atau hingga bobot konstan. Hasil proses pengeringan didapatkan bahwa tidak ada perubahan bobot ekstrak pada jam ke 23 dan 24. Susut pengeringan ekstrak
metanol-air daun M. tanarius pada jam ke 23 dan 24 sebesar 0 sehingga diketahui pelarut penyari ekstrak sudah tidak ada. Pada penelitian ini, waktu
pengeringan 24 jam digunakan untuk memperoleh bobot pengeringan tetap ekstrak metanol-air daun M. tanarius. Hasil menunjukkan bahwa sebanyak 1 kg
serbuk kering daun M. tanarius menghasilkan 63 cawan cairan kental. Rata-rata rendemen setiap cawan 3,77 g ekstrak kental. Pada pembuatan 1 kg serbuk kering
daun M. tanarius menghasilkan 237,51 g ekstrak kental, dengan rendemen 23,75.
B. Uji Pendahuluan
1. Penentuan dosis hepatotoksik karbon tetraklorida
Tujuan dari penentuan dosis hepatotoksik karbon tetraklorida adalah untuk menentukan dosis karbon tetraklorida yang dapat menyebabkan kerusakan
hati ringan yaitu steatosis pada hati tikus yang ditandai dengan terjadinya peningkatan aktivitas serum ALT dan serum AST. Peningkatan serum ALT yang
dapat menyebabkan steatosis mencapai tiga kali lipat terhadap kontrol, sedangkan peningkatan aktivitas serum AST mencapai empat kali lipat terhadap kontrol
Ziemmerman, 1999. Dosis yang digunakan pada penelitian ini mengacu dari penelitian Janakat dan Al-Merie 2002, di mana pada dosis 2 mlkgBB tikus
sudah menimbulkan efek hepatotoksik.
2. Penentuan waktu pencuplikan darah
Penentuan waktu pencuplikan darah bertujuan untuk mengetahui selang waktu dimana karbon tetraklorida dosis 2 mlkgBB dapat memberikan efek
hepatotoksik maksimal yang ditunjukkan dengan aktivitas serum ALT dan serum AST tertinggi pada selang waktu tertentu. Karbon tetraklorida dosis 2 mlkgBB
diujikan pada tikus dengan selang waktu pengambilan cuplikan darah 0, 24, dan 48 jam.
Data aktivitas serum ALT setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mlkgBB pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam tersaji pada tabel IV serta gambar 7
dan data aktivitas serum AST setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mlkgBB pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam tersaji pada tabel V serta gambar 8.
Tabel IV.
Rata-rata aktivitas serum ALT tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mlkgBB pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam
Selang waktu jam
Jumlah hewan uji ekor
Purata aktivitas serum ALT ± SE Ul
5 73,2 ± 12,9
24 5
246,4 ± 17,0 48
5 102,2 ± 14,6
Gambar 7. Diagram batang rata-rata aktivitas serum ALT tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mlkgBB pada selang waktu 0, 24,
dan 48 jam
Data serum ALT yang telah dianalisis dengan analisis variansi satu arah menunjukkan nilai signifikansi 0,000 0,05. Hasil ini menunjukkan bahwa
antara ketiga kelompok terdapat perbedaan. Selanjutnya, untuk mengetahui kebermaknaan perbedaan antar kelompok digunakan uji Scheffe. Hasil analisis
dari uji Scheffe dapat dilihat pada tabel V.
Tabel V.
Hasil uji Scheffe aktivitas serum ALT tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mlkgBB pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam
Selang waktu jam 24
48 -
B TB
24 B
- B
48 TB
B -
Keterangan : B = Berbeda bermakna p
≤ 0,05 TB = Berbeda tidak bermakna p 0,05 Hastuti 2008 melaporkan nilai normal serum ALT pada tikus normal
adalah 29,8-77,0 Ul sedangkan nilai normal serum AST sebesar 19,3-68,9 Ul. Pada tabel IV, terlihat aktivitas ALT yang paling tinggi pada jam ke 24, yakni
246,4 ± 17,0 Ul yang memberikan peningkatan ALT yang signifikan dan berbeda bermakna dibandingkan dengan jam ke 0 dan 48 Tabel V. Aktivitas tersebut
mengalami penurunan pada jam ke 48 102,2 ± 14,6 Ul, yang berbeda tidak bermakna terhadap jam ke 0. Ini berarti aktivitas ALT pada jam ke 48 sudah
kembali normal. Hasil analisis statistik serum AST menunjukkan bahwa distribusi tidak
normal sehingga tidak bisa dilanjutkan ke analisis variansi satu arah. Analisis dilakukan dengan Kruskal Wallis untuk mengetahui perbedaan aktivitas serum
AST antar kelompok. Dari uji menggunakan Kruskal Wallis, diketahui signifikansi 0,03 0,05, hal ini menunjukkan terdapat perbedaan bermakna
diantara kelompok. Oleh karena itu, untuk melihat perbedaan tiap kelompok
dilanjutkan uji dengan Mann Whitney. Hasil analisis dari uji Mann Whitney dapat dilihat pada tabel VII.
Tabel VI.
Rata-rata aktivitas serum AST tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mlkgBB pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam
Selang waktu jam
Jumlah hewan uji ekor
Purata aktivitas serum AST ± SE Ul
5 151,2 ± 14,3
24 5
596,2 ± 25,3 48
5 188,6 ± 3,3
Gambar 8. Diagram batang rata-rata aktivitas serum AST tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mlkgBB pada selang waktu 0, 24,
dan 48 jam Tabel VII.
Hasil uji Mann Whitney aktivitas serum AST tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mlkgBB pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam
Selang waktu jam 24
48 -
B B
24 B
- B
48 B
B -
Keterangan : B = B
erbeda bermakna p ≤ 0,05 TB = Berbeda tidak bermakna p 0,05
Dari tabel VI dan gambar 8 dapat dilihat aktivitas AST paling tinggi terjadi pada jam ke 24, yakni 596,2 ± 25,3 Ul, yang menunjukkan adanya
perbedaan bermakna antara jam ke 0 dan 48 Tabel VII. Seperti halnya aktivitas
ALT, aktivitas AST pada jam ke 48 juga mengalami penurunan dan memberikan perbedaan bermakna terhadap jam ke 0 dan 24. Hal ini berarti aktivitas AST pada
jam ke 48 menurun, namun kerusakan yang terjadi belum mencapai keadaan normal. Berdasarkan hasil tersebut maka pada penelitian ini menggunakan waktu
pencuplikan darah pada jam ke 24 setelah pemberian karbon tetraklorida.
3. Penetapan lama pemejanan ekstrak metanol-air daun M. tanarius