G. ALT dan AST
Kerusakan hepatoseluler dapat dideteksi dengan mengukur indeks fungsional dan dengan mengamati produk hepatosit yang rusak atau nekrotik. Uji
enzim sering menjadi satu-satunya petunjuk adanya cedera sel pada penyakit hati dini karena perubahan ringan kapasitas ekskretorik mungkin tersamar akibat
kompensasi dari bagian hati lain yang masih fungsional Sacher dan McPherson, 2002. Penentuan enzim AST dan ALT adalah cara paling umum untuk
mendeteksi kerusakan hati, enzim yang dibesarkan beberapa kali lipat dalam 24 jam pertama setelah kerusakan Timbrell, 2008.
Meskipun terjadi variasi dalam level plasma, baik AST dan ALT dalam kondisi yang mempengaruhi integritas hati, ALT adalah enzim hati yang lebih
spesifik. Hal ini terutama hadir dalam hati dengan hanya sejumlah kecil di organ lain. Hati adalah sumber terkaya dari ALT. Transaminase ini sebagai nilai indeks
kemungkinan kerusakan hati, dalam mendeteksi adanya toksisitas pada hati atau perubahan dalam arsitektur membran sel hati. Enzim ALT lebih spesifik untuk
organ hati karena proporsinya paling banyak berada pada organ ini dibanding organ tubuh lainnya Edem dan Akpanabiatu, 2006.
H. Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
yang sesuai, kemudian semua atau hampir pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2005. Ekstraksi dengan metode maserasi merupakan cara penyarian sederhana yang
dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama beberapa hari pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya sambil diaduk
Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2010. Pada metode ini, cairan penyari akan masuk ke dalam sel melewati
dinding sel sehingga isi sel akan larut akibat perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan dengan konsentrasi tinggi akan terdesak
keluar dan diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi rendah proses difusi. Peristiwa tersebut terjadi secara berulang hingga terjadi keseimbangan konsentrasi
antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Selanjutnya endapan dipisahkan dan filtrat dipekatkan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Republik
Indonesia, 1986.
I. Landasan Teori
Ada bermacam-macam bentuk kerusakan hati, salah satunya adalah perlemakan hati. Perlemakan hati dapat terjadi karena induksi senyawa toksik.
Karbon tetraklorida digunakan sebagai model dengan dosis tertentu untuk menimbulkan perlemakan hati. Karbon tetraklorida
akan direduksi oleh enzim sitokrom
P-450 menjadi
radikal bebas
triklorometil
•
CCl
3
dan triklorometilperoksida
•
OOCCl
3
yang lebih reaktif Gregus dan Klaaseen, 2001. Radikal triklorometil berikatan secara kovalen dengan lemak mikrosomal dan
protein, dan akan bereaksi secara langsung dengan membran fosfolipid dan
kolesterol yang bersifat toksik. Hasil lainnya adalah radikal lipid yang mengaktifkan senyawa oksigen reaktif selanjutnya mengakibatkan peroksidasi
lipid Timbrell, 2008. Oleh karena itu, dapat digunakan senyawa antioksidan dari luar untuk
mengurangi radikal bebas dari karbon tetraklorida. Salah satu kandungan M. tanarius
hasil ekstraksi dengan metanol-air adalah glikosida yang berperan sebagai antioksidan terhadap penangkapan radikal bebas DPPH. Secara umum,
dapat dikatakan bahwa senyawa turunan glikosida mampu memberikan efek antioksidan Matsunami, dkk., 2006. Pada penelitian Kurniawati, ddk 2011,
ekstrak metanol-air daun M. tanarius menghambat terjadinya toksisitas hati pada tikus terinduksi parasetamol.
J. Hipotesis