Karakteristik Fisika Kimia Gel Daging Lumat dan Bakso dari Daging Lumat Ikan Layaran (Istiophorus orientalis)

(1)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pangan dan gizi merupakan faktor penting dan mendasar dalam menentukan kualitas sumberdaya manusia dan tingkat kehidupan masyarakat. Salah satu faktor yang menyangkut zat gizi yang menentukan kualitas kesehatan masyarakat adalah terpenuhinya kebutuhan protein dalam makanan sehari-hari. Hasil perikanan merupakan salah satu sumber penghasil protein yang sangat potensial yang mempunyai kandungan asam amino essensial yang lengkap dengan nilai cerna yang tinggi (Peranginangin et al. 1999).

Salah satu komoditas perikanan yang jumlah produksinya terus meningkat adalah ikan layaran (Istiophorus orientalis). Data KKP (2010), menunjukkan bahwa volume produksi ikan layaran (Istiophorus orientalis) dari tahun 2004– 2008 yaitu 2.075, 2.054, 2.661, 3.878 dan 3.957 ton dengan rata-rata kenaikan sebesar 19,07%. Volume produksi ikan layaran pada tahun 2009 merupakan yang tertinggi, yaitu mencapai 6696 ton. Daerah penangkapan ikan layaran didominasi perairan barat selatan kalimantan dan perairan utara jawa yang masing-masing sebesar 1647 dan 1314 ton atau sekitar 25 dan 20% dari total penangkapan (SIDATIK 2011). Peningkatan produksi ini tidak berbanding lurus dengan konsumsi masyarakat terhadap ikan yang masih rendah. Jumlah konsumsi hasil perikanan masyarakat Indonesia sebesar 24 kg/kapita/tahun, merupakan yang terendah diantara negara-negara lain di ASEAN (FAO 2010 dalam WPI 2011). Rendahnya konsumsi masyarakat terhadap ikan disebabkan kurangnya variasi produk olahan hasil perikanan. Penganekaragaman produk hasil perikanan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan konsumsi ikan pada masyarakat. Diversifikasi pengolahan hasil perikanan diharapkan dapat meningkatkan pendayagunaan hasil perikanan untuk diolah menjadi produk baru sebagai makanan bergizi tinggi, enak dan mudah didapat. Salah satu produk diversifikasi perikanan yang digemari masyarakat adalah bakso.

Bakso ikan adalah produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku lumatan daging (minced) atau surimi ditambah bahan pengisi berpati atau tepung tapioka dan bumbu-bumbu yang dibentuk bulat-bulat dan direbus dalam air panas.


(2)

Mutu bakso ikan yang baik adalah yang berwarna putih bersih, tekstur kompak dan kenyal, tidak rapuh atau lembek (Wibowo 2006).

Penelitian ini menggunakan ikan layaran (Istiophorus orientalis) yang mengandung protein sebesar 23,4% bb (Leung et al. 1972) sehingga sangat cocok untuk dimanfaatkan sebagai produk bakso ikan. Penelitian tentang karakteristik fisika kimia daging lumat ikan layaran ini sangat penting dilakukan karena sampai saat ini belum ada data base tentang karakteristik fisika kimia daging lumat secara detail terutama ikan laut sehingga informasi yang diperoleh tentang daging lumat masih sangat terbatas. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi motivator untuk penelitian-penelitian selanjutnya mengingat Indonesia mempunyai jumlah spesies ikan yang beranekaragam.

1.2 Tujuan

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan:

1. Mengetahui karakteristik fisika kimia gel daging lumat ikan layaran (Istiophorus orientalis).

2. Mengetahui karakteristik fisika kimia bakso daging lumat ikan layaran (Istiophorus orientalis).


(3)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Layaran (Istiophorus orientalis)

Ikan layaran memiliki badan yang memanjang berwarna putih seperti perak dengan punggung berwarna kehitaman. Kepala ikan layaran berbentuk kerucut dengan paruh panjang, merupakan ikan perenang cepat. Sirip punggung ikan layaran memiliki 20 jari-jari keras yang membentuk seperti layar berwarna kebiruan. Habitat ikan layaran adalah di permukaan laut (pelagis dan epipelagis) di atas lapisan termoklin. Ikan layaran banyak ditemukan di daerah perairan yang dekat dengan pesisir dan pulau-pulau (Fishbase 2010). Daerah penyebaran ikan layaran di Indonesia meliputi : Pelabuhan Ratu, Selat Bali, Laut Flores, Selat Makasar, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Sawu, dan perairan barat Sumatera (KKP 2006). Alat tangkap yang dapat digunakan untuk menangkap ikan layaran biasanya adalah pancing, tuna long line, tetapi kadang-kadang juga tertangkap dengan trawl.

Klasifikasi ikan layaran menurut Saanin (1984) sebagai berikut : Filum : Chordata

Sub filum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Sub ordo : Scrombroide Family : Isthiophoridae Genus : Istiophorus

Spesies : Istiophorusorientalis.

Morfologi ikan layaran dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Ikan layaran (Istiophorus orientalis.) Sumber : Fishbase (2010)


(4)

2.2 Komposisi Kimia Ikan Layaran (Istiophorus orientalis)

Ikan layaran merupakan salah satu ikan yang memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap. Komposisi kimia ikan layaran (Istiophorus orientalis) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia ikan layaran (Istiophorus orientalis) per 100 gram daging ikan

Komposisi Satuan Bagian yang dapat dimakan

Kalori Kal 129

Air % 72,4

Protein g 23,4

Lemak g 3,2

Total karbohidrat g -

Serat g -

Abu g 1

Calsium mg 9

Phospor mg 190

Fe mg 0,8

Sodium mg 71

Potasium mg -

Retinol mg 5

B-caroten eqivalen mg -

Thiamin mg 0,10

Riboflavin mg 0,06

Niasin mg 4,5

Ascorbic acid mg 1

Sumber : Leung et al. (1972)

2.3Protein Ikan

Protein ikan menyediakan lebih kurang 2/3 dari kebutuhan protein hewani yang diperlukan oleh manusia. Kandungan protein ikan relatif besar, yaitu antara 15-25%/100g daging ikan. Protein ikan terdiri dari asam-asam amino yang hampir semuanya diperlukan oleh tubuh manusia. Kandungan asam amino dalam daging ikan kaya akan lisin, tetapi kurang akan triptofan (Junianto 2003). Protein ikan dibagi menjadi tiga, meliputi protein miofibril sebesar 70-80%, protein sarkoplasma sebesar 18-28% dan jaringan ikat atau stroma sebesar 2-3% (Alasalvar dan Taylor 2002).

Protein miofibril terdiri dari aktin, miosin dan protein regulasi (tropomiosin, troponin dan aktinin). Miosin adalah protein yang paling penting karena jumlahnya yang besar (50-60%) dari total miofibril. Aktin merupakan


(5)

protein miofibril terbesar kedua setelah miosin di dalam daging ikan, yaitu sekitar 20% dari total protein miofibril (Shahidi 1994). Aktin dan miosin bergabung membentuk aktomiosin. Protein miofibril sangat berperan dalam pembentukan gel dan proses koagulasi terutama dari fraksi aktomiosin (Suzuki 1981). Protein yang larut dalam larutan garam lebih efisien sebagai pengemulsi dibandingkan dengan protein yang larut dalam air (Junianto 2003).

Protein sarkoplasma merupakan jenis protein larut air yang diperlukan untuk metabolisme anaerob sel otot, pembawa oksigen dan tidak berperan pada pembentukan gel karena mengganggu cross-linking miosin selama pembentukan matriks gel (Hall dan Ahmad 1992). Protein sarkoplasma mengendap pada pemasakan dan tidak berkontribusi secara nyata pada teksur ikan (Alasalvar dan Taylor 2002).

Protein jaringan ikat (stroma) merupakan protein struktural dan terdiri dari sel-sel otot jaringan pengikat, berkas serat dan otot. Protein ini memelihara struktur bentuk pada tulang, ligamen dan tendon. Jaringan ikat pada tempat

interstitial sel otot terdiri dari tiga protein ekstraselular (kolagen, retikulin dan elastin) dan substansi dasar penyangga (Nakai dan Modler 2000).

2.4 Pembentukan Gel

Pembentukan gel merupakan proses gelasi yang tergantung pada kemampuan protein untuk membentuk jaringan tiga dimensi sebagai hasil dari interaksi antara protein-protein dan protein-air. Air berfungsi untuk mencegah hancurnya matriks tiga dimensi menjadi massa yang kompak (Zayas 1997). Baier dan Mc Clements (2005), menyatakan bahwa kemampuan pembentukan gel berdasarkan atas kemampuan sebuah polimer menyusun protein untuk membentuk ikatan silang (cross linking) dalam bentuk tiga dimensi dari protein.

Hudson (1992) membagi proses gelasi menjadi tiga bagian yang diawali dengan proses denaturasi protein utuh dari bentuk terlipat menjadi tidak terlipat. Tahap pertama terjadi interaksi hidrofobik. Pembentukan turbiditas terjadi pada 3-10 menit pemanasan pertama. Ikatan hidrogen menjadi stabil saat suhu naik dan interaksi hidrofobik akan berlangsung lebih kuat. Jaczynski dan Park (2004) menyatakan bahwa interaksi hidrofobik berfungsi untuk melepaskan energi bebas yang dapat menstabilkan sistem protein.


(6)

Tahap kedua adalah oksidasi sulfihidril (Hudson 1992). Tahap ini menurut Niwa (1992) pasta surimi akan mengeras, ikatan intermolekul disulfida (SS) terbentuk melalui oksidasi dari dua residu sistein. Ikatan disulfida lebih intensif terjadi pada suhu pemanasan yang lebih tinggi (di atas 80 oC).

Tahap ketiga adalah tahap peningkatan elastisitas gel yang terjadi ketika pendinginan. Peningkatan elastisitas ini terjadi karena pembentukan ikatan hidrogen kembali yang menyebabkan peningkatan terhadap kekerasan gel (Hudson 1992).

2.5 Bakso Ikan

Bakso ikan dapat didefinisikan sebagai produk makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ikan dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diijinkan (BSN 1995). Bahan yang diperlukan untuk pembuatan bakso yaitu: daging ikan, tepung tapioka dan bumbu-bumbu. Bumbu bakso dapat berupa garam NaCl halus 2,5%, sedangkan bumbu penyedap dibuat dari campuran bawang putih 3%, bawang merah 2-2,5% dan lada sebesar 0,5% dari berat daging (Waridi 2004).

Kualitas bakso sangat ditentukan oleh kualitas jenis dan mutu ikan, jumlah tepung yang digunakan dalam adonan, pemakaian bahan-bahan tambahan dan cara pemasakannya (Daniati 2005). Jenis ikan juga dapat mempengaruhi tekstur dan rendemen bakso yang diperoleh (Waridi 2004). Syarat mutu bakso berdasarkan SNI 01-3819-1995 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Syarat mutu bakso ikan (SNI 01-3819-1995)

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan 1 1.1 1.2 1.3 1.4 2 3 4 5 6 7 Keadaan: Bau Rasa Warna Tekstur Air Abu Protein Lemak Boraks

Bahan tambahan makanan

- - - - % b/b % b/b % b/b % b/b - Sesuai SNI

Normal, khas ikan Gurih

Normal, putih tanpa warna asing lainnya Kenyal Maks. 80,0 Maks. 3,0 Min. 9,0 Maks. 1,0 Tidak boleh ada 01-0222-1987


(7)

8 8.1 8.2 8.3 8.4 8.5 9 10 10.1 10.2 10.3 10.4 10.5 Cemaran logam: Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timah (Sn) Raksa (Mg)

Cemaran Arsen (As) Cemaran mikroba: Angka lempeng total Bakeri bentuk koli

Salmonella Staphylococcus aureus Vibrio cholerae dan revisinya mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg koloni/g APM/g - koloni/g - Maks. 2,0 Maks. 20,0 Maks. 100,0 Maks. 40,0 Maks. 0,5 Maks. 1,0 Maks. 1x107 Maks. 4x102 Negatif Maks. 5x10 Negatif

Sumber : BSN (1995)

2.6 Pembuatan Bakso Ikan

Prinsip pembuatan bakso terdiri atas empat tahap yaitu: (1) penghancuran daging; (2) pembuatan adonan; (3) pencetakan bakso dan (4) pemasakan. Proses penggilingan daging harus diperhatikan kenaikan suhu akibat panas saat proses penggilingan karena suhu yang diperlukan untuk mempertahankan stabilitas emulsi adalah di bawah 20 oC. Pemasakan bakso setelah dicetak dilakukan dengan cara perebusan dalam air mendidih atau dapat juga dikukus (Bakar dan Usmiati 2007).

2.6.1 Penghancuran daging

Penghancuran daging bertujuan untuk memperluas permukaaan daging sehingga protein yang larut dalam garam mudah terekstrak keluar kemudian jaringan lunak berubah menjadi mikro partikel (Wong 1989 dalam Astuti 2009).

2.6.2 Pembuatan adonan

Setelah daging lumat dibersihkan, daging ikan dicampur dengan garam dan bumbu secukupnya. Setelah tercampur merata, ke dalam surimi tersebut ditambahakan tepung tapioka sedikit demi sedikit sambil diaduk dan dilumatkan hingga diperoleh adonan yang homogen. Pembentukan adonan bakso ikan ditambahakan es sekitar 15-20% atau 30% dari berat daging ikan lumat (Wibowo 2006). Penggunaan es saat pengadonan dapat mempertahankan suhu adonan tetap dingin yaitu sekitar 20 oC dan berpengaruh terhadap tekstur bakso karena dapat mempertahankan stabilitas emulsi (Usmiati 2009).


(8)

2.6.3 Pencetakan bakso

Adonan yang sudah homogen dicetak menjadi bola-bola bakso yang siap direbus atau dikukus. Pembentukan adonan menjadi bola bakso dapat dilakukan dengan menggunakan tangan, caranya adalah adonan diambil dengan sendok makan kemudian diputar-putar dengan menggunakan tangan sehingga terbentuk bola bakso. Adonan yang keluar dari lubang ibu jari dan telunjuk membentuk bulatan kemudian bulatan tersebut diambil dengan sendok (Wibowo 2006).

2.6.4 Pemasakan

Pemasakan bakso umumnya dilakukan dengan air mendidih dengan dua kali perebusan agar permukaan bakso yang dihasilkan tidak keriput dan tidak pecah akibat perubahan suhu yang terlalu cepat (Desrosier 1988). Lama waktu perebusan bakso ikan yaitu selama 15 menit sehingga akan menghasilkan bakso ikan berkualitas. Apabila bakso yang direbus sudah mengapung di permukaan air berarti bakso sudah matang dan dapat diangkat. Kematangan bakso juga dapat dilihat dengan melihat bagian dalam bakso. Jika diiris, bekas irisan bakso yang sudah matang tampak mengkilap agak transparan, tidak keruh seperti adonan lagi (Wibowo 2006).

2.7 Bahan Pengikat dan Pengisi

Penambahan bahan pengisi berfungsi untuk memperbesar jumlah produk bakso. Bahan pengisi (filler) yang ditambahkan dalam pembuatan bakso adalah tepung tapioka yang memiliki kandungan pati yang tinggi namun rendah protein. Bahan pengikat berfungsi sebagai bahan pengental, memperbaiki stabilitas emulsi, hasil irisan, aroma dan rasa, menahan lemak serta membentuk tekstur yang padat dan menarik air (Wilson 1960).

Tepung tapioka merupakan bahan pengisi yang paling umum digunakan dalam pembuatan bakso. Hal ini dikarenakan tapioka memiliki harga yang murah, memberikan cita rasa netral serta warna terang pada produk bakso. Keberadaan granula pati yang mengembang selama gelatinisasi pati tidak meningkatkan elestisistas gel.


(9)

2.8 Bahan Tambahan

Bahan tambahan lain yang digunakan dalam penelitian pembuatan bakso ikan ini antara lain garam, gula, air, lada, bawang putih dan bawang merah.

2.7.1 Garam

Garam merupakan bumbu yang biasanya ditambahkan pada adonan pembuatan bakso untuk meningkatkan cita rasa dan pembentuk tekstur. Pemakaian garam NaCl biasanya lebih banyak diatur oleh rasa, kebiasaan dan tradisi daripada keperluan. Winarno (2008), menyatakan bahwa makanan yang mengandung garam kurang dari 0,3% akan terasa hambar sehingga kurang disenangi. Pemakaian garam dengan konsentrasi rendah (1–3%) tidak bersifat membunuh bakteri, melainkan hanya memberikan cita rasa. Garam berfungsi sebagai pengawet karena garam berperan sebagai penghambat mikroorganisme tertentu. Pemakaian garam juga dapat mempengaruhi aktivitas air (aw) dari bahan, sehingga dapat mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme. Garam dapat mengakibatkan proses osmosis pada sel-sel mikroorganisme sehingga terjadi plasmolisis (kadar air dalam sel bakteri berkurang, sehingga lama kelamaan dapat menyebabkan bakteri mati) (Moeljanto 1992).

2.8.2 Gula

Gula merupakan senyawa kimia yang termasuk karbohidrat dengan rasa manis yang digunakan sebagai pemanis, tetapi dalam industri pangan biasanya digunakan untuk menyatukan sukrosa dari bit atau gula tebu (Buckle et al. 1987). Gula tebu dihasilkan dari tanaman tebu (Saccharum officinarum L.). Gula juga berfungsi sebagai pengawet karena memiliki sifat higroskopis. Kemampuannya menyerap kandungan air dalam bahan pangan ini bisa memperpanjang masa simpan (Saparinto dan Hidayati 2006).

2.8.3 Air dan Es

Air merupakan salah satu komponen penting dalam pembuatan bakso. Kandungan air sekitar 45-55% dari berat total bakso, tergantung dari jumlah cairan yang ditambahkan dan jenis daging (Soeparno 1994). Penambahan air atau es berfungsi menurunkan suhu adonan selama proses cutter, sehingga mencegah denaturasi protein akibat suhu yang meningkat saat cutting. Air atau es juga


(10)

berfungsi melarutkan protein miosin yang merupakan pembentuk emulsi sehingga dihasilkan emulsi yang stabil. Protein miosin ini hanya dapat larut pada suhu 4-5 °C sehingga sangat penting menggunakan air dingin (Kramlich et al.1973).

2.8.4 Lada (Piper nigrum L.)

Lada atau merica merupakan rempah-rempah yang sering digunakan dalam pengolahan makanan. Lada sering ditambahkan pada saat memasak ikan atau daging. Lada mempunyai peranan dalam dehidrasi sehingga dapat berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan. Lada sangat digemari karena memiliki dua sifat penting yaitu rasanya yang pedas dan aromanya yang khas. Kedua sifat tersebut disebabkan kandungan bahan-bahan kimia organik yang terdapat pada lada. Rasa pedas lada disebabkan oleh adanya zat piperin dan piperanin serta hapisin (Rismunandar 1993).

2.8.5 Bawang putih (Allium sativum)

Bawang putih berfungsi sebagai penambah aroma dan untuk meningkatkan cita rasa produk yang dihasilkan. Bawang putih mengandung senyawa allisin, yang dapat menentukan bau khas bawang putih. Bawang putih juga mengandung beberapa vitamin seperti thiamin, niasin, riboflavin, asam askorbat, vitamin B, vitamin C dan sedikit vitamin A (Wibowo 1999).

2.8.6 Bawang merah (Allium ascalonicum L.)

Bawang merah umumnya digunakan sebagai bumbu masak. Bawang merah memiliki kandungan kimia sebagian besar terdiri dari air sekitar 80-85%, protein sebesar 1,5%, lemak sebesar 0,3% dan karbohidrat sebesar 9,2%. Umbi bawang merah mengandung senyawa berikatan asam amino yang tidak berbau, tidak berwarna dan dapat larut air. Ikatan asam amino ini disebut dengan allin

yang karena sesuatu hal berubah menjadi allicin (Wibowo 1999). Bawang merah berperan sebagai antioksidan, dapat menurunkan bilangan peroksida dan kadar asam lemak bebas sebagai indikasi tingkat kerusakan minyak (Panagan 2010).


(11)

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan April 2012 dan bertempat di beberapa laboratorium, yaitu Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU) Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian, Laboratorium Pengolahan Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan dan Laboratorium Organoleptik Teknologi Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan untuk membuat bakso meliputi ikan layaran (Istiophorus orientalis) yang diperoleh dari TPI Palabuhanratu, Sukabumi. Ikan dibawa menggunakan cool box yang diberi es dengan perbandingan 2 : 1. Bahan lain yang digunakan adalah tepung tapioka, bawang merah, bawang putih, garam dapur, merica atau lada, air dan es batu serta bahan-bahan yang digunakan untuk analisis kimia dan fisik antara lain akuades, HCl 0,1 N, K2SO4, HgO, H2SO4, NaOH 40 % dan H3BO3.

Alat yang digunakan dalam pembuatan bakso ikan antara lain pisau, talenan, baskom plastik, keranjang plastik, sendok, benang kasur, selongsong, timbangan digital, meat grinder, food processor, stuffer, panci perebusan, serokan, kompor dan kain kasa. Alat yang digunakan untuk analisis fisika dan kimia antara lain oven, desikator, kompor, tanur, tabung Kjeldahl, erlenmeyer,

soxhlet, kondensor, labu lemak, waring blender, gelas kimia, termometer, pH meter dan kertas saring.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan yaitu penentuan kesegaran ikan layaran dengan uji organoleptik, preparasi ikan, penimbangan daging lumat, pembuatan gel daging lumat, pembuatan bakso daging lumat serta analisis karakteristik fisika kimia gel dan bakso ikan layaran (Istiophorus orientalis).


(12)

3.3.1 Uji organoleptik ikan layaran (Istiophorus orientalis)

Penelitian ini diawali dengan pengambilan sampel ikan layaran dari TPI Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi-Jawa Barat. Ikan layaran yang diperoleh disimpan dalam cool box yang diberikan tambahan es untuk tetap menjaga kesegaran ikan. Ikan ditransportasikan hingga sampai ke laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan benda asing yang menempel, kemudian ikan diuji organoleptik untuk mengetahui kesegaran ikan. Diagram alir uji organoleptik ikan layaran (Istiophorus orientalis) dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Diagram alir uji organoleptik ikan layaran (Istiophorus orientalis)

3.3.2 Preparasi ikan layaran (Istiophorus orientalis)

Ikan layaran yang telah dilakukan pengujian kesegaran ikan kemudian dipreparasi. Ikan layaran yang akan digunakan dicuci terlebih dahulu untuk menghilangkan kotoran yang menempel, kemudian di fillet untuk memisahkan daging ikan dengan bagian lain (kepala, isi perut, sirip dan tulang) serta dilakukan pemisahan daging ikan dengan kulitnya. Setelah itu dilakukan pemisahan daging merah serta serat daging ikan. Daging putih dilumatkan dengan menggunakan alat penggiling daging (grinder). Setelah selesai, dilakukan pencampuran seluruh bagian daging ikan yang sudah dilumatkan agar seluruh bagian daging ikan layaran dapat tercampur dengan rata. Daging lumat yang sudah tercampur

Ikan layaran segar

Penyimpanan ikan layaran dengan cool box yang diberi es (2:1)

Pencucian ikan layaran

Persiapan pengujian ikan layaran

Uji organoleptik ikan layaran


(13)

dilakukan pembagian menjadi lima bagian yang sama rata. Diagram alir preparasi ikan layaran (Istiophorus orientalis) dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Diagram alir preparasi ikan layaran (Istiophorus orientalis)

3.3.3 Pembuatan gel daging lumat ikan layaran (Istiophorus orientalis)

Daging lumat ditimbang dan dilakukan pencampuran dengan garam 2,5% (b/b) menggunakan food processor hingga adonan homogen dan dicetak dengan menggunakan tabung stainless. Hasil pencetakan tersebut kemudian direbus dengan suhu 45-50 oC selama 20 menit dan dilanjutkan dengan suhu 80-90 oC selama 30 menit. Analisis pada gel ikan yang dihasilkan dilakukan untuk mengetahui karakteristik fisika dan kimia yang terbentuk pada gel ikan yaitu dengan pengujian sensori, uji lipat, uji gigit, uji kekuatan gel, uji proksimat, uji protein larut garam, uji derajat putih, dan uji WHC. Diagram alir pembuatan gel daging lumat ikan layaran (Istiophorus orientalis) dapat dilihat pada Gambar 4.

Ikan layaran

Pencucian

Penggilingan dengan grinder

Penghilangan daging merah dan serat Pemisahan daging dan kulit

Pem-fillet-an

Pencampuran seluruh daging lumat


(14)

Gambar 4 Diagram alir pembuatan gel daging lumat ikan layaran (Istiophorus orientalis)

3.3.4 Pembuatan bakso ikanlayaran (Istiophorus orientalis)

Bahan baku yang digunakan adalah daging lumat beku. Prosedur pembuatan bakso ikan adalah sebagai berikut, daging lumat beku dicincang dan dimasukan ke dalam food processor kemudian ditambahkan garam 2,5% sambil terus diaduk hingga terbentuk adonan yang lengket. Setelah itu, ditambahkan bumbu-bumbu yaitu bawang merah 2,5%, bawang putih 4%, lada 1%, gula 2% dan es sedikit demi sedikit. Selanjutnya ditambahkan tepung tapioka dengan konsentrasi sebesar 10% dari berat daging lumat yang digunakan. Adonan diaduk hingga benar-benar homogen selama 10-15 menit.

Adonan dicetak menyerupai bola kecil dengan menggunakan tangan kemudian direbus 2 kali, yaitu perebusan I dengan suhu 40 oC selama ± 5 menit dan perebusan II dengan suhu 90 oC selama ± 15 menit atau sampai bakso mengapung. Bakso yang dihasilkan didinginkan untuk dilakukan uji sensori dan analisis karakteristik fisika dan kimia. Analisis fisika yang dilakukan terdiri dari uji lipat, uji gigit, uji kekuatan gel, uji derajat putih, uji pH dan uji WHC. Analisis kimia yang dilakukan terdiri dari uji kadar air, uji kadar lemak, uji kadar

Daging lumat

Penimbangan

Pencampuran dengan garam 2,5% (b/b)

Pengadonan hingga homogen dan lengket (adhesive)

Perebusan 45-50 OC (20 menit) dilanjutkan 80-90 OC (30 menit) Pencetakan dalam tabung stainless (diameter 3,25 cm; tinggi 3 cm)


(15)

abu, uji kadar protein dan nitrogen, uji karbohidrat, uji protein larut garam, dan uji pH. Diagram alir pembuatan bakso ikan layaran dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Diagram alir pembuatan bakso ikan layaran (Istiophorus orientalis)

3.4 Prosedur Analisis

Analisis yang dilakukan pada penelitian ini meliputi uji organoleptik, analisis fisika dan kimia. Uji organoleptik dilakukan dengan menggunakan uji

scoring (skor mutu). Analisis fisika yang dilakukan terdiri atas uji kekuatan gel, uji derajat putih, uji lipat, uji gigit dan uji WHC. Analisis kimia yang dilakukan meliputi analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat), protein larut garam dan pengukuran nilai pH.

3.4.1 Analisis organoleptik (Rahayu 1998)

Penilaian organoleptik atau penilaian sensorik merupakan metode penilaian yang sering digunakan karena dapat digunakan secara cepat dan langsung. Indera yang berperan dalam pengujian yaitu indera penglihatan, penciuman, pencicipan, peraba dan pendengaran. Uji ini menggunakan panelis

Ikan layaran

Bakso

Garam 2,5%

Bawang merah 2,5% Bawang putih 4% Gula 2%

Lada 1% Air es

Tepung tapioka 10% Minyak 10%

Pelumatan daging

Pengadonan

Perebusan I suhu 40oC selama ± 5 menit Perebusan II suhu 90oC selama ± 15 menit

Pendinginan suhu ruang Pencetakan bakso


(16)

yang dapat digolongkan menjadi panelis terbatas, panelis terlatih, panelis agak terlatih, panelis tidak terlatih, dan panelis konsumen.

Uji organoleptik dengan menggunakan metode scoring atau skor mutu berfungsi untuk menilai sifat organoleptik yang spesifik terhadap penampakan, aroma, rasa dan tekstur dari suatu produk. Skala angka dan spesifikasi dari setiap karakteristik mutu produk sudah dicantumkan dalam score sheet organoleptik.

Metode ini menggunakan skala angka 1 (satu) sebagai nilai terendah dan angka 9 (sembilan) untuk nilai tertinggi. Batas penolakan untuk produk ini adalah 5 (lima) artinya bila produk perikanan yang diuji memperoleh nilai yang sama atau lebih kecil dari lima maka produk tersebut dinyatakan tidak lulus standar dan tidak bisa memperoleh Sertifikat Mutu Ekspor. Skala ini ditunjukan dengan spesifikasi masing-masing produk yang dapat memberikan pengertian pada panelis. Panelis pada uji organoleptik ini berjumlah 30 orang semi-terlatih.

3.4.2 Analisis fisika

Analisis fisika yang dilakukan terhadap surimi dan bakso ikan adalah uji kekuatan gel, uji derajat putih, uji lipat, uji gigit dan uji WHC.

(1) Uji kekuatan gel (White dan Englar diacu dalam Alpis 2002)

Pengukuran kekuatan gel dilakukan secara obyektif dengan menggunakan

Texture analyzer (TA-XT21). Tingkat kekerasan bakso ikan dinyatakan dalam gram force tiap cm2 (gf/cm2) yang berarti besarnya gaya tekan untuk memecah deformasi produk. Sampel diletakkan dibawah probe berbentuk silinder pada tempat penekanan, dengan sisi lebar ke atas, kemudian dilakukan penekanan terhadap sampel dengan probe silinder tersebut. Kecepatan alat ketika menekan sampel adalah 1 mm/s. Tekanan dilakukan sebanyak satu kali dan hasil pengukuran akan tercetak pada kertas grafik dan dapat dilihat tinggi saat sampel benar-benar pecah. Nilai tertinggi pada grafik menunjukkan nilai kekuatan gel pada suatu bahan.

(2) Uji derajat putih (Park 1994 dalam Chaijan et al. 2004)

Derajat putih sampel dilakukan dengan Chromameter minolta, yaitu analisis warna secara objektif yang mengukur warna yang dipantulkan oleh permukaan sampel yang diukur. Skala warna yang digunakan untuk mengukur


(17)

tingkatan dari lightness L* adalah hitam (0) sampai cerah/terang (100), a* adalah merah (60) sampai hijau (-60) dan b* adalah kuning (60) sampai biru (-60). Nilai derajat putih dapat diketahui dari nilai lightness L* yang tertera pada monitor Chromameter.

(3) Uji lipat (Suzuki 1981)

Uji pelipatan merupakan salah satu pengujian mutu surimi dan bakso yang dilakukan dengan cara memotong sampel dengan ketebalan 4-5 mm. Potongan sampel tersebut diletakkan diantara ibu jari dan telunjuk, kemudian dilipat untuk diamati ada tidaknya retakan pada bakso. Tingkat kualitas dan contoh lembar penilaian uji lipat dapat dilihat pada Lampiran 3a.

(4) Uji gigit (Suzuki 1981)

Uji gigit dilakukan untuk mengukur kekuatan produk. Uji ini memberi taksiran secara subyektif dengan melatih 30 panelis. Pengujian dilakukan dengan cara memotong atau menggigit sampel antara gigi seri atas dan bawah. Sampel yang diuji memiliki ketebalan 5 mm dan berdiameter 12 mm. Tingkat kualitas dan contoh lembar penilaian uji gigit dapat dilihat pada Lampiran 3b.

(5) Water Holding Capacity (WHC) (Hamm 1972 diacu dalam Nantami 2011)

Daya ikat air dapat diukur dengan menggunakan alat carverpress. Sampel sebanyak 0,3 gram diletakkan dikertas saring dan dijepit dengan carverpress, yaitu diantara dua plat jepitan berkekuatan 35 kg/cm2 selama 5 menit. Kertas saring yang digunakan yaitu Whatman no 40. Luas area bebas yaitu luas air yang diserap kertas saring akibat penjepitan, dengan kata lain selisih luas antara lingkaran luar dan dalam kertas saring. Bobot air bebas (jumlah air dalam gel dan bakso yang terlepas) dapat dihitung sebagai berikut :

Berat air bebas =

% air bebas = berat air x 100% mg sampel


(18)

3.4.3 Analisis kimia

Analisis kimia yang dilakukan terhadap karakteristik surimi dan bakso ikan meliputi analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat), protein larut garam dan pengukuran nilai pH.

(1) Kadar air (AOAC 1995)

Prinsip analisis kadar air yaitu untuk mengetahui kandungan atau jumlah air yang terdapat pada suatu bahan. Penetapan kadar air didasarkan pada perbedaan berat contoh sebelum dan sesudah dikeringkan. Tahap pertama yang dilakukan adalah mengeringkan cawan porselen yang akan digunakan dalam oven pada suhu 105 oC selama 30 menit atau sampai didapat berat tetap, kemudian didinginkan selama 30 menit dalam desikator dan setelah dingin beratnya ditimbang. Sampel sebanyak 5 gram ditimbang dan dimasukan kedalam cawan kemudian dikeringkan dalam oven selama 12 jam pada suhu 100 oC sampai 102 oC. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan setelah dingin ditimbang kembali. Perhitungan kadar air adalah sebagai berikut :

Keterangan : B = berat sampel (g)

B1 = berat cawan + sampel sebelum dikeringkan (g) B2 = Berat cawan + sampel setelah dikeringkan (g)

(2) Kadar abu (AOAC 1995)

Prinsip penetapan kadar abu adalah dengan menimbang sisa mineral hasil pembakaran bahan organik pada suhu 650 oC. Cawan kosong dipanaskan dalam oven lalu didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang beratnya. Sampel ditimbang sebanyak 5 gram dan diletakkan dalam cawan, kemudian dibakar dalam kompor listrik sampai tidak berasap. Cawan kemudian dimasukkan ke dalam tanur. Secara bertahap suhu tanur dinaikkan hingga mencapai suhu 650 oC hingga diperoleh abu yang berwarna putih keabu-abuan. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator, setelah dingin cawan ditimbang. Persentase dari kadar abu dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Kadar air (%) = x 100%


(19)

(3) Kadar protein dan total nitrogen (AOAC 1995)

Penentuan total nitrogen dan kadar protein menggunakan metode mikro Kjeldahl. Sampel sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam tabung Kjeldahl 30 ml ditambahkan 1,9 g K2SO4, 40 mg HgO dan 2,5 ml H2S04, serta beberapa tablet Kjeldahl. Sampel dididihkan selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih kemudian didinginkan. Isi abu dituangkan ke dalam alat destilasi, lalu dibilas sebanyak 5-6 kali dengan akuades (20 ml). Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan di tambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 ml.

Cairan yang berasal dari ujung tabung kondensor ditampung pada Erlenmeyer 125 ml berisi larutan 5 ml H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (campuran metil merah 0,2% dalam alkohol dan metil biru 0,2% dalam alkohol 2:1). Destilasi dilakukan sampai diperoleh kira-kira 200 ml destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam Erlenmeyer. Destilat dititrasi dengan HCL 0,02 N sampai terjadi perubahan warna seperti merah. Hal ini sama juga dilakukan terhadap blanko. Kadar protein dapat dihitung berdasarkan kadar N dengan rumus sebagai berikut:

(4) Kadar lemak (AOAC 1995)

Sampel sebanyak 5 gram ditimbang dan dibungkus dengan kertas saring dan diletakkan pada alat ekstraksi soxhlet yang dipasang di atas kondensor serta labu lemak dibawahnya. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan dan dilakukan refluks selama minimal 16 jam sampai pelarut turun kembali ke dalam labu lemak. Pelarut di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Labu lemak berisi lemak hasil ekstraksi kemudian dikeringkan dalam oven suhu 105 oC selama 5 jam. Labu lemak kemudian didinginkan dalam desikator selama 20-30 menit dan ditimbang. Kadar lemak dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Kadar N (%) = (ml HCL – ml blanko) x N HCL x 14,007 x 100% mg sampel

Kadar protein (%) = %N x faktor konversi (6,25)


(20)

(5) Kadar karbohidrat (by difference)

Pengukuran kadar karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil pengurangan dari 100% dengan kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangan. Hal ini karena karbohidrat sangat berpengaruh terhadap zat gizi lainnya. Kadar karbohidrat dapat dihitung dengan mengunakan rumus:

(6) Protein larut garam (PLG) (Shuffle dan Galbraeth 1964 diacu dalam Eryanto 2006)

Sampel sebanyak 5 gram ditambahkan 50 ml larutan NaCl 5% kemudian dihomogenkan dengan waring blender selama 2-3 menit, suhu dijaga agar tetap rendah. Setelah itu disentrifus pada 3400 x g selama 30 menit pada suhu 10 oC. Selanjutnya disaring dengan menggunakan kertas saring whatman no.1. Filtrat ditampung dalam Erlenmeyer, disimpan pada suhu 4 oC. Sebanyak 25 ml dianalisis kandungan proteinnya dengan menggunakan metode semi-mikro Kjeldahl. Perhitungan kadar protein larut garam adalah:

Keterangan : A = ml titrasi HCl sampel B = ml titrasi HCl sampel W = berat sampel (g)

(7) Nilai pH (Suzuki 1981)

Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan alat pH meter yang dinyalakan terlebih dahulu selama 15-30 menit. Elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan tissue. Selanjutnya pH meter dikalibrasi dengan mencelupkan batang probe pada buffer pH 4 lalu dicelupkan kembali pada buffer pH 7 dibiarkan beberapa saat hingga stabil. Sampel sebanyak 5 g ditambahkan akuades 45 ml, kemudian dihomogenkan dengan stirrer selama 2 menit. Elektroda dicelupkan ke dalam sampel selama beberapa menit, nilai pH dibaca setelah menunjukkan angka stabil.

Kadar karbohidrat (%) = 100% - (%air + %abu +%protein + %lemak)


(21)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Bahan Baku

Penelitian ini menggunakan bahan baku ikan layaran (Istiophorus orientalis) segar yang berasal dari perairan Banten yang dibeli di TPI Palabuhanratu, Sukabumi. Ikan layaran yang diperoleh segera ditransportasikan secara rantai dingin ke laboratorium untuk diuji organoleptik kemudian di preparasi untuk memisahkan setiap bagian tubuh ikan, sehingga diperoleh daging yang digunakan untuk bahan dasar pembuatan bakso ikan.

Ikan layaran yang digunakan pada penelitian ini memiliki spesifikasi bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea agak keruh; insang mulai ada diskolorisasi, merah kecoklatan, sedikit lendir, tanpa lendir; lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih, kurang transparan; sayatan daging mulai pudar, spesifik jenis, sedikit pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut daging utuh; bau netral; serta tekstur daging agak padat, agak elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang. Spesifikasi ikan layaran

tersebut diperoleh dari uji organoleptik kesegaran ikan menggunakan SNI 01-2729.1-2006 dengan skala satuan 1-9. Nilai uji organoleptik kesegaran

ikan layaran dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Nilai uji organoleptik kesegaran ikan layaran (Istiophorus orientalis) No. Spesifikasi Nilai

1 2 3 4 5 6

Kenampakan mata Kenampakan insang lendir permukaan badan

Kenampakan dan warna daging Bau

Tekstur

7 5 7 6 7 7

Rata-rata 7

Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata kesegaran ikan layaran bernilai 7. Nilai uji organoleptik ini menunjukkan bahwa kesegaran ikan berada pada tahap

rigor mortis. Hal ini menunjukkan bahwa ikan ini masih memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan ikan segar. Persyaratan mutu dan keamanan pangan ikan segar mempunyai nilai organoleptik minimal 7 (BSN 2006).


(22)

Rigor mortis terjadi akibat dari suatu rangkaian perubahan kimia yang kompleks di dalam otot ikan setelah ikan mati. Sirkulasi darah akan berhenti dan suplai oksigen berkurang menyebabkan glikogen berubah menjadi asam laktat sehingga pH tubuh ikan dan jumlah adenosin trifosfat (ATP) menurun serta ketidakmampuan jaringan otot mempertahankan kekenyalannya (Junianto 2003).

Ikan pada fase rigor mortis umumnya dimanfaatkan menjadi makanan yang langsung diolah sedangkan untuk bahan baku pembuatan surimi yang paling baik adalah menggunakan ikan pada fase pre rigor (Konogaya 1990). Sistem rantai dingin yang belum berjalan secara optimal di pasar nelayan Palabuhanratu menyebabkan kesegaran sampel ikan layaran yang didapatkan kurang prima.

4.2 Komposisi Kimia Ikan Layaran (Istiophorus orientalis)

Analisis kimia terhadap daging ikan layaran menggunakan analisis proksimat. Analisis proksimat adalah analisis yang dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia suatu bahan yang terdiri atas kadar air, protein, abu, lemak dan karbohidrat. Komposisi kimia dan kesegaran ikan sangat mempengaruhi karakteristik mutu bakso ikan. Komposisi kimia daging ikan layaran dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Komposisi kimia daging ikan layaran (Istiophorus orientalis) Komposisi Hasil penelitian Leung et al. (1972) Kadar Air (%)

Kadar Protein (%) Kadar Lemak (%) Kadar Abu (%)

Kadar Karbohidrat (%)

79,11±0,25 12,43±0,02 0,39±0,15 1,10±0,15 6,97±0,39

72,4 23,4 3,2

1 -

Berdasarkan Tabel 4, dapat diketahui bahwa komposisi kimia ikan layaran hasil penelitian berbeda dengan hasil penelitian Leung et al. (1972). Hampir semua kandungan komposisi kimia yang dihasilkan berbeda jauh kecuali kadar abu. Kadar karbohidrat dihitung berdasarkan by difference sehingga sangat dipengaruhi oleh kadar air, protein, lemak dan abu. Perbedaan komposisi kimia ikan layaran ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor internal meliputi jenis dan golongan ikan, jenis kelamin serta sifat warisan, dan faktor eksternal yang meliputi daerah tempat hidup ikan, musim, dan jenis makanan


(23)

yang tersedia (Hadiwiyoto 1993). Kadar lemak ikan layaran pada penelitian ini dapat diklasifikasikan ke dalam ikan berlemak rendah karena kurang dari 5% (Stansby 1982).

4.3 Rendemen Ikan Layaran (Istiophorus orientalis)

Rendemen adalah persentase bagian tubuh bahan baku yang dapat dimanfaatkan. Rendemen merupakan parameter untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektivitas suatu produk atau bahan. Perhitungan rendemen didasarkan pada presentase perbandingan bobot contoh dengan bobot total (Yunizal et al. 1998). Bagian tubuh ikan layaran dibedakan menjadi beberapa bagian, antara lain adalah daging, daging samping, tulang badan, kulit, jeroan, kepala, sirip, insang dan bagian lain yang selama proses preparasi. Rendemen dari tiap bagian tubuh ikan layaran dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Diagram rendemen ikan layaran (Istiophorus orientalis)

Gambar 6 menunjukkan bahwa rendemen terbesar ikan layaran adalah daging sebesar 44,49% dari berat ikan utuh sebesar 20 kg, sedangkan daging merah mempunyai rendemen 14,63%. Tulang badan, kulit, jeroan, kepala, sirip, insang, dan rendemen lain mempunyai rendemen berturut-turut sebesar 9,26; 8,24; 7,63; 5,68; 2,37 dan 2,63%. Semakin besar rendemen maka semakin tinggi pula nilai ekonomis dari produk tersebut, begitu pula sebaliknya, semakin kecil rendemen maka semakin rendah nilai ekonomisnya atau keefektivitasan suatu produk atau bahan (Yunizal et al. 1998).


(24)

4.4 Karakteristik Gel Daging Lumat Ikan Layaran (Istiophorus orientalis)

Karakteristik gel daging lumat ikan layaran pada penelitian ini menggunakan pembanding dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu : Pusparani (2003) yang menggunakan bahan baku daging merah ikan tuna mata besar, Hendriawan (2002) dengan bahan baku daging merah ikan tuna, serta Rahmawati (2005) yang menggunakan bahan baku ikan sapu-sapu. Pemilihan data ini berdasarkan atas persamaan bahan baku yang berasal dari daging lumat dan jenis pengujian yang paling mendekati kesamaan dengan penelitian ini.

4.4.1. Karakterisrik sensori

Karakteristik sensori merupakan indikator penting yang dapat menunjukkan tingkat penerimaan konsumen terhadap suatu produk. Mutu sensori pangan adalah sifat produk atau komoditas yang hanya dikenali atau diukur dengan proses penginderaan (Soekarto 1985). Uji sensori yang dilakukan yaitu uji kesukaan yang meliputi penampakan, warna, rasa, aroma dan tekstur. Uji tersebut dilakukan untuk mengetahui tanggapan panelis terhadap produk yang dihasilkan dan tingkat kesukaannya. Karakteristik sensori gel daging lumat ikan layaran dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Karakteristik sensori gel daging lumat ikan layaran Parameter

Layaran a Daging merah tuna mata besar b

Daging

merah tuna c Sapu-sapu d

Penampakan 7,23 4,80 4,80

- 4,88 5,21

4,47 5,50

Warna 6,73 - 5,00

Rasa 6,57 4,00 5,40

Aroma 6,30 4,27 5,40

Tekstur 6,93 5,30 6,10

Keterangan : a = hasil penelitian c = Hendriawan (2002) b = Pusparani (2003) d = Rahmawati (2005)

(1) Penampakan

Penampakan merupakan karakteristik pertama yang dinilai panelis dalam mengkonsumsi suatu produk. Penampakan tidak menentukan tingkat kesukaan konsumen secara mutlak, tetapi mempengaruhi penerimaan konsumen. Produk dengan bentuk yang rapi, bagus, dan utuh pasti lebih disukai konsumen daripada produk yang kurang rapi dan tidak utuh (Soekarto 1985). Tabel 5 menunjukkan


(25)

bahwa nilai penampakan gel ikan layaran merupakan yang tertinggi menurut panelis 7,23 dibandingkan dengan penelitian lain, pada penampakan gel daging merah ikan tuna mata besar, tuna dan sapu-sapu yang masing-masing bernilai 4,80; 4,47 dan 5,50. Hal ini berarti penilaian panelis terhadap penampakan gel ikan layaran berada pada kriteria suka (BSN 2011). Penampakan gel ikan dapat dipengaruhi oleh proses pemasukan daging pada casing sebelum perebusan (Suzuki 1981). Pemasukan daging pada casing yang tidak rata dan menyeluruh dapat mengakibatkan gel ikan menjadi berongga dan permukaan tidak rapi. Daging merah ikan layaran yang banyak dihilangkan selama proses penanganan menyebabkan pencetakan dapat dilakukan dengan mudah.

(2) Warna

Warna merupakan faktor penting bagi kebanyakan makanan baik yang diproses maupun tidak diproses. Warna memegang peranan penting dalam penerimaan makanan bersama-sama dengan aroma, rasa, tekstur dan penampakan (de Man 1997). Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai warna gel ikan layaran merupakan yang tertinggi yaitu 6,73 dibandingkan penelitian lain pada warna gel daging merah ikan tuna mata besar dan sapu-sapu yang masing-masing bernilai 4,80 dan 5,00. Penilaian panelis terhadap warna gel ikan layaran berada pada kriteria suka. Tata cara pelaporan hasil uji hedonik jika angka di belakang koma lebih besar dari lima maka angka di depan koma naik satu angka sehingga nilai warna gel ikan layaran adalah 7 (BSN 2011). Warna gel ikan layaran mempunyai nilai yang tinggi karena dalam pembuatannya tidak menggunakan daging merah sedangkan gel ikan tuna mata besar menggunakan daging merah. Hendriawan (2002), menyebutkan bahwa daging merah pada ikan tuna mengandung pigmen-pigmen dan darah yang dapat mengakibatkan gel ikan yang dihasilkan berwarna gelap dan tidak cerah. Warna merah pada daging merah disebabkan kandungan hemoprotein yang tinggi yaitu lebih dari 80% (Watanabe 1990).

(3) Rasa

Rasa merupakan faktor penting yang menjadi dasar diambilnya keputusan oleh konsumen terhadap diterimanya suatu produk. Apabila sebuah produk mempunyai rasa yang tidak enak, maka produk tersebut tidak akan diterima oleh


(26)

konsumen walaupun warna dan aromanya baik (Winarno 2008). Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai rasa gel ikan layaran merupakan yang tertinggi yaitu 6,57 dibandingkan penelitian lain pada rasa gel daging merah ikan tuna dan sapu-sapu yang masing-masing bernilai 4,00 dan 5,40. Hal ini berarti penilaian panelis terhadap rasa gel ikan layaran berada pada kriteria suka (BSN 2011). Rasa gel ikan diduga dipengaruhi oleh kandungan glutamat pada daging ikan serta tingkat kesegaran ikan. Penambahan jumlah garam yang sama dengan tingkat kesukaan panelis yang berbeda menunjukkan bahwa garam bukan menjadi faktor yang mempengaruhi rasa gel ikan. Suzuki (1981) menyatakan bahwa penambahan garam 2,5% sewaktu penggilingan bukan berfungsi sebagai bumbu atau penambah cita rasa, tetapi untuk meningkatkan kekuatan ionik daging dan melarutkan aktomiosin sehingga terbentuk sol. Uresti et al.(2004) menyatakan larutan garam sangat berpengaruh nyata terhadap kekuatan gel ikan silver carp (Hypopthalmicthys molitrix).

(4) Aroma

Aroma makanan dapat menentukan enak atau tidaknya makanan, bahkan industri pangan menganggap uji aroma sangat penting karena dapat memberikan hasil penilaian dengan cepat (Soekarto 1985). Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai aroma gel ikan layaran merupakan yang tertinggi yaitu 6,30 dibandingkan penelitian lain pada aroma gel daging merah ikan tuna mata besar, tuna dan sapu-sapu yang masing-masing bernilai 4,88; 4,27 dan 5,40. Penilaian panelis terhadap aroma gel ikan layaran berada pada kriteria agak suka (BSN 2011). Aroma gel ikan diduga dipengaruhi oleh tingkat keamisan pada tiap-tiap jenis ikan. Penggunaan daging lumat sebagai bahan baku gel ikan menyebabkan aroma amis masih tercium jelas. Semua aroma gel ikan secara umum masih dapat diterima oleh panelis kecuali aroma gel ikan tuna yang agak tidak disukai oleh panelis.

(5) Tekstur

Tekstur merupakan karakteristik yang sangat penting bagi produk gel karena produk gel bersifat kenyal dan elastis (Tanikawa 1971). Tekstur adalah halus atau tidaknya suatu irisan pada saat disentuh dengan jari atau indera pengecap oleh panelis. Tekstur makanan dapat dievaluasi dengan uji mekanika


(27)

atau dengan analisis secara penginderaan menggunakan alat indera manusia sebagai alat analisis.

Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai tekstur gel ikan layaran merupakan yang tertinggi yaitu 6,93 dibandingkan penelitian lain pada tekstur gel daging merah ikan tuna mata besar, tuna dan sapu-sapu yang masing-masing bernilai 5,21; 5,30 dan 6,10. Penilaian panelis terhadap rasa gel ikan layaran berada pada kriteria suka (BSN 2011). Tekstur daging ikan layaran paling disukai panelis karena mempunyai tekstur yang lembut. Daging ikan layaran mempunyai kadar protein larut garam yang tinggi dibandingkan ikan tuna dan sapu-sapu (Tabel 7). Kandungan lemak yang tinggi pada daging ikan tuna (Tabel 7) juga mempengaruhi proses pembentukan gel. Kotoran, darah, lemak, haemoglobin, dan protein sarkoplasma dapat menghambat pembentukan gel ikan (Suzuki 1981).

4.4.2 Karakteristik fisika

Karakteristik fisika yang dilakukan terhadap gel daging lumat ikan layaran pada penelitian ini terdiri dari analisis uji lipat (folding test), uji gigit (teeth cuting test), kekuatan gel (gel strenght), derajat putih (whiteness), dan Water Holding Capacity (WHC). Karakteristik fisika gel daging lumat ikan layaran dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Karakteristik fisika gel daging lumat ikan layaran Parameter

Layaran a Daging merah tuna mata besar b

Daging merah tuna c

Sapu-sapu d Uji lipat 4,90 2,30 2,00 4,50 Uji gigit 7,47 5,00 6,30 5,70 Kekuatan gel (gf) 1469,45±7,14 220 210 350 Derajat putih (%) 63,03±0,31 - 8,60 20,32 WHC (%) 56,44±3,37 - - - Keterangan : a = hasil penelitian c = Hendriawan (2002)

b = Pusparani (2003) d = Rahmawati (2005)

(1) Uji lipat (folding test)

Uji lipat bertujuan untuk mengetahui tingkat elastisitas gel ikan secara subyektif. Uji lipat dilakukan terhadap produk untuk mengetahui kualitas kekuatan gel dan secara luas digunakan oleh industri karena sederhana dan dengan cepat dapat menunjukkan kekuatan gel dari suatu produk (Lanier 1992). Tabel 6


(28)

menunjukkan bahwa nilai uji lipat gel ikan layaran merupakan yang tertinggi yaitu 4,90 dibandingkan penelitian lain pada uji lipat gel daging merah ikan tuna mata besar, tuna dan sapu-sapu yang masing-masing bernilai 2,30; 2,00 dan 4,50. Hal ini berarti penilaian panelis terhadap uji lipat gel ikan layaran berada pada grade AA (BSN 2009). Hasil uji lipat ini berkaitan langsung dengan tekstur gel, terutama kekuatan gel. Semakin baik hasil uji lipat, mutu gel surimi yang dihasilkan akan semakin baik (Shaban et al. 1985 dalam Santoso et al. 1997).

(2) Uji gigit (teeth cuting test)

Cara subyektif lain yang digunakan untuk mengukur kekuatan gel produk gel ikanselain uji lipat adalah uji gigit. Uji gigit dilakukan dengan cara menggigit sampel antara gigi seri atas dan gigi seri bawah. Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai uji gigit gel ikan layaran merupakan yang tertinggi yaitu 7,47 dibandingkan penelitian lain pada uji gigit gel daging merah ikan tuna mata besar, tuna dan sapu-sapu yang masing-masing bernilai 5,00; 6,30 dan 5,70. Hal ini berarti penilaian panelis terhadap uji gigit gel ikan layaran berada pada tingkata agak kuat (BSN 2009). Nilai uji gigit ini sesuai dengan nilai uji lipat dan tekstur yang menandakan penilaian panelis konstan. Tingginya nilai uji gigit pada gel ikan layaran menunjukkan bahwa kekuatan gel ikan layaran tergolong bagus dan melebihi melebihi standar penerimaan produk komersial. Istihastuti et al. (1997) menyatakan bahwa produk komersial yang masih dapat diterima mempunyai nilai uji gigit antara 5 sampai 6.

(3) Kekuatan gel (gel strenght)

Kualitas surimi yang baik secara umum ditentukan oleh kemampuan daging dalam membentuk gel dengan campuran antara surimi dan garam, pencetakan dalam casing yang sesuai dan perebusan (Suzuki 1981).

Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai kekutan gel ikan layaran merupakan yang tertinggi yaitu 1469,45 gf dibandingkan penelitian lain pada kekuatan gel ikan tuna mata besar, tuna dan sapu-sapu yang masing-masing bernilai 220 gf, 210 gf dan 350 gf. Nilai kekuatan gel ikan layaran yang tinggi dapat terjadi karena

tingginya PLG yang mencapai 4,66% dibandingkan PLG pada ikan lain (Tabel 7). Rendahnya PLG ikan sapu-sapu disebabkan karena PLG ikan air tawar


(29)

lebih rendah daripada ikan air laut (Astawan et al. 1996). Djazuli et al. (2009), menyatakan bahwa protein larut garam berperan sangat penting dalam menentukan mutu fungsional surimi, terutama pembentukan gel dan tekstur.

Kadar lemak ikan layaran yang rendah juga menjadi faktor tingginya kekuatan gel ikan layaran. Hal ini berbeda dengan kandungan lemak ikan tuna dan tuna mata besar yang mencapai 5% (Tabel 7). Daging lumat ikan tuna menggunakan daging merah yang mengandung pigmen-pigmen dan darah (Hendriawan 2002) serta lebih dari 80% protein pada daging merah merupakan mioglobin dan hemoglobin (Watanabe 1990). Suzuki (1981) menyatakan bahwa, kotoran, darah, lemak, haemoglobin, dan protein sarkoplasma dapat menghambat pembentukan gel ikan.

Daging lumat yang ditambahkan garam 2,5% mengakibatkan protein miofibrilar (aktomiosin, miosin, aktin) menjadi terlarut dalam larutan garam dan membentuk sol yang adhesif (Tanikawa 1971). Ion Cl- secara selektif menetralkan muatan positif molekul protein, menggeser pH isoelektrik ke titik yang lebih rendah, mengakibatkan kelarutan protein pada pH proses meningkat (Schepf 1992

dalam Fitrial 2000). Kekuatan ionik meningkat akibat penambahan garam juga menyebabkan kestabilan protein terhadap panas menurun (Chen et al. 1995). Pemanasan sol akan membentuk gel dengan struktur tiga dimensi yang dapat menjerat air di dalamnya sehingga gel menjadi kenyal (Fitrial 2000).

(4) Derajat putih (whiteness)

Pengujian warna produk (derajat putih) dilakukan dengan menggunakan alat Chromameter. Alat ini merupakan analisis warna secara obyektif untuk mengukur refleksi warna permukaan produk yang dibandingkan dengan standar. Semakin tinggi nilai derajat putih berarti produk tersebut semakin mendekati standar (putih). Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai derajat putih gel ikan layaran merupakan yang tertinggi yaitu 63,03% dibandingkan penelitian lain pada daging merah ikan tuna dan sapu-sapu yang masing-masing bernilai 8,60 dan 20,32%. Derajat putih gel ikan tuna yang rendah dapat dipengaruhi karena kadar air yang rendah pada daging ikan tuna (Tabel 7). Gel dengan kadar air yang tinggi memiliki nilai kecerahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan gel ikan yang kandungan airnya rendah (Park et al.1996).


(30)

(5) Daya mengikat air (WHC)

Daya mengikat air adalah kemampuan daging untuk mengikat air yang ada dalam bahan maupun yang ditambahkan selama proses pengolahan, atau kemampuan struktur bahan untuk menahan air bebas dari struktur tiga dimensi protein (Zayas 1997). Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai WHC gel ikan layaran sebesar 56,44%. Nilai ini lebih tinggi dari WHC daging lumat ikan cucut dan pari sebesar 31,15% dan 33,60% (Yassin 2005), serta daging lumat ikan patin siam sebesar 40% (Suryanti 2009). Perbedaan nilai WHC dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain spesies, umur, fungsi otot, pH dan pemanasan (Offer dan Knight 1988). Daya ikat air sangat berperan dalam pembentukan gel (Chairita

et al. 2009). Tekstur gel akan semakin baik bila daya serap air semakin baik pula (Chen et al. 1995). Interaksi antara protein daging dan air secara signifikan akan mempengaruhi karakteristik tekstur dari daging (Zayas 1997).

4.4.3 Karakteristik kimia

Karakteristik kimia yang dilakukan terhadap gel daging lumat ikan layaran terdiri dari analisis proksimat meliputi kadar air, protein, abu, lemak dan karbohidrat serta analisis protein larut garam. Karakteristik fisika gel daging lumat ikan layaran dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Karakteristik kimia gel daging lumat ikan layaran Parameter

Layaran a Daging merah tuna mata besar b

Daging merah tuna c

Sapu-sapu d Kadar air (%) 76,13±0,18 69,61 70,14 77,83 Kadar protein (%) 11,20±0,01 23,32 24,52 - Kadar abu (%) 2,80±0,00 1,23 2,13 - Kadar lemak (%) 0,80±0,01 5,60 5,09 - Kadar karbohidrat (%)

PLG (%) 9,07±0,17 4,66±0,01 0,24 3,58 - 3,58 - 1,61 Keterangan : a = hasil penelitian c = Hendriawan (2002)

b = Pusparani (2003) d = Rahmawati (2005)

(1) Kadar air

Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan penerimaan, kesegaran, dan daya tahan


(31)

bahan tersebut (Winarno 2008). Tabel 7 menunjukkan bahwa kadar air gel ikan layaran sebesar 76,13% lebih rendah dari kadar air gel daging merah ikan tuna mata besar dan tuna yang masing-masing sebesar 69,61 dan 70,14% tetapi lebih besar dari gel ikan sapu-sapu sebesar 77,83%. Kadar air tiap jenis ikan dipengaruhi oleh habitat dan jenis ikan. Ikan air tawar cenderung memiliki kandungan air yang lebih tinggi dibandingkan ikan air laut. Hal inilah yang menjadikan tekstur daging ikan air tawar lebih lembek. Lee (1984), menyatakan bahwa kadar air maksimum untuk daging ikan lumat sebaiknya 78-80%.

(2) Kadar protein

Protein merupakan suatu zat makanan yang penting bagi tubuh, karena selain berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur jaringan-jaringan baru yang selalu terjadi di dalam jaringan tubuh. Protein digunakan sebagai bahan bakar apabila keperluan energi mengandung N yang tidak dimiliki oleh lemak dan karbohidrat (Winarno 2008). Tabel 7 menunjukkan bahwa kadar protein ikan layaran sebesar 11,20% lebih rendah dari kadar protein gel daging merah ikan tuna mata besar dan tuna yang masing-masing sebesar 23,32 dan 24,52%. Hadiwiyoto (1993), menyatakan bahwa komposisi kimia daging ikan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor internal meliputi jenis dan golongan ikan, jenis kelamin serta sifat warisan, dan faktor eksternal yang meliputi daerah tempat hidup ikan, musim, dan jenis makanan yang tersedia.

(3) Kadar abu

Kadar abu merupakan zat anorganik yang terkandung dalam suatu bahan makanan. Tabel 7 menunjukkan bahwa kadar abu ikan layaran sebesar 2,80% merupakan yang tertinggi dibandingkan kadar abu gel daging merah ikan tuna mata besar dan tuna yang masing-masing sebesar 1,23 dan 2,13%. Kadar abu daging berhubungan erat dengan kadar air dan kadar protein pada suatu jaringan bebas lemak (Forrest et al.1975). Mineral yang tidak larut berasosiasi dengan protein, karena mineral terutama berasosiasi dengan bagian non lemak, daging tak berlemak biasanya memiliki kandungan mineral atau abu yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan kadar abu ikan layaran lebih tinggi dari ikan tuna mata besar.


(32)

Kandungan mineral pada daging ikan tersebut tergolong rendah karena bagian tubuh yang memiliki kadar mineral tinggi berasal dari bagian tubuh yang tidak dapat dimakan (tulang, sisik, kepala, viscera dan sirip) daripada bagian yang dapat dimakan seperti daging. Rosa et al. (2007) menyatakan bahwa abu yang terdapat dalam daging umumnya terdiri atas fosfor, kalsium, iron, magnesium, sulfur, sodium dan potassium.

(4) Kadar lemak

Lemak memiliki peranan yang penting dalam struktur dan fungsi sel makhluk hidup. Sumber energi yang dihasilkan lemak lebih efektif bagi tubuh daripada karbohidrat dan protein. Satu gram lemak dapat menghasilkan 9 kkal, sedangkan karbohidrat dan protein menghasilkan 4 kkal/gram (Winarno 2008). Tabel 7 menunjukkan bahwa kadar lemak ikan layaran sebesar 0,80% lebih rendah dari kadar lemak gel daging merah ikan tuna mata besar dan tuna yang masing-masing sebesar 5,60 dan 5,09.

Kandungan lemak lebih banyak terdapat pada daging merah dibandingkan daging putih. Warna merah pada daging merah ikan tuna bukan disebabkan kadar lemak yang tinggi tetapi karena kandungan hemoprotein yang tinggi, yaitu lebih dari 80% hemeglobin. Kandungan mioglobin pada daging merah tuna dapat lebh dari 3.500 mg/100 gr (Watanabe 1990) sehingga menyebabkan lebih mudah terjadi proses ketengikan (Okada 1990 diacu dalam Chairita 2008).

Love (1970) diacu dalam Chairita (2008), menyatakan bahwa proporsi daging merah dan daging putih bervariasi tergantung dari aktivitas ikan. Ikan-ikan pelagis seperti herring dan mackerel yang gerakannya terus menerus, sebanyak 48% berat badannya terdiri dari daging merah sedangkan ikan demersal yang berada di dasar dan gerakannya terbatas, proporsi daging merahnya sangat kecil.

Ikan layaran termasuk ikan pelagis, tetapi rendahnya kadar lemak ini dapat disebabkan adanya pembuangan daging merah sebanyak 14,63% dari berat total ikan (Gambar 7). Sehingga pada pengolahan ini hanya digunakan daging putih.

(5) Kadar karbohidrat

Karbohidrat dengan fungsinya yang berganda memegang peran penting dalam berbagai pengolahan pangan. Karbohidrat merupakan bahan yang secara


(33)

alami memiliki fungsi memberikan tekstur yang baik. Karbohidrat dirancang sebagai komponen yang memperkuat struktur produk pangan (Rompis 1998 diacu dalam Nantami 2011). Tabel 7 menunjukkan bahwa kadar karbohidrat gel ikan layaran merupakan yang tertinggi dengan nilai 9,07%. Kadar ini lebih tinggi dibandingkan gel daging merah ikan tuna mata besar yang hanya 0,24% karena kadar karbohidrat dihitung secara by difference. Rendahnya kadar protein dan lemak dapat menyebabkan kandungan karbohidrat dan kadar lemak suatu bahan meningkat.

(6) Protein larut garam

Protein larut garam adalah protein miofibril (kontraktil) yang terdiri dari aktin, miosin dan protein regulasi (tropomiosin, troponin, dan aktinin). Pengukuran kadar PLG penting dilakukan untuk mengetahui kandungan protein miofibril dalam surimi yang berperan dalam pembentukan gel. PLG sangat berperan dalam proses pembentukan gel diakibatkan terjadinya agregasi antara aktin dan miosin pada saat diekstrak (Suzuki 1981). Tabel 7 menunjukkan bahwa PLG gel ikan layaran merupakan yang tertinggi dengan nilai 4,66 dibandingkan dengan PLG gel daging merah ikan tuna mata besar, tuna dan sapu-sapu yang masing-masing sebesar 3,58; 3,58 dan 1,61. Rendahnya PLG ikan sapu-sapu disebabkan karena PLG ikan air tawar lebih rendah daripada ikan air laut (Astawan et al. 1996).

Fardiaz (1985), menyatakan bahwa protein miofibril khususnya aktomiosin dapat diekstrak dari daging ikan dengan garam. Garam sebanyak 2-3,5% dari berat daging ikan yang digunakan dalam pembuatan produk gel ikan secara komersial. Garam pengekstrak tidak boleh digunakan terlalu banyak, selain karena rasanya menjadi terlalu asin, juga dapat menyebabkan penggumpalan (salting out), sehngga protein tidak larut lagi dalam larutan garam yang dapat menyebabkan gel ikan tidak terbentuk.

4.5 Karakteristik Bakso Ikan Layaran (Istiophorus orientalis)

Penelitian karakteristik bakso ikan layaran ini menggunakan dua bakso pembanding. Bakso pembanding I adalah bakso yang dibeli dari Palabuhanratu yang telah memiliki pasar dalam skala regional. Komposisi dari bakso ini adalah


(34)

ikan marlin, tepung tapioka, tepung sagu, bumbu, es, telur, monosodium glutamat. Bakso pembanding II adalah bakso yang dibeli dari supermarket yang telah memiliki pasar dalam skala nasional. Komposisi dari bakso ini adalah urimi, air, tapioka, garam, bumbu, gula, penguat rasa mononatrium glutamat dan sekuestren fosfat. Proses pembuatan dan bumbu-bumbu dari kedua bakso pembanding tidak diketahui secara detail karena termasuk rahasia peruahaan.

4.5.1 Karakterisrik sensori

Analisis sensori yang dilakukan adalah uji kesukaan (hedonik) terhadap bakso ikan layaran. Panelis diminta untuk memberikan tanggapan tentang tingkat kesukaan atau ketidaksukaan. Tingkatannya disebut skala hedonik, dalam analisisnya ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka menurut tingkat kesukaannya (Rahayu 1998). Analisis sensori yang dilakukan meliputi parameter penampakan, warna, aroma, rasa dan tekstur yang dinilai dengan menggunakan kepekaan indera.

(1) Penampakan

Penampakan merupakan parameter yang menentukan penerimaan dari panelis karena banyak sifat mutu komoditas dinilai dengan penglihatan misalnya bentuk, ukuran, warna dan sifat permukaan (halus, kasar, buram, cerah, homogen, heterogen, datar dan bergelombang) (Nantami 2011). Nilai penampakan bakso ikan layaran dan bakso pembanding dapat dilihat pada Gambar 7.


(35)

Gambar 7 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap penampakan bakso ikan berkisar antara 4,33 sampai 6,83. Nilai penampakan bakso ikan ikan layaran merupakan yang tertinggi dengan nilai 6,83 dibandingkan bakso pembanding I sebesar 4,33 dan bakso pembanding II sebesar 6,80. Penampakan bakso ikan layaran mempunyai kriteria dapat diterima menurut panelis yaitu agak suka mendekati suka (BSN 2011). Nilai ini juga telah memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan untuk nilai sensori bakso ikan, yaitu minimal 7 (BSN 2006). Berdasarkan BSN (2011) tata cara pelaporan hasil uji hedonik jika angka di belakang koma lebih besar dari lima maka angka di depan koma naik satu angka sehingga nilai penampakan bakso ikan layaran adalah 7.

(2) Warna

Warna merupakan indikator bagi kesegaran atau kematangan suatu produk. Konsumen biasanya lebih menyukai bakso ikan dengan warna yang putih meratatanpa adanya warna lain (Wibowo 2006). Menurut BSN (1995) bakso ikan harus mempunyai warna yang normal. Nilai warna bakso ikan layaran dan bakso pembanding dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Nilai warna bakso ikan layaran dan bakso pembanding

Gambar 8 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap warna bakso ikan berkisar antara 4,7 sampai 7,1. Nilai warna bakso ikan layaran pada penelitian ini sebesar 6,77 lebih tinggi dibandingkan dengan bakso pembanding I sebesar 4,7 tetapi lebih rendah dibandingkan dengan bakso pembanding II sebesar


(36)

7,1. Warna bakso ikan layaran lebih kecil dari bakso pembanding II diduga karena perbedaan pencucian, karena bakso pembanding II menggunakan daging surimi sedangkan bakso ikan layaran berasal dari daging lumat. Jin et al. (2007) dan Tahergorabi et al. (2012), menyatakan bahwa proses pencucian dapat menghilangkan bahan-bahan larut air, lemak dan darah sehingga memperbaiki warna. Bentis et al. (2005) melaporkan bahwa warna surimi dapat ditingkatkan dengan meningkatkan siklus pencucian, waktu pencucian dan kuantitas air. Chen

et al. (1997) dalam Bentis et al. (2005) menyatakan bahwa waktu pencucian yang lama akan menghasilkan daging lumat dengan hidrasi yang tinggi dan degradasi protein miofibril, sehingga membuat proses dehidrasi berikutnya menjadi lebih sulit dan dapat menghambat kemampuan pembentukan gel.

Warna bakso ikan layaran secara umum mempunyai kriteria dapat diterima yaitu suka (BSN 2011) serta memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan untuk nilai sensori bakso ikan, yaitu minimal 7 (BSN 2006).

(3) Rasa

Rasa merupakan salah satu faktor penentu daya terima konsumen terhadap produk pangan. Rasa suatu bahan pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu senyawa kimia, temperatur, konsistensi dan interaksi dengan kompoen rasa lain serta jenis dan lama pemasakan (Winarno 2008). Nilai rasa bakso ikan layaran dan bakso pembanding dapat dilihat pada Gambar 9.


(37)

Gambar 9 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap rasa bakso ikan berkisar antara 3,57 sampai 6,43. Nilai rasa bakso ikan layaran pada penelitian ini sebesar 6,37 lebih tinggi dibandingkan bakso pembanding I sebesar 3,57 tetapi lebih rendah dibandingkan bakso pembanding II sebesar 6,43. Rasa bakso ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti jenis bumbu, konsentrasi bumbu, bahan pengisi dan bahan pengikat. Perbedaan nilai rasa dari ketiga bakso tersebut lebih disebabkan karena masing-masing bakso mempunyai komposisi dan takaran bumbu yang berbeda. Rasa gurih pada bakso ikan layaran ditimbulkan karena adanya kandungan asam glutamat yang cukup banyak pada daging ikan layaran. Hirasa dan Takemasa (1998) dalam Suryanti (2009), menyebutkan pada umumnya setiap rempah-rempah dapat memberikan flavor yang spesifik karena kandungan komponen kimia dalam essential oil yang berbeda. Beberapa flavor spesifik dapat ditimbulkan oleh komponen-komponen kimia yang terdapat pada tanaman rempah-rempah seperti lada dan bawang putih. Lada mengandung

komponen kimia linalool, α,β-pinene, p-cymene. Bawang putih mengandung

komponen kimia dialiyl disulfide, dialiyl trisulfide dan allyl prolyl disulfide. Bakso pembanding I mempunyai rasa yang paling rendah karena menggunakan kandungan tepung yang tinggi sehingga dapat menutup rasa daging (Koswara et al. 2001).

Bakso pembanding II mempunyai nilai rasa tertinggi karena menggunakan bahan penguat rasa mononatrium glutamat. Mononatrium glutamat (MSG) dapat meningkatkan rasa yang diinginkan seperti rasa asin, memperbaiki keseimbangan cita rasa makanan olahan dan mengurangi rasa yang tidak diinginkan seperti rasa bawang yang tajam. MSG menyebabkan sel reseptor rasa lebih peka sehingga dapat menikmati rasa dengan lebih baik (Winarno 2008). Rasa bakso ikan layaran secara umum mempunyai kriteria dapat diterima yaitu suka (BSN 2011) serta memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan untuk nilai sensori bakso ikan, yaitu minimal 7 (BSN 2006).

(4) Aroma

Bakso ikan yang cenderung lebih disukai konsumen adalah bakso tanpa aroma yang mengganggu seperti aroma amis, tengik, masam, basi ataupun busuk (Wibowo 2006). Menurut SNI 01-3819-1995 bakso ikan mempunyai aroma yang


(38)

normal dan khas ikan. Nilai aroma bakso ikan layaran dan bakso pembanding dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Nilai aroma bakso ikan layaran dan bakso pembanding

Gambar 10 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap aroma bakso ikan berkisar antara 3,9 sampai 6,7. Nilai aroma bakso ikan ikan layaran merupakan yang tertinggi dengan nilai 6,7 dibandingkan bakso pembanding I sebesar 3,9 dan bakso pembanding II sebesar 6,63. Aroma dipengaruhi oleh bumbu yang ditambahkan ke dalam adonan. Hirasa dan Takemasa (1998) dalam

Suryanti (2009), menyatakan bahwa tanaman rempah-rempah mengandung banyak essential oil yang bersifat volatile dan dapat menimbulkan aroma dan flavor. Komponen kimia essential oil yang banyak terdapatpada rempah-rempah adalah eugenol, thymol, pellandrene, caryophylene, cineol, mathyl eugenol. Selain itu, essential oil pada rempah-rempah juga mengandung terpene yang mengandung banyak gugus karbon. Komponen terpene yang memiliki 10 gugus karbon dinamakan monoterpene yang umumnya memiliki aroma yang kuat dan bersifat sangat volatil.

Aroma bakso ikan layaran secara umum mempunyai kriteria dapat diterima yaitu suka (BSN 2011) serta memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan untuk nilai sensori bakso ikan, yaitu minimal 7 (BSN 2006).

(5) Tekstur

Tekstur bakso ikan yang cenderung lebih disukai konsumen adalah bakso ikan yang mempunyai tekstur kompak, tidak liat atau membal, tidak ada serat daging, tanpa duri atau tulang, tidak lembek, tidak basah berair, serta tidak rapuh


(39)

(Wibowo 2006). Menurut BSN (1995) bakso ikan harus mempunyai tekstur yang kenyal. Nilai tekstur bakso ikan layaran dan bakso pembanding dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Nilai tekstur bakso ikan layaran dan bakso pembanding

Gambar 11 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap tekstur bakso ikan berkisar antara 3,6 sampai 7,13. Nilai tekstur bakso ikan ikan layaran merupakan yang tertinggi dengan nilai 7,13 lebih tinggi dibandingkan bakso pembanding I sebesar 3,6 dan bakso pembanding II sebesar 7. Hal ini diduga karena kedua bakso pembanding tersebut menggunakan surimi sehingga protein larut garam akan terlarut lebih banyak selama proses pencucian. Protein tersebut sangat berpengaruh terhadap pembentukan gel, sehingga mempengaruhi tekstur yang dihasilkan. Rendahnya kadar air bakso pembanding I dapat menyebabkan tekstur yang agak keras pada bakso ikan yang dihasilkan sehingga mempengaruhi penilaian panelis. Hall (1992), menyatakan bahwa penambahan garam sampai 0,2% dari berat bahan baku pada pencucian terakhir bertujuan untuk menghilangkan air tetapi dapat melarutkan aktin dan miosin. Bakso pembanding II mengandung sekuestran fosfat yang berfungsi untuk menstabilkan warna, rasa dan tekstur (Winarno 2008).

Tekstur bakso ikan layaran mempunyai kriteria dapat diterima yaitu suka (BSN 2011) serta memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan untuk nilai sensori bakso ikan, yaitu minimal 7 (BSN 2006).


(40)

4.5.2 Karakteristik fisika

Karakteristik fisika yang dilakukan terhadap bakso ikan layaran pada penelitian ini terdiri dari analisis uji lipat (folding test), uji gigit (teeth cuting test), kekuatan gel (gel strenght), derajat putih (whiteness), dan daya mengikat air (WHC).

(1) Uji lipat (folding test)

Uji lipat (folding test) dilakukan terhadap produk untuk mengetahui kualitas kekuatan gel. Metode uji lipat cocok untuk memisahkan gel yang bermutu tinggi dan bermutu rendah, tetapi metode tersebut tidak sensitif untuk membedakan antara gel yang bermutu baik (good) dan yang bermutu sangat baik

(excellent). Uji lipat ditentukan dengan penilaian panelis melalui uji sensori (Lanier 1992). Uji lipat bakso ikan layaran dan bakso pembanding dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12.Uji lipat bakso ikan layaran dan bakso pembanding

Gambar 12 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap uji lipat bakso ikan berkisar antara 1,8 sampai 4,77. Nilai uji lipat bakso ikan ikan layaran merupakan yang tertinggi dengan nilai 4,77 lebih tinggi dibandingkan dengan bakso pembanding I sebesar 1,87 dan bakso pembanding II sebesar 4,27. Nilai uji lipat bakso ikan layaran dan bakso pembanding II menunjukkan bahwa bakso tersebut memiliki tingkat elastisitas yang baik sedangkan bakso


(41)

pembanding I memiliki tingkat elastisitas yang kurang baik. Lee (1984) menyatakan bahwa uji lipat dengan nilai tiga menunjukkan tingkat elastisitas cukup baik dan nilai empat elastisitasnya baik. Semakin baik hasil uji lipat (makin sukar retak) tersebut, maka dapat dinyatakan mutu gel ikan yang dihasilkan juga semakin baik (Shaban et al. 1985 diacu dalam Santoso et al. 1997).

Rendahnya nilai uji lipat bakso pembanding I dapat terjadi karena mengandung kadar air yang rendah yaitu 59,45%. Luo et al. (2008) menjelaskan bahwa kekerasan dan uji lipat kamaboko meningkat dengan kandungan air 76%. Pembentukan gel dari surimi menurun seiring peningkatan kadar air sehingga menurunkan konsentrasi protein miofibril dan meningkatkan densitas ikatan silang.

(2) Uji gigit (teeth cuting test)

Uji gigit (teeth cutting test) merupakan cara lain pengujian mutu gel ikan secara sensori selain uji lipat. Pengujian ini dilakukan dengan cara memotong (menggigit) sampel antara gigi seri atas dan gigi seri bawah. Uji gigit memberikan tafsiran secara subyektif dengan 30 orang panelis. Tingkatan nilai yang digunakan adalah skala 1-10 (1 = tekstur hancur; 10 = amat sangat kuat). Uji gigit bakso ikan layaran dan bakso pembanding dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13.Uji gigit bakso ikan layaran dan bakso pembanding

Gambar 13 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap uji gigit bakso ikan berkisar antara 5,53 sampai 8. Nilai uji gigit bakso ikan layaran pada


(42)

penelitian ini sebesar 7,43 lebih tinggi dibandingkan dengan bakso pembanding I sebesar 5,53 tetapi lebih rendah dibandingkan dengan bakso pembanding II sebesar 8.

Produk gel ikan yang memiliki kekuatan gel tinggi akan menghasilkan nilai uji lipat dan uji gigit yang tinggi, dengan uji lipat pada kisaran nilai 4-5 (grade AA) dan uji gigit pada kisaran nilai 7-10 (BSN 2009). Hal ini menunjukkan bahwa bakso ikan layaran dan bakso pembanding II termasuk produk yang memiliki kekuatan gel tinggi berdasarkan penilaian panelis. Bakso pembanding I tidak tergolong pada produk gel tinggi tetapi masih dapat diterima dalam produk komersial. Istihastuti et al. (1997) menyatakan bahwa nilai kisaran yang dapat diterima terhadap uji gigit produk-produk komersial ada pada kisaran nilai 5-6.

(3) Kekuatan gel (gel strenght)

Kekuatan gel merupakan fase diantara padatan dan cairan yang terbentuk dari ikatan kovalen dan non kovalen dalam struktur molekul protein dan membentuk jaringan molekul tiga dimensi yang mampu menahan air. Pembentukan sifat gelasi yang terdapat dalam protein daging terjadi karena adanya penggunaan suhu tinggi (pemanasan). Hal ini menyebabkan jaringan

terbentuk secara irreversible karena molekul protein terdenaturasi (Nakai dan Modler 1996). Kekuatan gel bakso ikan layaran dan bakso

pembanding dapat dilihat pada Gambar 14.


(43)

Gambar 14 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap kekuatan gel bakso ikan berkisar antara 755,65 sampai 2219,2 gf. Nilai kekuatan gel bakso ikan layaran merupakan yang terendah dengan nilai 755,65 gf. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan bakso pembanding I sebesar 2219,2 gf dan bakso pembanding II sebesar 1171,85 gf. Perbedaan kekuatan gel ini dapat dipengaruhi karena adanya proses pencucian, adanya bahan tambahan lain dan kondisi serta perbedaan spesies ikan yang digunakan.

Proses pencucian dapat mengurangi protein larut air dan meningkatkan protein larut garam (Rawdkuen et al. 2009). Ekstraksi protein larut garam dengan pencucian dua kali dapat meningkatkan kekuatan gel ikan cucut (Fitrial 2000). Pencucian juga dapat menurunkan aktivitas protease. Chang-Lee et al. (1989) menyimpulkan bahwa aktivitas protease dapat menurun hingga 56,3% dengan pencucian sebanyak dua kali dengan perbandingan air dan daging giling 3:1 (b/b). Niki et al. (1984) yang dikutip oleh Chang-Lee et al. (1989) berpendapat bahwa pencucian daging giling dengan larutab NaCl 0,45 M mampu menghilangkan protease dari ikan Peruvian hake.

Protease merupakan enzim yang dapat mengganggu terbentuknya gel. Shimizu et al. (1992) protease dapat menyebabkan menyebabkan protein miofibril terlarut karena degradasi miosin rantai berat. Penambahan telur pada bakso pembanding I selain berfungsi untuk memperbaiki tekstur juga dapat meningkatkan kekuatan gel bakso. Morrissey et al. (1993) menyatakan bahwa putih telur 3,0% dapat menghambat aktivitas protease sehingga dapat meningkatkan nilai kekerasan dan elastisitas gel. Putih telur (1%) dapat meningkatkan kekuatan gel dari 6161 menjadi 6597 g x mm pada surimi Pacific whiting (Tabilo-Munizaga 2004).

Adanya penambahan bahan lain diduga dapat meningkatkan kekuatan gel pada bakso pembanding I dan II. Bakso pembanding I mengandung bahan tambahan STPP dan mengandung banyak tapioka yang dapat meningkatkan kekuatan gel. Wu et al. (1985) dan Kim dan Lee (1987), menyatakan bahwa penyerapan air oleh granula pati yang berada di dalam gel protein selama perebusan menyebabkan granula mengembang dan mendesak matrik protein sehingga gel protein menjadi padat dan kompak.


(1)

Lampiran 7a Rekapitulasi hasil analisis kekuatan gel

Lampiran 7b Rekapitulasi hasil analisis derajat putih

Lampiran 7c Rekapitulasi hasil analisis Water Holding Capacity (WHC)

Jenis produk Hasil (gf) Rata-rata (gf)

Gel ikan layaran 1464,4 1469,45

1474,5

Bakso ikan layaran 755,7 755,65

755,6

Bakso ikan pembanding I 2267,3 2219,20

2171,1

Bakso ikan pembanding II 1154,8 1171,85

1188,9

Jenis produk Hasil (%) Rata-rata (%)

Gel ikan layaran 63,2541 63,03

62,8109

Bakso ikan layaran 67,6001 67,60

67,6098

Bakso ikan pembanding I 61,1733 61,17

61,1670

Bakso ikan pembanding II 73,4180 73,44

73,4622

Jenis produk Hasil (%) Rata-rata (%)

Gel ikan layaran 54,05 56,44

58,82

Bakso ikan layaran 57,59 56,51

55,43

Bakso ikan pembanding I 62,11 64,28

64,46

Bakso ikan pembanding II 60,43 60,96


(2)

Lampiran 8a Rekapitulasi hasil analisis proksimat

Keterangan : # Perhitungan rata-rata menggunakan pembulatan ke atas dengan dua angka dibelakang koma

# Penghitungan kadar karbohidrat secara by different

Lampiran 8b Rekapitulasi hasil analisis Protein Larut Garam (PLG) Jenis produk Air

(%) Abu (%) Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Gel ikan layaran 76,00 2,80 11,20 0,79 9,21

76,25 2,79 11,20 0,80 8,97

Rata-rata 76,13 2,80 11,20 0,80 9,07 Bakso ikan layaran 71,12 1,38 8,06 1,19 18,25

71,23 1,39 8,68 1,18 17,52

Rata-rata 71,18 1,39 8,37 1,19 17,87 Bakso ikan pembanding

I

59,33 2,36 5,01 4,12 29,18

59,56 2,19 5,01 3,93 29,31

Rata-rata 59,45 2,28 5,01 4,03 29,23 Bakso ikan pembanding

II

73,83 2,16 7,87 0,83 15,31

73,76 2,16 7,89 0,86 15,33

Rata-rata 73,80 2,16 7,88 0,85 15,31

Jenis produk Hasil (%) Rata-rata (%)

Gel ikan layaran 4,6725 4,66

4,6515

Bakso ikan layaran 3,3330 3,33

3,3285

Bakso ikan pembanding I 3,8757 3,89

3,9005

Bakso ikan pembanding II 0,3659 0,37


(3)

Lampiran 9a Grafik hasil analisis kekuatan gel pada gel ikan layaran


(4)

Lampiran 10a Grafik hasil analisis kekuatan gel bakso ikan pembanding I


(5)

baku daging lumat

Preparasi ikan Pemisahan bagian

tubuh ikan

Penimbangan daging

Penggilingan daging

Daging lumat Perebusan Pengeluaran

gel ikan

Gel ikan

Daging lumat Penambahan

bahan lain

Pengadonan Pencetakan

Perebusan Pendinginan Bakso

daging lumat Perebusan


(6)

BAYU PRASETO SUBEKTI. C34080022. Karakteristik fisika kimia gel daging lumat dan bakso dari daging lumat ikan layaran (Istiophorus orientalis). Dibimbing oleh DJOKO POERNOMO dan SUGENG HERI SUSENO.

Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani mengandung semua jenis asam amino essensial yang diperlukan oleh tubuh manusia. Berbagai upaya perlu dilakukan untuk meningkatkan konsumsi ikan, salah satunya dengan diversifikasi pengolahan hasil perikanan. Pemanfaatan daging lumat ikan layaran (Istiophorus orientalis) sebagai bahan pangan sumber protein diharapkan mampu mengubah pola makan masyarakat yang masih rendah terhadap konsumsi ikan. Penggunaan daging lumat ikan layaran (Istiophorus orientalis) diharapkan mampu menjaga kandungan mineral dan dapat mengetahui informasi tentang karakteristik fisika kimia daging lumat secara lengkap. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik fisika kimia gel daging lumat dan bakso dari daging lumat ikan layaran serta membandingkan bakso hasil penelitian dengan bakso komersial.

Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu karakteristik fisika kimia terhadap gel daging lumat serta karakteristik fisika kimia bakso ikan layaran. Karakteristik gel dan bakso ikan yang dievaluasi meliputi analisis fisika, kimia dan uji sensori.

Nilai gel daging lumat ikan layaran merupakan yang terbaik untuk bahan pembuatan bakso ikan dibandingkan data pembanding. Komposisi kimia gel ikan layaran untuk kadar air sebesar 76,13%, kadar protein 11,20%, kadar abu 2,80%, kadar lemak 0,80%, kadar karbohidrat 9,07% dan protein larut garam sebesar 4,66%. Gel daging lumat ikan layaran menghasilkan kekuatan gel 1469,45 gf, derajat putih 63,03%, WHC 56,44% dengan nilai uji lipat 4,90 dan uji gigit 7,47. Penilaian sensori menunjukkan nilai antara 6,30-7,23 yang berarti panelis agak suka hingga suka terhadap produk gel daging lumat ikan layaran.

Nilai kekuatan gel bakso daging lumat ikan layaran sebesar 755,65 gf, derajat putih 67,6%, WHC 56,51%. Hasil analisis proksimat bakso untuk kadar air sebesar 71,18%, kadar protein 8,37%, kadar abu 1,39%, kadar lemak 1,19%, kadar karbohidrat 17,87%, protein larut garam 3,33% dan pH 5,82.