PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING DENGAN SCIENTIFIC APPROACH UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA SMA

(1)

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN

DISCOVERY

LEARNING

DENGAN

SCIENTIFIC APPROACH

UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN

PROSES SAINS SISWA SMA

SKRIPSI

disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Kimia

oleh Naila Ayadiya

4301410015

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


(2)

ii

Siswa SMA telah disetujui untuk diajukan dalam sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang pada:

hari : Senin

tanggal : 11 Agustus 2014.

Semarang, Agustus 2014 Pembimbing

Dra. Woro Sumarni, M. Si. NIP. 196507231993032001


(3)

iii

Approach untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains Siswa SMA disusun oleh

Naila Ayadiya 4301410015

telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi FMIPA UNNES pada hari Senin, tanggal 11 Agustus 2014.

Panitia Ujian

Ketua, Sekretaris,

Prof. Dr. Wiyanto, M. Si. Dra. Woro Sumarni, M. Si. NIP. 196310121988031001 NIP. 196507231993032001

Penguji I, Penguji II,

Dr. Sri Susilogati Sumarti, M. Si. Drs. Eko Budi Susatyo, M. Si. NIP. 195711121983032002 NIP. 19651111199031003

Anggota Penguji/ Pembimbing,

Dra. Woro Sumarni, M. Si. NIP. 196507231993032001


(4)

iv

Pendapat atau temuan orang lain dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, Agustus 2014

Naila Ayadiya NIM. 4301410015


(5)

v

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada: 1)Ibu Rianah, Bapak Isnaeni, Mas Amif,

dan Zaida. Terima kasih atas dukungan material dan spiritual sebagai keluarga yang luar biasa.

2)Sahabat – sahabatku, Diana, Dita, Selly, dan Keluarga Sastro Agastya. Terima kasih telah menjadi teman sekaligus keluarga yang selalu memberikan motivasi.

3)Seluruh teman-teman Jurusan Kimia Unnes angkatan tahun 2010.


(6)

vi

hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat memperoleh gelar sarjana pendidikan di Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam dan Matematika, Universitas Negeri Semarang.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik dalam penyusunan maupun penelitian skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis terutama disampaikan pada:

1. Rektor Universitas Negeri Semarang

2. Dekan FMIPA Universitas Negeri Semarang

3. Ketua Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang

4. Dra. Woro Sumarni, M. Si., selaku pembimbing utama yang telah memberikan ilmu, petunjuk dan bimbingannya sehingga sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

5. Kepala SMA N 1 Kendal yang telah memberikan ijin dalam penelitian ini. 6. Dra. Wiwik Sri Lestari, selaku guru mata pelajaran kimia kelas XI SMA N 1

Kendal yang telah banyak membantu terlaksananya penelitian ini.

7. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Kimia FMIPA UNNES yang telah memberikan ilmu yang berharga kepada penulis.

8. Ibu, Bapak dan keluarga yang selalu memberikan dukungan baik material maupun spiritual dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Sahabat-sahabatku yang selalu memberikan inspirasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

Tidak sanggup rasanya penulis untuk membalas budi dan jasa beliau. Hanya doa terpanjat semoga Allah SWT memberikan balasan yang sesuai dengan amal kebaikan beliau.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan penelitian yang lebih baik.

.

Semarang, Agustus 2014 Penulis


(7)

vii

dengan Scientific Approach untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains Siswa SMA. Skripsi, Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Semarang. Dosen Pembimbing: Dra. Woro Sumarni, M.Si.

Kata kunci: discovery learning; keterampilan proses sains siswa; scientific approach

Penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan proses sains siswa SMA melalui model pembelajaran discovery learning dengan scientific approach. Model pembelajaran discovery learning memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat mengembangkan keterampilan proses sains secara mandiri. Scientific approach digunakan agar pengembangan keterampilan sains siswa lebih terarah dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Penelitian terlaksana dalam dua siklus dimana masing-masing siklus terdiri atas perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik dokumentasi dan observasi. Penilaian keterampilan proses sains siswa dilakukan dengan menggunakan instrumen lembar observasi. Hasil analisis deskriptif setelah penerapan model pembelajaran discovery learning dengan scientific approach ditunjukkan adanya peningkatan nilai keterampilan proses sains siswa sebesar 17,44% dari siklus I ke siklus II. Kesepuluh indikator keterampilan proses sains yang dinilai adalah mengamati, mengelompokkan atau mengklasifikasikan, menafsirkan, meramalkan, mengajukan pertanyaan, merumuskan hipotesis, merencanakan percobaan, menggunakan alat dan bahan, menerapkan konsep, dan mengkomunikasikan hasil. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran discovery learning dengan scientific approach dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa SMA.


(8)

viii

Improve High School Students’ Science Process Skills. Skripsi, Departement of Chemistry, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Semarang State University. Supervisor: Dra. Woro Sumarni, M.Si.

Keywords: discovery learning; scientific approach; the students’ science process

skills

The purpose of this classroom action research is to improve highschool students’ science process skills through the applying of discovery learning model with scientific approach. Discovery learning give the opportunity to student to develop the science process skill by themselves. Scientific approach used to manage the development of science process skill more guided and be responsible. The research conducted in two cycles which each cycle consist of planning, acting, observing, and reflecting. The assessment technique for students’ science process skills is conducted by using observation sheet. Based on the observation results, it is showed that there is significant increases of students’ science process skill values by 17,44% from first cycle to second cycle. The science process skill indicators that be observed are observing, grouping or classifying, interpretating, predicting, asking question, formulating hypotheses, planning experiments, using tools and materials, applying concepts, and communicating results. Based on the research results, it can be inferred that applying discovery learning model with scientific approach is able to improve the highschool students’ science process skills.


(9)

ix DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

BAB 1. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 5

1.3 Rumusan Masalah ... ... 6

1.4 Tujuan Penelitian ... 6

1.5 Manfaat Penelitian ... ... 6

1.6 Pembatasan Masalah ... 7

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Model Pembelajaran Discovery Learning ... 9

2.2 Scientific Approach (Pendekatan Ilmiah) ... 12


(10)

x

2.7 Kerangka Berpikir ... 28

2.8 Hipotesis Tindakan ... 30

3. METODE PENELITIAN ... 31

3.1 Lokasi dan Subjek Penelitian ... 31

3.2 Sumber Data ... 31

3.3 Teknik dan Alat Pengumpul Data ... 31

3.4 Validasi Data ... 32

3.5 Hasil Uji Coba Instrumen ... 38

3.6 Analisis Data ... 40

3.7 Indikator Kinerja ... 43

3.8 Prosedur Tindakan... 43

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 46

4.1 Hasil Penelitian ... 46

4.1.1 Pra-penelitian ... 46

4.1.2 Siklus I ... 48

4.1.3 Siklus II ... 55

4.2 Pembahasan ... 61

5. SIMPULAN DAN SARAN ... 66

5.1 Simpulan ... 66

5.2 Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 67


(11)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1. Indikator dan Sub-indikator KPS ... 16

2.2. Perbandingan Sifat Larutan, Koloid, dan Suspensi ... 22

2.3. Jenis-jenis Sistem Koloid ... 23

3.1 Format Data Analisis Faktor Uji Coba Instrumen ... 33

3.2 Format Tabel Perhitungan Validitas Butir ... 34

3.3 Format Tabel Perhitungan Reliabilitas KPS ... 34

3.4 Ringkasan Anava untuk Perhitungan Reliabilitas Rating ... 36

3.5 Format Tabel Perhitungan Reliabilitas Instrumen Penilaian Kognitif ... 37

3.6 Ketentuan Kategori Nilai KPS Siswa ... 42

4.1 Analisis Nilai Ulangan Harian Siswa Kelas XI IPA 1 ... 47

4.2 Analisis Hasil Pretest dan Tes Akhir Siklus I... 53

4.3 Analisis Hasil Afektif Siswa pada Siklus I ... 53


(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Kerangka Berpikir ... 29

3.1 Urutan Pelaksanaan PTK ... 44

4.1 Nilai Tiap Indikator KPS Siklus I ... 52

4.2 Nilai Tiap Indikator KPS Siklus II ... 59

4.3 Peningkatan Nilai Tiap Indikator KPS pada Siklus I dan II ... 62


(13)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Tahun ajaran 2013/2014 adalah awal penerapan kurikulum baru oleh pemerintah di bidang pendidikan. Kurikulum yang dimaksud adalah kurikulum 2013 sebagai pengganti dari KTSP yang telah digunakan selama enam tahun terakhir. Perubahan kurikulum dilakukan sebagai upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia agar dapat bersaing di tingkat internasional dan juga sebagai usaha untuk mengatasi perubahan yang terjadi akibat arus globalisasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Mulyasa (2004: 4) yang menyatakan bahwa sistem pendidikan nasional senantiasa harus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi baik di tingkat lokal, nasional, maupun global.

Proses pembelajaran dalam kurikulum 2013 diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Penyusunan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, serta penilaian proses pembelajaran dengan strategi yang benar harus dipersiapkan dengan cermat agar dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas ketercapaian standar


(14)

kompetensi lulusan. Standar kompetensi lulusan adalah kriteria mengenai kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Seluruh ilmu yang dipelajari dalam tiap satuan pendidikan harus mampu memenuhi standar kompetensi lulusan yang diamanatkan oleh pemerintah.

Pelaksanaan pembelajaran kurikulum 2013 mengamanatkan penggunaan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah (scientific approach) adalah pendekatan yang menonjolkan dimensi pengamatan, penalaran, penemuan, pengabsahan, dan penjelasan mengenai suatu kebenaran. Pendekatan ini memberi kesempatan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam melakukan observasi, bertanya, menalar, dan mengkomunikasikan pengetahuan yang diperoleh dari proses pembelajaran. Melalui tahapan-tahapan dalam pembelajaran yang berpendekatan scientific, siswa dibimbing secara bertahap untuk mengorganisasikan dan melakukan penelitian. Proses pembelajaran dengan scientific approach meliputi ranah kognitif, psikomotorik, dan afektif sehingga dapat membentuk siswa yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi.

Ilmu kimia sebagai salah satu mata pelajaran dalam satuan pendidikan juga harus mampu melaksanakan amanat tersebut. Kimia merupakan ilmu yang diperoleh dan dikembangkan berdasarkan eksperimen untuk mencari jawaban atas pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana gejala-gejala alam berlangsung, khususnya yang berkaitan dengan zat (Diknas, 2003: 7).


(15)

Pengenalan ilmu kimia dimulai sejak tingkat SMP, bergabung dengan biologi dan fisika dalam mata pelajaran IPA. Pembelajaran kimia kemudian dilanjutkan di tingkat SMA dan menjadi mata pelajaran mandiri yakni mata pelajaran kimia.

Berdasarkan observasi yang telah dilakukan, terlihat bahwa pembelajaran kimia di SMAN 1 Kendal sudah cukup baik, yakni guru sudah mengaitkan materi dengan hal-hal yang dialami dan mudah ditemukan siswa dalam kehidupan sehari-hari. Sistem pembelajaran yang dilakukan guru membuat hasil belajar kognitif siswa cukup tinggi, terlihat dari rata-rata nilai siswa kelas XI pada semester ganjil tahun ajaran 2013/2014 adalah 80,75 dimana nilai tersebut lebih dari KKM yang hanya 77.

Peneliti juga telah melakukan wawancara dengan Dra. Wiwik Sri Lestari sebagai salah satu guru kimia di SMAN 1 Kendal. Menurut Dra. Wiwik Sri Lestari meskipun sudah dikaitkan dengan hal-hal yang ada dalam kehidupan sehari-hari siswa masih pasif dalam proses pembelajaran. Guru berfungsi sebagai sumber belajar utama yang menyajikan pengetahuan kimia kepada siswa kemudian siswa hanya memperhatikan penjelasan dan contoh yang diberikan oleh guru tanpa terlibat langsung dalam penemuan dan pengonstruksian pengetahuan. Kegiatan pembelajaran masih kurang mengembangkan proses interaksi antar peserta didik, antara peserta didik dengan guru, dan sumber belajar pada suatu lingkungan. Selain itu, berdasarkan wawancara dengan siswa, pembelajaran di laboratorium selama kelas X dan XI hanya pernah dilakukan sebanyak tiga kali. Hal ini


(16)

dibenarkan oleh guru mata pelajaran kimia yang menyatakan bahwa kegiatan praktikum hanya dilakukan pada materi-materi tertentu saja. Kurangnya kegiatan praktikum menyebabkan rendahnya keterampilan proses sains siswa.

Berdasarkan permasalahan yang ada, peneliti menerapkan model pembelajaran discovery learning sebagai upaya meningkatkan keterampilan proses sains. Model ini mengedepankan peran aktif siswa dalam pembelajaran, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator dalam membantu siswa menemukan dan mengonstruksikan pengetahuan yang dipelajari. Siswa bertugas untuk menyimpulkan suatu karakterisitik berdasarkan simulasi yang telah dilakukan (De Jong & Joolingen, 1998: 180).

Menurut Roestiyah (2001: 20), discovery learning ialah suatu cara mengajar yang melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental melalui tukar pendapat, dengan diskusi, seminar, membaca sendiri dan mencoba sendiri, agar anak dapat belajar sendiri. Siswa secara aktif menemukan sendiri konsep-konsep dalam pembelajaran dengan pengarahan secukupnya dari guru. Proses penemuan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan melakukan kegiatan praktikum di laboratorium. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Kolb (1984), bahwa pengetahuan secara terus-menerus diperoleh dari pengalaman dan pengujian oleh individu. Pembelajaran discovery learning memungkinkan proses pembelajaran yang lebih bermakna sehingga tertanam dengan baik dalam pengetahuan yang diperoleh siswa (De Jong & Joolingen, 1998: 194).


(17)

Penelitian yang berjudul The Effect of Discovery Learning on Students’ Success and Inquiry Learning Skills yang dilakukan oleh Ali Gunay Balim (2009) menunjukkan bahwa penerapan discovery learning dapat meningkatkan keterampilan inkuiri, kemampuan kognitif, dan daya ingat siswa. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan dalam penelitian tersebut dengan mendasarkan kegiatan siswa pada discovery learning dalam pembelajaran sains penting untuk hasil belajar yang lebih bermakna.

Melalui kegiatan praktikum, siswa memperoleh pengalaman serta bukti yang melalui proses pengujian oleh dirinya sendiri sehingga mereka senantiasa mengetahui konsep dari pembelajaran yang dilaksanakan. Proses menemukan sendiri konsep yang dipelajari akan memberikan motivasi kepada siswa untuk melakukan penemuan-penemuan lain sehingga minat belajarnya semakin meningkat. Oleh karena itu, model pembelajaran discovery learning sesuai jika diterapkan dalam kegiatan praktikum karena di dalamnya terdapat proses merencanakan, melaksanakan, dan melaporkan hasil praktikum. Serangkaian keterampilan dalam praktikum ini dikenal dengan Keterampilan Proses Sains (KPS).

1.2

Identifikasi Masalah

Berdasarkan observasi dan wawancara yang telah dilakukan, peneliti mengidentifikasi masalah yang terkait kekurangan dalam proses pembelajaran kimia:

(1) Siswa cenderung menunggu materi dari guru sehingga pembelajaran kurang berkembang.


(18)

(2) Keterlibatan siswa selama proses pembelajaran masih kurang.

(3) Guru cenderung memprioritaskan penyampaian materi di kelas daripada melaksanakan pembelajaran di laboratorium.

(4) Kegiatan praktikum jarang dilaksanakan sehingga keterampilan proses sains siswa rendah.

1.3

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, maka permasalahan yang akan diteliti adalah:

Apakah keterampilan proses sains siswa dapat meningkat dengan penerapan model pembelajaran discovery learning dengan scientific approach?

1.4

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

Mengetahui adanya peningkatan keterampilan proses sains siswa dengan penerapan model pembelajaran discovery learning dengan scientific approach.

1.5

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1.5.1 Manfaat bagi Siswa

(1) Meningkatkan keterampilan proses sains siswa.

(2) Melatih kemampuan siswa untuk berinteraksi dengan siswa lain, guru, dan lingkungan.


(19)

1.5.2 Manfaat bagi Guru

(1) Memberikan informasi atau wacana mengenai model pembelajaran discovery learning.

(2) Memberikan informasi atau wacana mengenai scientific approach. (3) Sebagai alternatif bagi guru dalam pembelajaran kimia untuk upaya

peningkatan KPS siswa. 1.5.3 Manfaat bagi Sekolah

Dapat memberikan sumbangan bagi sekolah dalam rangka perbaikan sistem pembelajaran kimia dan sebagai bentuk inovasi pembelajaran yang dapat diterapkan pada mata pelajaran lain.

1.5.4 Manfaat bagi Peneliti

Penelitian ini dapat digunakan oleh peneliti untuk menambah wawasan dan sebagai acuan untuk mengembangkan penelitian berikutnya.

1.6

Pembatasan Masalah

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) yang didasarkan pada masalah belajar yang muncul di kelas XI IPA 1, SMAN 1 Kendal. Berdasarkan identifikasi masalah, keterampilan siswa rendah dan perlu adanya peningkatan.

Tujuan penelitian ini adalah meningkatkan keterampilan praktikum berdasarkan sepuluh indikator KPS. Indikator-indikator tersebut meliputi keterampilan mengamati, mengelompokkan atau mengklasifikasi, menafsirkan, meramalkan, merumuskan hipotesis, mengajukan pertanyaan,


(20)

merencanakan percobaan, menggunakan alat dan bahan, menerapkan konsep, dan mengkomunikasikan hasil.

Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2013/2014, materi koloid. Materi ini dipilih karena banyak diaplikasikan dan dimanfaatkan untuk keperluan hidup manusia dan pemanfaatan serta produk-produknya sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari.


(21)

9

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Model Pembelajaran

Discovery Learning

Dewasa ini sudah banyak dikembangkan model-model pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran. Pemilihan model pembelajaran yang tepat sangat berperan dalam meningkatkan minat dan semangat belajar siswa agar lebih aktif dan mencapai pemahaman konsep yang maksimal.

Model pembelajaran discovery learning pertama kali diperkenalkan oleh Jerome Bruner yang menekankan bahwa pembelajaran harus mampu mendorong peserta didik untuk mempelajari apa yang telah dimiliki (Rifa’I & Anni, 2011: 233). Menurut pandangan Bruner dalam Markaban (2008: 10) belajar dengan penemuan adalah belajar untuk menemukan, di mana seorang siswa dihadapkan dengan suatu masalah atau situasi yang tampaknya ganjil sehingga siswa dapat mencari jalan pemecahan. Pembelajaran discovery learning memberikan kesempatan kepada siswa untuk ikut serta secara aktif dalam membangun pengetahuan yang akan mereka peroleh. Keikutsertaan siswa mengarahkan pembelajaran pada proses pembelajaran yang bersifat student-centered, aktif, menyenangkan, dan memungkinkan terjadinya informasi antar-siswa, antara siswa dengan guru, dan antara siswa dengan lingkungan.


(22)

Model pembelajaran discovery learning berlandaskan pada teori-teori belajar konstruktivis (Anyafulude, 2013: 2). Menurut pandangan kostruktivisme, belajar adalah proses aktif siswa dalam mengonstruksi arti, wacana, dialog, dan pengalaman fisik dimana di dalamnya terjadi proses asimilasi dan menghubungkan pengalaman atau informasi yang sudah dipelajari (Rifa’i & Anni, 2011: 199).

Dalam pembelajaran discovery learning siswa tidak diberikan konsep dalam bentuk finalnya, melainkan siswa diajak untuk ikut serta dalam menemukan konsep tersebut. Siswa membangun pengetahuan berdasarkan informasi baru dan kumpulan data yang mereka gunakan dalam sebuah pembelajaran penyelidikan (De Jong & Joolingen, 1998: 193). Keikutsertaan menemukan konsep dalam pembelajaran memberikan kesan yang lebih mendalam kepada siswa sehingga informasi disimpan lebih lama dalam memori para siswa. Proses menemukan sendiri konsep yang dipelajari juga memberikan motivasi kepada siswa untuk melakukan penemuan-penemuan lain sehingga minat belajarnya semakin meningkat.

Menurut Syah dalam Kemendikbud (2013: 5), prosedur yang harus dilaksanakan dalam proses pembelajaran disvovery learning adalah:

(1) Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan )

Kegiatan pertama yang harus dilakukan adalah memberikan permasalahan yang menimbulkan rasa ingin tahu siswa untuk melakukan penyelidikan yang lebih mengenai permasalahan tersebut. Selain itu, siswa juga dapat diberikan kegiatan berupa jelajah pustaka,


(23)

praktikum, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah.

(2) Problem Statement (Pernyataan/Identifikasi Masalah)

Langkah selanjutnya adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang ditemukan pada kegiatan awal. Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah. Masalah yang telah ditemukan kemudian dirumuskan dalam bentuk pertanyaan atau hipotesis.

(3) Data Collection (Pengumpulan Data)

Hipotesis yang telah dikemukakan, dibuktikan kebenarannya melalui kegiatan eksplorasi yang dilakukan oleh siswa dengan bimbingan guru. Pembuktian dilakukan dengan mengumpulkan data maupun informasi yang relevan melalui pengamatan, wawancara, eksperimen, jelajah pustaka, maupun kegiatan-kegiatan lain yang mendukung dalam kegiatan membuktikan hipotesis.

(4) Data Processing (Pengolahan Data)

Data-data yang telah diperoleh selanjutnya diolah menjadi suatu informasi yang runtut, jelas, dan bermakna. Pengolahan data dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti diacak, diklasifikasikan, maupun dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu.


(24)

(5) Verification (Pembuktian)

Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan kebenaran hipotesis awal yang telah dikemukakan. Pembuktian didasarkan pada hasil pengolahan data yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya.

(6) Generalization (Menarik Simpulan/Generalisasi)

Tahap generalisasi atau penarikan simpulan adalah proses menarik sebuah simpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama dengan memperhatikan hasil verifikasi. Setelah penarikan simpulan, siswa harus memperhatikan proses generalisasi yang menekankan pentingnya penguasaan pelajaran atas makna dan kaidah atau prinsip-prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang, serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu.

2.2

Scientific Approach

(Pendekatan Ilmiah)

Sains bukanlah pengetahuan yang statis melainkan sebuah proses yang terus menerus tentang penjelajahan dunia dan pencarian untuk mendapatkan sebuah pengertian yang terpercaya mengenai hal tersebut (Jarrard, 2001: 2). Sifat dinamis yang dimiliki oleh sains mengharuskan adanya pendekatan yang sesuai dalam membelajarkan sains kepada siswa. Pendekatan merupakan langkah-langkah yang diciptakan berorientasi pada pencapaian tujuan yang telah ditetapkan (Saptorini, 2011: 50).


(25)

Pelaksanaan kurikulum 2013 mengamanatkan pendekatan ilmiah dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Pendekatan ilmiah adalah suatu pendekatan yang menonjolkan dimensi pengamatan, penalaran, penemuan, pengabsahan, dan penjelasan tentang suatu kebenaran. Oleh karena itu, proses pembelajaran dengan pendekatan ilmiah harus dilaksanakan berdasarkan nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan atau kriteria ilmiah. Menurut Komara (2013) terdapat beberapa kriteria suatu proses pembelajaran disebut ilmiah, yakni :

(1) Materi pembelajaran berbasis fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu.

(2) Penjelasan guru, respon peserta didik, dan interaksi edukatif guru-peserta didik terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis. (3) Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis,

analitis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran. (4) Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotetik

dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari substansi atau materi pembelajaran.

(5) Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon substansi atau materi pembelajaran.


(26)

(6) Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.

(7) Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya.

Hasil pembelajaran yang dilakukan dengan pendekatan scientific (Scientific Approach) diperoleh melalui kegiatan proses mengamati, menanya, mencoba atau mengumpulkan data dan atau informasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan (Kemendikbud, 2013: 5). Penjelasan masing-masing proses adalah sebagai berikut:

(1) Kegiatan mengamati bertujuan agar pembelajaran berkaitan erat dengan konteks situasi nyata yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Proses mengamati fakta atau fenomena mencakup mencari informasi, melihat, mendengar, membaca, dan atau menyimak.

(2) Kegiatan menanya dilakukan sebagai salah satu proses membangun pengetahuan siswa dalam bentuk konsep, prinsip, prosedur, hukum dan teori, hingga berpikir metakognitif. Tujuannnya agar siswa memiliki kemapuan berpikir tingkat tinggi (critical thingking skill) secara kritis, logis, dan sistematis. Proses menanya dilakukan melalui kegiatan diskusi dan kerja kelompok serta diskusi kelas. Praktik diskusi kelompok memberi ruang kebebasan mengemukakan ide/gagasan dengan bahasa sendiri, termasuk dengan menggunakan bahasa daerah. (3) Kegiatan mencoba bermanfaat untuk meningkatkan keingintahuan


(27)

dengan mengumpulkan data, mengembangkan kreativitas, dan keterampilan kerja ilmiah. Kegiatan ini mencakup merencanakan, merancang, dan melaksanakan eksperimen, serta memperoleh, menyajikan, dan mengolah data. Pemanfaatan sumber belajar termasuk mesin komputasi dan otomasi sangat disarankan dalam kegiatan ini. (4) Kegiatan mengasosiasi bertujuan untuk membangun kemampuan

berpikir dan bersikap ilmiah. Data yang diperoleh dibuat klasifikasi, diolah, dan ditemukan hubungan-hubungan yang spesifik. Kegiatan dapat dirancang oleh guru melalui situasi yang direkayasa dalam kegiatan tertentu sehingga siswa melakukan aktivitas antara lain menganalisis data, mengelompokkan, membuat kategori, menyimpulkan, dan memprediksi/mengestimasi dengan memanfaatkan lembar kerja diskusi atau praktik. Hasil kegiatan mencoba dan mengasosiasi memungkinkan siswa berpikir kritis tingkat tinggi (high order thinking skills) hingga berpikir metakognitif.

Pembelajaran dengan pendekatan ilmiah harus mengikuti beberapa prinsip. Prinsip ini dibuat untuk membimbing guru dalam menyusun langkah-langkah pembelajaran sehingga pendekatan yang digunakan terarah dan sesuai. Menurut Kemendikbud (2013: 10) prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Pembelajaran berpusat pada siswa;

(2) Pembelajaran membentuk students’ self concept; (3) Pembelajaran terhindar dari verbalisme;


(28)

(4) Pembelajaran memberikan kesempatan pada siswa untuk mengasimilasi dan mengakomodasi konsep, hukum, dan prinsip;

(5) Pembelajaran mendorong terjadinya peningkatan kemampuan berpikir siswa;

(6) Pembelajaran meningkatkan motivasi belajar siswa dan motivasi mengajar guru;

(7) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatih kemampuan dalam komunikasi;

(8) Adanya proses validasi terhadap konsep, hukum, dan prinsip yang dikonstruksi siswa dalam struktur kognitifnya.

2.3

Keterampilan Proses Sains

Keterampilan Proses Sains (KPS) merupakan keterampilan-keterampilan yang dimiliki oleh para ilmuwan untuk memperoleh dan mengembangkan produk sains (Anitah, 2007: 8). KPS menekankan pada pembentukan keterampilan memperoleh pengetahuan dan mengkomunikasikan perolehannya. Keterampilan diartikan kemampuan menggunakan pikiran, nalar, dan perbuatan secara efisien dan efektif untuk mencapai suatu hasil tertentu, termasuk kreativitas.

Indikator dan sub-indikator keterampilan proses sains dapat dilihat pada Tabel 2.1.


(29)

Tabel 2.1 Indikator dan Sub-indikator KPS No. Indikator Keterampilan Proses Sains Sub-indikator Keterampilan Proses Sains

1 Mengamati - Menggunakan sebanyak mungkin alat indera

- Mengumpulkan dan menggunakan fakta yang relevan 2 Mengelompokkan atau

klasifikasi

- Mencatat setiap pengamatan secara terpisah - Mencari perbedaan dan persamaan

- Mengontraskan ciri-ciri - Membandingkan

- Mencari dasar pengelompokkan atau penggolongan 3 Menafsirkan - Menghubungkan hasil-hasil pengamatan

- Menemukan pola dalam suatu seri pengamatan - Menyimpulkan

4 Meramalkan - Menggunakan pola-pola hasil pengamatan

- Mengungkapkan apa yang mungkin terjadi pada keadaan yang belum diamati

5 Mengajukan pertanyaan - Bertanya apa, mengapa, dan bagaimana. - Bertanya untuk meminta penjelasan.

- Mengajukan pertanyaan yang berlatar belakang hipotesis. 6 Merumuskan hipotesis - Mengetahui bahwa ada lebih dari satu kemungkinan

penjelasan dari suatu kejadian.

- Menyadari bahwa suatu penjelasan perlu diuji kebenarannya dengan memperoleh bukti lebih banyak atau melakukan cara pemecahan masalah.

7 Merencanakan percobaan

- Menentukan alat, bahan dan sumber yang akan digunakan

- Menentukan variabel atau faktor penentu.

- Menentukan apa yang akan diukur, diamati, dicatat. - Menentukan apa yang akan dilaksanakan berupa langkah

kerja 8 Menggunakan alat dan

bahan

- Memakai alat dan bahan

- Mengetahui alasan mengapa menggunakan alat/bahan. - Mengetahui bagaimana menggunakan alat dan bahan. 9 Menerapkan konsep - Menggunakan konsep yang telah dipelajari dalam situasi

baru

- Menggunakan konsep pada pengalaman baru untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi

10 Mengkomunikasikan hasil

- Mengubah bentuk penyajian

- Menggambarkan data empiris hasil percobaan atau pengamatan dengan grafik atau tabel atau diagram - Menyusun dan menyampaikan laporan secara sistematis - Menjelaskan hasil percobaan atau penelitian

- Membaca grafik atau tabel atau diagram

- Mendiskusikan hasil kegiatan mengenai suatu masalah atau suatu peristiwa.


(30)

2.4

Hubungan antara Model Pembelajaran

Discovery Learning

dengan

Scientific Approach

dan Keterampilan Proses Sains

Discovery learning adalah suatu model pembelajaran dimana siswa tidak diberikan pengetahuan dalam bentuk akhir, melainkan siswa berperan aktif dalam menemukan dan membangun suatu konsep. Proses penemuan konsep tersebut menggunakan langkah-langkah yang berorientasi pada pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Pendekatan ilmiah (Scientific Approach) yang berdasar atas kinerja para ilmuwan dalam menemukan sesuatu, merupakan pendekatan yang sesuai untuk membimbing siswa dalam proses penemuan layaknya seorang ilmuwan sehingga apa yang ditemukan benar-benar terpercaya dan teruji.

Penemuan konsep dalam discovery learning dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan, salah satunya praktikum. Pelaksanaan praktikum yang dimaksud tidak hanya kegiatan yang membuat siswa memiliki keterampilan dalam melaksanakan praktikum saja, melainkan keterampilan yang melibatkan 10 indikator keterampilan proses sains. Siswa dituntut untuk terlibat dalam proses penemuan sebuah jawaban dari permasalahan yang diberikan, sehingga keterampilan praktikum siswa dapat disebut sebagai keterampilan proses sains. Oleh karena itu, dengan menerapkan model pembelajaran discovery learning dengan scientific approach diharapkan dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa dalam lingkup materi pokok.


(31)

2.5

Kajian Penelitian yang Relevan

2.5.1 Scientific Discovery Learning with Computer Simulations of Conceptual Domains

Penelitian yang dilakukan oleh Ton de Jong dan Wouter R. van Joolingen (1998) membahas mengenai penggunaan simulasi komputer dalam pembelajaran dengan model Scientific Discovery Learning. Dalam penelitiannya, De Jong dan Van Joolingen menyampaikan efektivitas dan efisiensi pembelajaran discovery learning. Menurut mereka, tugas utama siswa dalam pembelajaran discovery learning adalah mengetahui karakteristik suatu model berdasarkan simulasi. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa discovery learning dengan simulasi dapat menumbuhkan inisiatif siswa dalam proses pembelajaran.

2.5.2 The Effect of Discovery Learning on Students’ Success and Inquiry

Learning Skill

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Ali Gunay Balim (2009) bertujuan untuk mengetahui pengaruh discovery learning pada kemampuan inkuiri, pencapaian akademik, dan ingatan mengenai pengetahuan siswa. Objek penelitian adalah siswa kelas VII. Balim menyatakan bahwa discovery learning adalah sebuah model yang mendorong siswa untuk menarik simpulan berdasarkan aktivitas dan pengamatan yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Hasil dan simpulan dari penelitian ini adalah model discovery learning dapat meningkatkan pencapaian dan kemampuan inkuiri siswa.


(32)

2.5.3 Studying the Effect of Guided Discovery Learning on Reinforcing the Creative Thinking of Sixth Grade Girl Students in Qom during 2012-2013 Academic Year

Tujuan utama dalam penelitian yang dilakukan oleh Ali Gholamian (2013) adalah mempelajari pengaruh guided discovery learning sebagai salah satu model aktif membelajarkan siswa yang memiliki keterampilan berpikir kreatif. Penelitian ini dilakukan kepada siswa perempuan kelas VI yang berjumlah 50 orang. Siswa tersebut kemudian dibagi menjadi kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas eksperimen diberi perlakuan dengan guided discovery learning, sedangkan kelas kontrol dengan pembelajaran tradisional. Setelah dilakukan analisis data dapat disimpulkan bahwa guided discovery learning adalah sebuah langkah yang efisien untuk meningkatkan keterampilan berpikir kreatif siswa.

2.5.4 Secondary School Students’ Assessment of Innovative Teaching Strategies

in Enhancing Achievement in Physics and Mathematics

Penelitian yang dilakukan oleh Agommuoh dan Ifeanacho (2013) adalah sebuah penelitian deskriptif untuk meneliti penilaian siswa SMA terhadap strategi pembelajaran inovatif dalam meningkatkan pencapaian dalam fisika dan matematika. Pencapaian yang dimaksud meliputi pengembangan keterampilan proses (mengobservasi, mengklasifikasikan, mengkomunikasikan, mengukur, mengestimasi, dan memprediksi), keterampilan pemecahan masalah dan penyelidikan, berpikir logis, menghubungkan, dan kreatif. Penelitian dilakukan dengan memilih 190 siswa dari 394 sekolah dengan teknik purposive sampling. Hasilnya adalah para siswa setuju bahwa strategi pembelajaran inovatif yang meliputi model


(33)

inkuiri, discovery learning, diskusi, bermain peran, simulasi, permainan, kelompok belajar, brainstorming, dan strategi sejenis dapat meningkatkan pencapaian dalam fisika dan matematika. Peneliti merekomendasikan strategi pembelajaran inovatif yang telah diteliti untuk digunakan dalam proses pembelajaran fisika dan matematika di sekolah.

2.6

Analisis Materi Pokok

Materi koloid memiliki beberapa sub-materi yang harus dipahami dengan baik oleh siswa. Sub-materi dalam materi pokok koloid adalah sistem koloid, sifat koloid, dan pembuatan koloid. Pemahaman yang baik akan diperoleh siswa melalui proses pembelajaran yang efektif. Oleh karena itu, peneliti menganalisis hal tersebut.

2.6.1 Sistem Koloid

2.6.1.1 Pengertian Sistem Koloid

Campuran adalah penggabungan dua atau lebih zat di mana di dalam penggabungan ini zat-zat tersebut mempertahankan identitasnya masing-masing (Chang, 2008: 7). Berdasarkan ukuran partikel terlarut dalam campuran, campuran dibagi menjadi 3, yaitu larutan, koloid, dan suspensi (Davis, 2006: 425).

Koloid adalah campuran yang tidak mengendap atau memisah menjadi fase yang berbeda (Jespersen et all, 2012: 264). Koloid terdiri atas fase terdispersi dalam ukuran tertentu dalam medium pendispersi. Zat yang didispersikan disebut fase terdispersi (terlarut), sedangkan


(34)

medium atau zat yang digunakan untuk mendispersikan disebut medium pendispersi (pelarut).

Sistem koloid banyak dijumpai dalam bidang kimia terapan dan kimia industri, baik dalam proses pembuatan maupun hasilnya (Kasmadi & Gatot, 2008: 253). Hasil-hasil industri ini banyak kita gunakan dan mudah kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari seperti kosmetik, detergen, margarin, susu, dan lain sebagainya.

Sistem koloid berbeda dengan larutan maupun suspensi. Meskipun ketiganya merupakan campuran tetapi ketiganya mempunyai sifat yang berbeda antar satu dan lainnya. Perbedaan antar campuran tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Perbandingan Sifat Larutan, Koloid, dan Suspensi

Larutan Koloid Suspensi

Homogen, tidak dapat dibedakan walaupun menggunakan mikroskop ultra Homogen secara makroskopis tetapi heterogen jika dilihat dengan mikroskop ultra

Heterogen, baik secara makroskopis maupun mikroskopis

Ukuran partikelnya < 1 nm

Ukuran partikelnya antara 1 nm s.d 1000 nm

Ukuran partikelnya > 1000 nm

Terdiri atas satu fase Terdiri atas dua fase Terdiri atas dua fase

Stabil Pada umumnya stabil

(tidak memisah apabila didiamkan)

Tidak stabil

Tidak dapat disaring menggunakan penyaring biasa maupun penyaring ultra

Hanya dapat disaring menggunakan

penyaring ultra

Dapat disaring


(35)

2.6.1.2 Jenis-jenis Koloid

Penggolongan sistem koloid didasarkan pada jenis fase terdispersi dan medium pendispersinya. Koloid yang mengandung fase terdispersi padat disebut sol, koloid yang mengandung fase terdispersi cair disebut emulsi, dan koloid yang mengandung fase terdispersi gas disebut buih (Parning et all, 2006: 161). Jenis-jenis koloid disajikan pada Tabel 2.3

Tabel 2.3 Jenis-jenis Sistem Koloid

Jenis terdispersi Fase pendispersi Medium Contoh

Busa Gas Cair Buih sabun, krim kocok

Busa padat Gas Padat Batu apung, marshmallow Aerosol cair Cair Gas Kabut, awan

Aerosol padat Padat Gas Asap, debu di udara, asbut

Emulsi Cair Cair Krim, mayonais, susu

Emulsi padat Cair Padat Mentega, keju Sol Padat Cair Cat, jelli (agar-agar) Sol padat Padat Padat Panduan logam, mutiara

(Jespersen et all, 2012: 624) Selain digolongkan berdasarkan fase terdispersi dan medium pendispersinya koloid juga dibedakan berdasarkan sifatnya terhadap pelarutnya. Koloid yang “suka” terhadap pelarutnya disebut koloid liofil, contohnya adalah kanji, sabun, dan tepung. Sedangkan koloid yang takut pelarutnya disebut koloid liofob, contohnya adalah sol emas, besi (II) hidroksida, arsen (III) sulfat, dan lain-lain (Kasmadi & Gatot, 2008: 26). 2.6.2 Sifat-sifat Koloid

Koloid memiliki sifat khas yang berbeda dengan larutan sejati dan suspensi (Purba, 2004: 287). Sifat-sifat koloid, yaitu:


(36)

(1) Efek Tyndall

Efek Tyndall adalah terhamburnya cahaya oleh partikel koloid. Efek ini sering digunakan untuk membedakan larutan sejati dengan koloid karena larutan sejati tidak menghamburkan cahaya.

(2) Gerak Brown

Gerak Brown adalah gerak zig-zag partikel koloid. Gerak ini dapat diamati menggunakan mikroskop ultra. Gerak Brown terjadi akibat tumbukan yang tidak seimbang antara fase terdispersi dengan medium pendispersi. Gerak Brown merupakan salah satu faktor yang menstabilkan koloid karena dengan adanya gerak Brown partikel koloid dapat mengimbangi gaya gravitasi sehingga tidak terjadi sedimentasi (Purba, 2004: 288).

(3) Muatan Koloid a. Elektroforesis

Partikel koloid ada yang bermuatan dan ada yang tidak bermuatan. Muatan suatu partikel koloid dapat diketahui melalui elektroforesis. Elektroforesis adalah pergerakan partikel koloid dalam medan listrik.

b. Adsorpsi

Partikel koloid yang bermuatan dapat menyerap berbagai macam zat pada permukaan. Penyerapan pada permukaan ini disebut adsorpsi. Zat yang diadsorpsi bukan hanya ion maupun zat lain yang bermuatan, tetapi juga molekul-molekul netral.


(37)

Kemampuan adsorpsi partikel koloid dimanfaatkan dalam bidang industri dan kehidupan sehari-hari, antara lain pemutihan gula tebu, pembuatan norit, penjernihan air, pembuatan deodoran, dan lain-lain.

(4) Koagulasi

Penggumpalan partikel koloid disebut koagulasi. Koagulasi dapat terjadi jika terdapat dua sol yang bermuatan bercampur, penetralan elektroforesis muatan sol oleh elektroda, pemanasan sol, dan penambahan elektrolit pada sol. Semakin besar valensi suatu elektrolit semakin mudah menggumpalkan sol (Kasmadi & Gatot, 2008: 27).

Sifat partikel koloid yang dapat terkoagulasi (menggumpal) dimanfaatkan dalam berbagai proses, contohnya penjernihan air, penggumpalan karet dalam lateks, dan pembuatan mesin Cotrell pada pembuangan gas di pabrik-pabrik. Selain itu fenomena pembentukan delta di muara sungai juga merupakan salah satu contoh peristiwa koagulasi di alam.

(5) Koloid Pelindung

Pada beberapa proses, suatu koloid perlu untuk dipecahkan. Akan tetapi, di lain pihak koloid perlu dijaga supaya tidak menggumpal. Perlindungan ini dilakukan dengan menambahkan suatu koloid pelindung, yakni suatu koloid yang ditambahkan dalam sistem koloid lainnya untuk menstabilkan sistem koloid tersebut. Contoh pemanfaatan


(38)

sifat koloid yang dapat digunakan sebagai koloid pelindung adalah dalam pembuatan es krim, cat, dan tinta.

(6) Dialisis

Dialisis adalah suatu proses untuk menghilangkan ion-ion yang mengganggu kestabilan koloid. Sistem kerja dialisis adalah dengan memasukkan sistem koloid ke dalam suatu membran semipermeabel, yakni membran yang dapat dilewati oleh partikel-partikel kecil seperti ion dan molekul sederhana tetapi tidak dapat dilewati oleh partikel koloid. Proses dialisis secara alamiah terjadi dalam proses pemisahan hasil-hasil metaboliseme dalam darah oleh ginjal. Adaptasi proses ini dilakukan dalam proses cuci darah bagi penderita penyakit ginjal. 2.6.3 Pembuatan Koloid

Suatu sistem koloid dapat dibuat dari larutan sejati maupun suspensi (et all, 2006: 170). Pembuatan koloid dari larutan sejati dilakukan dengan mengelompokkan partikel larutan sejati sehingga berukuran seperti partikel koloid, cara ini disebut cara kondensasi. Cara kondensasi Parning pada dasarnya adalah proses pembuatan koloid melalui reaksi kimia terlebih dahulu (Kasmadi & Gatot, 2008: 27). Sedangkan pembuatan koloid dari suspensi dilakukan dengan memperkecil partikel suspensi sehingga berukuran seperti partikel koloid, cara ini disebut cara dispersi. Adapun penjelasan masing-masing cara pembuatan sistem koloid adalah sebagai berikut:


(39)

(1) Cara kondensasi a. Reaksi hidrolisis

Hidrolisis adalah reaksi suatu zat dengan air. Reaksi ini umumnya digunakan dalam pembuatan koloi-koloid basa dari suatu garam. b. Reaksi redoks

Reaksi redoks adalah reaksi yang disertai dengan perubahan bilangan oksidasi. Koloid yang terjadi merupakan hasil oksidasi atau reduksi.

c. Pertukaran ion

Reaksi pertukaran ion umumnya dilakukan untuk membuat koloid dari zat-zat yang sukar larut (endapan) yang dihasilkan pada reaksi kimia.

(2) Cara dispersi

a. Cara mekanik (dispersi langsung)

Cara ini dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel fase terdispersi. Biasanya dilakukan dengan penggilingan atau penggerusan menggunakan lumpang atau penggiling koloid. Hasil penggerusan atau penggilingan kemudian diaduk dengan medium pendispersi.

b. Homogenisasi


(40)

c. Peptisasi

Cara ini dilakukan dengan memecah partikel besar dari suspensi menjadi partikel koloid dengan bantuan zar pemeptisasi (pemecah). d. Busur Bredig

Mekanisme Busur Bredig merupakan gabungan dari cara dispersi dan kondensasi. Biasanya digunakan dalam pembuatan sol-sol logam.

2.7

Kerangka Berpikir

Materi kimia SMA memang membutuhkan pemahaman cukup tinggi sehingga membuat siswa menjumpai banyak kesulitan dalam memahami dan mendalaminya. Materi koloid berisi konsep-konsep yang banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari akan tetapi memerlukan pemahaman yang tinggi dalam mempelajari konsep-konsep tersebut. Pembelajaran yang cenderung bersifat verbalisme kurang cocok diterapkan dalam materi ini karena siswa akan cenderung menghafal sehingga lebih mudah lupa. Siswa akan lebih paham jika melakukan praktikum karena mereka dapat menemukan dan menguji sendiri konsep yang dipelajari. Berdasarkan masalah pembelajaran tersebut, peneliti menyusun suatu kerangka berpikir mengenai penerapan model pembelajaran discovery learning dengan scientific approach untuk meningkatkan keterampilan proses sains siswa SMA. Penerapan model dan pendekatan ini mendorong siswa untuk aktif dalam memahami konsep kimia sekaligus meningkatkan keterampilan


(41)

psikomotorik siswa karena siswa diajak untuk menemukan konsep melalui berbagai kegiatan.

Masalah pembelajaran kimia di SMAN 1 Kendal

- Hasil belajar kognitif sudah baik ( > KKM 77)

- Siswa kurang aktif dalam pembelajaran - Kegiatan praktikum jarang dilakukan - Hasil belajar psikomotorik kurang

Keterampilan psikomotorik siswa perlu ditingkatkan

Penerapan model pembelajaran discovery learning dengan scientific approach untuk meningkatkan ketrampilan psikomotorik siswa melalui sepuluh

indikator KPS

Keterampilan psikomotorik siswa meningkat

Penelitian Tindakan

Kelas

Observasi Wawancara

XI IPA 1


(42)

2.8

Hipotesis Tindakan

Berdasarkan kajian teoretis dan kerangka berpikir, maka hipotesis tindakan penelitian ini adalah penerapan model discovery learning dengan scientific approach dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa.


(43)

31

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1

Lokasi dan Subjek Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian tindakan kelas yang dilakukan di kelas XI IPA 1 SMAN 1 Kendal tahun ajaran 2013/2014. Teknik pemilihan kelas berdasarkan pertimbangan dari guru pengampu dan pengamatan peneliti selama kegiatan PPL karena siswa kelas XI IPA 1 kurang aktif dalam pembelajaran dan KPS yang rendah sehingga perlu ditingkatkan. Siswa kelas XI IPA 1 berjumlah 36 orang, terdiri atas 16 siswa laki-laki dan 20 siswa perempuan.

3.2

Sumber Data

Data dalam penelitian ini meliputi penilaian psikomotorik siswa pada keterampilan proses sains, penilaian afektif yang didasarkan pada hasil pengamatan selama pembelajaran, dan penilaian kognitif siswa setelah pembelajaran yang diperoleh melalui ulangan pada akhir bab.

3.3

Teknik dan Alat Pengumpul Data

3.3.1 Dokumentasi

Teknik dokumentasi dilakukan untuk mengumpulkan dokumen atau data-data yang mendukung penelitian. Pengumpulan data meliputi daftar nama siswa kelas XI IPA 1, nilai ulangan harian semester I, dan wawancara dengan guru mata pelajaran kimia.


(44)

3.3.2 Observasi

Observasi atau pengamatan dilakukan untuk mengetahui kinerja siswa dalam melaksanakan praktikum di laboratorium dan sikap siswa dalam pembelajaran. Observasi dilaksanakan dengan menggunakan lembar pengamatan yang telah melalui tahap validasi dan dilakukan oleh tiga pengamat. Kisi-kisi lembar pengamatan kinerja di laboratorium dikembangkan berdasarkan sepuluh indikator KPS dalam lingkup materi koloid.

3.3.3 Tes

Metode tes digunakan untuk mengetahui pencapaian siswa dalam aspek kognitif setelah pembelajaran. Tes yang diberikan berupa soal uraian yang diberikan setiap akhir siklus.

3.4

Validasi Data

3.4.1 Validitas Instrumen Penilaian Keterampilan Proses Sains

Pengujian validitas instrumen non-tes dilakukan secara expert validity yaitu validitas yang disesuaikan dengan kurikulum dan dikonsultasikan serta disetujui oleh ahli (Widodo, 2009: 60). Dalam hal ini ahli yang dimaksud yaitu dosen dan guru pengampu.

Instrumen lembar observasi yang telah disetujui oleh para ahli diujicobakan untuk mendapatkan validitas instrumen dan validitas butirnya. Data yang telah ditabulasikan dilanjutkan dengan analisis faktor, yaitu dengan mengkorelasikan antar skor item instrumen. Analisis faktor dilakukan dengan beberapa langkah sebagai berikut:


(45)

(1) Mengklasifikasikan faktor-faktor sesuai instrumen yang digunakan. Pada lembar observasi yang telah dibuat dengan 18 butir, diklasifikasikan butir-butir tersebut kedalam 3 (tiga) faktor yaitu: persiapan praktikum (faktor 1), pelaksanaan praktikum (faktor 2), dan pelaporan praktikum (faktor 3). Dimana faktor 1 terdiri atas lima butir, faktor 2 terdiri atas tujuh butir, dan faktor 3 terdiri atas lima butir. (2) Membuat tabel analisis faktor berdasarkan pengklasifikasian faktor

yang telah dibuat sebelumnya.

Tabel 3.1 Format Data Analisis Faktor Uji Coba Instrumen No.

Res.

Skor Faktor 1 untuk Butir No: Jml

1 (X1)

Skor Faktor 2 untuk Butir No: Jml

2 (X2)

Skor Faktor 3

untuk Butir No: Jml 3 (X3)

Jml Skor Total (Y) 1 2 3 4 5 6 7 8 ... 12 13 14 ... 18

R-01 R-02 R-03 R-04

R-05

(3) Menghitung korelasi antara jumlah faktor 1 (X1) dengan jumlah total (Y) sebagai ry1, jumlah faktor 2 (X2) dengan jumlah total (Y) sebagai Ry2 dan jumlah faktor 3 (X3) dengan jumlah total (Y) sebagai Ry3. Bila korelasi tiap faktor tersebut positif dan besarnya lebih dari 0,3 maka faktor tersebut merupakan konstruk yang kuat (Sugiyono, 2010: 178). (4) Menghitung korelasi antara skor butir dengan skor total (Y) untuk

mendapatkan validitas butir. Sesuai jumlah butir, maka ada 17 koefisien korelasi yang perlu dihitung. Bila harga korelasi dibawah 0,30 maka


(46)

dapat disimpulkan bahwa butir instrumen tersebut tidak valid sehingga harus diperbaiki (Sugiyono, 2010: 179).

Perhitungan korelasi sederhana dihitung menggunakan rumus:

∑ (∑ ) ∑

√{ ∑ ∑ } { ∑ ∑ }

(Sudjana, 2005: 369)

Keterangan :

ryi = korelasi antara Xi dengan Y N = jumlah responden

∑ = jumlah total Xi.Y

∑ = jumlah total Xi

∑ = jumlah total Y

∑ = jumlah kuadrat total Xi

∑ = jumlah kuadrat total Y = 1, 2, 3

Tabel 3.2 Format Tabel Perhitungan Validitas Butir No. Item Rhitung Rkritis Keputusan

R1y 0,3 Valid/ Tidak valid

R2y 0,3 Valid/ Tidak valid

R3y 0,3 Valid/ Tidak valid

... 0,3 Valid/ Tidak valid

R17y 0,3 Valid/ Tidak valid

R18y 0,3 Valid/ Tidak valid

3.4.2 Reliabilitas Instrumen Penilaian Keterampilan Proses Sains

Pengujian reliabilitas lembar observasi menggunakan pengujian reliabilitas Raters dengan tiga observer. Data kemudian ditabulasikan seperti dalam Tabel 3.3,

Tabel 3.3 Format Tabel Perhitungan Reliabilitas KPS

Responden Nilai Observer ΣXp (ΣXp)2

Rater 1 Rater 2 Rater 3 Rater 4

R1 x1 x10 x19 X28 ΣX1 (ΣX1)2

R2 x2 x11 x20 X29 ΣX2 (ΣX2)2


(47)

R4 x4 x13 x22 X31 ΣX4 (ΣX4)2

R5 x5 x14 x23 X32 ΣX5 (ΣX5)2

R6 x6 x15 x24 X33 ΣX6 (ΣX6)2

R7 x7 x16 x25 X34 ΣX7 (ΣX7)2

R8 x8 x17 x26 x35 ΣX8 (ΣX8)2

R9 x9 x18 x27 x36 ΣX9 (ΣX9)2

ΣXp ΣXA ΣXB ΣXC

Σ(ΣXp) Σ(ΣXp)2

(ΣXp)2 (ΣXA)2 (ΣXB)2 (ΣXC)2

(Mardapi, 2000: 18) Keterangan:

R1/ 2/ 3.. = responden atau subjek A/ B/ C = observer

x1/ 2/ 3... = nilai dari para observer np = jumlah responden

nr = jumlah raters atau observer kemudian dihitung dengan rumus:

(1) Jumlah Kuadrat Total (JKT)

JKT = ( ∑ ∑ dbt = (np x nr) – 1

(2) Jumlah Kuadrat antar Raters (JKt)

JKt = ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ dbt = nr – 1

(3) Jumlah Kuadrat antar Subjek (JKs)

JKs = ∑ ∑ ∑ ∑ dbt = np– 1

(4) Jumlah Kuadrat Residu (JKr) JKr = JKT ─ JKt ─ JKs dbs = (np - 1) x 2


(48)

Tabel 3.4 Ringkasan Anava untuk Perhitungan Reliabilitas Rating

Variasi JK Db MK

JKT ... (np × nr) - 1 ─

JK antar raters ... nr - 1 ─

JKs ... np - 1

(Vp)

JKr ... (np - 1) × 2

(Ve) (Mardapi, 2000: 19)

Reliabilitas instrumen penilaian untuk seorang rater atau observer:

Sedangkan untuk besarnya reliabilitas rerata dari tiga rater atau observer adalah:

Keterangan:

R11 = reliabilitas penilaian untuk seorang rater atau observer Rkk = reliabilitas rerata dari ketiga rater atau observer Vp = varian untuk responden

Ve = varian untuk kesalahan k = jumlah rater atau observer

3.4.3 Validitas Instrumen Penilaian Kognitif dan Afektif

Perangkat tes dikatakan telah memenuhi validitas konstruk setelah diuji secara construct validity yaitu validitas yang disesuaikan dengan kurikulum dan dikonsultasikan serta disetujui oleh ahli (Sugiyono, 2010: 177). Dalam hal ini, ahli yang dimaksud adalah dosen dan guru pengampu.


(49)

3.4.4 Reliabilitas Instrumen Penilaian Kognitif

Penilaian dalam ranah kognitif menggunakan soal essay. Reliabilitas instrumen dihitung dengan menggunakan Cronbach Alpha. Data yang diperoleh ditabulasikan seperti dalam Tabel 3.5,

Tabel 3.5 Format Tabel Perhitungan Reliabilitas Instrumen Penilaian Kognitif

No. Responden

Skor Jawaban

TOTAL TOTAL2

1 2 3 ... 25

R-01 R-02 … … R-36 Jumlah Jumlah2

Kemudian dihitung dengan rumus:

[ ] [ ∑ ]

Keterangan:

r = koefisien reliabilitas instrumen (cronbach alpha) k = banyaknya butir soal

∑ = total varians butir = total varians

a) Varians butir dihitung dengan cara sebagai berikut:


(50)

b) Total varians dihitung dengan cara sebagai berikut:

3.4.5 Reliabilitas Instrumen Penilaian Afektif

Reliabilitas untuk instrumen lembar observasi menggunakan rumus Spearman Rank yaitu dengan pemberian rangking pada variabel yang akan diukur, rumus yang digunakan yaitu :

Keterangan:

: reliabilitas instrumen : jumlah objek yang diamati : beda peringkat pengamat 1 dan 2

(Sugiyono, 2006: 229)

3.5

Hasil Uji Coba Instrumen

3.5.1.Validitas Instrumen Penilaian Keterampilan Proses Sains

Instrumen yang telah disetujui para ahli diuji cobakan pada kelas uji coba. Data yang telah ditabulasikan dilanjutkan dengan analisis faktor, yaitu dengan mengkorelasikan antar skor item instrumen dengan menggunakan rumus: ∑ (∑ ) ∑

√{ ∑ ∑ } { ∑ ∑ }

.

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh:

1) Koefisien korelasi antara X1 dengan Y (ry1) = 0,733392

2) Koefisien korelasi antara X2 dengan Y (ry2) = 0,351835


(51)

Karena ry1, ry2, dan ry3 ≥ 0,3 maka instrumen lembar observasi dapat dikatakan memiliki konstruk yang kuat.

Validitas butir didapat dengan menghitung korelasi antara skor butir dengan skor total (Y). Sesuai jumlah butir, maka ada 18 koefisien korelasi yang perlu dihitung. Bila harga korelasi dibawah 0,30 maka dapat disimpulkan bahwa butir instrumen tersebut tidak valid sehingga harus diperbaiki (Sugiyono, 2009: 179).

Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh nomor butir 5, 8, 12, 14 dan 15 memiliki koefisien korelasi < 0,3 sehingga dinyatakan tidak valid. Butir yang tidak valid ini diperbaiki karena mewaliki indikator KPS yang diajarkan.

3.5.2.Reliabilitas Instrumen Penilaian Keterampilan Proses Sains

Pengujian reliabilitas lembar observasi menggunakan pengujian reabilitas Raters dengan tiga observer (Mardapi, 2000: 18). Setelah dilakukan analisis data terhadap nilai KPS pada kelas uji coba, diketahui reliabilitas untuk seorang rater atau observer sebesar 0,704083 dan reliabilitas dari tiga observer sebesar 0,92246. Dengan α = 5% pada n = 36, diperoleh rtabel = 0,32. Nilai rhitung ≥ rtabel sehingga dapat dikatakan bahwa instrumen sudah reliabel. Reliabilitas raters menunjukkan kesepahaman antar tiga observer sehingga dengan menggunakan instrumen ini hasil penelitian atau penarikan kesimpulan bisa dipertanggungjawabkan.


(52)

3.5.3.Reliabilitas Instrumen Penilaian Kognitif

Penilaian dalam ranah kognitif menggunakan soal essay. Reliabilitas instrumen dihitung dengan menggunakan Cronbach Alpha.

Data yang diperoleh ditabulasikan kemudian dihitung dengan rumus reliabilitas Cronbach-Alpha. Hasil perhitungan pada α=5% dengan n=36 diperoleh rhitung = 0,794. Karena rhitung > 0,6 jadi instrumen reliabel.

3.5.4 Reliabilitas Instrumen Penilaian Afektif

Reliabilitas untuk instrumen lembar observasi afektif menggunakan rumus Spearman Rank yaitu dengan pemberian rangking pada variabel yang akan diukur. Perhitungan menunjukkan rho hitung=0,556. Nilai rho hitung > 0,399 sehingga lembar pengamatan reliabel dan terjadi kesepakatan antara pengamat I dan II.

3.6

Analisis Data

Analisis data digunakan untuk mengolah data yang diperoleh setelah mengadakan penelitian, sehingga didapat suatu kesimpulan tentang keadaan yang sebenarnya dari obyek yang diteliti. Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

3.6.1.Uji Normalitas Nilai Keterampilan Proses Sains Siswa

Uji kenormalan dilakukan untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal atau tidak sehingga langkah selanjutnya tidak menyimpang dari kebenaran dan dapat dipertanggungjawabkan. Uji statistik yang digunakan adalah uji chi-kuadrat dengan rumus :


(53)

(Sudjana, 2005: 273) Keterangan :

X2 = chi kuadrat

Oi = frekuensi hasil pengamatan Ei = frekuensi yang diharapkan K = banyaknya kelas

Harga X2hitung yang diperoleh dikonsultasikan dengan X2tabel dengan taraf signifikan 5% dan derajat kebebasan (dk) = k – 3. Data berdistribusi normal jika X2 hitung < X2tabel (Sudjana, 2005: 273).

Setelah perhitungan diketahui bahwa data berdistribusi normal, maka dilakukan uji statistika parametrik.

3.6.2.Uji Peningkatan Nilai Keterampilan Proses Sains Siswa

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui apakah nilai KPS siswa telah mengalami peningkatan secara signifikan. Rumus yang digunakan sebagai berikut:

√ ⁄

(Sugiyono, 2010: 96)

Keterangan:

Sd = standar deviasi n = banyaknya siswa B = selisih rata-rata Hipotesis yang diuji dalam analisis ini yaitu :


(54)

Ha : µ2 ≥ µ1 (nilai KPS meningkat secara signifikan)

Melalui uji pihak kiri, apabila thitung > ttabel dengan dk = n-1, maka peningkatan nilai keterampilan proses sains siswa signifikan atau berarti. 3.6.3.Analisis Presentase Peningkatan Nilai Keterampilan Proses Sains Siswa

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui presentase peningkatan nilai KPS siswa dari siklus I ke siklus II, dihitung dengan rumus berikut ini:

Keterangan:

= rata-rata nilai KPS siswa siklus I = rata-rata nilai KPS siswa siklus II 3.6.4.Kategorisasi Nilai Keterampilan Proses Sains Siswa

Nilai KPS siswa dikonversikan pada skala 0 – 100 terlebih dahulu dengan rumus sebelum nilai dikategorisasi:

(Sudjana, 2005: 47) Kemudian nilai yang sudah dikonversikan, dikategorisasi sesuai ketentuan pada Tabel 3.6.

Tabel 3.6 Ketentuan Kategori Nilai KPS Siswa Rentang Nilai Kategori

85 ≤ x Sangat Baik 75 ≤ x < 85 Baik

65 ≤ x < 75 Cukup x < 65 Kurang


(55)

3.6.4 Analisis Ketercapaian Indikator Keberhasilan

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui presentase ketercapaian klasikal (keberhasilan kelas). Rumus yang digunakan untuk mengetahui presentase ketercapaian indikator keberhasilan yaitu:

Keterangan:

n = jumlah seluruh siswa X = jumlah siswa

(Anonim dalam Melly, 2009: 40)

3.7

Indikator Kinerja

Indikator kinerja dalam penelitian tindakan kelas ini adalah lebih dari sama dengan 70% dari jumlah siswa kelas XI IPA 1 mendapat nilai keterampilan proses sains siswa dalam kategori minimal baik. Hal ini berarti minimal 22 dari 36 siswa kelas XI IPA 1 mendapat nilai keterampilan proses sains lebih dari sama dengan 75.

3.8

Prosedur Tindakan

Prosedur penelitian tindakan kelas pada penelitian ini didasarkan pada pendekatan yang dikembangkan oleh Lewin yang terdiri atas perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi (Arikunto, 2006: 92). Adapun rancangan penelitian dalam bentuk bagan adalah sebagai berikut:


(56)

Gambar 3.1 Urutan Pelaksanaan PTK

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam dua siklus dimana setiap siklus terdiri atas empat langkah yaitu perencanaan (planning), tindakan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting). Berikut penjelasan mengenai empat tahap tersebut: 1. Perencanaan (Planning)

Langkah perencanaan merupakan skenario yang dilakukan untuk melakukan tindakan, dimana di dalamnya dilakukan kolaborasi antara peneliti dengan guru pengampu. Perencanaan tindakan meliputi pembuatan RPP, persiapan bahan ajar, persiapan media pembelajaran, dan instrumen penilaian.

Observasi Permasalahan Perencanaan

Tindakan

Pengamatan

Refleksi Perencanaan

Tindakan

Pengamatan

Refleksi

Siklus I

Siklus II


(57)

2. Tindakan (Acting)

Langkah tindakan merupakan implementasi dari apa yang telah direncanakan. Dalam penelitian ini tindakan untuk tiap siklus adalah mengajarkan keterampilan praktikum sebagai keterampilan proses sains dengan model pembelajaran discovery learning dengan scientific approach.

3. Pengamatan (Observing)

Pelaksanaan tindakan dan pengamatan dilakukan secara bersamaan, dan pengamatan dilakukan oleh tiga pengamat untuk menghindari subjektivitas. Pengamatan dilakukan dengan instrumen lembar observasi beserta panduan penilaian.

4. Refleksi (Reflecting)

Langkah refleksi merupakan langkah dimana pada tahap ini dianalisis kemajuan keterampilan proses sains siswa dan kendala-kendala yang muncul ketika dilaksanakan tindakan untuk perbaikan pada siklus berikutnya.


(58)

46

BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1

Hasil Penelitian

Penelitian tindakan kelas ini terlaksana dalam dua siklus dan dilakukan pada 6 Mei 2014 sampai 30 Mei 2014 pada materi koloid. Berdasarkan hasil penelitian, peneliti memperoleh data hasil penelitian berupa angka-angka yang dianalisis untuk mengetahui ada atau tidaknya peningkatan KPS siswa setelah model pembelajaran discovery learning dengan scientific approach diterapkan dalam pembelajaran. Data-data tersebut meliputi hasil observasi KPS siswa, hasil tes kognitif, dan hasil observasi afektif yang dilaksanakan selama penelitian.

4.1.1 Pra-penelitian

Penelitian ini diawali dengan kegiatan pra-penelitian sebelum masuk ke siklus I. Kegiatan pra-penelitian bertujuan untuk mengetahui masalah belajar siswa secara spesifik. Kolaborasi dengan guru pengampu dilakukan dalam kegiatan ini karena guru pengampu merupakan pihak yang paling mengetahui keadaan siswa.

Identifikasi masalah belajar siswa dilakukan melalui dokumentasi nilai, observasi, dan wawancara dengan guru dan beberapa siswa. Data nilai kognitif disajikan pada Tabel 4.1.


(59)

Tabel 4.1 Analisis Nilai Ulangan Harian Siswa kelas XI IPA 1

Hasil Tes Pencapaian

Nilai tertinggi 92

Nilai terendah 60

Rata-rata nilai 79

Jumlah siswa yang tuntas 31

Jumlah siswa yang tidak tuntas 5

Presentase ketuntasan 86,11%

Berdasarkan Tabel 4.1, diketahui nilai kognitif siswa kelas XI IPA 1 sudah mencapai ketuntasan klasikal. Namun, berdasarkan observasi dan wawancara yang telah dilakukan kegiatan praktikum hanya dinilai hasil akhirnya saja dan selama 2 semester hanya dilakukan sebanyak tiga kali. Keterampilan praktikum siswa rendah dan menurut guru pengampu perlu adanya upaya peningkatan. Keterampilan praktikum yang dimaksud tidak hanya keterampilan dalam melaksanakan kegiatan praktikum di laboratorium, tetapi juga keterampilan dalam proses merencanakan dan melaporkan praktikum. Serangkaian keterampilan ini disebut sebagai keterampilan proses sains (KPS). Selain itu, partisipasi siswa dalam pembelajaran masih rendah. Dalam rangka mengatasi masalah tersebut, maka diterapkan model pembelajaran discovery learning dengan scientific approach.

Setelah mengetahui masalah belajar yang dialami oleh siswa dan menetapkan cara mengatasi masalah tersebut, peneliti mempersiapkan instrumen penelitian yang akan digunakan. Instrumen-instrumen yang telah dipersiapkan kemudian diujicobakan terlebih dahulu kepada siswa kelas XII


(60)

IPA 4 yang telah menerima materi koloid sebelumnya. Instrumen yang diuji meliputi lembar observasi penilaian KPS, soal pretest, tes akhir siklus, dan post-test, serta lembar observasi afektif. Uji coba dilaksanakan untuk mengetahui validitas dan reliabilitas instrumen sebelum digunakan. Soal-soal untuk menguji aspek kognitif dan lembar pengamatan afektif siswa telah dinyatakan valid oleh ahli dan berdasarkan analisis data seluruh instrumen dinyatakan reliabel.

Berdasarkan hasil kegiatan pra-penelitian, peneliti mengembangkan tahap kegiatan penelitian tindakan yang didasarkan pada pendekatan yang dikembangkan oleh Lewin yang terdiri atas perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi (Suharsimi, 2006: 92). Berikut pemaparan hasil penelitian dalam siklus I dan II :

4.1.2 Siklus I

1. Perencanaan Siklus I

Perencanaan siklus I didasarkan pada identifikasi masalah yang telah dilakukan. Perencanaan tindakan disusun untuk menguji secara empiris hipotesis tindakan yang ditentukan (Elfanany, 2013: 55). Pada penelitian ini perencanaan tindakan meliputi penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran yang mencakup model pembelajaran discovery learning dengan scientific approach dan mempersiapkan instrumen penelitian berupa lembar observasi penilaian KPS, soal-soal untuk mengetahui ketercapaian kognitif siswa, lembar pengamatan afektif siswa, dan bahan ajar dengan materi pokok koloid.


(61)

2. Tindakan Siklus I

Tahap tindakan merupakan implementasi dari perencanaan tindakan, yaitu realisasi model pembelajaran discovery learning dengan scientific approach untuk meningkatkan KPS siswa. Sebelum masuk ke pertemuan pertama siklus I, siswa dibagi menjadi sembilan kelompok dan tiap kelompok diberi tugas untuk merancang praktikum pengamatan larutan, koloid, dan suspensi.

Siklus I dilaksanakan dalam tiga pertemuan. Pada pertemuan pertama diawali dengan kegiatan presentasi alur kerja yang sudah ditugaskan oleh guru pada pertemuan sebelumnya. Presentasi dilakukan oleh perwakilan kelompok, dilanjutkan dengan diskusi kelas untuk menentukan alur kerja yang paling mungkin dilakukan dengan bimbingan guru.

Berdasarkan hasil diskusi diperoleh satu rancangan yang digunakan pada kegiatan praktikum. Dalam kegiatan praktikum yang dilaksanakan di laboratorium siswa mempraktikkan cara menentukan jenis-jenis campuran, mengetahui perbandingan sifat antara larutan, koloid, dan suspensi, dan efek Tyndall.

Kegiatan presentasi dan diskusi kelas dilakukan setelah siswa melaksanakan praktikum. Kegiatan ini membahas tentang hasil praktikum dan materi-materi lain pada koloid yang tidak dipraktikumkan. Materi tersebut adalah jenis-jenis koloid dan sifat-sifat


(62)

koloid. Tes akhir siklus I dilakukan setelah siswa berdiskusi. Laporan praktikum I tiap individu dikumpulkan pada akhir pembelajaran.

3. Pengamatan Siklus I

Tahap pengamatan dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan tindakan. Teknik pengamatan dilaksanakan menggunakan format lembar observasi terstruktur dan teruji, serta penilaian dilakukan oleh tiga observer. Kisi-kisi lembar observasi dikembangkan berdasarkan 10 indikator keterampilan proses sains dalam lingkup materi pokok koloid.

Butir-butir KPS yang meliputi : (1) mampu merancang praktikum sesuai dengan sistematika yang tepat dan jelas, (2) membuat bagan alur kerja yang mudah dibaca dan sesuai prosedur, (3) memprediksi suatu campuran yang memiliki sifat-sifat tertentu didasarkan pada konsep yang telah dipelajari, dan (4) mengajukan hipotesis awal mengenai hasil percobaan melalui tafsiran ilmiah (dugaan sementara) diamati pada saat siswa melakukan diskusi menentukan alur kerja yang akan digunakan pada praktikum pengamatan larutan, koloid, dan suspensi. Adapun butir (5) mematuhi prosedur keselamatan kerja, (6) mengecek kebersihan dan kesiapan alat dan bahan sebelum melaksanakan praktikum, (7) menimbang bahan dengan tepat, (8) mengukur volume larutan dengan benar, (9) mencampur bahan, (10) mengamati sifat-sifat campuran dengan teliti, (11) memasukkan campuran berdasarkan pengamatan, (12) membersihkan dan merapikan kembali alat dan meja praktikum diamati ketika siswa melaksanakan praktikum di laboratorium. Laporan siswa


(63)

dan diskusi kelompok pada akhir pertemuan siklus I dinilai dengan lembar penilaian KPS siswa pada butir-butir sebagai berikut: (13) mengelompokkan berdasarkan data pengamatan, (14) menganalisis hasil praktikum berdasarkan konsep yang dipelajari, (15) menyimpulkan data dari praktikum yang telah dilaksanakan, (16) menuliskan hasil praktikum pada laporan praktikum dengan sistematika yang benar, (17) mempresentasikan hasil praktikum dengan komunikatif, kreatif, dan menarik, dan (18) mengajukan suatu permasalahan ketika diskusi kelas berlangsung.

4. Refleksi Siklus I

Tahap refleksi merupakan tahap evaluasi terhadap pembelajaran yang telah dilakukan. Refleksi dilakukan peneliti berkolaborasi dengan guru pengampu. Peneliti bersama guru pengampu mengidentifikasi kekurangan berdasarkan nilai siswa pada setiap indikator KPS untuk memperbaiki proses pembelajaran pada siklus I. Nilai per indikator KPS siklus I ditunjukkan pada Gambar 4.1.


(64)

Gambar 4.1 Nilai Tiap Indikator KPS Siklus I

Berdasarkan Gambar 4.1, nilai rata-rata tiap butir secara umum sudah cukup baik ditunjukkan oleh dua dari sepuluh indikator memperoleh nilai rata-rata baik (75 ≤ x < 85), tiga indikator memperoleh nilai rata-rata cukup (65 ≤ x < 75), dan lima indikator memperoleh nilai rata-rata kurang. Kelima indikator yang mendapat nilai rata-rata kurang yakni: (1) merencanakan percobaan, (2) mengajukan hipotesis, (3) mengamati, (4) mengkomunikasikan hasil, dan (5) mengajukan pertanyaan sehingga dibutuhkan perbaikan.

Rendahnya nilai pada kelima indikator tersebut disebabkan kurangnya pengetahuan siswa dalam membuat bagan alur kerja berdasarkan langkah kerja yang mereka peroleh dan bagaimana seharusnya sebuah hipotesis dirumuskan. Selain itu, siswa merasa takut dan kurang percaya diri untuk menyampaikan pendapat dalam diskusi kelas.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Keterangan:

1. Merencanakan percobaan 6. Mengamati

2. Meramalkan 7. Menafsirkan

3. Mengajukan hipotesis 8. Menerapkan konsep

4. Menggunakan alat dan bahan 9. Mengkomunikasikan hasil


(65)

Selain mengevaluasi hasil penilaian KPS, peneliti dan guru pengampu juga mengevaluasi aspek kognitif dan afektif siswa. Data analisis hasil pretest dan tes akhir siklus I disajikan pada Tabel 4.2. Adapun data analisis afektif siswa disajikan pada Tabel 4.3.

Tabel 4.2 Analisis Hasil Pretest dan Tes Akhir Siklus I

Data Pretest Tes Akhir Siklus I

Nilai tertinggi 80 84

Nilai terendah 30 63

Rata-rata nilai 71,86 75,22

Jumlah siswa yang tuntas 21 26

Jumlah siswa yang tidak

tuntas 15 10

Berdasarkan data pada Tabel 4.2, rata-rata nilai dari pretest ke tes akhir siklus mengalami peningkatan dari 71,86 menjadi 75,22. Proporsi ketuntasan pada pretest adalah 52, 78% dan meningkat menjadi 72,22 % pada tes akhir siklus I. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran yang dilakukan memberikan pengaruh positif pada aspek kognitif siswa.

Tabel 4.3 Analisis Hasil Afektif Siswa pada Siklus I Kriteria Proporsi Siswa

Sangat Baik 7/36 siswa

Baik 18/36 siswa

Cukup 8/36 siswa

Kurang 3/36 siswa

Sangat Kurang 0/36 siswa

Dari Tabel 4.3 diketahui bahwa 25 siswa aspek afektifnya sudah baik dan 11 siswa masih memerlukan bimbingan dan motivasi tambahan dari guru.


(66)

Berdasarkan hasil penilaian pada siklus I rata-rata nilai KPS siswa sebesar 62,89. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah siswa yang memperoleh nilai KPS dalam kategori minimal baik kurang dari 70% dan indikator keberhasilan dalam penelitian belum tercapai.

Setelah melakukan refleksi dan berdiskusi dengan guru pengampu, maka rancangan untuk dilakukan pada siklus II agar terjadi peningkatan KPS adalah dengan: (1) memberikan tugas tambahan kepada siswa untuk menggambarkan alur kerja di kertas manila sehingga alur kerja yang dibuat lebih jelas, (2) jelajah pustaka mengenai bagian-bagian neraca o’hauss dan gelas ukur, (3) jelajah pustaka mengenai perumusan hipotesis dan ciri-ciri hipotesis yang baik sehingga hipotesis yang dibuat selanjutnya lebih baik, (4) guru memberikan motivasi kepada siswa untuk meningkatkan daya jelajah mengenai materi dan berani menyampaikan pendapat ketika diskusi kelas berlangsung sehingga pengetahuan yang diperoleh semakin berkembang.

Tindakan yang direncanakan untuk dilakukan pada siklus II sesuai dengan pendapat Roestiyah (2001: 22), yang menyatakan bahwa dalam discovery learning siswa dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses mental itu sendiri, guru hanya membimbing dan memberikan instruksi. Hal ini juga sesuai dengan yang disampaikan oleh Aktamis & Ergin (2008 : 5), bahwa tujuan dalam pembelajaran sains adalah untuk membuat seseorang menggunakan keterampilan proses sains.


(67)

4.1.3 Siklus II

1. Perencanaan Siklus II

Perencanaan siklus II didasarkan pada hasil refleksi siklus I. Perencanaan pada pembelajaran siklus II, dilakukan dengan revisi pada RPP kemudian dilakukan pembelajaran yang sama seperti pada siklus I dengan penekanan pada lima indikator yang nilainya masih rendah. 2. Tindakan Siklus II

Siklus II dilakukan dalam dua pertemuan. Sebelum masuk pada pertemuan pertama siklus II, siswa diberi tugas membuat rancangan praktikum pembuatan koloid lengkap dengan alur kerja yang dibuat pada kertas manila. Selain itu, siswa juga ditugaskan untuk menggambar bagian-bagian neraca o’hauss dan gelas ukur. Siswa juga melaporkan jelajah pustaka mengenai ciri-ciri hipotesis yang baik dalam penelitian.

Pertemuan pertama dilaksanakan di kelas dengan kegiatan presentasi alur kerja praktikum pembuatan koloid oleh kelompok terpilih. Kegiatan dilanjutkan dengan diskusi menentukan cara kerja yang paling mungkin dilaksanakan dengan bimbingan guru.

Penugasan oleh guru kepada siswa untuk membuat alur kerja di kertas manila memberikan efek positif pada pembelajaran, yakni alur kerja yang dibuat lebih mudah dipahami. Selain itu, kelompok terpilih tidak perlu menggambar kembali alur kerja di papan tulis sehingga waktu yang digunakan lebih efektif untuk berdiskusi.


(68)

Jelajah pustaka mengenai ciri-ciri hipotesis yang baik memberikan pengetahuan baru kepada siswa mengenai penyusunan hipotesis. Siswa mendapat pengetahuan baru bahwa hipotesis menggunakan kalimat negatif dan terdapat hubungan antar-variabel dalam hipotesis tersebut.

Berdasarkan hasil diskusi diperoleh suatu rancangan yang digunakan pada kegiatan praktikum. Pada siklus II siswa melakukan praktikum pembuatan koloid secara berkelompok. Pembuatan koloid yang dipraktikkan oleh siswa meliputi pembuatan koloid secara kondensasi dan dispersi. Kelompok praktikum pada siklus II sama dengan siklus I. Pengulangan kegiatan yang dilakukan sebagai upaya penguatan keterampilan praktikum yang telah dipelajari sebelumnya.

Jelajah pustaka yang dilakukan siswa mengenai bagian-bagian neraca o’hauss dan gelas ukur menyebabkan pekerjaan siswa lebih teratur dan tidak gaduh. Masing-masing siswa sudah mengetahui cara penggunaan alat dan bahan sehingga suasana kelas lebih kondusif.

Siswa diminta menyampaikan laporan sementara secara lisan setelah siswa selesai melaksanakan praktikum kepada guru. Kemudian guru menunjukkan beberapa hasil percobaan dan memulai diskusi. Setelah diskusi selesai guru memberikan tugas kepada siswa agar menyelesaikan dan mengumpulkan laporan praktikum secara individu pada pertemuan selanjutnya. Selanjutnya dilakukan tes akhir siklus II untuk mengukur aspek kognitif siswa setelah model pembelajaran discovery learning dengan scientific approach diterapkan pada siklus II.


(69)

3. Pengamatan Siklus II

Tahap pengamatan atau observasi dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan tindakan sama seperti pada siklus I. Teknik pengamatan dilaksanakan menggunakan format lembar observasi terstruktur dan teruji, serta penilaian dilakukan oleh tiga observer. Kisi-kisi lembar observasi dikembangkan berdasarkan 10 indikator keterampilan proses sains dalam lingkup materi pokok koloid.

Butir-butir KPS yang meliputi : (1) mampu merancang praktikum sesuai dengan sistematika yang tepat dan jelas, (2) membuat bagan alur kerja yang mudah dibaca dan sesuai prosedur, (3) memprediksi suatu campuran yang memiliki sifat-sifat tertentu didasarkan pada konsep yang telah dipelajari, dan (4) mengajukan hipotesis awal mengenai hasil percobaan melalui tafsiran ilmiah (dugaan sementara) diamati pada saat siswa melakukan diskusi menentukan alur kerja yang akan digunakan pada praktikum pembuatan koloid. Adapun butir (5) mematuhi prosedur keselamatan kerja, (6) mengecek kebersihan dan kesiapan alat dan bahan sebelum melaksanakan praktikum, (7) menimbang bahan dengan tepat, (8) mengukur volume larutan dengan benar, (9) mencampur bahan, (10) mengamati sifat-sifat campuran dengan teliti, (11) memasukkan campuran berdasarkan pengamatan, (12) membersihkan dan merapikan kembali alat dan meja praktikum diamati ketika siswa melaksanakan praktikum di laboratorium. Laporan sementara siswa dan diskusi kelas pada akhir kegiatan praktikum siklus II dinilai dengan lembar penilaian


(70)

KPS siswa pada butir-butir sebagai berikut: (13) mengelompokkan berdasarkan data pengamatan, (14) menganalisis hasil praktikum berdasarkan konsep yang dipelajari, (17) mempresentasikan hasil praktikum dengan komunikatif, kreatif, dan menarik, dan (18) mengajukan suatu permasalahan ketika diskusi kelas berlangsung. Butir KPS (15) menyimpulkan data dari praktikum yang telah dilaksanakan, (16) menuliskan hasil praktikum pada laporan praktikum dengan sistematika yang benar diamati setelah siswa menyelesaikan laporan praktikum.

4. Refleksi Siklus II

Tahap refleksi merupakan tahap dimana peneliti mengevaluasi tindakan dengan melihat ketercapaian indikator keberhasilan. Nilai setiap indikator KPS siswa pada siklus II juga diidentifikasi untuk mengetahui apakah solusi pada refleksi siklus I dapat mengatasi kekurangan-kekurangan yang muncul. Nilai per indikator KPS siklus II dapat dilihat pada Gambar 4.2.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)