Gambar 7. Salah Satu Aktifitas yang Ada di Kedai Kopi
3.7. Tidur
Selain bermain kartu terdapat pula mereka yang memilih melakukan aktifitas lain. Alasannya beragam mulai dari malas mengobrol sampai lelah
dengan pekerjaan yang telah mereka lakukan. Sebagian dari mereka tersebut memilih tidur.
Tidur menjadi aktifitas yang cukup sering dilakukan oleh mereka yang bekerja sebagai buruh bangunan ataupun supir. Jadwal istirahat mereka yang
singkat dan pekerjaan yang berat terkadang membuat mereka lelah dan mengantuk. Dan tidur menjadi pilihan mereka di sela sela waktu istirahat.
Para pekerja yang tidur ini biasa mengambil posisi telentang diatas bangku panjang. Mereka merebahkan tubuh mereka dengan topi yang menutupi wajah
Universitas Sumatera Utara
mereka. Ada pula yang tidur sambil duduk dan meletakkan wajah mereka di meja dengan berpangku pada tangan. Kebiasaan ini biasa mereka lakukan ketika waktu
menunjukkan pukul satu sampai dua siang.
Gambar 8 . Salah Satu Pengunjung yang Tidur di Kedai Kopi
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PERAN KEDAI KOPI
4.1. Kedai Kopi Sebagai Ruang Publik
Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkumpul atau berhubungan dengan manusia lain. Oleh karena itu manusia tidak dapat hidup
terpisah total dari kumpulannya. Tiap manusia yang berkumpul itu melaksanakan aktifitasnya, baik itu aktifitas individu maupun aktifitas kelompok. Secara sadar
ataupun tidak sadar telah melakukan interaksi pula. Dalam rangka melaksanakan interaksi yang sehat dan baik, manusia
membentuk bermacam - macam kelompok sosial, mulai kelompok yang paling kecil sampai pada kelompok yang lebih besar.
Gerungan 1983 :90 membagi kelompok sosial menjadi dua bagian, yaitu : • Kelompok primer
• Kelompok sekunder Dari kedua pengelompokan ini, yang lebih condong kepembahasan adalah
kelompok primer. Gerungan 1983 : 90 memberikan batasan bahwa kelompok primer adalah kelompok dimana anggota - anggotanya sering berhadapan muka
antara satu dengan yang lain, saling mengenal dari dekat dan berhubungan dengan erat. Dari uraian - uraian diatas, maka tidak ada alasan yang bisa menolak
keberadaan kedai kopi sebagai suatu kelompok sosial yang sekaligus menjadi sarana interaksi.
Sebuah kedai kopi, pada saat beroperasi, dikunjungi orang yang hendak membeli segelas kopi. Disini penjual minuman kopi dan pembeli minuman kopi
Universitas Sumatera Utara
bertemu. Dan pada saat itu pula penjual dan pembeli mengadakan interaksi dan komunikasi yang bertujuan untuk mengadakan transaksi pertukaran benda dan
jasa ekonomi berdasarkan sistem harga yang disepakati. Tapi kedai kopi bukan hanya pertemuan penjual dan pembeli saja, tetapi antara sesama pembeli. Dan
inilah pokok yang lebih mendalam. Kedai kopi itu bukan hanya tempat ngopi tapi tempat kita
menumpahkan semua keluh kesah. Tidak jarang banyak ekspresi yang terjadi dari setiap pengunjung yang datang.
Mulai dari ekspresi sedih ekspresi gembira hingga ekspresi marah. Semua ada dan tidak ada yang melarang.
Semua bebas disini.
Aktifitas sosial dapat diartikan sebagai kegiatan yang membutuhkan kehadiran orang lain Zhang dan Lawson, 2009. Kegiatan ini dapat berupa
perbincangan santai di pinggir jalan, bertatap muka maupun kegiatan anak-anak bermain di taman kota.
Kedai kopi dengan berbagai sifatnya juga mencerminkan aktifitas sosial. Dimana aktifitas itu membutuhkan orang lain. Kedai kopi menjadi sarana
berbincang - bincang berupa apa saja selama mereka yang berbincang merasa nyaman dengan topiknya.
Ya siapapun tahu kedai kopi itu tempat umum tempat orang berkumpul melepas lelah dan ini menjadi bagian
aktifitas yang terjalin hangat di kedai kopi.saat itulah kedai kopi menjadi ruang publik.
Penanganan ruang publik yang kreatif dapat mendukung terbentuknya aktifitas sosial antara orang-orang yang tidak saling mengenal sebelumnya.
Adanya pementasan kesenian di taman kota dapat menjadi contoh. Kegiatan- kegiatan kreatif yang diselenggarakan di ruang-ruang terbuka baik yang
bertujuan komersial maupun non-komersial dapat mendorong warga untuk saling
Universitas Sumatera Utara
berbincang atau sekedar saling mengomentari kegiatan kreatif tersebut, demikian juga dengan pemasangan karya seni instalasi di ruang publik.
Kedai kopi juga menjadi ruang publik. Semakin bagus tata ruang atau semakin nikmat racikan kopi yang dibuat akan menjadikan orang merasa nyaman
untuk beraktifitas disana. Bahkan harga yang juga bersaing akan menambah daya tarik seseorang untuk menghabiskan waktu di kedai kopi.
Orang yang nongkrong di kedai kopi juga tidak sembarangan nongkrong. Ramenya kedai kopi itu bisa
jadi karena kopinya enak, atau tempatnya nyaman atau harganya murah. Atau karena banyak yang dikenal di
kedai kopi .
Dengan demikian kedai kopi Girik yang ada di perumnas Simalingkar bukan hanya berfungsi sebagai transaksi jual beli saja. Namun oleh masyarakat
digunakan sebagai sebuah interaksi yang membentuk ruang publik. Ruang publik adalah ruang dalam suatu kawasan yang dipakai masyarakat
penghuninya untuk melakukan kegiatan kontak publik. Whyte dalam Carmona dkk. 2003. Dengan kata lain ruang publik adalah sebuah tempat bebas dimana
masyarakat sebagai penghuninya memiliki kebebasan untuk berekspresi.
Bagan I . Kedai Kopi Sebagai Ruang Publik
Kedai Kopi
Ruang Publik
Bebas Berekspresi
Universitas Sumatera Utara
Menurut Whyte dalam Carmona 2003 , ruang publik yang bisa berfungsi optimal untuk kegiatan publik bagi komunitasnya, biasanya mempunyai ciri-ciri
antara lain : merupakan lokasi yang strategis sibuk, mempunyai akses yang bagus secara visual dan fisik, ruang yang merupakan bagian dari suatu jalan jalur
sirkulasi, mempunyai tempat untuk duduk – duduk antara lain berupa anak – anak tangga, dinding atau pagar rendah, kursi dan bangku taman, ruang yang
memungkinkan penggunanya dalam melakukan aktifitas komunikasi bisa berpindah – pindah tempat posisi sesuai dengan karakter dan suasana yang
diinginkan. Menilik tentang hal yang diutarakan oleh White diatas kedai kopi memiliki
kriteria yang tepat sesuai gambarannya. Kedai kopi biasa dibangun ditempat yang strategis seperti pinggir jalan , dibawah pohon rindang atau disudut gang. Hal ini
berguna sebagai kenyamanan yang akan tercipta bagi pengunjungnya. Kedai kopi itu haruslah nyaman, kalau tak nyaman
gimana mau banyak yang ngopi ngopi disini. Untuk itu lokasinya juga perlu diperlu diperhatikan. Apa dia
dibawah pohon biar tempatnya sejuk atau di pinggir jalan tapi pake terpal penutup biar abunya tak banyak masuk.
Bagan II . Keseimbangan Kedai Kopi Dengan Strategi Pemilihan Lokasi
Kedai Kopi
Strategi Pemilihan
Lokasi
Universitas Sumatera Utara
Dalam kajian ruang publik sangat diperlukan integrasi sosial. Sauter dan Huettenmoser 2008 mempergunakan tiga dimensi untuk mengukur integrasi
sosial dalam kajian ruang publik, antara lain : • Dimensi struktural, yang berkaitan dengan aksesibilitas dan penggunaan
ruang. • Dimensi interaktif, yang terkait dengan hubungan sosial, jenis aktivitas
pada ruang publik serta adanya kemungkinan partisipasi pada aktivitas dan pengambilan keputusan di tingkat lokal.
• Dimensi subjektif, yang terkait dengan kepuasan personal terhadap pengelolaan lingkungan serta persepsi mengenai keterlibatan warga secara
sosial.
Bagan III . Dimensi yang Tercipta Dari Kedai Kopi
Dari tiga dimensi yang di utarakan di atas kedai kopi benar - benar sangat tergantung dengan integrasi sosial. Seperti dimensi struktural di mana kedai
kopi dengan ruang yang kecil sebenarnya memiliki akses tidak berbatas. Hal ini terkait dengan ruang penggunaan kedai kopi sebagai tempat bertemu
berinteraksi. Dimensi interaktif di mana kedai kopi selalu menyajikan obrolan - obrolan yang tidak pernah putus. Seperti tidak pernah kehabisan topik
Kedai Kopi
Dimensi Struktural
Dimensi Interaktif
Dimensi Subjektif
Universitas Sumatera Utara
pembicaraan untuk diobrolkan , dan yang terakhir tentang dimensi subjektif dimana ada kepuasan bagi para pengunjung kedai kopi baik tentang sajian
kopi maupun tentang obrolan yang ada. Berbicara tentang ruang penggunaannya, serta sarana yang membentuknya
kedai kopi juga sesuai dengan konsep “non place” yang diungkapkan oleh Auge 1995. Beliau memang tidak secara langsung membahas kedai kopi
atau ruang publik. Beliau menggambarkan tentang suasana yang lebih luas. Dimana ia mengungkapkan ruang - ruang yang kita tempati saat ini atau yang
ia sebut “place” sebenarnya adalah sesuatu yang tidak menunjukkan “place” lagi. Hal ini karena sesuatu yang disebut “place” memiliki sebuah ruang bagi
tata aturan yang sama dan dari latar belakang yang sama pula. Auge mendeskripsikan tentang ruang tersebut dengan sebutan “non place”
sesuatu yang ia artikan dengan ketiadaan batasan dalam sebuah ruang dimana siapapun dengan aturan apapun dan latar belakang apapun memiliki
kesempatan yang sama untuk mengakses sebuah ruang. Dengan kata lain tidak ada batasan seseorang darimana latar belakang budaya mana saja, pekerjaan
apa saja sebenarnya memiliki kesempatan yang sama dalam sebuah ruang. Dan ini banyak terlihat pada ruang ruang publik.
Kedai kopi sebagai ruang publik memiliki juga memiliki kriteria tentang “non place” seperti yang diungkapkan Auge. Kedai kopi tidak pernah
memandang dari etnis mana pengunjung itu berasal, pekerjaan apa yang boleh duduk disana dan jam berapa saja mereka bisa datang, semua memiliki
kesempatan yang sama untuk duduk mengobrol tentang satu atau dua topik. Hal ini terlihat dari etnis yang berkunjung yang terdiri dari etnis Jawa, Karo,
Universitas Sumatera Utara
Batak Toba, Mandailing , Padang , hingga Aceh , pekerjaan mulai dari Tim Sukses Caleg , PNS , Buruh Bangunan hingga Supir Angkutan duduk
bersama. Bahkan tidak ada batasan kapan mereka berkunjung, seperti jam - jam supir angkutan boleh duduk atau jam berapa saja para pekerja kantoran
untuk duduk di kedai kopi, semua bebas berekspresi.
4.2. Kedai Kopi Sebagai Lifestyle