Hubungan Antara Subtipes Stroke, Teritori Vaskular dengan Kejadian Pneumonia dan Mortalitas pada Pasien Stroke Akut dengan Disfagia

(1)

Kamis, Januari 2015 Kepada Yth:

TESIS AKHIR

HUBUNGAN ANTARA SUBTIPE STROKE, TERITORI VASKULAR

DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA DAN MORTALITAS PADA

PASIEN STROKE AKUT DENGAN DISFAGIA

OLEH

SERI ULINA BARUS Nomor Register CHS : 20082

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS DEPARTEMEN NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA/ RSUP.H. ADAM MALIK MEDAN


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : HUBUNGAN SUBTIPE STROKE, TERITORI VASKULAR DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA DAN MORTALITAS PADA STROKE AKUT DENGAN DISFAGIA

Nama : SERI ULINA BARUS Nomor Register CHS : 20082

Program Studi : Neurologi

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K) Dr. Cut Aria Arina, Sp.S NIP. 19530601 1981 03 1 004 NIP.197710102 200212001

Pembimbing III

Dr. Haflin Soraya Hutagalung, Sp.S NIP.19820820 2008 01 2008

Mengetahui / mengesahkan

Ketua Departemen/SMF Ketua Program Studi/SMF Ilmu Penyakit Saraf Ilmu Penyakit Saraf

FK-USU/ RSUP.HAM Medan FK-USU/ RSUP.HAM Medan

Dr.Rusli Dhanu, Sp.S (K) Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K) NIP. 19530916 198203 1 003 NIP. 19530601 1981 03 1 004 Telah diuji pada :


(3)

PANITIA PENGUJI TESIS

1. Prof. DR. Dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K) 2. Dr. Darlan Djali Chan, Sp.S

3. Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K) 4. Dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K)

5. DR. Dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S(K) 6. Dr. Aldy S. Rambe, Sp.S(K) (Penguji) 7. Dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S

8. Dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S 9. Dr. Cut Aria Arina, Sp.S 10. Dr. Kiki M. Iqbal, Sp.S 11. Dr. Alfansuri Kadri, Sp.S 12. Dr. Aida Fitri, Sp.S

13. Dr. Irina Kemala Nasution, M.Ked(Neu), Sp.S 14. Dr. Haflin Soraya Hutagalung, Sp.S

15. Dr. Fasihah Irfani Fitri, M.Ked(Neu), Sp.S 16. Dr. Iskandar Nasution, Sp.S, FINS

17. Dr. RA Dwi Pujiastuti, M.Ked(Neu), Sp.S 18. Dr. Chairil Amin Batubara, M.Ked(Neu), Sp.S

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa atas segala berkah, rahmat dan kasihNya yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan salah satu tugas akhir dalam program pendidikan spesialis di Bidang Neurologi di Fakultas


(4)

Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

Dengan segala keterbatasan, penulis menyadari dalam penelitian dan penulisan tesis ini masih dijumpai banyak kekurangan, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak untuk kebaikan dimasa yang akan datang.

Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya, kepada :

Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. DR. Dr. H. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf.

Yang terhormat Prof. Dr. H. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), (Rektor Universitas Sumatera Utara saat penulis diterima sebagai PPDS), yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf.

Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD(KGEH), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf.

Yang terhormat Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K) (Ketua Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran USU saat penulis diterima sebagai PPDS), yang telah menerima saya untuk menjadi peserta didik serta memberikan bimbingan selama mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi.

Yang terhormat Ketua Departemen / SMF Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K) yang telah memberikan kesempatan, kepercayaan serta bimbingan selama mengikuti program pendidikan spesialisasi ini.

Yang terhormat Ketua Program Studi Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K) yang telah memberikan kesempatan serta bimbingan dan arahan dalam menjalani program pendidikan spesialisasi ini.

Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K), dan dr. Cut Aria Arina, Sp.S, dan dr.Haflin


(5)

Soraya, Sp.S selaku pembimbing yang dengan sepenuh hati telah mendorong, membimbing dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis ini.

Kepada guru-guru penulis: Prof. dr. H. Darulkutni Nasution, Sp.S(K); Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K); dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K) ; dr. Darlan Djali Chan, Sp.S; DR. dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S(K); dr. Aldy S. Rambe, Sp.S(K); dr. Irsan NHN. Lubis, Sp.S; dr. Arif Simatupang, Sp.S; dr Khairul P. Surbakti, Sp.S; dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S; Alm. dr. Irwansyah, Sp.S; dr. Kiki M. Iqbal, Sp.S; dr. Alfansuri Kadri, Sp.S; dr. Dina Listyaningsum, Sp.S, M.Si. M. Ked; dr. Aida Fitri, Sp.S; dr. Irina Kemala Nasution, M.Ked(Neu), Sp.S; dr. Fasihah Irfani Fitri, M. Ked(Neu), Sp.S; dr. Iskandar Nasution, Sp.S, FINS; dr. RA Dwi Pujiastuti, M. Ked(Neu), Sp.S; dr. Chairil Amin Batubara, M.Ked(Neu), Sp.S; dr. Antun, Sp.S dan lain-lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, baik di Departemen Neurologi maupun Departemen / SMF lainnya di lingkungan FK – USU / RSUP. H. Adam Malik Medan, terima kasih yang setulus-tulusnya penulis sampaikan atas segala bimbingan dan didikan yang telah penulis terima.

Kepada Drs Djalil Amri Arma, M.Kes., selaku pembimbing statistik yang telah banyak membimbing, membantu dan meluangkan waktunya dalam pembuatan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga penulis dapat mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf.

Direktur Rumah Sakit Tembakau Deli, Kepala Rumkit Putri Hijau, Direktur RSU. Ferdinand Lumban Tobing Sibolga, Direktur RSU.Salahuddin Kutacane dan RSU.Biak-Papua yang telah menerima saya saat menjalani stase pendidikan spesialisasi, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya.

Ucapan terima kasih penulis kepada seluruh teman sejawat peserta PPDS-I Departemen Neurologi FK-USU / RSUP. H. Adam Malik Medan terutama teman – teman seangkatan saya dr Saulina Sembiring, dr Fridameria Silitonga, dr Inta lismayani Sp.S, dr leny wardaini Sp.S, dr Anita Surya, dan dr Suherman Tambunan yang banyak memberikan masukan berharga kepada penulis melalui diskusi-diskusi dalam berbagai pertemuan formal maupun informal, serta selalu memberikan dorongan-dorongan yang membangkitan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi.


(6)

Ucapan terima kasih penulis kepada Bapak Amran Sitorus, Sukirman Ariwibowo, Syafrizal serta seluruh perawat dan pegawai di berbagai tempat dimana penulis pernah bertugas serta berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu penulis dalam menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pasien Stroke akut yang telah bersedia berpartisipasi secara sukarela dalam penelitian ini.

Ucapan terimakasih dan penghargaan yang tulus penulis ucapkan kepada kedua orang tua saya, Alm.Jansen Barus dan Senang Ati ginting, yang telah membesarkan saya dengan penuh kasih sayang, dan senantiasa memberikan dorongan moril dan materi, bimbingan dan nasehat serta doa yang tulus agar penulis tetap sabar dan tegar dalam mengikuti pendidikan ini sampai selesai.

Ucapan terimakasih kepada suami saya tercinta, Daniel Suranta Ginting yang selalu memberikan dorongan, semangat, nasehat serta doa yang tulus agar tetap sabar dan tegar dalam mengikuti pendidikan sampai selesai dan kedua anak-anak saya Hillary Auriel K. Ginting dan Russel F. William Ginting yang telah memberikan dorongan, semangat dan pengertian dan kasih sayang serta doa yang tulus agar penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini sampai selesai dan kepada kedua adik saya tercinta Jefri Andi Barus dan Dhany Saputra Barus yang membantu dan memberikan dorongan moril dan materil agar penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini sampai selesai.

Kepada mertua saya Alm.Kebun Ginting dan Kirem Sinulingga serta keluarga yang senantiasa membantu, dalam menyelesaikan pendidikan ini, penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Kepada semua rekan dan sahabat yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu yang telah membantu saya sekecil apapun, saya haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga Tuhan melimpahkan rahmat dan kasihnya kepada kita semua. Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Januari 2015 dr. Seri Ulina Barus


(7)

HALAMAN

Lembar Pengesahan Proposal Tesis i

Daftar Isi vi

Daftar Singkatan xi

Daftar Gambar xiv

Daftar Tabel xv

BAB I. PENDAHULUAN 1

I.1. Latar Belakang 1

I.2. Perumusan Masalah 5

I.3. Tujuan Penulisan 5

I.3.1. Tujuan Umum 6

I.3.2. Tujuan Khusus 6

I.4. Hipotesis 7

I.5. Manfaat Penelitian 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 9

II.1. STROKE 9

II.1.1. Definisi 9

II.1.2. Epidemiologi 10

II.1.3. Faktor resiko 10

II.1.4. Klasifikasi stroke 12

II.1.5. Patofisiologi 15

II.2. Anatomi vaskular dan karakteristik klinis 19

II.2.1. Anatomi sistem anterior 21

II.2.1.1.Anterior Cerebral Artery 22 II.2.1.2. Medial Cerebral Artery 25


(8)

II.2.1.3. Posterior Cerebral Artery 27

II.3. Disfagia 35

II.3.1 Definisi 35

II.3.2 Epidemologi 35 II.3.3. Fisiologi menelan 36 II.3.4. Hubungan disfagia dengan distribusi anatomi 37 II.3.4.1. Lesi pada kortek 39

II.3.4.2. Lesi pada brainstem 40

II.4. Pneumonia 41

II.4.1. Patogenese 43

II.4.2. Klassifikasi 45

II.4.3. Faktor Resiko 46

II.4.4. Diagnosis 47

II.4.4.1. Gambaran Klinis 47

II.4.4.2. Pemeriksaan Penunjang 47

II.4.5.Pneumonia pada Stroke 49

II.4.5.1.Hal Mempengaruhi Pneumonia pada Stroke 51

II.5. Screnning Test Disfagia 52

II.6 Kerangka Teori 54

II.7 Kerangka konsep 55 BAB III. METODE PENELITIAN 56

III.1. Tempat dan waktu 56

III.2. Subjek penelitian 56

III.3. Batasan operasional 58


(9)

III.5. Pelaksanaan penelitian 59

III.5.1. Pengambilan Sampel 59

III.5.2. Kerangka Operasional 61

III.5.3. Variabel yang Diamati 62

III.5.4. Analisa Statistik 62

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 64

IV.1. HASIL PENELITIAN 64

IV.1.1.Karakteristik Demografik dan KlinisSubjek 64 IV.1.2. Hubungan distribusi hemiparesis dengan variabel 71 IV.1.3. Hubungan antarasubtipe stroke dengan pneumonia 74

IV.1.4. Hubungan antara subtipe stroke dengan mortalitas 76 IV.1.5. Hubungan antara teritorivaskular dengan pneumonia 77

IV.1.6.Hubungan antara teritorivaskular dengan mortalitas 78 IV.1.7. Hubungan antara volume Lesi dengan disfagia 80 IV.1.8. Hubungan distribusi anatomidengan variabel 80 IV.1.10.Hubungan antara pneumonia dengan mortalitas 85

IV.2. PEMBAHASAN 86

IV.3. KETERBATASAN PENELITIAN 95

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 97

V.1. Kesimpulan 98

V.2. Saran 99

DAFTAR PUSTAKA 100


(10)

DAFTAR SINGKATAN

ACA : Anterior Cerebral Artery ACC : Artery Carotis Communis CT : Computed Tomography CPG : Central Pattern Generators CVA : Cerebrovascular Accident CVD : Cerebrovascular Disease ICA : Internal Carotid Artery


(11)

LACI : Lacunar Infarct

MCA : Middle Cerebral Artery NTS : Nukleus Tractus Solitarius PAO2 : Partial Oksigen Arterial PCA : Posterior Cerebral Artery

PACI : Partial Anterior circulation infarct POCI : Posterior circulation infarct TACI : Total Anterior Circulation Infarct TIA : Transient Ischemic Attacks SD : Standart Deviation

SH : Stroke Hemoragik SI : Stroke Iskemik

SPSS : Statistical Product and Science Service SKRT : Survey Kesehatan Rumah Tangga TACI : Total Anterior Circulation Infarct TIA : Transient Ischemic Attacks WHO : World Health Organization


(12)

DAFTAR LAMBANG

cm : Centimeter d : Desi

mg : Miligram L : Liter mm : Milimeter n : Besar sampel p : Tingkat kemaknaan r : Koefisien korelasi α : alfa

β : beta O2 : Oksigen


(13)

Zα : Nilai baku normal berdasarkan nilai α (0,01) yang telah ditentukan  1,96 Zβ : Nilai baku berdasarkan nilai β (0,15) yang ditentukan oleh peneliti  1,036 % : Persen

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Karakteristik klinis anterior cerebral arteri 25 Tabel 2. Karakteristik klinis middle cerebral arteri 30 Tabel 3. Karakteristik klinis posterior cerebral arteri 32

Tabel 4. Segmen dan cabang arteri 33

Tabel 5. Daftar Mikroorganisme penyebab Pneumonia 42

Tabel 6. Karakteristik demografi subjek penelitian 70 Tabel 7.Hubungan hemiparesis dengan variabel 75 Tabel 8. Hubungan subtipe stroke dengan pneumonia 76 Tabel 9. Hubungan subtipe stroke dengan mortalitas 77 Tabel 10 Hubungan teritori vaskular dgn pneumonia 78 Tabel 11 Hubungan teritori vaskular dgn mortalitas 79 Tabel 12 Hubungan volume lesi dgn disfagia 80 Tabel 13 Hubungan distribusi anatomi dgn variabel 84 Tabel 14 Hubungan pneumonia dengan mortalitas 85


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Arteri di otak 23

Gambar 2. Teritori anterior cerebral arteri 24 Gambar 3. Teritori medial cerebral arteri 29 Gambar 4. Teritorii posterior cerebral arteri 31

Gambar 5. Tahapan menelan 38

Gambar 6. Diagram pie distribusi Jenis kelamin 66 Gambar 7. Diagram pie distribusi Suku 66

Gambar 8. Diagram pie distribusi Subtipe stroke 67

Gambar 9. Diagram pie distribusi Hemiparesis 67

Gambar 10.Diagram pie distribusi Kultur 68

Gambar 11. Diagram pie distribusi Disfagia 68

Gambar 12. Diagram pie distribusi Pneumonia 69


(15)

Gambar 13. Diagram pie distribusi Mortalitas 69

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Persetujuan Ikut dalam Penelitian Lampiran 2. Lembar Pengumpul Data

Lampiran 3. Tes menelan

Lampiran 4. Persetujuan Komisi Etik Lampiran 5. Data Pasien Stroke Akut


(16)

ABSTRAK

Latar Belakang: Disfagia merupakan morbiditas yang paling sering terjadi pada stroke. Munculnya disfagia dihubungkan dengan peningkatan resiko terjadi komplikasi pada paru – paru dan peningkatan mortalitas. Hal ini jelas penting untuk mendeteksi awal disfagia pada pasien stroke akut tidak hanya mengurangi terjadi komplikasi tetapi dapat mengurangi masa rawatan di rumah sakit.

Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara subtipe stroke, teritori vaskular dengan kejadian pneumonia dan mortalitas pada pasien stroke akut.

Metode: Studi observasional dengan metode pengumpulan data secara potong lintang, di Poliklinik Neurologi dan Ruangan RA4 Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan, dengan 50 pasien stroke akut yang disfagia dan non disfagia. Pasien yang menderita pneumonia atau penyakit infeksi lainnya di eksklusikan. Pasien diikuti selama fase akut dan pneumonia didiagnosa berdasarkan kriteria Perkumpulan Dokter Paru Indonesia.

Hasil: Terdapat 50 pasien stroke akut, yang terdiri dari 28 orang (46,0%) laki-laki dan 22 orang (44,0%) perempuan. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara subtipe stroke dengan kejadian pneumonia (p=0,161)(r=0,163) mempunyai hubungan positif dan mempunyai kekuatan sangat lemah. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara subtipe stroke dengan kejadian mortalitas (p=0,06)(r=0,349. Terdapat hubungan yang bermakna antara teritori vaskular dengan pneumonia (p<0,01)(r=0,351) mempunyai hubungan positif dan mempunyai kekuatan lemah. Terdapat hubungan yang bermakna teritori vaskular dengan mortalitas (p<0,01)(r=0,448) mempunyai hubungan positif dan mempunyai kekuatan sedang, terdapat hubungan yang bermakna volume lesi stroke dengan disfagia(p<0,03)(r=0,415) mempunyai hubungan positif dan mempunyai kekuatan sangat lemah.

Kesimpulan: Adanya hubungan yang bermakna antara teritori vaskular dengan pneumonia dan mortalitas dan terdapat hubungan yang bermakna antara volume lesi dengan disfagia.

Kata Kunci: Disfagia, Pneumonia, stroke akut, mortalitas.


(17)

Background: Dysphagia is a commonly morbidity after stroke, the presence of dysphagia has been associated with increased risk for pulmonary complication and even mortality.There is is emerging evidence that early detection of dysphagia in patients with acute stroke reduces not only these complication but also reduces length of hospital stay.

Objective: To find out the correlation between stroke subtype, vascular territory with

pneumonia and mortality in acute stroke.

Methods: This cross sectional study observed patients at RA4 neurologic’s ward in

Adam Malik General Hospital Medan, were observed 50 acute stroke patients with dysphagia and non dysphagia. Patients who admitted with pneumonia or other pulmonary infection were excluded. Patients were followed in acute phase and pneumonia was diagnosed based on Center for Disease Control Criteria that were adopted by Indonesia Association of Lung Doctors.

Results:There were 50 patients of acute stroke, consisted of 28 man (56,0%) and

22 womens (44,0%). There was no significant association between stroke subtype with pneumonia (p=0,117)(r=0,163), There was no significant association between stroke subtype with mortality ( p=0,117)(r=0,349), but There was significant association between territoriy vascular stroke subtype with pneumonia ( p<0,01)(r=0,315), There was significant association between territoriy vascular with mortality ( p<0,01)(r=0,448), There was significant association volume lesi stroke with dysphagia (p<0,03(r=0,415)

Conclusions: There was significant association between vascular territory with

pneumonia and mortality, and there was significant association lesi volume stroke with dysphagia.

Key word: Dysphagia, pneumoni, acute stroke, mortality

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stroke merupakan masalah bagi negara – negara berkembang. Di dunia penyakit stroke meningkat seiring modernisasi, di Amerika Serikat,


(18)

ABSTRAK

Latar Belakang: Disfagia merupakan morbiditas yang paling sering terjadi pada stroke. Munculnya disfagia dihubungkan dengan peningkatan resiko terjadi komplikasi pada paru – paru dan peningkatan mortalitas. Hal ini jelas penting untuk mendeteksi awal disfagia pada pasien stroke akut tidak hanya mengurangi terjadi komplikasi tetapi dapat mengurangi masa rawatan di rumah sakit.

Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara subtipe stroke, teritori vaskular dengan kejadian pneumonia dan mortalitas pada pasien stroke akut.

Metode: Studi observasional dengan metode pengumpulan data secara potong lintang, di Poliklinik Neurologi dan Ruangan RA4 Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan, dengan 50 pasien stroke akut yang disfagia dan non disfagia. Pasien yang menderita pneumonia atau penyakit infeksi lainnya di eksklusikan. Pasien diikuti selama fase akut dan pneumonia didiagnosa berdasarkan kriteria Perkumpulan Dokter Paru Indonesia.

Hasil: Terdapat 50 pasien stroke akut, yang terdiri dari 28 orang (46,0%) laki-laki dan 22 orang (44,0%) perempuan. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara subtipe stroke dengan kejadian pneumonia (p=0,161)(r=0,163) mempunyai hubungan positif dan mempunyai kekuatan sangat lemah. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara subtipe stroke dengan kejadian mortalitas (p=0,06)(r=0,349. Terdapat hubungan yang bermakna antara teritori vaskular dengan pneumonia (p<0,01)(r=0,351) mempunyai hubungan positif dan mempunyai kekuatan lemah. Terdapat hubungan yang bermakna teritori vaskular dengan mortalitas (p<0,01)(r=0,448) mempunyai hubungan positif dan mempunyai kekuatan sedang, terdapat hubungan yang bermakna volume lesi stroke dengan disfagia(p<0,03)(r=0,415) mempunyai hubungan positif dan mempunyai kekuatan sangat lemah.

Kesimpulan: Adanya hubungan yang bermakna antara teritori vaskular dengan pneumonia dan mortalitas dan terdapat hubungan yang bermakna antara volume lesi dengan disfagia.

Kata Kunci: Disfagia, Pneumonia, stroke akut, mortalitas.


(19)

Background: Dysphagia is a commonly morbidity after stroke, the presence of dysphagia has been associated with increased risk for pulmonary complication and even mortality.There is is emerging evidence that early detection of dysphagia in patients with acute stroke reduces not only these complication but also reduces length of hospital stay.

Objective: To find out the correlation between stroke subtype, vascular territory with

pneumonia and mortality in acute stroke.

Methods: This cross sectional study observed patients at RA4 neurologic’s ward in

Adam Malik General Hospital Medan, were observed 50 acute stroke patients with dysphagia and non dysphagia. Patients who admitted with pneumonia or other pulmonary infection were excluded. Patients were followed in acute phase and pneumonia was diagnosed based on Center for Disease Control Criteria that were adopted by Indonesia Association of Lung Doctors.

Results:There were 50 patients of acute stroke, consisted of 28 man (56,0%) and

22 womens (44,0%). There was no significant association between stroke subtype with pneumonia (p=0,117)(r=0,163), There was no significant association between stroke subtype with mortality ( p=0,117)(r=0,349), but There was significant association between territoriy vascular stroke subtype with pneumonia ( p<0,01)(r=0,315), There was significant association between territoriy vascular with mortality ( p<0,01)(r=0,448), There was significant association volume lesi stroke with dysphagia (p<0,03(r=0,415)

Conclusions: There was significant association between vascular territory with

pneumonia and mortality, and there was significant association lesi volume stroke with dysphagia.

Key word: Dysphagia, pneumoni, acute stroke, mortality

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stroke merupakan masalah bagi negara – negara berkembang. Di dunia penyakit stroke meningkat seiring modernisasi, di Amerika Serikat,


(20)

Background: Dysphagia is a commonly morbidity after stroke, the presence of dysphagia has been associated with increased risk for pulmonary complication and even mortality.There is is emerging evidence that early detection of dysphagia in patients with acute stroke reduces not only these complication but also reduces length of hospital stay.

Objective: To find out the correlation between stroke subtype, vascular territory with

pneumonia and mortality in acute stroke.

Methods: This cross sectional study observed patients at RA4 neurologic’s ward in

Adam Malik General Hospital Medan, were observed 50 acute stroke patients with dysphagia and non dysphagia. Patients who admitted with pneumonia or other pulmonary infection were excluded. Patients were followed in acute phase and pneumonia was diagnosed based on Center for Disease Control Criteria that were adopted by Indonesia Association of Lung Doctors.

Results:There were 50 patients of acute stroke, consisted of 28 man (56,0%) and

22 womens (44,0%). There was no significant association between stroke subtype with pneumonia (p=0,117)(r=0,163), There was no significant association between stroke subtype with mortality ( p=0,117)(r=0,349), but There was significant association between territoriy vascular stroke subtype with pneumonia ( p<0,01)(r=0,315), There was significant association between territoriy vascular with mortality ( p<0,01)(r=0,448), There was significant association volume lesi stroke with dysphagia (p<0,03(r=0,415)

Conclusions: There was significant association between vascular territory with

pneumonia and mortality, and there was significant association lesi volume stroke with dysphagia.

Key word: Dysphagia, pneumoni, acute stroke, mortality

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stroke merupakan masalah bagi negara – negara berkembang. Di dunia penyakit stroke meningkat seiring modernisasi, di Amerika Serikat,


(21)

stroke menjadi penyebab kematian yang ketiga setelah penyakit jantung dan kanker. Diperkirakan menurut WHO ada 15 juta populasi terserang stroke setiap tahun diseluruh dunia dan terbanyak adalah usia tua dengan kematian rata–rata setiap 10 tahun antara 55 dan 85 (Goldstein dkk 2006)

Stroke adalah salah satu sindrom neurologi yang merupakan ancaman terbesar menimbulkan kecacatan dalam kehidupan manusia (Misbach, 2011). Stroke merupakan salah satu sumber penyebab gangguan otak pada usia puncak produktif dan menempati urutan kedua penyebab kematian sesudah penyakit jantung pada sebagian besar negara di dunia, sedangkan di negara barat yang telah maju, stroke menempati urutan ketiga sebagai penyebab kematian sesudah penyakit jantung dan kanker. Diperkirakan insiden stroke di Amerika Serikat kira–kira lebih 700.000 tiap tahun dan meninggal lebih 160.000 per tahunnya dengan kira–kira 4,8 juta penderita stroke yang hidup saat ini (Nasution D, 2007).

Di Indonesia, menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, stroke merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan yang utama yang harus ditangani segera, tepat dan cermat (PERDOSSI,2011). Di Indonesia juga telah dilakukan penelitian yang berskala besar oleh survey ASNA (Asean Neurologic Association) di 28 rumah sakit di seluruh Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada penderita stroke akut yang dirawat di rumah sakit, dan dilakukan survey mengenai faktor – faktor resiko, lama perawatan dan mortalitas serta morbiditasnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita laki–laki lebih banyak dari perempuan dan profil usia dibawah 45 tahun cukup banyak yaitu 11,8%, usia 45–64 tahun berjumlah 54,7% dan di atas usia 65 tahun 33,5% (Misbach, 2007).


(22)

Stroke juga merupakan penyebab utama gangguan fungsional dimana hampir setengah pasien stroke terganggu fisik dan sosialnya dan 20,0% penderita yang bertahan hidup masih membutuhkan perawatan di institusi kesehatan setelah 3 bulan dan 15,0% - 30,0% penderitanya mengalami cacat permanen. Akibat gangguan fungsional ini menyebabkan penderita stroke harus mengeluarkan biaya yang besar untuk perawatan rehabilitasi disamping juga kehilangan produktivitasnya (Goldstein dkk, 2006)

Tingginya resiko kejadian stroke akut dengan disfagia yang diikuti kejadian aspirasi pneumonia (RR:3,17), dehidrasi dan meningkatnya angka kematian (RR:6,12), komorbiditi (RR:2,11), out come buruk (RR:1,63) dan meningkatnya biaya pengobatan (Carnaby G dkk, 2007)

Hasil analisa data 28 rumah sakit di Indonesia tentang tipe stroke yaitu iskemik dan perdarahan serta lokasinya, didapatkan lakunar 11,7%, non lakunar sirkulasi anterior 27,0%, non lakunar sirkulasi posterior 4,2%, perdarahan lobar 8,8%, perdarahan ganglia basal 7,1%, perdarahan batang otak 1,7 %, perdarahan serebelum 0,9%, data ini menunjukan bahwa stroke iskemik hampir 2 kali lipat lebih besar (42,9 %) dari stroke perdarahan (22,7%) (Misbach 2011)

Disfagia merupakan komplikasi yang sering pada stroke akut. Pada stroke akut, disfagia ditemukan 50,0% dari pasien stroke. Gejala disfagia kebanyakan muncul pada minggu pertama sampai 1 bulan onset dan menetap sampai 6 bulan pada sebagian kecil pasien (Dziewas dkk, 2004). Disfagia berhubungan dengan tingginya komplikasi respiratory dan meningkatnya aspirasi pneumonia, dehidrasi, dan gangguan nutrisi. Disfagia juga berhubungan dengan outcome yang buruk (Langdon dkk, 2010).


(23)

Aspirasi pneumonia komplikasi yang sering dijumpai pada disfagia, dijumpai sepertiga dari pasien disfagia (Dziewas dkk, 2004). Berdasarkan penelitian Mann dkk dengan penelitian prospektif ditemukan dari 128 pasien stroke, ditemukan 64% pasien disfagia dan 22,0% aspirasi pneumonia (Singh dkk, 2005).

Penelitian Sundar U, 2007 penyebab stroke terbanyak terhadap komplikasi disfagia adalah kardioemboli terdapat pada PACI yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas paling sering (Sundar U dkk, 2007)

Berdasarkan penelitian Langdon menunjukan disfagia setelah stroke maka total anterior circulation infarct (TACI) menunjukan ganguan disfagia yang berat dan menyebabkan disfagia dalam jangka waktu yang lama dibandingkan dengan subtipe stroke lainya (Langdon, 2010)

Lokasi lesi di otak berhubungan dengan kejadian disfagia, pada penelitan Itaquy dkk menyatakan gangguan pada arteri serebri media dan teritori sirkulasi posterior yang berperan dalam kejadian disfagia, Infark yang melibatkan arteri serebri media akan berkembang menjadi disfagia karena arteri ini berperan dalam fungsi menelan seperti talamus, kapsula interna, subregio insular dan area subkortikal lainya (Itaquy dkk, 2011)

Sundar U dkk (2008) telah melakukan penelitian terhadap 50 pasien stroke akut, terdapat seluruhnya 100% pasien dengan total anterior circulation infarcts (TACI) mempunyai insidensi disfagia, diikuti partial anterior circulation infarcts (PACI) sebanyak 36,0%, posterior circulation infarcts (POCI) sebanyak 33,0%, dan pada infarct lacuner sebanyak 18,0%, pada stroke hemoragik terdapat 67,0% menderita disfagia.(Sundar U dkk, 2008)


(24)

Arboix dkk (2009) telah melakukan penelitian terhadap 3808 pasien stroke untuk membandingkan karakteristik klinis, faktor resiko dan outcome fungsional didaerah teritori ACA, MCA, dan PCA dan didapati karakteristik klinis di teritori ACA yaitu hemiparese, disartria, hemihipestesi dan kadang disertai gangguan kesadaran dan faktor resiko yang ada pada ketiga teritori tersebut sama yaitu hipertensi, DM, atrial fibrilasi, dan dislipidemia.(Arboix dkk, 2009)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang dikemukakan di atas, maka dirumuskanlah masalah sebagai berikut :

Apakah terdapat hubungan subtipe stroke, teritori vaskular dengan kejadian pneumonia dan mortalitas pada penderita stroke akut dengan disfagia?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan subtipe stroke, teritori vaskular, dan kejadian pneumonia serta mortalitas pada penderita stroke akut .


(25)

1.3.2.1 Untuk mengetahui hubungan subtipe stroke dengan kejadian pneumonia dan mortalitas pada penderita stroke akut yang dirawat di ruangan rawat inap Neurologi RSUP. H. Adam Malik Medan.

1.3.2.2. Untuk mengetahui hubungan territori vaskular dengan kejadian pneumonia dan mortalitas pada penderita stroke akut yang dirawat di ruangan rawat inap Neurologi RSUP. H. Adam Malik Medan.

1.3.2.3 Untuk mengetahui hubungan volume lesi pada penderita stroke akut dengan yang dirawat di ruangan rawat inap Neurologi RSUP. H. Adam Malik Medan 1.3.2.4 Untuk melihat hubungan distribusi anatomi pada penderita stroke akut yang

dirawat di ruangan rawat inap Neurologi RSUP. H. Adam Malik Medan

1.3.2.5 Untuk melihat hubungan distribusi hemiparesis pada penderita stroke akut yang dirawat di ruangan rawat inap Neurologi RSUP. H. Adam Malik Medan 1.3.2.6 Untuk mengetahui hubungan pneumonia dengan mortalitas pada pasien

stroke akut.

1.3.2.7 Untuk melihat gambaran karakteristik demografi penderita stroke akut yang dirawat di ruangan rawat inap Neurologi RSUP. H. Adam Malik Medan.

1.4 Hipotesis

Ada hubungan subtipe stroke dan teritori vaskular dengan kejadian pneumonia dan mortalitas pada penderita stroke akut dengan disfagia.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat Penelitian untuk Penelitian

Dengan mengetahui hubungan antara subtipe stroke dan teritori vaskular dengan pneumonia dan mortalitas pada penderita stroke akut


(26)

dengan disfagia dapat dijadikan sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya tentang hubungan subtipe stroke dan teritori vaskular dengan stroke akut.

1.5.2 Manfaat Penelitian untuk Ilmu Pengetahuan

Dengan mengetahui adanya hubungan antara subtipe stroke dan teritori vaskular dengan morbiditas respirasi dan mortalitas pada penderita stroke akut dengan disfagia, maka dapat diupayakan tindakan preventif terhadap kejadian pneumonia pada penderita stroke akut sehingga outcome menjadi lebih baik

1.5.3 Manfaat Penelitian untuk Masyarakat

Dengan mengetahui hubungan subtipe stroke dan teritori vaskular dengan pneumonia pada penderita stroke akut dengan disfagia maka penderita dan keluarga akan dapat mempersiapkan tindakan perawatan atau pengasuhan jika suatu saat anggota keluarga mengalami serangan stroke di kemudian hari.


(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Stroke II.1.1 Definisi

Stroke adalah suatu episode disfungsi neurologi akut disebabkan oleh iskemik atau perdarahan berlangsung 24 jam atau meninggal, tapi tidak memiliki bukti yang cukup untuk diklasifikasikan (Sacco dkk, 2013).

Stroke iskemik adalah episode disfungsi neurologis disebabkan infark fokal serebral, spinal dan infark retinal. Dimana infark susunan saraf pusat adalah kematian sel pada otak, medulla spinalis, atau sel retina akibat iskemia, berdasarkan :

 Patologi, imaging atau bukti objektif dari injury fokal iskemik pada serebral, medula spinalis atau retina pada suatu distribusi vaskular tertentu.

 Atau bukti klinis dari injury fokal iskemik pada serebral, medulla spinalis atau retina berdasarkan simptom yang bertahan ≥24 jam atau meninggal dan etiologis lainnya telah di eksklusikan (Sacco dkk, 2013).

Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologis yang berkembang dengan cepat yang disebabkan oleh perdarahan di parenkim otak atau sistem ventrikel yang tidak disebabkan oleh trauma (Sacco dkk, 2013).


(28)

II.1.2 Epidemiologi

Insiden stroke bervariasi di berbagai Negara di Eropa, diperkirakan terdapat 100–200 kasus stroke baru per 10.000 penduduk per tahun. Insiden stroke pada pria lebih tinggi daripada wanita, pada usia muda, namun tidak pada usia tua. Rasio insiden pria dan wanita adalah 1,25 pada kelompok usia 55–64 tahun, 1,50 pada kelompok usia 65–74 tahun, 1,07 pada kelompok usia 75–84 tahun dan 0,76 pada kelompok usia diatas 85 tahun. Negara Amerika diperkirakan terdapat lebih dari 700.000 insiden stroke per tahun, yang menyebabkan lebih dari 160.000 kematian per tahun, dengan 4,8 juta penderita stroke yang bertahan hidup (Goldstein dkk, 2006).

II.1.3 Faktor Resiko

Penelitian prospektif stroke telah mengidentifikasi berbagai faktor– faktor yang dipertimbangankan sebagai resiko yang kuat terhadap timbulnya stroke. Faktor resiko timbulnya stroke(Sjahrir, 2003)

1. Non modifiable risk factors a. Usia

b. Jenis Kelamin c. Keturunan / genetik 2. Modifiable risk factors a. Behavioral risk factors

 Merokok

Unhealthy diet : lemak, garam berlebihan, asam urat, kolesterol, kurang buah


(29)

 Obat–obatan : narkoba (kokain), antikoagulansia, anti platelet, obat kontrasepsi

 Aktifitas yang rendah b. Physiological risk factors

 Penyakit hipertensi

 Penyakit jantung

 Diabetes mellitus

 Infeksi/ lues, arthritis, traumatic, AIDS, lupus

 Gangguan ginjal

 Kegemukan (obesitas)

 Polisitemia, viskositas darah meninggi & penyakit perdarahan

 Kelainan anatomi pembuluh darah

 Stenosis karotis asimtomatik

II.1.4 Klasifikasi Stroke/subtipe stroke

Dasar klasifikasi yang berbeda – beda diperlukan, sebab setiap jenis stroke mempunyai cara pengobatan, pencegahan dan prognosa yang berbeda, walaupun patogenesisnya sama (Misbach, 1999)

I. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya : a. Stroke Iskemik

Transient Ischemic Attack (TIA)

 Thrombosis serebri

 Emboli serebri b. Stroke Hemoragik


(30)

 Perdarahan subarachnoid

II. Berdasarkan stadium / pertimbangan waktu a. Transient Ischemic Attack (TIA)

b. Stroke in evolution c. Completed stroke

III. Berdasarkan jenis tipe pembuluh darah a. Sistem Karotis

b. Sistem vetebrobasiler

IV. Klasifikasi Bamford untuk tipe infark yaitu a. Partial Anterior Circulation Infarct (PACI) b. Total Anterior Circulation Infarct (TACI) c. Lacunar Infarct (LACI)

d. Posterior Circulation Infarct (POCI)

V. Klasifikasi stroke iskemik berdasarkan krteria kelompok peneliti TOAST (Sjahrir, 2003)

a. Aterosklerosis Arteri Besar

Gejala klinik dan penemuan imejing otak yang signifikan (>50%) stenosis atau oklusi arteri besar di otak atau cabang arteri di korteks disebabkan oleh proses aterosklerosis. Gambaran computed tomography (CT) sken kepala MRI menunjukkan adanya infrak di kortikal, serebellum, batang otak, atau subkortikal yang berdiameter lebih dari 1,5 mm dan potensinya berasal dari aterosklerosis arteri besar.

b. Kardioembolisme

Oklusi arteri disebabkan oleh embolus dari jantung. Sumber embolus dari jantung terdiri dari :


(31)

1. Resiko tinggi

 Prostetik katub mekanik

 Mitral stenosis dengan atrial fibrilasi  Fibrilasi atrial

 Atrial kiri / atrial appendage thrombus  Sick sinus syndrome

 Miokard infark baru (< 4 minggu)  Thrombus ventrikel kiri

 Kardiomiopati dilatasi

 Segmen ventricular kiri akinetik  Atrial myxoma

 Infeksi endokarditis 2. Resiko sedang  Prolaps katub mitral  Kalsifikasi annulus mitral

 Mitral stenosis tanpa fibrilasi atrial  Turbulensi atrial kiri

 Aneurisma septal atrial  Paten foramen ovale  Atrial flutter

Lone atrial fibrillation  Katub kardiak bioprostetik

 Trombotik endokarditis non bacterial  Gagal jantung kongestif


(32)

 Miokard infark (> 4 minggu, < 6 bulan) c. Oklusi Arteri Kecil

Sering disebut juga infark lakunar, dimana pasien harus mempunyai satu gejala klinis sindrom lakunar dan tidak mempunyai gejala gangguan disfungsi kortikal serebral. Pasien biasanya mempunyai gambaran CT sken/ MRI kepala normal atau infark lakunar dengan diameter < 1,5 mm di daerah batang otak atau subkortikal.

d. Stroke Akibat dari Penyebab lain yang Menentukan 1. Non – Aterosklerosis Vaskulopati

 Non inflamasi

 Inflamasi non infeksi  Infeksi

2. Kelainan Hematologi atau Koagulasi

e. Stroke Akibat dari Penyebab lain yang Tidak Dapat Ditentukan

II.1.5 Patofisiologi

Pada stroke iskemik, berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan hipoksemia daerah regional otak dan menimbulkan reaksi berantai yang berakhir dengan kematian sel–sel otak dan unsur–unsur pendukungnya (Misbach, 2007).

Pada level makroskopik, stroke iskemik paling sering disebabkan oleh emboli dari ekstrakranial atau trombosis di intrakranial, tetapi dapat juga disebabkan oleh berkurangnya aliran darah otak. Pada level seluler, setiap proses yang mengganggu aliran darah ke otak dapat mencetuskan suatu


(33)

kaskade iskemik, yang mengakibatkan kematian sel – sel otak dan infrak otak (Becker JU, dkk, 2010).

Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti (core) dengan tingkat iskemik terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini akan menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Diluar daerah core iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel – sel otak dan jaringan pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang fungsi – fungsinya dan menyebabkan juga defisit neurologis. Tingkat iskemiknya makin ke perifer makin ringan. Daerah panumbra iskemik, diluarnya dapat dikelilingi oleh suatu daerah hiperemik akibat adanya aliran darah kolateral (luxury perfusion area). Daerah penumbra iskemik inilah yang menjadi sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat direperfusi dan sel–sel otak berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung pada faktor waktu dan jika tidak terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat berangsur – angsur mengalami kematian (Misbach, 2007).

Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara bertahap, yaitu(Sjahrir, 2003)

Tahap 1 :

a. Penurunan aliran darah b. Pengurangan O2

c. Kegagalan energi

d. Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostasis ion Tahap 2 :


(34)

a. Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ion b. Spreading depression

Tahap 3 : Inflamasi Tahap 4 : Apoptosis

Perdarahan otak merupakan penyebab stroke kedua terbanyak setelah infark otak, yaitu 20 – 30% dari semua stroke di Jepang dan Cina. Sedangkan di Asia Tenggara (ASEAN), pada penelitian stroke oleh Misbach (1997) menunjukkan stroke perdarahan 26,0%, terdiri dari lobus 10,0%, ganglionik 9,0%, serebellar 1,0%, batang otak 2,0% dan subrakhnoid 4,0% (Misbach, 2011).

Pecahnya pembuluh darah di otak dibedakan menurut anatominya atas perdarahan intraserebral dan subarakhnoid. Sedangkan berdasarkan penyebabnya, perdarahan intraserebral dibagi menjadi perdarahan intraserebral primer dan sekunder. (Misbach 2011).

Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya mikroaneurisma (Berry aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering terjadi di daerah subkortikal, serebelum, dan batang otak. Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100–400 mikrometer mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah tersebut berupa lipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Pada kebanyakan pasien, peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba menyebabkan rupturnya penetrating arteri yang kecil. Keluarnya darah dari pembuluh darah kecil membuat efek penekanan pada arteriole dan pembuluh kapiler yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah juga. Hal ini mengakibatkan volume perdarahan semakin besar (Caplan, 2000).


(35)

Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala neurologik timbul karena ekstravasasi darah ke jaringan otak yang menyebabkan nekrosis (Caplan, 2000).

Pada perdarahan intraserebral, pembuluh yang pecah terdapat di dalam otak atau massa pada otak, sedangkan pada perdarahan subrakhnoid, pembuluh yang pecah terdapat diruang subarakhnoid, di sekitar sirkulus arteriosus Willisi. Pecahnya pembuluh darah disebabkan oleh kerusakan dinding arteri (arteriosklerosis) atau karena kelainan kongenital atau trauma (Misbach, 2011).

II.2. Anatomi Vaskular dan Karakteristik Klinis

Otak dialiri oleh arteri karotis dan arteri vertebralis yang dimulai arteri ekstrakranial yaitu aorta atau pembuluh darah besar yang berjalan melalui leher dan dasar tengkorak untuk mencapai rongga intrakranial. Sistem karotis dikenal sebagai sirkulasi anterior dan vertebrobasiler dikenal sebagai sirkulasi posterior. Sistem karotis kanan berasal dari bifurkasio arteri innominata dan kiri berasal dari arkus aorta, batang arteri karotis internal dari sistem karotis pada bagian atas kartilago tiroid, pada vertebra servical IV, tidak memberi percabangan pada leher dan wajah, memasuki kranium melalui kanalis karotikus. Akhir karotis interna dibagi menjadi arteri serebri anterior dan serebri media (Gofir, 2009).

Pada setiap sistem vaskularisasi otak terdapat tiga komponen yaitu : arteri–arteri ekstrakranial, arteri–arteri intrakranial berdiameter besar dan


(36)

arteri–arteri perforantes berdiameter kecil, komponen–komponen arteri ini mempunyai struktur dan fungsi yang berbeda pada gambar 1.

1. Pembuluh darah ekstrakranial misal. a. karotis kommunis mempunyai struktur trilaminar (tunika intima, media dan adventisia) dan berperan sebagai pembuluh darah kapasitan. Pada pembuluh darah ini mempunyai anastomosis yang terbatas.

2. Arteri–arteri intrakranial yang besar (misalnya a.serebri media) secara bermakna mempunyai hubungan anastomosis dipermukaan piameter otak dan basis kranium melalui sirkulus Willisi dan sirkulasi koroid. Tunika adventisia pembuluh darah ini lebih tipis daripada pembuluh darah ekstrakranial dan mengandung jaringan elastik yang lebih sedikit, selain itu dengan diameter yang sama pembuluh darah intrakranial ini lebih kaku dari pembuluh darah ekstrakranial.

3. Arteri–arteri perforantes yang berdiameter kecil yang terletak superfisial maupun profunda, secara dominan merupakan end-artery dengan anastomosis yang sangat terbatas, merupakan pembuluh darah yang resisten (Gofir, 2009).

II.2.1 Anatomi Sistem Anterior/sistem Karotis

Arteri karotis kommunis kiri dipercabangkan langsung dari arkus aorta sebelah kiri, sedangkan a. Karotis kommunis dipercabangkan dari a.innnominata (brachiocephalica). Dileher setinggi kartilago thyroid arteri karotis kommunis bercabang menjadi arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna dengan arteri karotis interna lebih posterior dibanding dengan arteri Karotis eksterna. Percabangan dari kedua arteri ini sering disebut bifurcatio.


(37)

Karotis mengandung carotid body yang berespon terhadap kenaikan tekanan partial oksigen arterial (PAO2), aliran darah, PH, arterial dan penurunan PaCO2 serta suhu tubuh(Gofir, 2009).

Arteri karotis kommunis berdekatan dengan serabut saraf simpatis ascenden, oleh karena itu pada lesi arteri karotis kommunis misal. Akibat trauma, diseksi arteri atau oklusi trombus dapat menyebabkan paralisis okulo simpatik ipsilateral (sindrom horner’s) yang juga melibatkan serabut-serabut sudomotor dengan wajah (Gofir, 2009).

Arteri karotis interna bercabang menjadi dua bagian yakni bagian ekstrakranial dan intrakranial. Bagian ekstrakranial a. Karotis interna setelah dipercabangkan didaerah bifurcatio akan melalui kanalis karotikus untuk memvaskularisasi kavum timpani dan akan beranastomosis dengan arteri maksilari interna salah satu cabang arteri karotis eksterna (Gofir, 2009).

Arteri karotis interna bagian intrakranial masuk ke otak melalui kanalis karotikus berjalan dalam sinus kavernosus mempercabangkan arteri opthalmika untuk n.optikus dan retina, kemudian akhirnya bercabang menjadi a.serebri anterior dan a. serebri media, keduanya bertanggung jawab memvaskularisasi lobus frontalis, parietal dan sebagian temporal (Gofir, 2009).

II.2.1.1. Anterior Cerebral Artery

Anterior cerebral arteri berasal dari arteri karotid interna, dibagi atas 3 segmen pada gambar.2 yaitu :


(38)

2. A2 dari arteri communicating anterior ke arteri kallosalmarginal 3. A3 berasal bagian distal arteri kallosum marginal

Arteri serebri anterior mensuplai tiga perempat permukaan medial lobus frontalis, termasuk permukaan orbita media, frontal, bagian atas permukaan lateral hemisper serebri dan 4/5 korpus kallosum. Percabangan bagian dalam berasal dekat sirkulus willisi yaitu proksimal atau distal pada arteri communicating anterior, nukleus kaudatus bagian anterior dan globus pallidus anterior. Oleh karena itu arteri serebri anterior dibagi tiga cabang besar yaitu lentikulostriata media, percabangan perikallosal ke korpus kallosum dan percabangan ke hemisper serebri (Gofir, 2009).

Arteri lentikulostriata termasuk arteri Heubner dan percabangan basal dari arteri serebri anterior, arteri Heubner memperdarahi bagian anterior putamen dan nukleus kaudatus yaitu anteroinferior kapsula interna. Bagian basal memperdarahi bagian dorsal dan hipotalamus (Adam and victor’s 2009). Karakteristik klinis pada infark didaerah arteri serebri anterior meliputi : defisit motorik, dan sensorik kontralateral dimana bagian lengan lebih ringan dibanding tungkai, deviasi mata dan kepala kearah lesi, afasia motorik transkortikal, gangguan perilaku, disartria.(Adam and victor’s 2005)


(39)

Gambar 1 : arteri di otak

Dikutip dari :Atri A, Miligan T, Maas MB, Safdies JE.Stroke Iskemik :


(40)

Gambar 2: Territori Anterior Cerebral Artery

Dikutip dari :Ropper, AH, and Brown, R.H.2009. Adam and Victor’s. Principles of Neurology 8thed. McGraw – Hill.New York


(41)

Dikutip dari :Ropper, AH, and Brown, R.H.2009. Adam and Victor’s. Principles of Neurology 8thed. McGraw – Hill.New York

II.2.1.2. Arteri Serebri Media

Arteri serebri media setelah dipercabangkan oleh arteri karotis interna akan dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian pertama akan berjalan ke lateral diantara atap lobus medial dan lantai lobus frontalis hingga mencapai fissura lateralis Sylvian, arteri–arteri lentrikulstriata dipercabangkan dari bagian proksimal ini. Arteri lentikulostriata merupakan arteri–arteri perforasi profunda yang merupakan cabang dari arteri serebri media, arteri ini berjumlah antara 6–12 arteri yang berfungsi memvaskularisasi nukleus


(42)

lentiiformis, nukleus kaudatus bagian caput lateral, globus pallidus dan kapsula interna bagian bawah. Oklusi salah satu arteri lentikulostriata menimbulkan infark lakunar (Gofir, 2009).

Didaerah fisura lateralis, bagian kedua a. serebri media akan bercabang menjadi devisi superior dan inferior, devisi superior akan memberikan suplai ke lobus frontalis dan lobus parietal, sedangkan devisi inferior akan mensuplai ke lobus temporalis dan pada akhir dari arteri serebri media atau arteri–arteri perforantes medularis akan dipercabangkan dipermukaan hemisfer serebri yang akan memvaskularisasi substansia alba (Gofir, 2009).

Arteri serebri media terbagi atas 4 segmen yaitu :

1. M1 dari asal ke bifurkasio yaitu arteri – arteri penetrating lentrikulostriata medialis, lateralis, arteri temporal anterior, arteri temporal polar dan arteri uncal

2. M2 dari bifurkasio ke percabangan korteks 3. M3 percabangan operkular

4. M4 penggabungan cabang – cabang fissura sylvian pada permukaan hemisfer lateral dari hemisfer serebri

Middle cerebral artery mensuplai sebagian besar permukaan lateral hemisfer yaitu bagian superior lobus parietalis dan bagian inferior lobus temporalis dan lobus oksipitalis, sebagai tambahan juga mensuplai kapsula interna dan basal ganglia (Adam and victor’s,2009).

Karakteristik klinis yang didapati pada infark didaerah arteri serebri media meliputi : hemiplegia kontralateral, hemianestesi dan hemianopsia


(43)

homonim, deviasi kepala dan mata ke arah lesi, afasia global (Adam and Victor’s,2005).

II.2.1.3. Arteri Serebri Posterior

Arteri serebri posterior merupakan cabang akhir dari a.basilaris. Bagian proksimal arteri serebri posterior atau bagian prekomunikan (sebelum a. Communicans posterior) akan bercabang menjadi a.Mesensepali paramedian dan a.Thalamik-sub talamik yang akan memvaskularisasikan thalamus. Setelah a. kommunikan posterior, a. serebri posterior akan mempercabangkan a. Thalamogenikulatum dan a. koroid posterior, yang mana akan memvaskularisasikan talamus, arteri serebri posterior ini setelah berjalan kebelakang didaerah tentorium serebelli akan bercabang menjadi devisi anterior yang memvaskularisasi bagian medial lobus temporalis dan devisi posterior yang memvaskularisasi fissura kalkarina dan daerah parieto-ocipitalis) pada gambar 4.

Posterior cerebral artery adalah cabang terminal arteri basilaris dan mensuplai lobus oksipitalis, dan lobus temporalis poteromedial.

Posterior cerebral arteri dibagi atas 4 segmen :

1. P1 dari akhir arteri basilaris ke artery communicating posterior dalam interpeduncularis sisterna.

2. P2 berawal dari artery communicating posterior dibagi atas dua segmen yaitu anterior dan posterior.

3. P3 segmen quardri terminal P1 4. P4 segmen korteks


(44)

Segmen P1 dikenal sebagai percabangan interpeduncularis yang berasal dari bifurkasio basilaris yang memperdarahi red nukleus, substansia nigra bilateral, pedunkulus serebri media, saraf okulomotorius dan troklearis, substansia retikular diatas brainstem, fasikulus longitudinal medial dan lemniskus medialis. Pada segmen P2 dikenal sebagai percabangan talamo perforata memperdarahi talamus bagian inferior, medial, dan anterior. Percabangan medialnya memperdarahi pedunkulus serebral, lateral tegmentum, korpora quadrigemina dan glandula pinealis. Bagian percabangan terminalnya memperdarahi lobus temporal dan lobus oksipitalis medial (Adam and Victor’s, 2009).

Karakteristik klinis yang bisa didapati pada infark didaerah arteri serebri posterior meliputi : sindrom Weber, sindroma beneikta, dan sindroma


(45)

Claude, gangguan pergerakan ekstrapiramidalis.(Adam and Victor’s,2009)

Gambar 3: Territori Middle Cerebral Artery

Dikutip dari :Ropper, AH, and Brown, R.H.2009. Adam and Victor’s. Principles of Neurology 8thed. McGraw – Hill.New York


(46)

Dikutip dari :Ropper, AH, and Brown, R.H.2009. Adam and Victor’s. Principles of Neurology 8thed. McGraw – Hill.New York


(47)

Gambar 4: Territori posterior Cerebral Artery

Dikutip dari :Ropper, AH, and Brown, R.H.2009. Adam and Victor’s. Principles of Neurology 8thed. McGraw – Hill.New York


(48)

Dikutip dari :Ropper, AH, and Brown, R.H.2009. Adam and Victor’s. Principles of Neurology 8thed. McGraw – Hill.New York


(49)

(50)

Dikutip dari :Atri A, Miligan T, Maas MB, Safdies JE.Stroke Iskemik :

Pathofisiology,and Principles of Location. Journal Neurology.2009;13:1-16.

II.2.2. Brainstem

Karakteristik klinis yang didapati pada stroke didaerah brainstem adalah hemiparese, disartria, ataksia, diplopia, disfagia, ataksia. Banyak dari gangguan ini diklasifikasikan beberapa sindroma seperti sindroma Wallenberg (Adam and Victor’s,2009).

II.2.3. Serebellum

Serebelli disuplai oleh pembuluh darah arteri yaitu arteri serebelli superior yaitu percabangan dari bagian distal arteri basilaris, arteri serebelli inferior anterior yaitu percabangan proksimal arteri basilaris, arteri serebelli inferior posterior yaitu percabangan distal arteri vertebralis. Karakteristik klinis pasien dengan infark di serebelli terdiri dari penurunan kesadaran sampai koma, vertigo, ataksia, disartria, disfagia, dan inkoordinasi (Adam and Victor’s,2009).


(51)

II.3.1. Definisi

Disfagia didefinisikan adalah suatu kesulitan menelan, makanan tertahan di mulut, batuk setelah menelan dan merupakan komplikasi stroke yang sering. Disfagia yang dijumpai pada pasien stroke dihubungkan dengan meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas seperti malnutrisi, dehidrasi dan infeksi paru (Steinhagen V dkk, 2008).

II.3.2. Epidemiologi

Insidensi tahunan: 5-11 kasus per 1.000 orang dewasa; 15,0% -45% perlu di rawat dirumah sakit (1-4 kasus), dan 5,0%-10% diobati di ICU. Insidensi paling tinggi pada pasien yang sangat muda dan usia lanjut. Mortalitas 5,0% -12% pada pasien yang dirawat di rumah sakit; 25,0% - 50% pada pasien ICU (Jeremy, 2007). Di United States, insidensi untuk penyakit ini mencapai 12 kasus tiap 1.000 orang dewasa. Kematian untuk pasien rawat jalan kurang dari 1,0%, tetapi kematian pada pasien yang dirawat di rumah sakit cukup tinggi yaitu sekitar 14,0% (Alberta Medical Association, 2002). Di negara berkembang sekitar 10,0%-20,0% pasien yang memerlukan perawatan di rumah sakit dan angka kematian diantara pasien tersebut lebih tinggi, yaitu sekitar 30,0%-40,0% (Sajinadiyasa, 2011).

II.3.3. Fisiologi proses menelan

Keberhasilan dalam proses menelan membutuhkan proses dan dinamik yang kompleks, yang melibatkan 5 pasang saraf dan 26 pasang otot-otot yang mengkordinasi dalam proses menelan. Kontrol menelan adalah multi dimensional, terdiri dari tiga level yakni: pada level pertama adalah


(52)

brainstem merupakan pusat generator untuk kontrol menelan, pada level kedua adalah kontrol struktur dari subcortikal yaitu basal ganglia, hipotalamus, amygdala, dan mid brain, pada level ketiga adalah kontrol pusat menelan di kortikal suprabulbar.

Tahapan menelan secara normal terbagi atas 4 fase yaitu: 1.Fase persiapan oral

Untuk mengetahui petunjuk makanan, menelan, lingkungan, visual dan penciuman. Saat makanan masuk ke mulut, bibir dan lidah dapat merasakan dan rasa makanan tersebut di transmisikan ke brainstem.

2.Fase oral

Makanan yang dikunyah bersatu dengan air liur bergerak pada rahang berkordinasi dengan pergerakan lidah dan pipi dan palatum, tulang hyoid, makanan disiapkan bentuk yang dapat dimasukan dengan mudah untuk proses menelan, lidah berfungsi mendorong makanan ke faring. Kesulitan atau kelemahan pada fase oral dapat terjadi akibat kelemahan otot atau gangguan saraf, gangguan pada fase oral ini bisa juga disebabkan penyakit gigi, penggunaan gigi palsu yang kurang tepat, gigi molar yang sudah copot, dan bisa juga disebabkan kelemahan lidah atau rahang, yang berkontribusi terhadap gangguan pada fase oral.

3.Fase faringeal

Faring terdiri dari nasofaring dan orofaring. Fase ini mempunyai dua tujuan yakni berfungsi sebagai penghantar udara dan membawa makanan atau


(53)

cairan dari mulut ke oseofagus. Faring terdiri dari otot otot konstriktor faring terdiri bagian superior, medial, dan anterior. Otot menelan faring didukung oleh nervus trigeminalis (v), nervus fasialis (VII), nervus glossofaringeal (IX), nervus vagus (X), nervus accesorius (XI), nervus hypoglosus (XII)

4.Fase esofagal

Setelah makanan memasuki oseofagus, peristaltik usus akan bergerak menurunkan makanan ke dalam perut yang melalui spingter bawah esofagus.(Langdon C,2010)

Gambar 5: Tahapan Menelan

Dikutip dari : Langdon C. Dysphagia and infection respiratory in acute ischemic stroke. 2012. Sir Charles Gairdner Hospital and Curtin University of Technology Australia. Available from www.intechopen .com.


(54)

Stroke dapat menyebabkan injury pada otak yang berpengaruh terhadap fungsi menelan, juga ada kerusakan pada saraf kranialis atau terdapat gangguan pada interkoneksi jaringan neural pada regulasi proses menelan. Pada pasien stroke dengan penurunan kesadaran berarti tidak mampu untuk menjaga jalan napas dengan baik (Langdon C, 2012)

II.3.4.1.Lesi pada Kortek

Gambaran anatomi menelan ditunjukan dengan pemeriksaan fMRI yang melibatkan gyrus presentral dan poscentral, cyngulasi gyrus bagian anterior dan insula. Stroke yang melibatkan pusat menelan yang dominan maka disfagia jelas akan tampak, stroke di daerah kortek berpengaruh terhadap pergerakan dari fungsi menelan. Pada stroke dengan lesi yang luas akan melibatkan traktus di otak, penetrasi di daerah kapsula interna, disfagia lebih tampak signifikan pada TACI (Langdon C, 2012).

Stroke dengan lesi pada kortek yang unilateral berpengaruh terhadap disfagia yang bersifat transient atau sementara dimana perbaikan terjadi dengan cepat dapat menelan makanan kembali dengan normal. Pada pasien stroke dengan gangguan pada kortek bilateral mempunyai gangguan menelan yang lebih berat dan disfagia akan lebih lama terjadi. Stroke pada daerah kortek dapat menggambarkan disfagia dan beberapa hal dibawah berikut :

1. Kelemahan wajah

2. Kesulitan mengeluarkan/sekresi air liur 3. Disartria

4. Disfasia 5. Disfonia


(55)

6.Gangguan kesadaran.

II.3.4.2. Lesi pada Brainstem

Pada daerah brainstem terdapat motor nuclei yang berespon sebagai Central Pattern Generators (CPG) dari menelan, motor nuclei yang terlibat didalam menelan adalah hypoglossal motor nukleus, dan nukleus ambygus, bagian ini merupakan terdiri dari motor neuron yang menginervasi otot-otot instrinsik dan ekstrinsik lidah seperti genioglossus, genihyoid, styloglossus dan hyoglosus, dan faring, laring dan esofagus (Langdon C,2012).

Area yang terlibat dengan fungsi menelan pada brainstem adalah :

1. Dorsal medula (Nukleusi Traktus Solitarius/NTS), dan sepanjang formasio retikularis

2. Venterolateral medula, hanya bagian superior dari nukleus ambigus.

Secara anatomi, neuron untuk menelan berada pada lokasi yang sama dengan neuron Central Pattern Generators yang melibatkan respirasi dan regulasi kardiovaskular, kedua neuron untuk respirasi dan menelan dengan interneurons yang sama, dengan demikian dapat dijelaskan adanya hubungan yang erat antara respirasi dengan menelan, sehingga pada pasien stroke didaerah brainstem sangat erat dengan terjadi aspirasi dan disfagia (Langdon C ,2010).

Karakteristik stroke pada brainstem dapat dilihat gambaran klinis sebagai berikut :

1. Disartria


(56)

3. Gangguan pengelihatan atau defisit visiospatial yang melibatkan bagian occipital.

Sering dijumpai pasien dengan stroke vertebrobasilar akan melibatkan gangguan kesadaran, hemiparesis, pupil yang tidak normal, dan ada tanda okulomotor, dan manisfestasi dari bulbar seperti kelemahan pada wajah, disfonia, disartria, dan disfagia dapat terjadi pada 40 % pasien (Langdon C,2012).

II.4 Pneumonia

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Tabel 2.1 memuat daftar mikroorganisme dan masalah patologis yang menyebabkan pneumonia (Jeremy, 2007).

Tabel 5. Daftar Mikroorganisme yang Menyebabkan Pneumonia

Infeks Bakteri

Infeksi Atipikal Infeksi Jamur

Streptococc us pneumoniae Mycoplasma pneumoniae Aspergillus Haemophillu s influenza Legionella pneumophillia Histoplasmosis Klebsiella pneumoniae

Coxiella burnetii Candida

Pseudomon as


(57)

aeruginosa

Gram-negatif (E. Coli)

Infeksi Virus

Infeksi Protozoa Penyebab Lain

Influenza Pneumocytis carinii Aspirasi

Coxsackie Toksoplasmosis Pneumonia lipoid Adenovirus Amebiasis Bronkiektasis

Sinsitial respiratori Fibrosis kistik

Dikutip dari Jeremy, P.T. 2007. At Glance Sistem Respirasi. EdisiKedua.Jakarta: Erlangga Medical Series. Hal. 76-7.

II.4.1. Patogenesis

Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Bakteri ada di paru merupakan akibat ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya sakit (Supandi, 1992)

Masuknya mikroorganisme ke saluran napas dan paru dapat melalui berbagai cara:

a. Inhalasi langsung dari udara

b. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring c. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain

d. Penyebaran secara hematogen (Supandi, 1992).

Diketahui beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pneumonia yaitu (Supandi, 1992)


(58)

Paru berusaha untuk mengeluarkan berbagai mikroorganisme yang terhirup seperti partikel debu dan bahan-bahan lainnya yang terkumpul di dalam paru. Beberapa bentuk mekanisme ini antara lain bentuk anatomis saluran napas, refleks batuk, sistem mukosilier, juga sistem fagositosis yang dilakukan oleh sel-sel tertentu dengan memakan partikel-partikel yang mencapai permukaan alveoli. Bila fungsi ini berjalan baik, maka bahan infeksi yang bersifat infeksius dapat dikeluarkan dari saluran pernapasan, sehingga pada orang sehat tidak akan terjadi infeksi serius. Infeksi saluran napas berulang terjadi akibat berbagai komponen sistem pertahanan paru yang tidak bekerja dengan baik (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

b. Kolonisasi bakteri di saluran pernapasan

Di dalam saluran napas atau cukup banyak bakteri. Bila jumlah mereka semakin meningkat dan mencapai suatu konsentrasi yang cukup, kuman ini kemudian masuk ke saluran napas bawah dan paru, dan akibat kegagalan mekanisme pembersihan saluran napas, keadaan ini bermanifestasi sebagai penyakit. Mikroorganisme yang tidak menempel pada permukaan mukosa saluran napas akan ikut dengan sekresi saluran napas dan terbawa bersama mekanisme pembersihan, sehingga tidak terjadi kolonisasi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003)

c. Pembersihan saluran napas terhadap bahan infeksius

Saluran napas bawah dan paru berulang kali dimasuki oleh berbagai mikroorganisme dari saluran napas atas, akan tetapi tidak menimbulkan sakit, ini menunjukkan adanya suatu mekanisme pertahanan paru yang efisien sehingga dapat menyapu bersih mikroorganisme sebelum mereka


(59)

bermultiplikasi dan menimbulkan penyakit. Pertahanan paru terhadap bahan-bahan berbahaya dan infeksius berupa refleks batuk, penyempitan saluran napas, juga dibantu oleh respon imunitas humoral. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,2003)

II.4.2 Klasifikasi

1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis :

a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)

b. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial pneumonia)

c. Pneumonia aspirasi

d. Pneumonia pada penderita Immunocompromis (PDPI, 2003) 2. Berdasarkan bakteri penyebab

a. Pneumonia bakterial / tipikal

Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.

b. Pneumonia atipikal,

Disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia c. Pneumonia virus

d. Pneumonia jamur Sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised) (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

3. Berdasarkan predileksi infeksi a. Pneumonia lobaris.


(60)

Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya : pada aspirasi benda asing atau proses keganasan

b. Bronkopneumonia.

Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus

c. Pneumonia interstisial (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

II.4.3. Faktor Resiko

Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan risiko pneumonia antara lain usia > 65 tahun; dan usia < 5 tahun, penyakit kronik (misalnya ginjal, dan paru), diabetes mellitus, imunosupresi (misalnya obat-obatan, HIV), ketergantungan alkohol, aspirasi, penyakit virus yang baru terjadi (misalnya influenza), malnutrisi, pasca operasi, lingkungan, pekerjaan (Jeremy, 2007; Misnadirly, 2008).

II.4.4. Diagnosis

II.4.4.1 Gambaran klinis

a. Anamnesis

Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 40ºC, batuk dengan dahak mukoid atau


(61)

purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003)

b. Pemeriksaan fisik

Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

II.4.4.2. Pemeriksaan penunjang

a. Gambaran radiologis

Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003)

b. Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada


(62)

hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20,0% - 25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003)

II.4.5. Pneumonia Pada Stroke

Pneumonia merupakan salah satu komplikasi medis yang paling sering pada penderita stroke dan sebagai penyebab demam yang paling sering dalam 48 jam setelah seragan stroke. Pneumonia akan meningkatkan resiko kematian tiga kali lipat pada penderita stroke (Kumar S,2010 ).

Kebanyakan pneumonia tersebut disebabkan sebagai akibat aspirasi yaitu terinhalasinya kolonisasi bakteri yang ada di faring ataupun gingival ( Kumar S, 2010 ).

Pneumonia yang terjadi juga dapat merupakan hospital acquired/ nasocomial pneumonia yaitu inflamasi dari parenkim paru yang disebabkan agen infeksius dan tidak muncul pada saat masuk rumah sakit, dimana keadaan tersebut didapat lebih dari 48 jam setelah masuk rumah sakit ( Rotstein C, dkk, 2008 ). Bakteri penyebab tersering dari pneumonia aspirasi pada orang dewasa meliputi:

- Enterobacteriaceae - S. Aureus

- S. Pneumoniae


(63)

Pencegahan dan deteksi pneumonia pada penderita stroke akut dapat dilakukan sebagai berikut :

- Pneumonia akibat disfagia atau gangguan refleks menelan, erat hubungannya dengan aspirasi pneumonia, oleh karena itu maka tes refleks batuk perlu dilakukan untuk mengidentifikasi resiko pneumonia.

- Pemberian pipa nasogastrik segera (dalam 48 jam) diajurkan pada pasien gangguan menelan

- Pencegahan aspirasi dapat dilakukan dengan :  Elevasi kepala 30 - 45º

 Menghindari sedasi berlebihan

 Mempertahankan tekanan cuff endotrakeal yang tepat pada pasien dengan intubasi dan trakeostomi

 Memonitor volume residual lambung selama pemberian makanan secara enteral.

 Menghindari pipa nasogastrik yang lama

 Seleksi diit yang tepat pada pasien dengan disfagia  Mengaspirasi sekret subglotis secara teratur

 Rehabilitasi fungsi menelan (PERDOSSI, 2011).

Penatalaksanaan pneumonia pada penderita stroke meliputi : - Pemberian antibiotik sesuai indikasi, antara lain :

 Tanpa komorbiditas : Macrolide (azitromisin, klaritromisin atau eritromisin) atau dosisiklin.

 Disertai penyakit lain seperti diabetes mellitus, alkoholisme, keganasan, penyakit jantung serta imunosupresi : fluorokuinolon (moksifloksasin,


(64)

gemifloksasin atau levofloksasin) atau beta-laktam dengan macrolide. Alternatif lainnya ceftriakson dan dosisiklin sebagai pengganti macrolide. - Fisioterapi (chest therapy) dengan spirometri, inhalasi ritmik dan menepuk –

nepuk dada (PERDOSSI, 2011 ).

II.4.5.1. Faktor Yang Mempengaruhi Pneumonia Pada Penderita Stroke. Chumber, dkk, 2010 melakukan penelitian dan menghasilkan tiga level sistem skor untuk memprediksi terjadinya pneumonia pada stroke akut. Faktor–faktor yang dapat memprediksi terjadinya pneumonia pada penelitiannya meliputi adanya riwayat menderita pneumonia (nilai 4), disfagia (nilai 4), nilai NIHSS yang tinggi pada saat masuk (NHISS ≥ 2 nilai 3), penurunan kesadaran (nilai 3) dan usia lebih dari 70 tahun (nilai 2). Kemudian membagi menjadi 3 level, yaitu : nilai 0 memiliki resiko rendah terjadinya pneumonia pada fase akut (2,1%), nilai 1-3 memilki resiko sedang (4,2%) dan nilai ≥ 3 resiko tinggi (22,9%) (Chumbler HC, dkk, 2010)

Penelitian Sellars, dkk, 2007 menghasilkan bahwa faktor – faktor berikut : usia > 65 tahun, disartria atau tidak dapat berbicara karena afasia, skor modified Rankin Scale ≥ 4, skor Abbreviated Mental Test <8 dan ketidak mampuan melakukan tes menelan air, jika ditemukan 2 atau lebih akan mendapatkan pneumonia dengan sensitifitas 90,9% dan spesifisitas 75,6% (Sellars, dkk, 2007)

Penelitian Martino, dkk, 2005 menyatakan bahwa disfagia juga merupakan prediktor dari terjadinya pneumonia pada penderita stroke, dimana penderita yang disfagia sangat rentan terjadinya aspirasi, sehingga resiko terjadinya pneumonia semakin besar (Martino, dkk, 2005)


(65)

II.5. Screening Test Untuk Disfagia

Disfagia sering terjadi pada penderita stroke, yang akan meningkatkan resiko aspirasi dan pneumonia. Screening menelan merupakan langkah awal untuk mengidentifikasi resiko disfagia dan aspirasi. Deteksi awal dari disfagia memungkinkan tindakan yang segera dalam penatalaksanaan, sehingga menurunkan morbiditas, masa rawatan dan biaya perawatan pasien (Daniels SK, 2012 )

Tes menelan air sebaiknya digunakan sebagai screening resiko terjadinya aspirasi pada penderita stroke. Cara melakukannya sebagai berikut :

- Penderita stroke yang akan dilakukan tes screening menelan harus bisa duduk tegak dan sadar setidaknya selama 15 menit. Jika tidak maka tes tidak dapat dilakukan dan penderita tidak diperbolehkan makan / minum dari mulut. - Periksa apakah rongga mulut penderita bersih atau tidak. Jika kotor, maka

segera bersihkan.

- Dudukkan penderita dan berikan satu sendok air sebanyak 3 kali. Letakkan jari di garis tengah dibawah laring dan rasakan saat penderita menelan. Kemudian perhatikan apakah ada tanda – tanda ketidak mampuan menelan, batuk, tersedak atau perubahan kualitas suara ( suruh penderita menyebut “aah” ). Jika ada tanda – tanda tersebut maka penderita tidak diperbolehkan makan / minum dari mulut.

- Selanjutnya penderita disuruh minum segelas air dan diamati tanda – tanda seperti sebelumnya. Jika ada tanda – tanda tersebut maka penderita tidak diperbolehkan makan /minum dari mulut.

- Jika hal tersebut dapat dilakukan penderita stroke maka makanan / minuman dapat diberikan melalui mulut (Daniels SK, 2012).`


(66)

I.6 Kerangka Teori


(67)

(68)

BAB III

METODE PENELITIAN

III.1 Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Departemen Neurologi FK – USU/ RSUP H.Adam Malik Medan dari tanggal 2 April 2014 s/d 2 Desember 2014.

III.2 Subjek Penelitian

Subjek penelitian diambil dari populasi pasien di rumah sakit. Penentuan subjek penelitian dilakukan menurut metode sampling konsekutif

III.2.1 Populasi Sasaran

Semua penderita stroke akut yang ditegakkan dengan pemeriksaan klinis dan CT Scan kepala

III.2.2 Populasi Terjangkau

Semua penderita stroke akut yang dirawat di ruang rawat inap neurologi FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan.

III.2.3 Besar Sampel

=

( )

Za = derivate baku alfa berdasarkan nilai yang telah ditentukan (α = 0,05 )  Za = 1,96

Zβ = derivate baku beta = 0,842 P1 = 0,21

Q1 = 0,79


(69)

P2 =0,01

P = proporsi total = (P1 +P2)/2

Q = 1 – P 1 =

N1 = 37,21 = 38

Dibutuhkan minimal 50 kasus. sampel. .

III.2.4 Kriteria Inklusi

III.2.4.1 Kriteria Inklusi pasien disfagia

1. Penderita stroke akut yang dirawat diruang rawat inap RSUP H. Adam Malik dan telah dilakukan pemeriksaan klinis dan CT – Scan kepala

2. Memberikan persetujuan ikut dalam penelitian.

3. Mengerti bahasa indonesia

III.2.5 Kriteria Eksklusi

1. Penderita stroke akut yang pada saat masuk telah menderita pneumonia

2. Penderita stroke akut yang pada saat masuk telah menderita infeksi lainnya ( TB paru, bronkiektasis terinfeksi, jamur paru, abses paru, sarkoidosis)


(1)

Sacco, R.L., Kasner, S. E., Broderick, S. P., Caplan, L. R., Culebras, A., Elkind, M. S.V., et al. 2003. An Up Date Defenition of Stroke For the 21st Century : A Statement For Healthcare Professionals from the American Heart Association/ American Stroke Association. Stroke: 44:2064-89.

Sajinadiyasi, I., Rai., I., Sriyeni. 2011. Perbandingan Antara Pemberian Antibiotika Monoterapi Dengan Dual Terapi Terhadap Outcome Pada Pasien Community Acquired Pneumonia (CAP) di Rumah Sakit Sanglah Denpasar. Divisi Paru Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar. 1 (12): 13-19.

Sastroasmoro, Sudigdo., Ismael, Sofyan. 2008. Dasar – dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi 3. Jakarta:Sagung Seto.

Schepp, S.K., David, L., Tirschwell, Miller, R.M, Longstrecth W.T. 2012. Swallowing Screen After Acute Stroke.43 : 869-871

Sellars, C., Bowie, L., Bagg, J., Sweeney, MP., Miller, H., Tilston, J., et al. 2007. Risk Factors for Chest Infection in Acute Stroke : A Prospective Cohort Study Stroke. 38: 2284-91.

Sjahrir, H. 2003. Stroke Iskemik. Medan:Yandira Agung.

Smirthard, D.G., O’neil, P.a., England R., Park, C., Wyatt, R., Martin, D.F., Morris, J.1997. The Natural History of Dysphagia Following Stroke.Dysphagia.12:188-193.

Sundar, U., Pahuja, Dwivedi, N., Murar E, Yeokar.2008. Dysphagia in Acute Stroke : Corelation with Stroke Subtype, Vascular Territory, and in Hospital Respiratory Morbidity and Mortality.J Neurology India.56:463- 470


(2)

Supandi, P.Z. 1992. Pulmonologi Klinik. Jakarta: Bagian Pulmonologi FKUI. Hal. 87- 91.

Teasell, R., Folley, N., Martino, R., Richard, M., Bhogal, S., et al.2013. Dysphagia and Aspiration Following Stroke.Evidenced Based Review of Stroke Rehabilitation;1:1-74


(3)

SURAT PERSETUJUAN IKUT DALAM PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama :

Jenis Kelamin :

Umur :

Pekerjaan :

Alamat :

Setelah mendapat keterangan secara terperinci dan jelas mengenai penelitian yang berjudul ” HUBUNGAN ANTARA SUB TIPE STROKE, TERITORI VASKULAR DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA DAN MORTALITAS PADA

STROKE AKUT DENGAN DISFAGIA ” dan setelah mendapat kesempatan

mengajukan pertanyaan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan penelitian tersebut, maka dengan ini saya secara sukarela dan tanpa paksaan menyatakan saya ikut dalam penelitian tersebut.

Medan, 2014

1_______________________ 2. __________________________

Lampiran 2

LEMBAR PENGUMPUL DATA

Tanggal Pemeriksaan : ...

I. DATA PRIBADI PENDERITA


(4)

Umur : ... Jenis Kelamin : Lk / Pr

Pekerjaan : ... Suku : ... Alamat : ... Telepon : ... Status Perkawinan : Kawin / Tidak kawin

Nomor MR : ...

II. Riwayat Penyakit yang pernah diderita:

Penyakit Diabetes Mellitus : Penyakit Jantung :

Kanker :

Penyakit Infeksi :

Penyakit-penyakit lainnya :

III. Obat-obat yang dikonsumsi:

IV. HASIL PEMERIKSAAN: Pemeriksaan Umum:

Tekanan Darah : ... mmHg Nadi : ...x/ menit

Pernafasan : ...x/ menit Temperatur : ...0C

Pemeriksaan Neurologi:

V. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG:

- Darah Rutin :


(5)

- Ht : ………...% - Trombosit : ………. mm3 - Eritrosit : ………. mm3 - Leukosit :... mm3

-Foto thorak :

-CT Head Scan :

-Kultur Darah :

Lampiran 3

Test screening fungsi menelan

Tes menelan air sebaiknya digunakan sebagai screening resiko terjadinya aspirasi pada penderita stroke. Cara melakukannya sebagai berikut :

- Penderita stroke yang akan dilakukan tes screening menelan harus bisa duduk tegak dan sadar setidaknya selama 15 menit. Jika tidak maka tes tidak dapat dilakukan dan penderita tidak diperbolehkan makan / minum dari mulut. - Periksa apakah rongga mulut penderita bersih atau tidak. Jika kotor, maka

segera bersihkan.

- Dudukkan penderita dan berikan satu sendok air sebanyak 3 kali. Letakkan jari di garis tengah dibawah laring dan rasakan saat penderita menelan. Kemudian perhatikan apakah ada tanda – tanda ketidak mampuan menelan, batuk, tersedak atau perubahan kualitas suara ( suruh penderita menyebut “aah” ). Jika ada tanda – tanda tersebut maka penderita tidak diperbolehkan makan / minum dari mulut.

- Selanjutnya penderita disuruh minum segelas air dan diamati tanda – tanda seperti sebelumnya. Jika ada tanda – tanda tersebut maka penderita tidak diperbolehkan makan /minum dari mulut.

Jika hal tersebut dapat dilakukan penderita stroke maka makanan / minuman dapat diberikan melalui mulut


(6)