1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tahun ajaran 20132014 adalah awal penerapan kurikulum baru oleh pemerintah di bidang pendidikan. Kurikulum yang dimaksud adalah
kurikulum 2013 sebagai pengganti dari KTSP yang telah digunakan selama enam tahun terakhir. Perubahan kurikulum dilakukan sebagai upaya untuk
memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia agar dapat bersaing di tingkat internasional dan juga sebagai usaha untuk mengatasi perubahan yang
terjadi akibat arus globalisasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Mulyasa 2004: 4 yang menyatakan bahwa sistem pendidikan nasional senantiasa
harus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi baik di tingkat lokal, nasional, maupun global.
Proses pembelajaran dalam kurikulum 2013 diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik
untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Penyusunan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, serta penilaian proses
pembelajaran dengan strategi yang benar harus dipersiapkan dengan cermat agar dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas ketercapaian standar
kompetensi lulusan. Standar kompetensi lulusan adalah kriteria mengenai kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan
keterampilan. Seluruh ilmu yang dipelajari dalam tiap satuan pendidikan harus mampu memenuhi standar kompetensi lulusan yang diamanatkan oleh
pemerintah. Pelaksanaan
pembelajaran kurikulum
2013 mengamanatkan
penggunaan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah scientific approach adalah pendekatan yang menonjolkan dimensi pengamatan, penalaran,
penemuan, pengabsahan, dan penjelasan mengenai suatu kebenaran. Pendekatan ini memberi kesempatan untuk meningkatkan kemampuan
siswa dalam
melakukan observasi,
bertanya, menalar,
dan mengkomunikasikan pengetahuan yang diperoleh dari proses pembelajaran.
Melalui tahapan-tahapan dalam pembelajaran yang berpendekatan scientific, siswa dibimbing secara bertahap untuk mengorganisasikan dan melakukan
penelitian. Proses pembelajaran dengan scientific approach meliputi ranah kognitif, psikomotorik, dan afektif sehingga dapat membentuk siswa yang
produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi.
Ilmu kimia sebagai salah satu mata pelajaran dalam satuan pendidikan juga harus mampu melaksanakan amanat tersebut. Kimia merupakan ilmu
yang diperoleh dan dikembangkan berdasarkan eksperimen untuk mencari jawaban atas pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana gejala-gejala alam
berlangsung, khususnya yang berkaitan dengan zat Diknas, 2003: 7.
Pengenalan ilmu kimia dimulai sejak tingkat SMP, bergabung dengan biologi dan fisika dalam mata pelajaran IPA. Pembelajaran kimia kemudian
dilanjutkan di tingkat SMA dan menjadi mata pelajaran mandiri yakni mata pelajaran kimia.
Berdasarkan observasi yang telah dilakukan, terlihat bahwa pembelajaran kimia di SMAN 1 Kendal sudah cukup baik, yakni guru sudah
mengaitkan materi dengan hal-hal yang dialami dan mudah ditemukan siswa dalam kehidupan sehari-hari. Sistem pembelajaran yang dilakukan guru
membuat hasil belajar kognitif siswa cukup tinggi, terlihat dari rata-rata nilai siswa kelas XI pada semester ganjil tahun ajaran 20132014 adalah
80,75 dimana nilai tersebut lebih dari KKM yang hanya 77. Peneliti juga telah melakukan wawancara dengan Dra. Wiwik Sri
Lestari sebagai salah satu guru kimia di SMAN 1 Kendal. Menurut Dra. Wiwik Sri Lestari meskipun sudah dikaitkan dengan hal-hal yang ada dalam
kehidupan sehari-hari siswa masih pasif dalam proses pembelajaran. Guru
berfungsi sebagai sumber belajar utama yang menyajikan pengetahuan kimia kepada siswa kemudian siswa hanya memperhatikan penjelasan dan
contoh yang diberikan oleh guru tanpa terlibat langsung dalam penemuan dan pengonstruksian pengetahuan. Kegiatan pembelajaran masih kurang
mengembangkan proses interaksi antar peserta didik, antara peserta didik dengan guru, dan sumber belajar pada suatu lingkungan. Selain itu,
berdasarkan wawancara dengan siswa, pembelajaran di laboratorium selama kelas X dan XI hanya pernah dilakukan sebanyak tiga kali. Hal ini
dibenarkan oleh guru mata pelajaran kimia yang menyatakan bahwa kegiatan praktikum hanya dilakukan pada materi-materi tertentu saja.
Kurangnya kegiatan praktikum menyebabkan rendahnya keterampilan proses sains siswa.
Berdasarkan permasalahan yang ada, peneliti menerapkan model pembelajaran discovery learning sebagai upaya meningkatkan keterampilan
proses sains. Model ini mengedepankan peran aktif siswa dalam pembelajaran, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator dalam membantu
siswa menemukan dan mengonstruksikan pengetahuan yang dipelajari. Siswa bertugas untuk menyimpulkan suatu karakterisitik berdasarkan
simulasi yang telah dilakukan De Jong Joolingen, 1998: 180. Menurut Roestiyah 2001: 20, discovery learning ialah suatu cara
mengajar yang melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental melalui tukar pendapat, dengan diskusi, seminar, membaca sendiri dan mencoba
sendiri, agar anak dapat belajar sendiri. Siswa secara aktif menemukan sendiri konsep-konsep dalam pembelajaran dengan pengarahan secukupnya
dari guru. Proses penemuan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan melakukan kegiatan praktikum di laboratorium. Hal ini
sesuai dengan yang disampaikan oleh Kolb 1984, bahwa pengetahuan secara terus-menerus diperoleh dari pengalaman dan pengujian oleh
individu. Pembelajaran discovery learning memungkinkan proses pembelajaran yang lebih bermakna sehingga tertanam dengan baik dalam
pengetahuan yang diperoleh siswa De Jong Joolingen, 1998: 194.
Penelitian yang berjudul The Effect of Discovery Learning on Students’ Success and Inquiry Learning Skills yang dilakukan oleh Ali
Gunay Balim 2009 menunjukkan bahwa penerapan discovery learning dapat meningkatkan keterampilan inkuiri, kemampuan kognitif, dan daya
ingat siswa. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan dalam penelitian tersebut dengan mendasarkan kegiatan siswa pada discovery learning dalam
pembelajaran sains penting untuk hasil belajar yang lebih bermakna. Melalui kegiatan praktikum, siswa memperoleh pengalaman serta
bukti yang melalui proses pengujian oleh dirinya sendiri sehingga mereka senantiasa mengetahui konsep dari pembelajaran yang dilaksanakan. Proses
menemukan sendiri konsep yang dipelajari akan memberikan motivasi kepada siswa untuk melakukan penemuan-penemuan lain sehingga minat
belajarnya semakin meningkat. Oleh karena itu, model pembelajaran discovery learning
sesuai jika diterapkan dalam kegiatan praktikum karena di dalamnya terdapat proses merencanakan, melaksanakan, dan melaporkan
hasil praktikum. Serangkaian keterampilan dalam praktikum ini dikenal dengan Keterampilan Proses Sains KPS.
1.2 Identifikasi Masalah