wilayah kerja Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2014. Diperoleh RP sebesar 1,048 dengan 95 CL 0,767-1,343, berarti jenis kelamin
bukan faktor resiko kejadian ISPA. Pada umumnya, tidak ada perbedaan insiden ISPA akibat virus atau bakteri
pada laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, ada yang mengemukakan bahwa terdapat sedikit perbedaan yaitu insiden lebih tinggi pada anak laki-laki berusia di atas 6
tahun.
41
Hal ini sejalan dengan penelitian Ria Resti tahun 2008 dengan desain cross sectional di Kelurahan Ilir Gunungsitoli Kabupaten Nias menunjukkan tidak ada
hubungan antara jenis kelamin anak balita dengan kejadian ISPA pada anak balita, dengan nilai p=0,089.
32
5.2.3 Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA
Gambar 5.4 Diagram Batang Hubungan Status Gizi dengan ISPA pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten
Mandailing Natal Tahun 2014.
66,7 60,6
33,3 39,4
10 20
30 40
50 60
70 80
Tidak Baik Baik
pr op
or si
Status Gizi dengan ISPA
ISPA Tidak ISPA
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan gambar 5.4 dapat dilihat bahwa proporsi ISPA tertinggi pada status gizi tidak baikyaitu 66,7 dan yang terendah pada status gizi baik yaitu 60,6.
Sedangkan proporsi tidak ISPA tertinggi pada status gizi baik yaitu 39,4 dan terendah pada status gizi tidak baik yaitu 33,3.
Berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square α =
0,05 diperoleh nilai p = 0,769 p 0,05 dengan tingkat kepercayaan 95, hal ini berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan ISPA pada anak
balita di wilayah kerja puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014. Diperoleh RP sebesar 1,099 dengan 95 CL 0,610-1,981, berarti status
gizi bukan faktor resiko kejadian ISPA. Selain status gizi anak balita terdapat faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian ISPA seperti faktor lingkungan lingkungan tempat tinggal anak balita tersebut seperti keadaan ventilasi, keberadaan perokok, dan lain-lain.
Balita dengan keadaan status gizi kurang maupun status gizi buruk lebih mudah untuk menderita penyakit infeksi dibandingkan dengan balita status gizi
baik.
47
Status gizi anak merupakan faktor resiko penting timbulnya pneumonia. Gizi buruk merupakan faktor predisposisi terjadinya ISPA pada anak. Hal ini dikarenakan
adanya gangguan respon imun.
41
Universitas Sumatera Utara
5.2.4 Hubungan Status ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA
Gambar 5.5 Diagram Batang Hubungan Status ASI eksklusif dengan ISPA pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Panyabungan Jae
Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2014.
Berdasarkan Gambar 5.5 dapat dilihat bahwa proporsi ISPA tertinggi pada anak balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif yaitu 62,3, dan yang terendah
pada anak balita yang mendapatkan ASI Eksklusif yaitu 59. Berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square
α = 0,05 diperoleh nilai p = 0,740 p 0,05 dengan tingkat kepercayaan 95, hal ini
berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara status ASI Eksklusif dengan ISPA pada anak balita di wilayah kerja puskesmas Panyabungan Jae Kabupaten Mandailing
Natal tahun 2014. Diperoleh RP sebesar 1,056 dengan 95 CL 0,762-1,464, berarti status ASI Ekslusif bukan faktor resiko kejadian ISPA.
62,3 59
37,7 41
10 20
30 40
50 60
70
Tidak Ya
pr op
or si
Status Asi Ekslusif dengan ISPA
ISPA Tidak ISPA
Universitas Sumatera Utara
Hal ini karena anak balita yang berstatus ASI Ekslusif tersebut pemberian ASI tidak dilanjutkan sampai umur 2 tahun.
WHO dan UNICEF memberikan rekomendasi pemberian ASI Eksklusif 6 bulan pertama untuk pemberian makan bayi dan anak kecil yang optimal, disamping
pemberian ASI pada bayi umur satu jam pertama dan juga pengenalan makanan pelengkap yang cukup bergizi dan aman bagi bayi setelah usia 6 bulan bersama
dengan kelanjutan ASI sampai umur 2 tahun.
45
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ike Suhandayani di Puskesmas Pati I Kabupaten Pati tahun 2006 dengan menggunakan desain cross sectional
menunjukkan tidak ada hubungan asosiasi yang bermakna antara status ASI dengan kejadian ISPA pada anak balita nilai p=0,71.
48
5.2.5 Hubungan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA