4.5.2 Karakteristik fisika
Karakteristik fisika yang dilakukan terhadap bakso ikan layaran pada penelitian ini terdiri dari analisis uji lipat folding test, uji gigit teeth cuting test,
kekuatan gel gel strenght, derajat putih whiteness, dan daya mengikat air WHC.
1 Uji lipat folding test
Uji lipat folding test dilakukan terhadap produk untuk mengetahui kualitas kekuatan gel. Metode uji lipat cocok untuk memisahkan gel yang bermutu
tinggi dan bermutu rendah, tetapi metode tersebut tidak sensitif untuk membedakan antara gel yang bermutu baik good dan yang bermutu sangat baik
excellent. Uji lipat ditentukan dengan penilaian panelis melalui uji sensori Lanier 1992. Uji lipat bakso ikan layaran dan bakso pembanding dapat dilihat
pada Gambar 12.
Gambar 12. Uji lipat bakso ikan layaran dan bakso pembanding
Gambar 12 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap uji lipat bakso ikan berkisar antara 1,8 sampai 4,77. Nilai uji lipat bakso ikan ikan
layaran merupakan yang tertinggi dengan nilai 4,77 lebih tinggi dibandingkan dengan bakso pembanding I sebesar 1,87 dan bakso pembanding II sebesar 4,27.
Nilai uji lipat bakso ikan layaran dan bakso pembanding II menunjukkan bahwa bakso tersebut memiliki tingkat elastisitas yang baik sedangkan bakso
pembanding I memiliki tingkat elastisitas yang kurang baik. Lee 1984 menyatakan bahwa uji lipat dengan nilai tiga menunjukkan tingkat elastisitas
cukup baik dan nilai empat elastisitasnya baik. Semakin baik hasil uji lipat makin sukar retak tersebut, maka dapat dinyatakan mutu gel ikan yang dihasilkan juga
semakin baik Shaban et al. 1985 diacu dalam Santoso et al. 1997. Rendahnya nilai uji lipat bakso pembanding I dapat terjadi karena
mengandung kadar air yang rendah yaitu 59,45. Luo et al. 2008 menjelaskan bahwa kekerasan dan uji lipat kamaboko meningkat dengan kandungan air 76.
Pembentukan gel dari surimi menurun seiring peningkatan kadar air sehingga menurunkan konsentrasi protein miofibril dan meningkatkan densitas ikatan
silang.
2 Uji gigit teeth cuting test
Uji gigit teeth cutting test merupakan cara lain pengujian mutu gel ikan secara sensori selain uji lipat. Pengujian ini dilakukan dengan cara memotong
menggigit sampel antara gigi seri atas dan gigi seri bawah. Uji gigit memberikan tafsiran secara subyektif dengan 30 orang panelis. Tingkatan nilai
yang digunakan adalah skala 1-10 1 = tekstur hancur; 10 = amat sangat kuat. Uji gigit bakso ikan layaran dan bakso pembanding dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Uji gigit bakso ikan layaran dan bakso pembanding
Gambar 13 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap uji gigit bakso ikan berkisar antara 5,53 sampai 8. Nilai uji gigit bakso ikan layaran pada
penelitian ini sebesar 7,43 lebih tinggi dibandingkan dengan bakso pembanding I sebesar 5,53 tetapi lebih rendah dibandingkan dengan bakso pembanding II
sebesar 8. Produk gel ikan yang memiliki kekuatan gel tinggi akan menghasilkan
nilai uji lipat dan uji gigit yang tinggi, dengan uji lipat pada kisaran nilai 4-5 grade AA dan uji gigit pada kisaran nilai 7-10 BSN 2009. Hal ini
menunjukkan bahwa bakso ikan layaran dan bakso pembanding II termasuk produk yang memiliki kekuatan gel tinggi berdasarkan penilaian panelis. Bakso
pembanding I tidak tergolong pada produk gel tinggi tetapi masih dapat diterima dalam produk komersial. Istihastuti et al. 1997 menyatakan bahwa nilai kisaran
yang dapat diterima terhadap uji gigit produk-produk komersial ada pada kisaran nilai 5-6.
3
Kekuatan gel gel strenght
Kekuatan gel merupakan fase diantara padatan dan cairan yang terbentuk dari ikatan kovalen dan non kovalen dalam struktur molekul protein dan
membentuk jaringan molekul tiga dimensi yang mampu menahan air. Pembentukan sifat gelasi yang terdapat dalam protein daging terjadi karena
adanya penggunaan suhu tinggi pemanasan. Hal ini menyebabkan jaringan terbentuk
secara irreversible
karena molekul
protein terdenaturasi
Nakai dan Modler 1996. Kekuatan gel bakso ikan layaran dan bakso pembanding dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14 Kekuatan gel bakso ikan layaran dan bakso pembanding
Gambar 14 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap kekuatan gel bakso ikan berkisar antara 755,65 sampai 2219,2 gf. Nilai kekuatan
gel bakso ikan layaran merupakan yang terendah dengan nilai 755,65 gf. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan bakso pembanding I sebesar 2219,2 gf dan
bakso pembanding II sebesar 1171,85 gf. Perbedaan kekuatan gel ini dapat dipengaruhi karena adanya proses pencucian, adanya bahan tambahan lain dan
kondisi serta perbedaan spesies ikan yang digunakan. Proses pencucian dapat mengurangi protein larut air dan meningkatkan
protein larut garam Rawdkuen et al. 2009. Ekstraksi protein larut garam dengan pencucian dua kali dapat meningkatkan kekuatan gel ikan cucut Fitrial 2000.
Pencucian juga dapat menurunkan aktivitas protease. Chang-Lee et al. 1989 menyimpulkan bahwa aktivitas protease dapat menurun hingga 56,3 dengan
pencucian sebanyak dua kali dengan perbandingan air dan daging giling 3:1 bb. Niki et al. 1984 yang dikutip oleh Chang-Lee et al. 1989 berpendapat bahwa
pencucian daging giling dengan larutab NaCl 0,45 M mampu menghilangkan protease dari ikan Peruvian hake.
Protease merupakan enzim yang dapat mengganggu terbentuknya gel. Shimizu et al. 1992 protease dapat menyebabkan menyebabkan protein miofibril
terlarut karena degradasi miosin rantai berat. Penambahan telur pada bakso pembanding I selain berfungsi untuk memperbaiki tekstur juga dapat
meningkatkan kekuatan gel bakso. Morrissey et al. 1993 menyatakan bahwa putih telur 3,0 dapat menghambat aktivitas protease sehingga dapat
meningkatkan nilai kekerasan dan elastisitas gel. Putih telur 1 dapat meningkatkan kekuatan gel dari 6161 menjadi 6597 g x mm pada surimi Pacific
whiting Tabilo-Munizaga 2004. Adanya penambahan bahan lain diduga dapat meningkatkan kekuatan gel
pada bakso pembanding I dan II. Bakso pembanding I mengandung bahan tambahan STPP dan mengandung banyak tapioka yang dapat meningkatkan
kekuatan gel. Wu et al. 1985 dan Kim dan Lee 1987, menyatakan bahwa penyerapan air oleh granula pati yang berada di dalam gel protein selama
perebusan menyebabkan granula mengembang dan mendesak matrik protein sehingga gel protein menjadi padat dan kompak.
Bakso pembanding II mengandung bahan tambahan sekuestran fosfat yang berfungsi untuk menstabilkan warna, rasa dan tekstur Winarno 2008. Utomo et
al. 2004, menyatakan bahwa fungsi fosfat dapat mempertinggi daya ikat air oleh protein ikan sehingga dapat memperbaiki tekstur ikan. Penambahan bahan
polifosfat bertujuan untuk menambah nilai kelembutan dan memperbaiki sifat surimi, terutama sifat elastisitas dan kelembutan Peranginangin et al. 1999.
Kondisi ikan sebelum diolah juga dapat mempengaruhi kekuatan gel produk yang dihasilkan. Gomez-Guillen et al. 1998 menyatakan bahwa segera
setelah ikan ditangkap maka protein otot ikan akan mengalami peristiwa proteolisis yang hebat dan akan mengakibatkan hilangnya kemampuan
membentuk gel. Penurunan terhadap kelarutan PLG ini berkorelasi positif terhadap nilai kekuatan gel surimi, yang berarti bahwa semakin rendah nilai PLG
tersebut maka akan semakin rendah pula nilai kekuatan gel surimi yang dihasilkan. Reynolds et al. 2002 menyatakan bahwa karena menurunnya
konsentrasi protein larut garam, ketegangan akan menurun dan kemampuan untuk membentuk gel juga akan ikut menurun pula.
4 Derajat putih whiteness
Kecerahan bakso ikan sangat menentukan kualitas bakso itu sendiri. Umumnya bakso ikan yang berwarna putih paling banyak disukai oleh konsumen.
Derajat putih bakso ikan layaran dan bakso pembanding dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15 Derajat putih bakso ikan layaran dan bakso pembanding
Gambar 15 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap derajat putih bakso ikan berkisar antara 61,17 sampai 73,44. Nilai derajat putih
bakso ikan layaran pada penelitian ini sebesar 67,6. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan bakso pembanding I sebesar 61,17 tetapi lebih rendah
dibandingkan dengan bakso pembanding II sebesar 73,44. Tingginya derajat putih pada bakso pembanding II dapat dipengaruhi
adanya proses pencucian. Bahrudin 2008, menyatakan bahwa pencucian selain bertujuan meningkatkan kekuatan gel juga berfungsi meningkakan derajat putih.
Saat proses pencucian dan pemerasan berlangsung semua kotoran, lemak, haemoglobin dan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel
ikut terlarut bersama air pencuci, sehingga semakin banyak pencucian, zat-zat yang terlarut tersebut semakin banyak, yang mengakibatkan warna gel semakin
bersih dan putih. Nielsen dan Pigott 1994, dan Julavittayanukul et al.2006, menyatakan
bahwa pencucian surimi dapat melarutkan lemak, darah, enzim, protein sarkoplasma dan garam anorganik yang dapat menghambat pembentukan gel.
Namun tetap ada beberapa senyawa seperti membran lipid yang tidak ikut tercuci dan masih mengandung senyawa yang dapat mengalami oksidasi dan menurunkan
derajat putih Reynolds et al. 2002. Hal inilah yang diduga menyebabkan rendahnya derajat putih pada bakso pembanding I.
Kerusakan lemak yang utama adalah proses ketengikan yang disebabkan proses autooksidasi radikal asam lemak tak jenuh dalam lemak Winarno 2008.
Selain itu juga terjadi reaksi pencoklatan non-enzimatis lainnya yaitu reaksi maillard. Pada reaksi ini, gugus amina RNH
2
dari protein berikatan dengan gugus OH
-
dari gula pereduksi. Akibat ikatan ini, hasil yang paling nyata dapat dilihat pada produk adalah perubahan aroma menjadi tidak enak dan warna
menjadi coklat yang sering dijadikan pertanda kemunduran mutu Winarno 2008
. 5
Water Holding Capacity WHC
Water Holding Capacity WHC didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk menahan air didalamnya karena adanya tekanangaya dari luar. WHC
merupakan interaksi protein dengan air, sehingga dengan adanya perlakuan fisik
pada daging selama proses pengolahan menyebabkan terbentuknya sisi-sisi molekul miofilamen daging yang dapat berikatan dengan air Kerry et al. 2002.
WHC bakso ikan layaran dan bakso pembanding dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16 WHC bakso ikan layaran dan bakso pembanding Gambar 16 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap WHC
bakso ikan berkisar antara 56,51 sampai 63,29. Nilai WHC bakso ikan layaran merupakan yang terendah dengan nilai 56,51. Nilai ini lebih rendah
dibandingkan dengan bakso pembanding I sebesar 63,29 dan bakso pembanding II sebesar 60,96.
WHC bakso ikan layaran merupakan yang terendah karena menggunakan daging lumat, sedangkan bakso pembanding lain menggunakan bahan dasar
berupa surimi. Penelitian Suryanti 2009 pada ikan patin menunjukkan bahwa nilai WHC daging lumat tanpa pencucian sebesar 39,96, sedangkan WHC
surimi lebih tinggi yaitu 47,90. Hal ini dikarenakan adanya penambahan larutan garam selama pencucian. Penambahan garam mempengaruhi keterikatan air oleh
protein. Konsentrasi garam yang tinggi dapat menurunkan interaksi protein dengan air karena garam juga bereaksi dengan air.
Penambahan polifosfat pada bakso pembanding berfungsi untuk memperbaiki WHC dan memberikan sifat pasta yang lebih lembut pada produk-
produk olahan surimi. Biasanya polifosfat ditambahkan sebanyak 0,2-0,3 dalam bentuk garam natrium tripolifosfat Peranginangin et al. 1999.
WHC juga disebabkan oleh sifat pati yang mudah menyerap air. Hal ini disebabkan oleh adanya ikatan hidrogen antara amilosa dan amilopektin dengan
protein atau sejenisnya, yang juga disertai oleh pelemahan kekuatan hidrogen. Dengan demikian, molekul air akan menyusup diantara molekul pati dan protein
Pandisurya 1983 diacu dalam Fatriani 2003. Pendinginan bakso akan menyebabkan terjadinya penguatan ikatan
hidrogen antara molekul pati, protein dan molekul air. Penambahan jumlah tepung tapioka akan meningkatkan zat yang menimbulkan terjadinya ikatan hidrogen
sehingga jumlah air yang tertahan akan semakin banyak Pandisurya 1983 diacu dalam Fatriani 2003. Hal inilah yang menyebabkan tinggi WHC pada bakso
pembanding I karena mengandung kadar karbohidrat tinggi yang menunjukkan jumlah tepung tapioka yang diberikan lebih banyak Tabel 8.
4.5.3 Karakteristik kimia