahan yang sama antara periode tahun 1990 - 2000 berbeda dengan periode tahun 2000 - 2008, begitu pula dengan faktor sosial dan ekonomi yang mempengaruhinya. Perubahan luas penggunaan lahan pada tahun 1990 - 2000 terbesar adalah hutan yang mengalami penurunan luasan sebesar 26,8% dari total perubahan. Pada tahun 2000 - 2008, perubahan luas penggunaan lahan terbesar adalah pemukiman yang mengalami peningkatan sebesar 36,6%. Secara umum, perubahan luasan penggunaan lahan di kawasan


(4)

DAS Cipunagara pada rentang periode tahun 1990 - 2000 dan 2000 - 2008, dipengaruhi aksesibilitas (jarak ke pasar dan kerapatan jalan). Sedangkan menurut hasil analisis desa faktor dominan yang menyebabkan perubahan penggunaan lahan adalah aksesibilitas (kerapatan jalan). Sementara itu, perubahan penggunaan lahan non komersial dipengaruhi oleh jumlah fasilitas pendidikan dan jumlah pasar, sedangkan perubahan penggunaan lahan komersial dipengaruhi oleh ketersediaan lahan (luas lahan lain yang mungkin berubah menjadi penggunaan lahan tersebut) dan kerapatan jalan.


(5)

SUMMARY

IVONG VERAWATY. Land Use Change Analysis and Social Economic Aspects that Regard It (At Cipunagara Watershed and Around It, West Java). Supervised by KOMARSA GANDASASMITA and KHURSATUL MUNIBAH.

Increased population causes an increase in food, clothing, and shelter. The demand for land to meet those needs is also increasing. Meanwhile, the availability of land to meet all the needs of human life is limited. This will encourage land use changes into other forms of land use. Changes in land use caused by many factors, including the social and economic factors. For example, the change of forest to farm because of the economic value of commodities, and because of the need for food increases with the increase of population.

This study uses PODES data and Regency in Figures to determine estimators factor of social and economic conditions, then performed a multiple regression analysis to see the huge influence estimators factor of land use change that occurred in the study area. Changes in land use area was analyzed in the year 1990 - 2000, and 2000 - 2008. Analysis in the year 1990 - 2000 is done by district, and analysis of the year 2000 - 2008 conducted in 2 phases, namely district analysis and about rural.

The results showed that the largest land use in three years of observation is the rice fields, ranging from 45% of total land use. Large changes in the same land use area between the years 1990 - 2000 differ from the period 2000 - 2008, as well as social and economic factors that influence it. The greatest changing of land use extent in 1990 - 2000 is forest area that decrease by 26,8% of the total changing. In the year 2000 - 2008, the greates of changing land use extent is settlement increased by 36,6%. In common, changes in land use area in Cipunagara watershed in the range year period 1990 - 2000 and 2000 - 2008, influenced by accessibility (distance to markets and road density). Meanwhile, according to the rural analysis of dominant factors that cause land use change is the accessibility (road density). Meanwhile, non-commercial land use change is influenced by a number of educational facilities and markets, while commercial land use change is


(6)

influenced by availability of land (land that might turn into certain land use) and road density.


(7)

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN

DAN ASPEK SOSIAL EKONOMI YANG

MEMPENGARUHINYA

(Di DAS Cipunagara dan Sekitarnya, Jawa Barat)

Oleh :

IVONG VERAWATY

A14063518

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

Judul Skripsi : Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Aspek Sosial Ekonomi yang Mempengaruhinya (Di DAS Cipunagara dan Sekitarnya, Jawa Barat)

Nama Mahasiswa : Ivong Verawaty Nomor Pokok : A14063518

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Lahan

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc Dr. Khursatul Munibah, M.Sc NIP. 19550111 197603 1 001 NIP. 19620515 199003 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

Dr. Syaiful Anwar M.Sc NIP. 19651113 198703 1 003


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bah-Butong, Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara pada tanggal 02 Oktober 1988. Penulis merupakan anak ke empat dari lima bersaudara, putri dari pasangan Bapak Hadi Martono dan Ibu Waginah. Jenjang pendidikan formal pertama penulis di Taman Kanak-kanak (TK) Kencana Mekar Bah-Butong, Sidamanik yang diselesaikan pada tahun 1994. Setelah lulus dari sekolah TK, penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Dasar Negeri 091423 Bah-Butong, Sidamanik dan lulus pada tahun 2000. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Negeri 1 Sidamanik dan berhasil menyelesaikan pendidikan pada tahun 2003. Pada tahun 2006 penulis berhasil mnyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Sidamanik. Pada tahun yang sama penulis berhasil diterima sebagai mahasisiwi Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif menjadi asisten praktikum mata kuliah Morfologi dan Klasifikasi Tanah pada tahun 2009/2010, asisten praktikum mata kuliah Geomorfologi dan Analisis Lanskap pada tahun 2009/2010, asisten praktikum mata kuliah Sistem Informasi Geografi pada tahun 2009/2010, asisten praktikum mata kuliah Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra pada tahun 2010/2011. Serta menjadi staf Pengajar Freelance Bimbingan Belajar Mafia Clubs pada tahun 2010.

           


(10)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim… Alhamdulillah... Puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, dan petunjuk-Nya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Shalawat beriring salam tak lupa penulis sampaikan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa kita pada zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Skripsi ini merupakan hasil penelitian sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah “Perubahan Penggunaan Lahan dan Aspek Sosial Ekonomi yang Mempengaruhinya, Di DAS Cipunagara dan Sekitarnya, Jawa Barat”. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan menambah referensi bagi civitas akademika maupun bagi pembaca umumnya.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan studi, yaitu:

1. Ayah dan Ibu selaku orang tua, beserta kakak dan adikku selaku keluarga besar penulis yang telah melimpahkan cinta, kasih dan sayang, harapan, kepercayaan serta do’a dan dukungannya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan sampai S-1.

2. Bpk. Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita M.Sc, selaku Pembimbing Akademik dan juga Pembimbing Skripsi Utama yang telah memberikan perhatian, bimbingan, saran dan dukungannya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan pendidikan S-1.

3. Ibu Dr. Khursatul Munibah M.Sc, selaku Pembimbing Skripsi Pendamping yang telah memberikan bimbingan, kesabaran, perhatian dan sarannya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.

4. Ibu Dr. Asdar Iswati, selaku Dosen Penguji yang telah banyak memberikan kritik dan saran kepada penulis dalam memperbaiki karya ilmiah ini.


(11)

5. Muhammad Ariyanto Sinaga (Arie_Naga) yang telah memberikan cinta dan kasihnya, dukungan dan do’a serta menjadi teman setia penulis dalam suka dan duka selama studi dan penelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini, serta Bpk. H. Sinaga dan keluarga sebagai keluarga baru bagi penulis yang telah membantu dan memberikan dukungannya kepada penulis. 6. Ibu Paryati Soesarsono sebagai orang tua kedua penulis di Bogor, yang telah

membantu, memberikan semangat, saran dan dukungannya selama penulis menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor.

7. Teman-teman seperjuangan dan staff di Bagian Pengideraan Jauh dan Informasi Spasial, Mbak Nurul, Luluk, Poppy, Atha, Ayam, Ichonk, atas bantuan, saran dan dukunganya kepada penulis dalam penyusunan karya ilmiah ini.

8. Teman-teman SOILERS ’43, Onie, Manda, Mpok Nah, Agatha, dan rekan-rekan lainnya yang telah bersama-sama menempuh pendidikan di Departemen Ilmu Tanah.

9. Teman-teman Arsida 1,Mbak Yunita, Ida ‘odonk’, Ina, Ikmah, Diani, Ojah, dan semuanya yang telah bersama-sama selama hampir 4 tahun atas keceriaan, canda tawa, serta tangis, juga semangat, saran dan dukungannya kepada penulis.

10. Kak Yulita, Kak Evoy, dan Kak Dije yang telah banyak memberikan semangat, dukungan dan sarannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Serta semua pihak yang tak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Bogor, Juni 2011


(12)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN.. ... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan ... 4

2.1.1 Pengertian Lahan ... 4

2.1.2 Pengertian Penggunaan Lahan ... 5

2.1.3 Perubahan Penggunaan Lahan ... 5

2.2 Pemetaan Penggunaan Lahan ... 6

2.2.1 Penginderaan Jauh ... 6

2.2.2 Interpretasi Citra... 7

2.3 Sistem Informasi Geografi ... 10

III. BAHAN DAN METODE ... 12

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 12

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 13

3.3 Metode Penelitian ... 13

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN ... 21

4.1 Luas dan Potensi Wilayah ... 21

4.2 Topografi Wilayah ... 24


(13)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat ... 26

5.2 Penggunaan Lahan pada Tahun 1990, 2000, dan 2008 ... 30

5.3 Perubahan Penggunaan Lahan pada Periode Tahun 1990 - 2000 dan 2000 - 2008 ... 34

5.4 Faktor Sosial dan Ekonomi yang Mempengaruhi Perubahan Luasan Penggunaan Lahan Periode Tahun 1990 - 2000 dan 2000 - 2008 ... 39

5.5 Kajian Umum Faktor Sosial dan Ekonomi yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan ... 47

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 49

6.1 Kesimpulan ... 49

6.2 Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 51

LAMPIRAN ... 54

 

                   


(14)

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1. Unsur-unsur dalam Interpretasi Citra ... 8

2. Faktor Penduga yang Digunakan dalam Analisis Regresi Berbasis Kecamatan dan Desa ... 17

3. Pembagian Wilayah DAS Cipunagara Menurut Administrasi Kecamatan ... 22

4. Jumlah dan Pertambahan Penduduk Tahun 2000 - 2010 ... 25

5. Kenampakan Penggunaan Lahan Di Citra dan Lapangan ... 26

6. Matriks Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1990 - 2000 ... 37

7. Matriks Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2000 - 2008 ... 38

8. Persamaan Regresi, Koefisien Determinasi, Nilai F Hitung, Nilai F Tabel, dan Nilai Probabilitas Kritis Analisis Tahun 1990 - 2000 (Per Kecamatan) ... 39

9. Persamaan Regresi, Koefisien Determinasi, Nilai F Hitung, Nilai F Tabel, dan Nilai Probabilitas Kritis Analisis Tahun 2000 - 2008 (Per Kecamatan) ... 40

10. Persamaan Regresi, Koefisien Determinasi, Nilai F Hitung, Nilai F Tabel, dan Nilai Probabilitas Kritis Analisis Tahun 2000 - 2008 (Per Desa) ... 41

11. Model Perubahan Penggunaan Lahan dengan Nilai R2≥ 0,50 ... 48  

                       


(15)

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1. Peta Lokasi Penelitian ... 12

2. Bagan Alir Tahapan Penelitian ... 20

3. Peta Pembagian Administrasi DAS Cipunagara ... 21

4. Kondisi Jembatan dan Jalan Di Daerah Pantai DAS ... 23

5. Peta Penggunaan Lahan DAS Cipunagara tahun 1990 ... 31

6. Peta Penggunaan Lahan DAS Cipunagara tahun 2000 ... 31

7. Peta Penggunaan Lahan DAS Cipunagara tahun 2008 ... 32

8. Luas Penggunaan Lahan Tahun 1990, 2000, dan 2008 ... 33

9. Perubahan Luasan Penggunaan Lahan Periode Tahun 1990 - 2000 dan 2000 - 2008 ... 34

                                           


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No Teks Halaman

1. Hasil Analisis Korelasi Parsial ... 55 2. Hasil Analisis Regresi ... 62  

                                                                   


(17)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan peningkatan kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Permintaan akan lahan untuk mencukupi kebutuhan tersebut juga turut meningkat. Sementara itu, ketersediaan lahan untuk memenuhi semua kebutuhan hidup manusia terbatas. Dengan meningkatnya permintaan terhadap lahan untuk kebutuhan tertentu, akan mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan menjadi bentuk penggunaan lahan lainnya.

Penggunaan lahan merupakan bentuk campur tangan manusia terhadap sumberdaya lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, baik materil maupun spiritual (Vink, 1975). Supriyati (2006) menyatakan bahwa penggunaan lahan dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain karakteristik fisik lahan, teknologi yang berkembang, karakteristik ekonomi, dan karakteristik sosial termasuk tingkat kepadatan penduduknya. Hal yang menarik adalah faktor sosial dan ekonomi mampu mempengaruhi perubahan penggunaan lahan. Misalnya, perubahan hutan menjadi ladang karena kebutuhan pangan yang meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, atau justru karena nilai ekonomi komoditas tertentu yang tinggi.

Menurut Rustiadi (2007) proses perubahan penggunaan lahan pada dasarnya dapat dipandang sebagai suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial dan ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perkembangan yang dimaksud tercermin dengan adanya : (a) pertumbuhan aktivitas pemanfaatan sumberdaya lahan akibat meningkatnya jumlah penduduk, serta (b) adanya pergeseran kontribusi sektor-sektor pertanian dan pengolahan sumberdaya alam ke aktivitas sektor-sektor-sektor-sektor sekunder (manufaktur) dan tersier (jasa). Di dalam hukum ekonomi pasar, alih fungsi lahan terjadi dari aktivitas dengan landrent yang lebih rendah ke aktivitas-aktivitas dengan landrent yang lebih tinggi.

Daerah DAS Cipunagara dan sekitarnya memiliki kondisi fisik yang heterogen. Penggunaan lahannya juga beranekaragam dan didominasi oleh tipe


(18)

penggunaan lahan sawah. Selain itu, Kabupaten Subang dan Indramayu yang berada dalam lingkup DAS tersebut merupakan daerah lumbung padi nasional Indonesia, sehingga perubahan luas sawah menjadi penting karena menyangkut eksistensinya sebagai lumbung padi nasional. Penurunan maupun peningkatan luas sawah dipengaruhi oleh perubahan luas penggunaan lahan lainnya. Misalnya, hutan berubah menjadi sawah sehingga luas sawah meningkat, atau sawah terkonversi menjadi pemukiman yang menyebabkan luas sawah menurun. Sebagai daerah dengan tingkat perkembangan awal, diperkirakan hubungan antara perubahan luas penggunaan lahan dengan kondisi sosial dan ekonomi dapat dipelajari secara obyektif.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan data Subang dalam Angka tahun 2000, di provinsi Jawa Barat hasil produksi sektor pertanian khususnya padi dari Kabupaten Subang merupakan salah satu komoditas andalan daerah. Hal ini karena Subang merupakan kabupaten yang memiliki areal sawah terluas ketiga se-Jawa Barat setelah Karawang dan Indramayu. Sementara itu, pada tahun 2000 - 2010 telah terjadi pertambahan penduduk sebesar 8,3% di Kabupaten Subang, 7,4% di Kabupaten Indramayu dan 14% di Kabupaten Sumedang (BPS, 2010). Pertambahan penduduk tentu saja menuntut pertambahan terhadap pangan dan pemukiman, juga fasilitas baik itu fasilitas ekonomi maupun pendidikan. Perkembangan fasilitas merupakan salah satu indikator pertumbuhan ekonomi daerah. Pembangunan fasilitas lebih banyak dilakukan di daerah dataran yang merupakan lahan pertanian produktif. Sehingga hal ini akan mempengaruhi luas sawah dan fungsi daerah sebagai daerah penghasil pangan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang ada di lokasi penelitian antara lain :

a. Seberapa besar perubahan penggunaan lahan yang terjadi di daerah penelitian dan ke arah mana perubahan tersebut. Sehingga dapat dipantau perubahan yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang dan dapat dilakukan perencanaan yang lebih terarah dalam penggunaan lahan yang berkelanjutan.


(19)

b. Pada penelitian ini perubahan yang terjadi dibatasi oleh faktor sosial dan ekonomi daerah setempat. Perlu diketahui sejauh mana faktor-faktor tersebut mampu mempengaruhi perubahan penggunaan lahan, dan faktor apa saja yang lebih berperan dalam mempengaruhi perubahan. Dengan demikian dapat dilakukan upaya tepat dalam menanggulangi permasalahan yang timbul, agar perubahan yang terjadi tidak mengurangi eksistensi daerah sebagai daerah penghasil pangan.

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Mengkaji perubahan penggunaan lahan di DAS Cipunagara dan sekitarnya pada periode tahun 1990 - 2000, dan tahun 2000 - 2008,

b. Mengetahui faktor-faktor sosial dan ekonomi yang berpengaruh terhadap perubahan luas penggunaan lahan.

1.4Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran tentang keberadaan penggunaan lahan jika pada masa mendatang terjadi perubahan-perubahan kondisi sosial dan ekonomi, sehingga dapat dirumuskan kebijakan yang lebih antisipasif.

                         


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan

Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja antara iklim dan jasad hidup terhadap suatu bahan induk yang dipengaruhi oleh relief dan waktu (Arsyad, 1989). Sedangkan lahan memiliki pengertian yang lebih luas dari tanah, FAO (1976) menyebutkan bahwa lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan termasuk vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Dalam hal ini, termasuk di dalamnya adalah akibat-akibat dari kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun yang sedang berlangsung saat ini, seperti reklamasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan, dan lain-lain (Rayes, 2007).

Lahan adalah suatu konsep yang dinamis. Lahan merupakan tempat bagi berbagai ekosistem tetapi lahan juga merupakan bagian dari ekosistem-ekosistem tersebut. Lahan juga merupakan konsep geografis karena dalam pemanfaatannya selalu terkait dengan ruang atau lokasi tertentu, sehingga karakteristiknya juga akan sangat berbeda tergantung lokasinya. Dengan demikian kemampuan atau daya dukung lahan akan berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya (Vink, 1975; Gandasasmita, 2001).

Lahan yang kita temukan sekarang ini, pada banyak area merupakan hasil kombinasi antara kondisi alamiah dengan pengaruh manusia, yang menunjang penggunaan lahan dimasa lalu sampai saat ini. Pengaruh manusia ada yang sifatnya positif, seperti konstruksi pematang sawah atau tambak dan rekonstruksi irigasi, dan ada pula yang bersifat negatif, seperti banyak kejadian terjadinya erosi sampai terbentuknya lahan kritis yang dipicu oleh aktifitas manusia antara lain pembangunan industri, pengolahan sampah, dan aktifitas-aktifitas lainnya yang dapat menyebabkan terjadinya erosi dikarenakan kurangnya pengetahuan tentang keberlanjutan sistem yang dibangun ataupun karena kelalaian (Vink, 1975).


(21)

2.1.2 Pengertian Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan adalah setiap bentuk campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual (Vink, 1975; Supryati, 2006). Dalam penggunaan lahan ini manusia berperan sebagai pengatur ekosistem, yaitu dengan menyingkirkan komponen-komponen yang dianggapnya tidak berguna ataupun dengan mengembangkan komponen yang diperkirakan akan menunjang penggunaan lahannya (Mather, 1986; Gandasasmita, 2001).

Kebutuhan manusia hampir tidak terbatas, oleh karena itu penggunaan lahan menjadi dinamis dan bervariasi menurut tempat dan waktu sejalan dengan perkembangan kebutuhan hidup dan kemampuannya dalam memanipulasi kondisi fisik lahan. Dengan demikian, untuk memahami pola penggunaan lahan di suatu wilayah, terlebih dahulu harus dipahami dinamika sosial dan ekonomi yang berkembang dalam masyarakatnya (Gandasasmita, 2001).

2.1.3 Perubahan Penggunaan Lahan

Perubahan penggunaan lahan adalah perubahan penggunaan oleh aktifitas terhadap suatu lahan yang berbeda dengan aktifitas sebelumnya, baik untuk tujuan komersial maupun untuk industri (Kristiani, 2007). Perubahan penggunaan lahan dari pertanian ke non pertanian bersifat irreversible (tidak dapat balik), karena untuk mengembalikannya membutuhkan modal yang sangat besar.

Tipe penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor manusia, dan lingkungan fisik lahan tersebut.

a) Faktor Manusia

Dalam hal ini terkait pada kualitas dan kuantitas manusianya. Kualitas manusia dapat dinilai dari umur, kepribadian, dan pendidikan serta segala sesuatu yang menentukan kualitas diri manusia tersebut dalam menentukan keputusan (Mather, 1986). Sedangkan kuantitas manusia terkait dengan jumlah penduduk. Peningkatan jumlah penduduk yang semakin tinggi, berdampak pada tekanan populasi yang semakin besar, dan hal ini merupakan pendorong utama terhadap perubahan lahan pertanian di negara berkembang.


(22)

b) Faktor fisik lingkungan

Faktor fisik lingkungan yang mempengaruhi pola penggunaan lahan adalah elevasi, lereng, keadaan tanah, ketersediaan air, dan faktor iklim. Faktor lereng dan ketinggian tempat mempunyai hubungan yang erat dengan kelembaban tanah dan suhu, oleh karena itu sangat berperan dalam proses pelapukan dan perkembangan tanah. Peranan elevasi berpengaruh terhadap peluang untuk pengairan, sedangkan lereng terkait dengan kemudahan pengelolaan dan kelestarian lingkungan. Tanah berhubungan dengan fungsinya sebagai sumber hara, yang paling sering dimodifikasi agar penggunaan lahan yang diterapkan mendapatkan hasil yang maksimal (Gandasasmita, 2001).

2. 2 Pemetaan Penggunaan Lahan 2.2.1 Penginderaan Jauh

Penginderaan Jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1994). Pengumpulan data penginderaan jauh dilakukan dengan menggunakan alat pengindera atau alat pengumpul data yang disebut sensor. Objek yang diindera adalah objek yang terletak di permukaan bumi, atmosfer, dan antariksa. Data penginderaan jauh dapat berupa citra (imaginery), grafik, atau data numerik. Data tersebut dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang objek, daerah atau fenomena yang diteliti (Purwadhi, 2001).

Batas kemampuan sensor dalam memisahkan setiap objek disebut dengan resolusi. Resolusi suatu sensor merupakan indikator tentang kemampuan sensor atau kualitas sensor dalam merekam objek. Di dalam citra resolusi merupakan parameter limit atau daya pisah objek yang masih dapat dipisahkan. Empat resolusi yang biasa digunakan sebagai parameter kemampuan sensor, yaitu resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi radiometrik, dan resolusi temporal.

Resolusi spasial adalah ukuran objek terkecil yang masih dapat direkam, dibedakan, dan dikenali pada citra. Semakin kecil ukuran objek yang dapat


(23)

direkam semakin baik kualitas sensornya. Resolusi spektral merupakan daya pisah objek berdasarkan spektrum elektromagnetik yang digunakan untuk perekaman data. Resolusi radiometrik adalah kemampuan sistem sensor untuk mendeteksi perbedaan pantulan terkecil, atau kepekaan sensor terhadap perbedaan terkecil kekuatan sinyal. Resolusi temporal merupakan jangka waktu sensor melakukan perekaman ulang terhadap kenampakan objek yang sama (Purwadhi, 2001). Citra Landsat mempunyai resolusi spektral 30 x 30 m2, resolusi spektral 0,45-12,5 µm yang terbagi ke dalam 8 band, resolusi temporal 16 hari, dan resolusi radiometrik 8 bit (256 level).

Analisis data penginderaan jauh memerlukan data rujukan seperti peta tematik, data statistik, dan data lapangan. Hasil analisis yang diperoleh dapat berupa informasi tentang bentang alam, kondisi lokasi, kondisi sumberdaya alam, dan juga jenis penutupan lahan daerah yang dikaji. Informasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk membantu proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan dan pengembangan daerah tersebut.

Aplikasi pemetaan penggunaan lahan dengan menggunakan citra satelit memiliki keuntungan yaitu liputannya yang luas dan berulang efektif untuk pengumpulan dan kemudahan mengupdate data penggunaan lahan. Landsat merupakan data penginderaan jauh yang memiliki cakupan yang luas dan kualitas resolusi spasial yang semakin membaik dari waktu ke waktu.

2.2.2 Interpretasi Citra

Interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara atau penalaran untuk mendeteksi, mengidentifikasi, dan menilai arti pentingnya objek yang tergambar pada citra (Estes dan Simonett, 1975 dalam Sutanto, 1986). Kunci interpretasi citra mempunyai 9 (sembilan) unsur, yaitu (1) rona/warna, (2) ukuran, (3) bentuk, (4) tekstur, (5) pola, (6) tinggi, (7) bayangan, (8) situs dan (9) asosiasi (Sutanto, 1986). Keterangan setiap unsur interpretasi disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Unsur-unsur dalam Interpretasi Citra


(24)

interpretasi

Rona Menunjukkan adanya tingkatan keabuan yang teramati pada foto udara hitam putih dan dapat diwujudkan dengan nilai densitas cara logaritmik antara hitam dan putih, dengan berpedoman pada skala keabuan.

Warna Warna dapat dipresentasikan terhadap 3 unsur (hue, value, chroma), dan mengelompokkannya dalam berbagai kelas. Perbedaan warna pada kertas cetakan atau transparansi lebih mudah dikenali daripada perbedaan rona pada foto udara hitam putih.

Ukuran Memiliki dua aspek dan biasanya memerlukan sebuah stereoskop untuk pengamatan tiga dimensional. Ukuran objek bermanfaat dalam pengenalan objek tertentu seperti pohon tua, dewasa, muda, pohon anakan dan semak.

Bentuk Bentuk dan ukuran sering berasosiasi sangat erat. Bentuk menunjuk pada konfigurasi umum suatu objek sebagaimana terekam pada citra penginderaan jauh.

Tekstur Perbedaan tekstur dapat dikenali pada semua skala foto udara dengan resolusi spasial citra satelit yang semakin baik. Tekstur merupakan frekuensi perubahan rona dalam citra foto udara.

Bayangan Berasosiasi dengan bentuk dan tinggi objek.

Pola Merupakan sebuah karakteristik makro yang digunakan untuk mendeskripsi tata ruang pada citra, termasuk didalamnya pengulangan kenampakan-kenampakan alami. Sering berasosiasi dengan geologi, topografi, tanah, iklim, dan komunitas tanaman.

Situs Menjelaskan tentang posisi muka bumi dari citra yang diamati dalam kaitannya dengan kenampakkan disekitarnya atau berkonotasi terhadap gabungan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi karakteristik makro objek.

Asosiasi Menunjuk suatu komunitas objek yang memiliki keseragaman tertentu atau beberapa objek yang berdekatan secara erat dimana masing-masing membentuk keberadaan yang lainnya.

Tinggi Unsur pengenalan objek yang paling penting pada foto udara.

Secara umum interpretasi visual dilakukan pada data penginderaan jauh dalam bentuk peta analog seperti foto udara. Namun interpretasi visual juga dapat dilaksanakan pada data format digital yang tersedia langsung pada komputer.


(25)

Kelebihan dari interpretasi visual secara langsung di komputer ini lebih mudah dan dapat mendeteksi obyek melalui pengaturan komposisi band citra. Dan perkembangan satelit penginderaan jauh yang menyediakan citra satelit beresolusi tinggi yang melebihi data foto udara memungkinkan interpretasi visual bermanfaat dalam kegiatan interpretasi citra.

Interpretasi citra secara visual menurut Vink (1975) dilakukan melalui enam tahap yaitu deteksi, identifikasi, analisis, deduksi, klasifikasi dan idealisasi. Kegiatan deteksi merupakan kegiatan penyadapan data secara selektif atas obyek yang tampak langsung dan tidak tampak langsung atau sulit dikenali. Obyek yang dikenali kemudian dipisahkan dengan cara penarikan garis batas antara kelompok yang memiliki kesamaan wujud. Proses deduksi pada dasarnya untuk memastikan obyek berdasarkan konvergensi bukti atau ciri-ciri yang mengarah pada obyek tersebut. Berikutnya dilakukan klasifikasi atau pengelompokkan obyek ke dalam kelas-kelas berdasarkan kesamaan antara obyek dan secara idealis merupakan kegiatan menggambar hasil interpretasi yang dilakukan (Wasit, 2010).

Interpretasi citra selain didasarkan pemahaman tentang obyek bedasarkan unsur-unsur interpretasi yang dikenali. Pengenalan obyek juga sangat tergantung pada data citra penginderaan jauh yang tersedia baik foto udara maupun citra satelit. Citra foto udara skala besar atau citra satelit beresolusi tinggi senantiasa akan memperlihatkan unsur-unsur interpretasi citra secara jelas, sedangkan yang berskala kecil atau beresolusi rendah obyek sulit dikenali hanya didasarkan pada pembeda warna atau bentuk. Sebagai pelengkap agar interpretasi berlangsung dengan mudah maka data dasar tersedia dan pengalaman interpreter terhadap lokasi yang dikaji yang memadai sangat membantu interpreter dalam pengenalan obyek sebenarnya.

2.3 Sistem Informasi Geografi

Sistem informasi geografi terdiri dari tiga kata yaitu sistem, informasi dan geografi. Sistem adalah suatu kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang


(26)

disebut subsistem yang saling berkaitan dan berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan tertentu (Prahasta, 2001). Informasi adalah suatu data yang telah diproses atau data yang memiliki arti (Raymond McLeod, 1993). Selanjutnya, Laudon (2000) dalam Prahasta (2001) menyatakan bahwa informasi adalah data yang telah dibentuk menjadi sesuatu yang berarti dan berguna bagi manusia. Jadi, informasi adalah suatu data yang telah diolah menjadi benda yang lebih berguna bagi penerima serta dapat digunakan untuk pengambilan keputusan. Geografis berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu “Geo” yang berarti bumi, dan “Graphia” yang berarti mencitra. Jadi, geografis atau yang sering juga dikenal dengan sebutan ilmu bumi adalah ilmu yang menguraikan dan menganalisa variasi mengenai keadaan permukaan bumi serta umat manusia yang menempatinya.

Jadi, Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah sistem yang dirancang untuk bekerja dengan data yang tereferensi secara spasial atau geografis. Dengan kata lain, SIG merupakan sistem basis data dengan kemampuan-kemampuan khusus dalam menangani data yang tereferensi secara spasial, selain merupakan sekumpulan operasi-operasi yang dikenakan terhadap data tersebut (Prahasta, 2001). Sistem informasi geografis merupakan suatu teknologi informasi yang berkaitan dengan pengumpulan dan pengolahan data bereferensi spasial dan berkoordinat geografis (Barus dan Wiradisastra, 2000).

Data yang digunakan dalam SIG dapat dikelompokkan ke dalam :

a. Data spasial (keruangan), yaitu data yang menunjukkan ruang, lokasi atau tempat-tempat di permukaan bumi. Data spasial berasal dari peta analog, foto udara dan penginderaan jauh dalam bentuk cetak kertas.

b. Data atribut (deskriptis), yaitu data yang terdapat pada ruang atau tempat. Atribut menjelaskan suatu informasi. Data atribut diperoleh dari statistik, sensus, catatan lapangan dan tabular (data yang disimpan dalam bentuk tabel) maupun dalam bentuk lainnya. Data atribut dapat dilihat dari segi kualitas, misalnya kekuatan pohon. Dan dapat dilihat dari segi kuantitas, misalnya jumlah pohon, dan lain-lain.

Komponen utama SIG dapat dibagi dalam tiga komponen, yaitu: 1) komponen keras, meliputi peralatan pemasukan data, peralatan untuk menyimpan


(27)

dan pengolahan, dan peralatan mencetak hasil, 2) komponen perangkat lunak, meliputi persiapan dan pemasukan data, manajemen, penyimpanan dan pemanggilan data, manipulasi data dan analisis, dan pembuatan produk SIG, dan 3) komponen organisasi. Keuntungan memakai SIG adalah kemampuannya dalam memelihara data dalam bentuk digital. Data ini lebih padat dibanding dalam bentuk peta cetak, tabel, atau bentuk konvensional lainnya. Dengan dipakainya sistem komputer maka bila diperlukan, data dalam jumlah besar dapat dipanggil dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dan biaya per unit yang lebih rendah dari cara manual. Demikian pula dalam hal kemampuan memanipulasi data spasial dan mengaitkannya dengan informasi atribut dan mengintegrasikannya dengan berbagai tipe data dalam suatu analisis (Barus dan Wiradisastra, 2000).

Barus dan Wiradisatra (2000) menyebutkan bahwa aplikasi SIG telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang seperti pengelolaan dalam penggunaan lahan di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan. Di bidang lingkungan aplikasi SIG digunakan dalam analisis erosi dan dampaknya, analisis daerah rawan banjir, kebakaran atau lahan kritis dan analisis kesenjangan.

                                     


(28)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Citarum - Ciliwung. Secara geografis daerah penelitian terletak antara 107⁰61' - 107⁰99' Bujur Timur dan 6⁰19' - 6⁰82' Lintang Selatan. Wilayah fungsional daerah penelitian berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah Utara, Kabupaten Indramayu di sebelah Timur, Kabupaten Sumedang dan Bandung di sebelah Selatan, serta Kabupaten Subang di sebelah Barat.

Persiapan data dan pengolahan citra secara digital dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2010 sampai Oktober 2010.


(29)

3.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Citra Landsat tahun 1990, 2000, dan 2008 yang diperoleh dari USGS (Glovis), Peta Administrasi DAS Cipunagara skala 1 : 5000.000 tahun 2000 dan Peta Topografi lembar Subang skala 1 : 250.000 tahun 2000 dari BAKOSURTANAL, Peta Penutupan Lahan tahun 2000 dan 2006 dari BPDAS Citarum - Ciliwung, data statistika potensi wilayah unit desa atau PODES tahun 2000 dan 2008 dari BPS, serta data statistika potensi wilayah unit kecamatan atau Kabupaten dalam Angka tahun 1990 dari BPS.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan analisis Sistem Informasi Geografi. Tahapan penelitian seperti yang disajikan pada Gambar 2.

a. Tahap Persiapan

Tahap ini meliputi kegiatan mempersiapkan penelitian, dilakukan dengan studi literatur yang dimaksudkan untuk mendapatkan teori yang mendukung kegiatan penelitian. Langkah ini dilakukan dengan mencari dan membaca buku-buku, jurnal, maupun penelitian terdahulu yang berkaitan dengan obyek penelitian. Selain itu juga dilakakukan persiapan citra, melalui beberapa langkah antara lain :

Mengunduh (download) Citra

Citra yang digunakan dalam penelitian diperoleh dengan mengunduh citra dari USGS - Glovis. Citra yang diunduh kemudian diekstrak dan band-band yang masih terpisah digabungkan menjadi satu agar diperoleh citra dengan kombinasi band yang utuh.

Mozaik dan Pemotongan Batas Area Penelitian

Pemotongan batas area penelitian dilakukan dengan clip citra Landsat untuk memperoleh wilayah yang akan dianalisis. Sebelum pemotongan, citra-citra lokasi penelitian digabungkan terlebih dahulu (mozaik) untuk memperoleh satu kesatuan citra yang terpadu. Batas data berbasis data vektor peta administrasi


(30)

fungsional DAS digunakan menjadi acuan dalam penentuan luas pada analisis selanjutnya.

Rektifikasi Citra (Koreksi Geometrik)

Rektifikasi/koreksi geometrik citra landsat dilakukan untuk mengurangi distorsi geometrik citra seperti pengaruh rotasi bumi, kelengkungan bumi, kecepatan scanning dari beberapa sensor yang tidak normal. Hal ini menyebabkan posisi citra tidak sama dengan posisi geografis yang sebenarnya. Citra yang mempunyai kesalahan geometrik memberikan implikasi terhadap variasi jarak, luas, arah, sudut dan bentuk di semua bagian citra sehingga perlu dikoreksi terlebih dahulu untuk dapat digunakan sebagai peta.

Proses koreksi geometrik dilakukan dengan menentukan fungsi transformasi dan resampling citra. Penentuan Ground Control Point (GCP) sebagai titik-titik koreksi dapat diacu dari peta topografi ataupun peta terkoreksi lainnya. Rektifikasi citra yang umum digunakan adalah fungsi transformasi Polynomial dengan tingkatan ordo. Contoh fungsi transformasi Polynomial Orde 1 memiliki rumus fungsi sebagai berikut :

x = a0 + a1X + a2X + a3XY

y = b0 + b1X + b2Y + b3XY

Dimana :

x, y : koordinat baris dan kolom pada image yang belum terkoreksi X,Y : koordinat baris dan kolom pada image yang sudah terkoreksi (GCP)

Hal terpenting dari koreksi geometri adalah keakuratan hasil koreksi yang ditunjukkan dengan nilai RMSE (Root Mean Squared Error) yang dihasilkan. Semakin kecil RMSE titik GCP maka akurasinya semakin tinggi. Perhitungan RMSE menggunakan persamaan sebagai berikut :

           RMSE =

Dimana : x dan y : koordinat citra asli (input) X dan Y : koordinat citra keluaran (output)

Menurut Purwadhi (2001) nilai akurasi hasil koreksi geometrik citra seharusnya adalah ± satu piksel, jika kesalahan lebih besar dari persyaratan maka koordinat pada citra dan peta perlu dicek kembali. Sementara Jaya (2009) dalam


(31)

Niin (2010) mengemukakan bahwa nilai RMSE hasil koreksi geometri pada umumnya tidak lebih dari 0,5 piksel.

b. Tahap Pengumpulan Data

Pada tahap ini, dilakukan pencarian dan pengumpulan data-data yang diperlukan dalam penelitian. Data yang digunakan meliputi peta Topografi, data PODES (Potensi Desa), dan Kabupaten dalam Angka. Selain itu juga dilakukan pengecekan lapang dan survei secara langsung ke daerah penelitian. Kegiatan ini dilakukan untuk mengumpulkan informasi mengenai letak geografis, penggunaan lahan, lama penggunaan dan intensitas penggunaan lahan, serta dokumentasi penggunaan lahannya. Data mengenai lama penggunaan lahan dilakukan dengan wawancara langsung kepada masyarakat setempat.

c. Tahap Pengolahan Data

Tahap pengolahan data dikelompokkan menjadi dua yaitu pengolahan data spasial dan non spasial (atribut) yang dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial.

Pengolahan Data Spasial

Pada analisis data spasial digunakan alat bantu berupa komputer dan perangkat lunak ArcView GIS 3.3, ArcGIS 9.3, dan ERDAS IMAGINE 8.6 yang digunakan dalam pemetaan penggunaan lahan melalui interpretasi digital.

Interpretasi citra secara digital (on screen) dilakukan dengan menggunakan peta Topografi sebagai referensi dalam menentukan jenis penggunaan lahan, yang kemudian dibentuk menjadi peta penggunaan lahan sementara. Selain peta topografi, digunakan juga peta penutupan lahan yang dikeluarkan oleh BPDAS Citarum - Ciliwung. Dalam proses interpretasi citra digital ini lebih dipengaruhi oleh kemampuan mata, karena perubahan aspek-aspek interpretasi diamati secara visual. Obyek yang dikenali dipisahkan dengan cara menarik garis batas antara kelompok yang memiliki kesamaan wujud. Kemudian dilakukan pengelompokkan obyek ke dalam kelas-kelas berdasarkan kesamaan antara obyek.


(32)

Pengolahan Data Atribut

Pada analisis data atribut digunakan perangkat lunak MINITAB 14 yang digunakan dalam Analisis Korelasi dan Analisis Regresi Berganda (Multiple Regression Analysis). Tahap awal pengolahan data numerik dimulai dengan melakukan tabulasi dan menyimpannya dalam suatu basis data peta penggunaan lahan dalam beberapa titik tahun pengamatan yaitu tahun 1990, 2000, dan 2008. Pengolahan selanjutnya dengan mengidentifikasi besarnya perubahan luasan dari masing-masing tipe penggunaan lahan yang terjadi pada tahun 1990 - 2000 dan tahun 2000 - 2008. Hasil dari tabulasi perubahan luasan penggunaan lahan ini dilihat hubungannya dengan faktor sosial dan ekonomi daerah setempat.

Hubungan antar peubah faktor sosial dan ekonomi pertama-tama dieksplorasi dengan Analisis Korelasi (matriks korelasi) yang ditampilkan pada Lampiran 1. Analisis ini merupakan salah satu cara untuk mengukur hubungan antara dua peubah atau sifat bersama yang dimiliki oleh peubah-peubah tersebut agar diketahui hubungan keterikatan antara peubah bebas (independent) dengan peubah terikat (dependet). Berdasarkan hasil analisis ini akan terlihat bagaimana keeratan hubungan antara peubah yang satu dengan yang lainnya. Hanya peubah-peubah yang berkorelasi nyata terhadap proporsi perubahan luas penggunaan lahan dan memiliki nilai korelasi yang cukup besar saja yang kemudian dianalisis hingga pengembangan model penduga perubahan luas penggunaan lahannya.

Analisis selanjutnya adalah dengan mengembangkan model Analisis Regresi Berganda (Multiple Regression Analisys) penduga pengaruh faktor sosial dan ekonomi terhadap perubahan luasan penggunaan lahan. Dalam pelaksanaannya, perubahan luasan masing-masing penggunaan lahan pada rentang tahun yang berbeda diasumsikan sebagai peubah terikat (dependent), sedangkan karakteristik sosial dan ekonomi masing-masing wilayah administrasi diasumsikan sebagai peubah bebas (independent).

Secara umum, bentuk persamaan regresi dinyatakan sebagai berikut :

Yj = β0 + β1X1 + β2X2 + … + βkXk + ε

Konstanta β0 adalah peubah respons ketika peubah penduga bernilai 0 (nol), β1, β2,

… dan βk adalah parameter-parameter model regresi untuk peubah X1, X2,… Xk. ε


(33)

Analisis pengaruh faktor sosial dan ekonomi terhadap perubahan luas penggunaan lahan periode tahun 1990 - 2000 dilakukan per kecamatan, karena pada tahun 1990 belum tersedia mengenai potensi wilayah berbasiskan unit desa yang saat ini dikenal dengan sebutan data PODES. Analisis periode tahun 2000 - 2008 dilakukan per kecamatan dan per desa. Secara keseluruhan faktor penduga (X = peubah bebas) yang digunakan pada analisis per kecamatan dengan analisis per desa hampir sama. Hanya saja pada analisis desa terdapat faktor kerapatan keluarga pertanian yang dalam analisis per kecamatan tidak ada, dan juga faktor jarak ke pasar pada analisis desa dihilangkan.

Perubahan luas penggunaan lahan (Yj = peubah terikat) yang dianalisis meliputi Y1 = hutan, Y2 = kebun campuran, Y3 = kebun jati, Y4 = kebun tebu, Y5

= ladang, Y6 = pemukiman, Y7 = sawah, dan Y8 = semak. Faktor-faktor yang

digunakan dalam analisis ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Faktor Penduga yang Digunakan dalam Analisis Regresi Berbasis Kecamatan dan Desa

No Faktor

penduga Keterangan Kecamatan Desa

Sumber referensi

1 X1

luas penggunaan lahan

sebelumnya x x

2 X2

luas penggunaan lahan lain yang mungkin berubah menjadi penggunaan lahan tertentu

x x

Kependudukan 3 X3 perubahan kerapatan penduduk x x Supryati, 2006

4 X4

perubahan kerapatan keluarga

pertanian x

Gandasasmita, 2001

Fasilitas

5 X5 fasilitas pendidikan x x Rahmasari, 2004

6 X6 jumlah pasar x x Rahmasari, 2004

Aksesibilitas

7 X7 jarak ke pasar x Mather, 1986

8 X8 kerapatan jalan x x Mather, 1986

Sebagai bahan pertimbangan adalah luas penggunaan lahan sebelumnya dinilai cukup penting dalam perubahan luasan penggunaan lahan terkait dengan produktivitas lahan dalam memenuhi permintaan pasar. Luas penggunaan lain yang mungkin berubah untuk menjadi penggunaan lahan tertentu, diperhatikan untuk melihat ketersediaan lahan. Semakin banyak lahan yang tersedia dan


(34)

memungkinkan, dapat meningkatkan perubahan luas penggunaan lahan tertentu. Perubahan kerapatan penduduk penting diperhatikan, karena peningkatan jumlah penduduk berindikasi pada peningkatan kebutuhan hidup baik pangan maupun sandang dan papan yang mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan.

Selanjutnya, ketersediaan fasilitas pendidikan juga dianggap dapat mempengaruhi perubahan penggunaan lahan. Diasumsikan bahwa semakin tinggi jumlah fasilitas pendidikan yang dimiliki maka semakin tinggi pula taraf pendidikan masyarakat. Sehingga dapat mempengaruhi pola pikir dan penguasaan teknologi dan mendorong terjadinya perkembangan daerah. Daerah yang berkembang cenderung memiliki tingkat perubahan penggunaan lahan yang lebih tinggi dibandingkan daerah yang tidak berkembang. Keberadaan pasar juga mempengaruhi perubahan, karena pada dasarnya masyarakat cenderung memilih penggunaan lahan yang bernilai ekonomi lebih tinggi. Ketersediaan pasar memacu masyarakat untuk mengembangkan usaha yang bernilai ekonomi lebih tinggi. Jarak ke pasar dan kerapatan jalan sangat penting karena berhubungan dengan aksesibilitas. Kemudahan aksesibilitas akan mendorong penggunaan lahan yang dianggap paling efisien dan menguntungkan.

Pada analisis per desa, kerapatan keluarga pertanian dianggap penting karena menentukan eksistensi penggunaan lahan pertanian itu sendiri. Ketika jumlah keluarga pertanian menurun dapat diartikan bahwa telah terjadi alih profesi masyarakat ke bidang lain secara tidak langsung berdampak pada perubahan penggunaan lahannya. Sementara itu, jarak ke pasar dihilangkan karena diasumsikan dalam unit desa, masing-masing desa telah memiliki pasar tradisional yang beroperasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat desa meskipun tanpa bangunan fisik dan waktu operasi pasar tidak setiap hari.

Pendugaan model regresi dilakukan dengan menggunakan hipotesis :

a. H0 = Regresi berganda tidak berarti, artinya peubah terikat tidak dipengaruhi

oleh peubah bebas.

b. H1 = Regresi berganda berarti, artinya peubah terikat dipengaruhi oleh peubah

bebas.

Keabsahan model ditunjukkan dengan hasil uji F, dengan keputusan berupa :


(35)

a. Jika nilai F hitung > F tabel : terima H1, artinya regresi berganda berarti.

b. Jika nilai F hitung < F tabel : terima H0, artinya regresi berganda tidak berarti.

Berdasarkan hasil analisis statistik dengan Analisis Regresi Berganda dihasilkan nilai penduga (estimate) koefisien peubah yang berpengaruh positif maupun negatif terhadap pola perubahan luas penggunaan. Nilai koefisien positif menggambarkan pendugaan pengaruh peubah yang diukur bersifat meningkatkan probabilitas terjadinya perubahan luasan penggunaan lahan tertentu, sedangkan nilai koefisien negatif bersifat menurunkan probabilitas perubahan. Ketelitian hubungan model regresi ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi (R2), yaitu semakin tinggi nilai koefisien determinasi maka hubungan antara peubah bebas dengan peubah terikat cukup erat atau teliti.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam hasil analisis adalah nilai P (nilai probabilitas kritis), nilai VIF dan konstanta (β0). Nilai VIF kurang dari sepuluh menunjukkan bahwa suatu peubah penduga dengan peubah penduga lainnya tidak memiliki hubungan korelasi (multikolinearitas). Semakin kecil nilai VIF maka semakin baik karena tidak ada hubungan multikolinear di antara peubah-peubah yang digunakan, dengan demikian ketidaksesuaian model yang dibuat akan semakin kecil. Dalam tabel Lampiran 2 dapat dilihat bahwa nilai VIF dari semua peubah yang digunakan < 10. Nilai konstanta yang positif dapat diinterpretasikan bahwa perubahan luasan penggunaan lahan tertentu akan terus terjadi, meskipun faktor-faktor sosial dan ekonomi bersifat tetap. Sedangkan nilai konstanta yang negatif dapat diinterpretasikan bahwa ketika faktor-faktor penduga baik yang berasal dari kondisi sosial maupun ekonomi mengalami perubahan yang nyata belum tentu dapat menyebabkan perubahan luasan penggunaan lahan tertentu.


(36)

 

Citra Landsat 1990 Citra Landsat 2000

                                         

Gambar 2 Bagan Alir Tahapan Penelitian.  

Citra Landsat 2008 terkoreksi geometrik Koreksi Geometrik

Interpretasi visual (Digitasi)

Peta penggunaan lahan 2008 sementara Peta penggunaan lahan

2000 sementara Peta penggunaan lahan

1990 sementara Pengecekan lapang Peta penggunaan lahan 2008 Peta penggunaan lahan 1990 Peta penggunaan lahan 2000

Perubahan penggunaan lahan 1990 - 2000 dan 2000 - 2008

Spasial

Data Kabupaten dalam angka, dan PODES thn 1990,

2000, 2008 Analisis Regresi Berganda Atribut Analisis Korelasi Hasil

• Perubahan Penggunaan lahan tahun 1990, 2000 dan 2008.

• Faktor sosial dan ekonomi yang mempengaruhi perubahan Penggunaan Lahan di DAS


(37)

 

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1 Luas dan Potensi Wilayah

Luas fungsional daerah penelitian adalah 171.240 ha, secara administratif meliputi 3 (tiga) kabupaten, yaitu Kabupaten Subang, Sumedang, dan Indramayu, serta terbagi atas 225 desa dan kelurahan yang tergabung dalam 24 kecamatan. Bagian terluas dari DAS ini terdapat di Kabupaten Subang, meliputi 156 desa yang tergabung dalam 16 kecamatan. Sebagian lainnya merupakan bagian dari Kabupaten Sumedang, meliputi 53 desa dan tergabung dalam 6 kecamatan. Sedangkan bagian terkecil dari DAS ini merupakan bagian dari Kabupaten Indramayu, meliputi 16 desa dan tergabung dalam 2 kecamatan. Gambar 4 menunjukkan penyebaran wilayah menurut administrasinya, dan Tabel 5 menyajikan luas masing-masing wilayah.


(38)

Gambar 3 Peta Pembagian Administrasi Daerah Penelitian

Tabel 3 Pembagian Wilayah DAS Cipunagara dan Sekitarnya menurut Administrasi Kecamatan.

Kabupaten Kecamatan Luas (ha)

Indramayu Anjatan 2120

Haurgeulis 15910

18030

Subang Binong 7180

Blanakan 5110 Ciasem 660 Cibogo 9190 Cikaum 1020 Cipunagara 10290 Cisalak 11720 Compreng 6760 Jalancagak 9150 Kalijati 190 Pagaden 7290 Pamanukan 19190 Pusakanagara 10340 Sagalaherang 100 Subang 12480 Tanjungsiang 9400

120070

Sumedang Buahdua 15370

Cimalaka 2410 Rancakalong 1460

Sumedang Utara 510

Tanjungkerta 12930 Tanjungsari 460

33140

Luas Total 171240

Sebagian besar daerah penelitian terletak di Kabupaten Subang, dengan kota Subang sebagai kota terbesar yang terletak di daerah pusatnya. Sebagai penyandang predikat sebagai salah satu lumbung padi nasional, Kabupaten Subang menyumbangkan produksi padi yang mencapai 1.020.606 ton terhadap stok padi nasional. Produksi padi tersebut dihasilkan dari lahan basah 1.015.695 ton dan sisanya lahan kering.


(39)

Selain tanaman pangan, potensi sektor pertanian lainnya berupa palawija. Terdapat 5 jenis komoditas palawija, yakni jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, dan kedelai. Sentra produksi jagung di Kecamatan Pagaden, Purwadadi dan Jalancagak. Sentra produksi ubi kayu di Kecamatan Purwadadi, Sagalaherang, Cijambe dan Cipeundeuy. Sentra produksi ubi jalar di Kecamatan Purwadadi, Jalancagak dan Sagalaherang. Sentra produksi kacang tanah di Kecamatan Kalijati. Dan sentra produksi kedelai di Kecamatan Compreng. Perkebunan besar yang ada, pada saat ini diusahakan oleh PT. Perkebunan VIII untuk komoditas karet dan teh. Sedangkan perkebunan tebu diusahakan oleh Pabrik Gula PT. Rajawali III.

Apabila ditinjau dari segi aksesibilitas terutama jalan, tidak semua kecamatan memiliki kondisi infrastruktur jalan yang baik. Karena pada saat dilakukan pengecekan di lapang, jalan-jalan di daerah kebun jati sekitar Subang selatan memiliki kondisi jalan yang cukup buruk. Selain daerahnya berbukit-bukit, rusaknya lapisan aspal sepanjang jalan membuat jalan berlubang-lubang dan tergenang saat hujan turun, sehingga jalanan menjadi becek dan licin. Tidak hanya di sekitar kebun jati yang letaknya di daerah pegunungan, di daerah pantai seperti Kecamatan Legonkulon juga memiliki kondisi infrastruktur yang buruk. Kondisi jalan di daerah ini hanya merupakan jalan kecil tanpa lapisan aspal, hanya berupa jalan setapak dan penuh debu yang sangat licin ketika jalanan basah. Bahkan jembatan yang digunakan untuk menyebrangi sungai hanya terbuat dari bambu, sehingga sangat rawan ketika digunakan untuk kendaraan bermotor untuk menyebrang.

Gambar 4 menunjukkan contoh kondisi jalan dan jembatan di daerah penelitian yang cukup memprihatinkan.


(40)

Gambar 4 Kondisi jembatan (a), dan jalan (b) di daerah pantai DAS

4.2 Topografi Wilayah

Berdasarkan topografinya, daerah penelitian dapat dibagi ke dalam 3 zona, yaitu :

1. Daerah Pegunungan (Subang bagian selatan, dan Sumedang bagian utara). Daerah ini memiliki ketinggian antara 500 - 1500 m dpl dengan luas 48.470 ha atau 28,3% dari seluruh luas wilayah DAS. Wilayah ini meliputi Kecamatan Jalancagak, Cisalak, Sagalaherang, Tanjungsiang, Sumedang Utara, Tanjungsari, Tangjungkerta, Rancakalong, dan Cimalaka .

2. Daerah Berbukit dan Dataran (Subang bagian tengah, dan Indramayu).

Daerah dengan ketinggian antara 50 - 500 m dpl dengan luas wilayah 53.830 ha atau 31,4% dari seluruh luas wilayah DAS. Zona ini meliputi wilayah Kecamatan Cijambe, Subang, Cibogo, Kalijati, Cikaum, Buahdua dan Haurgeulis.

3. Daerah Dataran Rendah (Subang bagian utara).

Daerah dengan ketinggian antara 0 - 50 m dpl dengan luas 68.940 ha atau 40,3% dari seluruh luas wilayah Kabupaten Subang. Wilayah ini meliputi Kecamatan Pagaden, Cipunagara, Binong, Compreng, Ciasem, Pusakanagara, Pamanukan, Blanakan, dan Anjatan.

4.3 Kondisi Sosial dan Ekonomi

Berdasarkan data Jawa Barat dalam Angka, disebutkan bahwa pada periode tahun 2000 - 2010 telah terjadi pertambahan jumlah penduduk yang cukup besar. Di Kabupaten Sumedang pertambahan jumlah penduduk mencapai 14%, sedangkan di Kabupaten Indramayu pertambahannya sebesar 7,4%, dan Kabupaten Subang sebesar 8,3%. Besar pertambahan penduduk di Kabupaten Sumedang lebih tinggi dari kabupaten lainnya. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.


(41)

Tabel 4 Jumlah dan Pertambahan Penduduk Tahun 2000 - 2010 Kabupaten

Jumlah penduduk (jiwa) Pertambahan Penduduk Tahun 2000 Tahun 2010 Jiwa Persen (%)

Sumedang 976.210 1.112.730 136.520 14,0

Indramayu 1.597.520 1.715.000 117.480 7,4

Subang 1.336.110 1.447.050 110.940 8,3

Berdasarkan struktur ekonomi, sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Subang yaitu mencapai (40,0%) pada tahun 2001 (BPS, 2002). Selain itu beberapa perkebunan besar juga turut mempengaruhi perekonomian daerah, seperti perkebunan karet, tebu dan teh. Di samping itu, tambak juga merupakan sektor yang mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam perekonomian Subang, khususnya di daerah Kecamatan Blanakan dan Legonkulon. Pada kecamatan tersebut, sosial ekonomi masyarakat didominasi petani tambak dengan fasilitas perekonomian cukup baik, status pemilikan lahan sewa dan hak milik, kelembagaan dan kehidupan sosial cukup baik. Persepsi masyarakat terhadap tambak baik, pemahaman terhadap manfaatnya juga baik, interaksi kuat, namun kurang dalam pengelolaannya.

Daerah Indramayu yang masuk ke dalam wilayah DAS didominasi oleh sawah. Pada Kabupaten Indramayu sektor pertanian berkontribusi 43% terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Selain pertanian, perekonomian Kabupaten Indramayu juga ditunjang dari peternakan, perkebunan, perikanan dan kelautan, serta pertambangan. Sedangkan daerah Sumedang yang masuk ke dalam wilayah DAS didominasi oleh kebun jati.

           


(42)

       

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat

Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian menghasilkan 15 (lima belas) kelas, yaitu badan air, hutan, kebun campuran, kebun coklat, kebun karet, kebun jati, kebun tebu, kebun teh, ladang, mangrove, pemukiman, sawah, semak, sungai, dan tambak. Deskripsi masing-masing penggunaan lahan berdasarkan hasil analisis citra dan pengecekan lapang disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Kenampakan Penggunaan Lahan Di Citra dan Lapangan

Unsur Interpretasi Kenampakan Citra Kenampakan Lapang Penggunaan/penutupan Lahan

Lokasi di daerah cekungan, bentuk tidak teratur, pola menyebar, ukuran kecil, warna biru terang - gelap, dan tekstur halus.

Badan air

Di lapangan badan air berupa waduk atau danau. Volume air berubah-ubah tergantung pada musim, sebab sumber utama air danau adalah air hujan.

Berada di daerah pegunungan, bentuk tak teratur, pola menyebar, warna hijau tua gelap, tekstur relatif kasar, dan ukuran luas.

Hutan

Di lapangan, hutan yang dijumpai adalah hutan hujan tropis dengan didominasi oleh jenis tanaman pinus. Dikelola oleh Dinas Perhutani. Potensi hasil hutan dapat berupa kayu dan non kayu.

Lokasi ditemukan menyebar, bentuk tak beraturan, pola menyebar, warna hijau kekuningan,

Kebun campuran

Di lapangan, kebun campuran di temui menyebar. Tanaman yang dijumpai antara lain pisang, kelapa, bambu,


(43)

tekstur kasar dan ukurannya

beranekaragam.

singkong, salak, durian, pisang, mangga, dan lain-lain.

Bentuk tidak beraturan, pola bergerombol,

warna hijau muda sampai tua, tekstur sedang, serta ukurannya relatif luas.

Kebun coklat

Di lapang, kebun ini dijumpai dalam ukuran cukup luas. Tanaman ini memiliki tajuk yang rapat dan berdaun lebar. Daun antar tanaman saling tumpang tindih. Tinggi tanaman ± 4 m, dan jarak tanam 3 x 3 m2.

Bentuk tidak beraturan, pola menyebar, warna hijau terang kemerahan,

tekstur kasar dan ukuran yang luas.

Kebun jati

Di lapangan, varietas tanaman yang dijumpai berbeda-beda, ada varietas jati lokal dan jati super. Jarak tanam 2,5 x 2,5

m2. Tinggi tanaman mencapai

± 10 m. Keberadaan kebun ini tersebar dan ukurannya luas. Bentuk tidak

beraturan, pola bergerombol dan sedikit

memanjang, warna hijau gelap, tekstur sedang, dan ukurannya relatif luas.

Kebun karet

Di lapang, kebun karet di temukan dengan kondisi yang beragam, ada yang relatif lebih muda sampai tua. Hal ini tampak dari penutupan tajuknya. Jarak tanamnya

adalah 3 x 7 m2. Tinggi

tanaman ± 15 m. Bentuk tidak

beraturan, pola menyebar, warna hijau terang sampai hijau tua, tekstur kasar, dan ukurannya relatif besar.

Kebun tebu

Di lapangan, kebun tebu ditemui dalam kondisi yang beragam, ada yang baru ditanam dan ada yang baru saja dipanen. Pola tanam ini rapat dan berlarik. Tinggi tanaman bisa mencapai ± 3 m.


(44)

Berada di daerah pegunungan, bentuk tak teratur, pola bergerombol, warna hijau muda, tekstur halus sampai sedang, dan ukurannya luas.

Kebun teh

Di lapang dijumpai kebun teh dengan ukuran yang sangat luas, terawat, dan di antara tanaman teh ditanam sejenis pohon petai-petaian yang berfungsi sebagai peneduh. Pola tanam berlarik, jarak tanam ± 1 m di dalam larikan, dan 1,2 m jarak antar larik. Lokasi menyebar

merata, bentuk tidak beraturan, pola menyebar warna hijau terang dan kemerahan, tekstur kasar, dan ukuran beragam.

Ladang

Penggunaan lahan ini dikelompokkan ke dalam peenggunaan lahan pertanian lahan kering, dan ditanami dengan jenis tanaman musiman, seperti jagung dan tanaman hortikultura lainnya. Bentuk beraturan,

pola teratur dan bergerombol, dan berada di daerah sepanjang garis pantai, berwarna hijau terang bergaris biru gelap, tekstur halus, dan ukuran beragam.

a. Mangrove

b. Tambak

Mangrove dan Tambak

Di lapangan, tipe penggunaan ini berada di sekitar daerah bibir pantai. Mangrove dijumpai dengan jenis tanaman beragam. Mangrove berbatasan dengan tambak. Pola dan bentuk yang teratur tersebut adalah tambak, sedangkan tanaman mangrove menjadi pembatas antar petakan tambak. Bentuk tidak beraturan tetapi spesifik, pola bergerombol, warna merah terang sampai pink, tekstur kasar, ukuran a. pegunungan Pemukiman

Di lapangan, dijumpai tipe pemukiman yang berbeda antara daerah pegunungan, dataran (bukan pantai) dan daerah pantai. Dari segi bangunan dan keteraturan, lebih baik pemukiman yang


(45)

beragam dari kecil sampai luas dan menyebar merata di seluruh bagian

DAS. b. dataran (bukan

pantai)

c. daerah pantai

ada di daerah dataran (bukan pantai) dibandingkan yang lainnya. Di pegunungan, secara umum pemukiman dijumpai dengan pola tidak teratur, dominan berada di sekitar jalan utama dan pusat aktivitas pasar, jarak antar rumah berjauhan, dan pekarangan yang sempit. Di daerah dataran dan pantai, pola pemukiman lebih teratur, menyebar merata, jarak antar pemukiman relatif dekat, dan pekarangannya luas.

Bentuk teratur, pola menyebar, warna hijau cerah, biru terang sampai gelap, tekstur halus, dan ukuran beragam dari kecil di daerah dataran tinggi sampai sangat luas dan dataran rendah.

a.utara (dataran pantai)

b. dataran (bukan

pantai)

c. selatan

(pegunungan)

Sawah

Kenampakan di lapang, sawah dijumpai dalam ukuran yang sangat luas dan menyebar di bagian utara sampai ke selatan. Di bagian utara dengan topografi relatif datar, sawah terlihat apik dan indah, tampak datar bak permadani. Di daerah ini penggunaan sawah sangat intensif. Ukuran petakan sawah sangat luas. Sawah di bagian utara banyak dikelola oleh Balai Besar Padi Nasional. Di bagian selatan, umumnya merupakan sawah terasering. Hal ini terkait dengan topografi daerah yang bergelombang-berbukit. Sistem irigasi yang digunakan adalah irigasi teknis. Intensitas penggunaan intensif, setiap dua kali panen padi diselingi


(46)

oleh palawija. Ukuran petakan relatif kecil.

Bentuk tak teratur, pola menyebar, warna hijau terang, tekstur kasar, ukuran yang relatif luas, ditemukan lebih banyak di daerah pegunungan.

Semak

Pada kondisi lapang, semak yang dijumpai lebih kepada lahan yang dibiarkan setelah penggunaan tertentu atau lebih

cenderung peralihan penggunaan lahan satu ke

bentuk penggunaan lainnya. Sehingga ditumbuhi oleh alang-alang atau jenis tumbuhan semak lainnya.

Bentuk tak teratur, pola memanjang dan meliuk-liuk, warna biru tua, tekstur halus, dan ukurannya kecil.

Sungai

Di lapangan, sungai ditemukan dengan pola memanjang dan berkelok-kelok di daerah dataran, dan relatif lurus di pegunungan. Lebar sungai ± 10 m.

5.2 Penggunaan Lahan pada Tahun 1990, 2000 dan 2008

Penggunaan lahan pada daerah penelitian didominasi oleh sawah, baik pada tahun 1990, 2000, dan 2008 yaitu sekitar 45% dari luas daerah penelitian itu sendiri. Sedangkan bagian yang lain merupakan kombinasi dari beberapa tipe penggunaan lahan lainnya yang terdapat di wilayah tersebut. Gambar 19, 20, dan 21 menyajikan peta penggunaan lahan DAS Cipunagara dan sekitarnya tahun 1990, 2000, dan 2008.

Pada peta penggunaan lahan baik pada tahun 1990, 2000, maupun 2008 dapat dilihat bahwa penggunaan lahan sawah menyebar di seluruh bagian DAS, pada daerah dataran lebih dominan dibandingkan di daerah pegunungan. Di daerah dataran sawah ditemukan sangat luas dan menyebar merata hampir di seluruh bagian, sedangkan di daerah pegunungan ukuran sawah relatif lebih kecil dan menyebar. Berbeda dengan mangrove dan tambak yang hanya berada di daerah pinggir pantai, yaitu Kecamatan Blanakan dan Pamanukan.


(47)

Gambar 5 Peta Penggunaan Lahan DAS Cipunagara dan Sekitarnya Tahun 1990


(48)

Gambar 7 Peta Penggunaan Lahan DAS Cipunagara dan Sekitarnya Tahun 2008 Hutan menyebar di bagian selatan sampai daerah tengah DAS (dataran bukan pantai). Meskipun pada daerah dataran bukan pantai luas hutan cenderung lebih kecil dibandingkan bagian selatannya. Hutan lebih dominan berada di Kecamatan Jalancagak, Cisalak, dan Tanjungsiang. Kebun jati menyebar di bagian tengah DAS, dan paling besar berada di Kecamatan Buahdua, Indramayu. Sedangkan semak, dalam penyebarannya berada di sekitar hutan dan kebun jati, juga sawah. Pemukiman menyebar merata dari bagian utara sampai bagian selatan DAS, dan cenderung lebih padat di bagian tengah. Sedangkan kebun karet, kebun teh dan kebun tebu letaknya cenderung terpusat pada satu daerah tertentu.

Proporsi luasan masing-masing tipe penggunaan lahan pada tahun 1990, 2000, dan 2008 disajikan pada Gambar 22. Dari Gambar 22 dapat diketahui bahwa penggunaan lahan pada tiga titik tahun pengamatan, sawah masih menjadi penggunaan lahan yang dominan. Pada tahun 1990 luasnya mencapai 46,6% dari luas total penggunaan lahan, pada tahun 2000 mencapai 45,1%, dan pada tahun 2008 mencapai 44,6%. Luas total DAS sendiri cenderung meningkat dari satu tahun ke tahun berikutnya. Pada tahun 1990 luasnya adalah 171.230 ha, pada


(49)

tahun 2000 mencapai 171.430 ha dan pada tahun 2008 menjadi 171.630 ha. Hal ini terkait dengan penimbunan bahan-bahan sedimen yang terbawa oleh air sungai sampai ke daerah muara (hilir) membentuk sebuah daratan yang disebut delta.

Gambar 8 Luas Penggunaan Lahan Tahun 1990, 2000, dan 2008

Ket : angka di atas diagram menunjukkan persentase luas terhadap total

BDA : badan air KCK : kebun coklat KTB : kebun tebu MRV : mangrove SMK : semak

HTN : hutan KJT : kebun jati KTH : kebun teh PMK : pemukiman SNG : sungai

KCP : kebun campuran KKR : kebun karet LDG : ladang SWH : sawah TMB : tambak

Penggunaan lahan dominan kedua pada masing-masing tahun pengamatan berbeda, pada tahun 1990 ditempati oleh tipe penggunaan lahan hutan yaitu sebesar 13,6%, dan pada tahun 2000 bergeser menjadi kebun jati dengan luasan 12,6%, dan 2008 kembali ditempati oleh kebun jati yang mencapai 10,5% dari luas total. Sedangkan penggunaan lahan badan air, kebun coklat, kebun tebu, kebun teh, ladang, mangrove, sungai dan tambak termasuk penggunaan lahan dengan luas yang kecil, dengan masing-masing proporsi < 5% dari luas total daerah penelitian.

Badan air dan sungai merupakan penggunaan lahan dengan luasan yang dianggap tetap meski memiliki luasan yang berbeda pada masing-masing tahun pengamatan. Hal ini dikarenakan volume badan air dan sungai sangat dipengaruhi oleh intensitas hujan sebagai sumber utama ketersediaan airnya. Sehingga ketika perekaman data pada musim hujan akan menghasilkan badan air yang lebih luas dibandingkan pada saat musim kemarau.


(50)

5.3 Perubahan Penggunaan Lahan pada Periode Tahun 1990 - 2000 dan 2000 - 2008

Pada peta penggunaan lahan tahun 1990, 2000, dan 2008, dapat dilihat bahwa telah terjadi beberapa perubahan bentuk maupun luasan penggunaan lahan. Hasil proses overlay (tumpang-tindih) masing-masing peta penggunaan lahan menunjukkan luas perubahan penggunaan lahan. Proporsi perubahan luas penggunaan lahan yang terjadi dalam periode tahun 1990 - 2000 dan tahun 2000 – 2008 disajikan pada Gambar 23. Pada tahun 1990 - 2000 besar perubahan penggunaan lahan sekitar 14.840 ha sedangkan pada tahun 2000 - 2008 perubahan yang terjadi sebesar 20.020 ha.

Dari Gambar 23 diketahui bahwa pada periode tahun 1990 - 2000 tipe penggunaan lahan yang mengalami perubahan luasan terbesar adalah hutan yaitu penurunan luasan sebesar 26,8% dari total perubahan luasan yang terjadi. Artinya telah terjadi pengalihan fungsi hutan menjadi tipe penggunaan lahan lainnya. Hal ini perlu mendapat perhatian mengingat pentingnya fungsi hutan dalam sistem tata air sampai ke hilir. Kemudian perubahan ini diikuti oleh penambahan luasan kebun jati sebesar 17,9%, dan penurunan luasan sawah sebesar 16,7%.

Gambar 9 Perubahan Luasan Penggunaan Lahan Peroide Tahun 1990 - 2000 dan 2000 - 2008

Ket : angka di atas diagram menunjukkan persentase luas terhadap total

BDA : badan air KCK : kebun coklat KTB : kebun tebu MRV : mangrove SMK : semak

HTN : hutan KJT : kebun jati KTH : kebun teh PMK : pemukiman SNG : sungai


(51)

Pada periode pengamatan selanjutnya yaitu tahun 2000 - 2008 telah terjadi perubahan tipe penggunaan lahan dengan pola yang berbeda dari periode sebelumnya. Dapat diketahui bahwa pada periode ini perubahan luasan terbesar terjadi pada pemukiman, yaitu penambahan luasan sebesar 36,6%, penambahan ini sekitar tiga kali lipat dari penambahan luas pada periode sebelumnya yang hanya berkisar 12,5% dari total perubahan luas penggunaan lahan. Perubahan luas terbesar kedua adalah kebun jati yang mengalami penurunan luasan sebesar 18,1% dari luas total perubahan, dan diikuti penurunan luasan kebun campuran sebesar 16,3%. Mengingat penambahan pemukiman sampai tiga kali lipat dari perubahan luas pada periode sebelumnya, tidak menutup kemungkinan bahwa peningkatan ini berhubungan dengan penurunan luas penggunaan lahan lainnya seperti kebun campuran dan penggunaan lahan lain. Peningkatan luas pemukiman ini berkaitan dengan jumlah penduduk yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1990 - 2000, pertumbuhan penduduk di daerah penelitian rata-rata 0,42 sedangkan pada tahun 2000 - 2008 mencapai 0,84.

Gambar 23 juga memperlihatkan beberapa pola perubahan yang sama dari periode pertama yaitu pada tahun 1990 - 2000 dan periode selanjutnya yaitu tahun 2000 - 2008. Misalnya hutan dan sawah memiliki pola yang sama yaitu mengalami penurunan, dan penurunan luasan ini sekitar sepertiga dari penurunan luasan pada periode sebelumnya. Kebun campuran dan kebun jati juga memiliki pola yang sama, yaitu meningkat di periode 1990 - 2000, kemudian menurun di periode 2000 - 2008. Kebun tebu, pemukiman dan semak juga memiliki pola yang sama, yaitu selalu meningkat dari tahun ke tahun berikutnya. Sedangkan beberapa penggunaan lahan lainnya terlihat sangat sedikit sekali perubahan yang terjadi yaitu < 5% dan bahkan ada yang tidak berubah.

Table 5 dan Tabel 6 menunjukkan matriks perubahan penggunaan lahan pada masing-masing periode. Tabel 5 menunjukkan perubahan luasan penggunaan lahan terbesar pada tahun 1990 - 2000 terjadi pada hutan yaitu penurunan luasan sebesar 26,8%. Perubahan ini meliputi penggunaan lahan hutan berubah menjadi semak (1,1%), kebun jati (0,8%) dan sisanya menjadi ladang dan sawah. Semak merupakan suatu bentuk peralihan dari satu penggunaan lahan menjadi bentuk penggunaan lahan lainnya. Misalnya, hutan yang akan dialih fungsikan menjadi


(52)

ladang. Sebelum digunakan sebagai ladang, ada fase-fase dimana lahan tersebut tidak dimanfaatkan, seperti pada saat penebangan hutan, pengeringan lahan untuk mengatur kelembaban tanah, dan persiapan lahan lainnya. Oleh sebab itu luas hutan yang terkonversi menjadi semak sangat tinggi.

Gambar 23 juga menunjukkan bahwa penambahan luas pemukiman pada periode tahun 2000 - 2008 mencapai 36,6%, yang merupakan perubahan luasan penggunaan lahan terbesar. Tabel 6 menunjukkan bahwa penambahan luas pemukiman tersebut berasal dari sawah (2,3%), dan kebun campuran (0,7%) serta beberapa penggunaan lahan lainnya dengan proporsi masing-masing < 0,5%. Pada periode ini, hampir semua tipe penggunaan lahan berubah menjadi pemukiman, kecuali badan air, sungai dan tambak.


(53)

(54)

(55)

5.4 Faktor Sosial dan Ekonomi yang Mempengaruhi Perubahan Luasan Penggunaan Lahan Periode Tahun 1990 - 2000 dan 2000 - 2008

Dari 15 (lima belas) tipe penggunaan lahan, tujuh diantaranya tidak dapat dianalisis dengan metode Analisis Regresi Berganda (Multiple Regression Analysis) karena beberapa alasan, yaitu pertama luasan penggunaan lahan relatif tetap karena sangat dipengaruhi oleh keberadaan volume air yang terekam pada saat perekaman data oleh satelit seperti pada badan air dan sungai. Ketika musim hujan, dengan intensitas hujan yang lebih tinggi akan menyebabkan volume air meningkat, tetapi ketika musim kemarau, dengan intensitas hujan yang sedikit akan menyebabkan volume air menurun. Kedua karena populasi data sebagai syarat dilakukannya analisis tidak mencukupi, yaitu jumlah data kurang dari jumlah peubah yang digunakan. Hal ini terjadi pada lima penggunaan lahan lainnya yaitu kebun coklat, kebun karet, kebun teh, mangrove dan tambak. Kelima penggunaan lahan ini memiliki pola yang mengumpul dan juga tidak terjadi perubahan luasan yang nyata dari tahun ke tahun.

Analisis statistika tahun 1990 - 2000 (per kecamatan) menghasilkan beberapa persamaan yang disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Persamaan Regresi, Koefisien Determinasi, Nilai F hitung, Nilai F tabel dan Nilai Probabilitas Kritis Analisis Tahun 1990 - 2000 (per Kecamatan)

Persamaan Regresi R2 F

hitung F tabel P

Y1 = - 0,730 + 2,370X3 - 36,30X5 + 352X6 + 1,390X8 0,63 2,55 3,48 0,15

Y2 = 0,026 + 0,053X2 + 0,400X5 + 8,20X6 + 0,009X7 + 0,401X8 0,43 1,65 2,85 0,23

Y3 = 0,248 + 0,004X2 + 36,70X5 + 989X6 0,95 20,19 4,76 0,02

Y4 = - 0,003 + 0,010X1 - 0,001X7 + 0,114X8 0,86 2,01 6,59 0,47

Y5 = 0,0449 + 0,151X2 - 4,27X5 - 0,001X7 + 0,227X8 0,24 0,63 3,26 0,65

Y6 = - 0,003 + 0,0126X2 + 0,0302X3 + 13,3X6 - 0,009X7 + 0,186X8 0,41 2,05 2,71 0,13

Y7 = 0,293 + 0,104X2 + 0,751X3 + 0,32X5 + 58X6 - 0,043X7 0,22 0,86 2,71 0,53

Y8 = - 0,025 + 0,360X3 + 3,2X5 - 0,036X7 + 0,91X8 0,36 0,69 3,63 0,63

Sumber : hasil analisis dengan Minitab

Dari delapan model yang diperoleh, model dengan persamaan yang memiliki hubungan erat atau yang paling baik adalah model persamaan perubahan luas kebun jati, dengan nilai R2 0,95. Artinya model mampu menerangkan 95% variasi yang terjadi. Nilai P persamaan dalam Analysis of Variance < 95% (selang kepercayaan model). Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan semua


(1)

 

 

Constant -0.0245 0.4542 -0.05 0.959 X3 0.3603 0.5830 0.62 0.564 2.4 X5 3.24 11.73 0.28 0.793 3.1 X7 -0.03598 0.03895 -0.92 0.398 1.9 X8 0.909 2.086 0.44 0.681 3.2

S = 0.249642 R-Sq = 35.5% R-Sq(adj) = 0.0% Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 4 0.17172 0.04293 0.69 0.630 Residual Error 5 0.31161 0.06232

Total 9 0.48332 Durbin-Watson statistic = 1.39070

a.

Hasil Analisis Regresi Tahun 2000 - 2008 (Analisis Kecamatan)

Regression Analysis: hutan ; Y versus X3, X5, X7, X8

The regression equation is Y = 1.17 + 0.0468 X3 - 21.9 X5 - 0.0266 X7 + 6.35 X8 Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant 1.1674 0.3656 3.19 0.019 X3 0.04683 0.09427 0.50 0.637 1.0 X5 -21.95 34.92 -0.63 0.553 1.3 X7 -0.02663 0.09206 -0.29 0.782 1.3 X8 6.350 2.746 2.31 0.060 1.1

S = 0.510798 R-Sq = 49.9% R-Sq(adj) = 16.5% Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 4 1.5599 0.3900 1.49 0.314 Residual Error 6 1.5655 0.2609

Total 10 3.1254

Durbin-Watson statistic = 1.83766

Regression Analysis: kebun campuran ; Y versus X3, X5, X6, X7, X8

The regression equation is Y = 0.0352 + 0.0307 X3 - 0.094 X5 + 4.98 X6 - 0.00375 X7 + 0.490 X8

Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 0.03524 0.03967 0.89 0.395 X3 0.03069 0.01948 1.58 0.146 1.5 X5 -0.0936 0.4988 -0.19 0.855 1.2 X6 4.977 5.282 0.94 0.368 1.3 X7 -0.003750 0.007340 -0.51 0.621 1.0 X8 0.4899 0.3200 1.53 0.157 1.3

S = 0.0688517 R-Sq = 30.3% R-Sq(adj) = 0.0% Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 5 0.020609 0.004122 0.87 0.534 Residual Error 10 0.047406 0.004741

Total 15 0.068014 Durbin-Watson statistic = 1.98750

Regression Analysis: kebun jati ; Y versus X2, X3, X5

The regression equation is Y = 0.074 + 0.646 X2 + 0.138 X3 - 90 X5 Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant 0.0744 0.2558 0.29 0.790 X2 0.6464 0.4981 1.30 0.285 14.9 X3 0.1384 0.1706 0.81 0.477 3.7 X5 -89.7 123.1 -0.73 0.519 11.1

S = 0.226225 R-Sq = 62.8% R-Sq(adj) = 25.7% Analysis of Variance


(2)

 

 

Regression 3 0.25955 0.08652 1.69 0.338 Residual Error 3 0.15353 0.05118

Total 6 0.41308 Durbin-Watson statistic = 2.48235

Regression Analysis: kebun tebu ; Y versus X2, X8

The regression equation is Y = 0.0099 + 0.0396 X2 + 0.052 X8 Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant 0.00986 0.01879 0.52 0.652 X2 0.039620 0.006546 6.05 0.026 1.1 X8 0.0517 0.1105 0.47 0.686 1.1

S = 0.0187103 R-Sq = 94.9% R-Sq(adj) = 89.9% Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 2 0.0131127 0.0065563 18.73 0.051 Residual Error 2 0.0007001 0.0003501

Total 4 0.0138128 Durbin-Watson statistic = 1.98397

Regression Analysis: ladang ; Y versus X2, X5, X7, X8

The regression equation is Y = 0.0008 + 0.0042 X2 + 7.33 X5 - 0.00982 X7 + 0.312 X8

Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 0.00076 0.03940 0.02 0.985 X2 0.00422 0.01666 0.25 0.805 1.3 X5 7.334 4.380 1.67 0.122 1.4 X7 -0.009817 0.007812 -1.26 0.235 1.1 X8 0.3121 0.1453 2.15 0.055 1.1

S = 0.0704557 R-Sq = 40.1% R-Sq(adj) = 18.4% Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 4 0.036628 0.009157 1.84 0.191 Residual Error 11 0.054604 0.004964

Total 15 0.091232 Durbin-Watson statistic = 1.52138

Regression Analysis: pemukiman ; Y versus X2, X3, X5, X7, X8

The regression equation is Y = 0.110 + 0.00053 X2 + 0.0093 X3 + 0.407 X5 - 0.0058 X7 + 0.047 X8

Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 0.10955 0.04094 2.68 0.017 X2 0.000528 0.004533 0.12 0.909 1.0 X3 0.00927 0.02234 0.42 0.684 1.1 X5 0.4072 0.7089 0.57 0.574 1.1 X7 -0.00585 0.01095 -0.53 0.601 1.0 X8 0.0466 0.1953 0.24 0.815 1.0

S = 0.106029 R-Sq = 6.4% R-Sq(adj) = 0.0% Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 5 0.01159 0.00232 0.21 0.955 Residual Error 15 0.16863 0.01124

Total 20 0.18022 Durbin-Watson statistic = 1.87706

Regression Analysis: sawah ; Y versus X2, X3, X7, X8

The regression equation is Y = 0.819 + 0.0048 X2 + 0.040 X3 - 0.0337 X7 + 1.21 X8 Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant 0.8191 0.2157 3.80 0.002 X2 0.00478 0.02138 0.22 0.826 1.1 X3 0.0396 0.1529 0.26 0.799 1.2


(3)

 

 

X7 -0.03370 0.06353 -0.53 0.604 1.0 X8 1.209 1.182 1.02 0.323 1.1

S = 0.615562 R-Sq = 8.1% R-Sq(adj) = 0.0% Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 4 0.4999 0.1250 0.33 0.854 Residual Error 15 5.6837 0.3789

Total 19 6.1837

Durbin-Watson statistic = 1.44937

Regression Analysis: semak ; Y versus X5, X6, X7

The regression equation is Y = 0.235 + 8.9 X5 + 20 X6 - 0.0450 X7 Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant 0.2351 0.1056 2.23 0.068 X5 8.89 27.47 0.32 0.757 3.3 X6 19.9 195.5 0.10 0.922 3.1 X7 -0.04495 0.04630 -0.97 0.369 1.4

S = 0.247332 R-Sq = 14.2% R-Sq(adj) = 0.0% Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 3 0.06070 0.02023 0.33 0.804 Residual Error 6 0.36704 0.06117

Total 9 0.42774 Durbin-Watson statistic = 1.89912  


(4)

Regression Analysis: hutan ; Y versus X3, X5, X6

The regression equation is Y = 0.353 + 0.0670 X3 + 0.47 X4 + 0.0 X6 Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant 0.35302 0.06620 5.33 0.000 X3 0.06704 0.03877 1.73 0.090 1.1 X4 0.471 1.434 0.33 0.744 1.1 X6 0.01 47.14 0.00 1.000 1.0

S = 0.370269 R-Sq = 5.5% R-Sq(adj) = 0.0% Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 3 0.4126 0.1375 1.00 0.399 Residual Error 52 7.1292 0.1371

Total 55 7.5417

Durbin-Watson statistic = 2.58481

Regression Analysis: kebun campuran ; Y versus X3, X4, X5, X8

The regression equation is Y = 0.0931 + 0.0119 X3 + 0.214 X4 + 0.044 X5 + 0.0952 X8

Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 0.09307 0.02271 4.10 0.000 X3 0.011911 0.008940 1.33 0.186 1.1 X4 0.2136 0.4225 0.51 0.614 1.0 X5 0.0444 0.4577 0.10 0.923 1.0 X8 0.09517 0.06609 1.44 0.153 1.1

S = 0.177679 R-Sq = 5.3% R-Sq(adj) = 1.5% Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 4 0.17539 0.04385 1.39 0.243 Residual Error 100 3.15699 0.03157

Total 104 3.33238 Durbin-Watson statistic = 2.13582

Regression Analysis: kebun jati ; Y versus X1, X3, X5, X8

The regression equation is Y = 0.451 + 0.098 X1 + 0.0125 X3 + 6.96 X5 + 0.269 X8 Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant 0.45112 0.07289 6.19 0.000 X1 0.0984 0.3094 0.32 0.752 1.1 X3 0.01248 0.02077 0.60 0.551 1.1 X5 6.963 8.311 0.84 0.407 1.0 X8 0.2693 0.2265 1.19 0.241 1.0

S = 0.327833 R-Sq = 5.8% R-Sq(adj) = 0.0% Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 4 0.2831 0.0708 0.66 0.624 Residual Error 43 4.6214 0.1075

Total 47 4.9045

Durbin-Watson statistic = 2.15446

Regression Analysis: kebun tebu ; Y versus X2, X8

The regression equation is Y = 0.122 + 0.283 X2 + 0.256 X8 Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant 0.12183 0.05185 2.35 0.039 X2 0.2828 0.1061 2.67 0.022 1.3 X8 0.2562 0.1964 1.30 0.219 1.3

S = 0.115340 R-Sq = 57.9% R-Sq(adj) = 50.2% Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 2 0.20094 0.10047 7.55 0.009 Residual Error 11 0.14634 0.01330


(5)

Total 13 0.34728 Durbin-Watson statistic = 1.68204

Regression Analysis: ladang ; Y versus X1, X5, X6, X8

The regression equation is Y = 0.113 + 0.0033 X1 + 0.332 X5 + 4.73 X6 + 0.111 X8 Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant 0.11334 0.03139 3.61 0.001 X1 0.00330 0.01649 0.20 0.842 1.1 X5 0.3323 0.5138 0.65 0.520 1.0 X6 4.734 3.543 1.34 0.186 1.0 X8 0.11137 0.09811 1.14 0.260 1.0

S = 0.190457 R-Sq = 5.4% R-Sq(adj) = 0.0% Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 4 0.13515 0.03379 0.93 0.451 Residual Error 65 2.35780 0.03627

Total 69 2.49295 Durbin-Watson statistic = 1.96491

Regression Analysis: pemukiman ; Y versus X2, X3, X5, X6, X8

The regression equation is Y = 0.0720 + 0.0266 X2 + 0.00849 X3 + 0.162 X5 + 1.08 X6 + 0.259 X8

Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 0.07196 0.01743 4.13 0.000 X2 0.02663 0.01733 1.54 0.126 1.0 X3 0.008492 0.006048 1.40 0.162 1.0 X5 0.1623 0.1112 1.46 0.146 1.0 X6 1.084 2.478 0.44 0.662 1.0 X8 0.25892 0.04681 5.53 0.000 1.1

S = 0.167703 R-Sq = 18.0% R-Sq(adj) = 15.7% Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 5 1.09785 0.21957 7.81 0.000 Residual Error 178 5.00612 0.02812

Total 183 6.10397 Durbin-Watson statistic = 2.15019

Regression Analysis: sawah ; Y versus X2, X4, X5, X6

The regression equation is Y = 0.616 + 0.0147 X2 + 0.719 X4 + 0.126 X5 + 5.23 X6 Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant 0.61562 0.02910 21.16 0.000 X2 0.01475 0.02609 0.57 0.572 1.0 X4 0.7192 0.4380 1.64 0.102 1.0 X5 0.1262 0.2322 0.54 0.587 1.0 X6 5.234 3.006 1.74 0.083 1.0

S = 0.358757 R-Sq = 3.6% R-Sq(adj) = 1.4% Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 4 0.8687 0.2172 1.69 0.155 Residual Error 183 23.5533 0.1287

Total 187 24.4219 Durbin-Watson statistic = 1.97640

Regression Analysis: semak ; Y versus X2, X6, X8

The regression equation is Y = 0.293 + 0.172 X2 + 106 X6 + 0.077 X8 Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant 0.29320 0.04872 6.02 0.000 X2 0.1725 0.1235 1.40 0.168 1.0 X6 106.06 47.31 2.24 0.029 1.0 X8 0.0767 0.1690 0.45 0.652 1.0


(6)

S = 0.281733 R-Sq = 11.8% R-Sq(adj) = 6.8% Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 3 0.56437 0.18812 2.37 0.081 Residual Error 53 4.20679 0.07937

Total 56 4.77116 Durbin-Watson statistic = 2.4569