b. Distribusi Penyakit Berdasarkan Tempat
ISPA adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-anak, dan orang lanjut usia,
terutama di negara-negara dengan pendapatan per kapita rendah dan menengah.
15
Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013, Lima provinsi dengan ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur 41,7, Papua 31,1, Aceh 30,0, Nusa Tenggara
Barat 28,3 dan Jawa Timur 28,3. Pada Riskesdas 2007, Nusa Tenggara Timur juga merupakan provinsi tertinggi dengan ISPA. Period prevalence ISPA Indonesia
menurut Riskesdas 2013 25,0 tidak jauh berbeda dengan 2007 25,5.
5
c. Distribusi Penyakit Berdasarkan Waktu
Menurut survei demografi Indonesia, insidens pneumonia pada bayi di Indonesia tahun 2007 sebesar 32,27, tahun 2008 sebesar 34,91 dan tahun 2008
sebesar 35,19. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2008 menyatakan bahwa jumlah kasus pneumonia pada bayi di Provinsi Sumatera Utara sebesar 15.176 kasus,
sedangkan menurut profil Kesehatan Indonesia tahun 2010 didapat bahwa jumlah kasus pneumonia pada bayi di provinsi Sumatera Utara sebesar 19.236 kasus.
4,16
2.6.2. Determinan Penyakit ISPA a.
Faktor Agent Bibit Penyakit
Proses terjadinya penyakit disebabkan adanya interaksi antara agent atau faktor penyebab penyakit, manusia sebagai pejamu atau host dan faktor lingkungan yang
mendukung environtment. Ketiga faktor tersebut dikenal sebagai trias penyebab penyakit. Berat ringannya penyakit yang dialami amat ditentukan oleh sifat-sifat dari
Universitas Sumatera Utara
mikro organisme sebagai penyebab penyakit seperti : patogenesitas, virulensi, antigenitas dan infektifitas.
17
Infeksi Saluran pernafasan Atas Akut ISPA seperti faringitis dan tonsilitis akut dapat disebabkan oleh karena infeksi virus, bakteri ataupun jamur. Setengah dari
infeksi ini disebabkan oleh virus yaitu virus influenza, parainfluenza, adenovirus, respiratory sincytial virus dan rhino virus.
18
b. Faktor Host Pejamu
1. Umur
Umur mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk terjadinya ISPA. Oleh sebab itu kejadian ISPA pada bayi dan anak balita akan lebih tinggi jika dibandingkan
dengan orang dewasa. Kejadian ISPA pada bayi dan balita akan memberikan gambaran klinik yang lebih besar dan jelek, hal ini disebabkan karena ISPA pada bayi
dan balita umumnya merupakan kejadian infeksi pertama serta belum terbentuknya secara optimal proses kekebalan secara alamiah. Sedangkan orang dewasa sudah
banyak terjadi kekebalan alamiah yang lebih optimal akibat pengalaman infeksi yang terjadi sebelumnya.
19
Berdasarkan data profil Kesehatan Indonesia tahun 2007, proporsi pneumonia pada bayi 35,27 dan balita 64,73. Bila dilihat proporsi pneumonia pada kelompok
umur balita, tampak proporsi pneumonia pada bayi dibandingkan balita sekitar 35. Hal ini menunjukkan bahwa bayi merupakan kelompok usia yang tinggi kejadian
pneumonianya. Oleh karena itu pneumonia pada balita dan terutama pada bayi, perlu mendapat perhatian dengan perbaikan gizi dan imunisasi dan meningkatkan upaya
Universitas Sumatera Utara
manajemen tata laksana pneumonia.
20
2. Jenis Kelamin
Berdasarkan Pedoman Rencana Kerja Jangka Menengah Nasional
Penanggulangan Pneumonia Balita Tahun 2005 - 2009 menunjukkan bahwa anak laki-laki memiliki risiko lebih tinggi daripada anak perempuan untuk terkena ISPA.
21
Berdasarkan hasil penelitian Taisir di Kabupaten Aceh Selatan tahun 2005, menunjukkan bahwa proporsi ISPA berdasarkan jenis kelamin pada balita laki-laki
43,3 lebih tinggi dari pada proporsi ISPA pada balita perempuan 33,7 tetapi secara statistik, tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan
kejadian ISPA pada balita di kelurahan Lhok Bengkuang.
22
3. Status Gizi
Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan
antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia.
Batita dengan gizi kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan dengan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Dalam
keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh
akan menurun yang berarti kemampuan tubuh mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi menurun. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita
tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan
Universitas Sumatera Utara
gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA lebih berat bahkan serangannya lebih lama.
23
Hasil penelitian Sirait di Kelurahan Mangga Kecamatan Medan Tuntungan tahun 2010 dengan desain cross sectional menunjukkan bahwa ada hubungan antara
status gizi dengan kejadian ISPA bagian atas pada anak balita dengan nilai p = 0,017. Hasil Ratio Prevalens kejadian ISPA bagian atas pada anak balita dengan status gizi
kurang dibanding dengan anak balita dengan ststus gizi baik adalah 1,438 95 CI: 1,134-1,827. Artinya balita yang mempunyai status gizi kurang merupakan faktor
risiko terjadinya ISPA.
14
4. Berat Bayi Lahir
Bayi Berat Lahir Rendah BBLR ditetapkan sebagai suatu berat lahir yang kurang 2.500 gram. Berat bayi lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan
fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat lahir rendah BBLR mempunyai risiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan bayi berat lahir
normal, terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama
pneumonia dan sakit saluran pernafasan lainnya. Bayi dengan BBLR sering mengalami gangguan pernafasan. Hal ini disebabkan
oleh pertumbuhan dan pengembangan paru yang belum sempurna dan otot pernafasan yang masih lemah.
24
Berdasarkan hasil penelitian Sadono, dkk di Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 menunjukkan proporsi bayi BBLR yang mengalami ISPA
Universitas Sumatera Utara
64,3 lebih tinggi dari pada proporsi BBLR yang tidak mengalami ISPA 35,7. Hasil statistik diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara kejadian ISPA
dengan BBLR dengan nilai p = 0,009. Hasil Ratio Prevalens kejadian ISPA pada BBLR dibanding dengan BBLN adalah 2,5 95 CI: 1,238-5,012. Artinya BBLR
merupakan faktor risiko terjadinya ISPA.
25
5. Status ASI Eksklusif
Air Susu Ibu ASI merupakan makanan bayi yang paling sempurna, bersih dan sehat serta praktis karena mudah diberikan setiap saat. ASI dapat mencukupi
kebutuhan gizi bayi untuk tumbuh kembang dengan normal sampai berusia 6 bulan. ASI Eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi sampai umur 6 bulan tanpa
mamberikan makanancairan lain. Pada waktu lahir sampai berusia beberapa bulan bayi belum dapat membentuk
kekebalan sendiri secara sempurna. ASI mampu memberikan perlindungan terhadap infeksi dan alergi serta merangsang perkembangan sistem kekebalan bayi itu sendiri.
Dengan adanya zat anti infeksi pada ASI maka bayi dengan ASI eksklusif akan terlindungi dari berbagai macam infeksi, baik yang disebabkan oleh bakteri, virus,
jamur atau parasit. Keunggulan lainnya, ASI mengandung gizi yang cukup lengkap dan
komposisinya disesuaikan dengan sistem pencernaan bayi sehingga zat gizi cepat terserap. Berbeda dengan susu formula atau makanan tambahan yang diberikan secara
dini pada bayi. Susu formula sangat susah diserap usus bayi sehingga dapat menyebabkan susah buang air besar pada bayi. Proses pembuatan susu formula yang
Universitas Sumatera Utara
tidak steril menyebabkan bayi rentan terkena diare. Hal ini akan menjadi pemicu terjadinya kurang gizi pada anak dan akibat dari kurang gizi anak lebih mudah
terserang penyakit infeksi.
26
Hasil penelitian Harianja di Kelurahan Kemenangan Tani Kecamatan Medan Tuntungan tahun 2010 dengan desain cross sectional menunjukkan ada hubungan
antara status ASI Eksklusif dengan kejadian ISPA bagian atas pada anak balita dengan nilai p = 0,000. Hasil Ratio Prevalens kejadian ISPA bagian atas pada anak
balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif dibanding dengan anak balita yang mendapatkan ASI Eksklusif adalah 2,698 95 CI: 1,328-5,478. Artinya tidak
mendapatkan ASI Eksklusif merupakan faktor risiko terjadinya ISPA bagian atas.
27
6. Status Imunisasi
Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal atau resisten. Anak yang diimunisasi berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Dalam
imunologi, kuman atau racun kuman toksin disebut antigen. Imunisasi merupakan upaya pemberian kekebalan tubuh yang terbentuk melalui vaksinasi.
Imunisasi bermafaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit infeksi seperti polio, TBC, difteri, pertusis, tetanus dan hepatitis B. Bahkan imunisasi juga dapat
mencegah kematian dari akibat penyakit-penyakit tersebut. Sebagian besar kasus ISPA merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, penyakit yang
tergolong ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah difteri dan batuk rejan.
28
Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis dan campak,
Universitas Sumatera Utara
maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan
imunisasi lengkap. Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian imunisasi Campak dan DPT.
24
Hasil penelitian Sadono, dkk di Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 dengan desain cross sectional diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna
antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada bayi dengan nilai p = 0,027 dan Ratio Prevalens 1,8 95 CI: 1,068-3,168. Artinya bayi dengan status imunisasi
tidak lengkap merupakan faktor risiko terjadinya ISPA.
25
c. Faktor Lingkungan Environment