Deskripsi Penerimaan Keuangan KabupatenKota Provinsi Jawa

3 4 Belanja Modal Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan Belanja Bagi Hasil Belanja Bantuan Keuangan KecDesa Belanja Tak Tersangka Total 277,489 1.570,541 920,654 364,871 285,016 3.670,567 7,56 42,79 25,08 9,94 7,76 100.00 Sumber : BPS Jawa Barat 2004.

6.2 Deskripsi Penerimaan Keuangan KabupatenKota Provinsi Jawa

Barat Kekayaan daerah berdasarkan sisi penerimaan juga sangat terkait dengan kualitas pelayan publik. Jika total pendapatan daerah dibagi dengan jumlah penduduk daerah itu, maka akan didapat ratio yang menunjukkan besarnya anggaran pemerintah daerah untuk pelayanan masyarakat. Makin tinggi ratio, makin tinggi pula anggaran yang dapat digunakan pemerintah daerah untuk pelayanan masyarakat didaerahnya Pakasi, 2005. Hasil data yang diperlihatkan pada tabel 6.5 tabel lengkap terlampir menunjukkan terjadinya peningkatan persentase penerimaan fiskal kabupaten dan kota pada masa desentralisasi fiskal. Kontribusi DAU jauh lebih besar dibandingkan kontribusi SDO ketika sebelum desentralisasi. Adanya transfer DAU meningkatkan penerimaan fiskal dengan memberikan kontribusi berkisar antara 40­84 persen. Potensi daerah yang relatif rendah serta kebutuhan daerah yang tinggi merupakan faktor yang mempengaruhi besarnya penerimaan daerah. Setelah UU No.25 Tahun 1999, sumber penerimaan PAD tetap dan penerimaan bagi hasil bertambah jenisnya yaitu bagi hasil sumber daya alam. Sedangkan transfer Subsidi Daerah Otonom dilebur menjadi Dana Alokasi Umum. Penerimaan fiskal yang bersumber dari bagi hasil mengalami peningkatan akibat perubahan persentase bagi hasil sumber daya alam dan pajak meningkat pada masa desentralisasi fiskal. Tabel 6.5 Penerimaan Keuangan Kabupaten dan Kota Jawa Barat Tahun 1999­2004. Desentralisasi Fiskal Sebelum Sesudah Kabupaten Kota Penerimaan yang dianalisis juta 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Kota Bandung Total penerimaan 225.281 319.819 297.742 781.262 902.739 961.568 1.118.862 1. PAD 72.667 32 94.283 30 78.037 27 123.984 15 188.444 20 213.121 22 222.910 19 ­Pajak 31.052 44.770 39.978 73.583 85.000 114.983 133.554 ­ Retribusi 14.738 20.820 21.981 35.484 61.654 55.024 61.634 2.Transfer Pusat ­Total Bagi Hasil 63.470 28 48.140 15 61.531 20 130.370 16 124.252 13 145.233 15 207.809 18 ­ SDO 1999­2000 ­ DAU 2001­ 2004 107.631 47 118.686 37 108.430 36 341.618 43 388.620 44 416.680 43 439.689 39 Kab.upaten Tasikmalaya Total Penerimaan 133.819 178.871 187.273 452.514 381.700 484.827 486.735 1. PAD 13.901 10 13.739 7 15.443 8 25.306 5 6.868 1 18.659 3 20.844 4 ­Pajak 1.712 2.226 2.065 2.985 1.376 2.650 3.999 ­Retribusi 11.434 10.795 9.395 15.588 4.000 25.695 6.112 2.Transfer Pusat ­Total Bagi Hasil 13.817 10.592 14.651 22.558 6.650 55.055 43.613 10 5 7 4 1 11 9 ­SDO 1999­2000 ­ DAU 2001­ 2004 112.318 83 128.488 71 121.395 64 382.120 84 338.880 88 375.630 77 387.801 80 Kabupaten Karawang Total Penerimaan 138.415 179.237 169.895 385.260 476.231 589.545 657.649 1. PAD 30.038 21 35.302 19 28.926 17 48.671 12 59.183 12 67.664 11 204.153 15,82 ­Pajak 9.578 13.356 11.672 18.989 19.190 26.520 69.476 ­Retribusi 17.099 18.638 16.297 23.962 31.194 35.073 29.849 2.Transfer Pusat ­Total Bagi Hasil 22.746 16 24.982 13 28.158 16 81.558 21 95.177 19 128.748 21 148.231 22 ­SDO 1999­2000 ­ DAU 2001­ 2004 77.001 55 79.334 45 ­ 75.728 44 ­ 219.926 57 274.675 58 354.509 60 331.684 50,43 Ket : Angka dalam persen menunjukkan ratio masing­masing jenis penerimaan terhadap total penerimaan Sumber : BPS Jabar 1998­2004 diolah Penerimaan bagi hasil sendiri telah ditentukan pemerintah pusat dalam UU No. 25 tahun 1999, dimana bagi hasil untuk pajak bumi dan bangunan 10 persen pusat, 90 persen daerah, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan 20 persen pusat, 80 persen daerah, sumber daya alam sektor kehutanan, pertambangan umum dan sektor perikanan 20 persen pusat, 80 persen daerah, pertambangan minyak bumi 85 persen pusat, 15 persen daerah serta pertambangan gas alam 70 persen pusat, 30 persen daerah. Kabupatenkota penerimaan dari bagi hasil pada masa desentralisasi mengalami peningkatan tetapi tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Perubahan persentase dalam penerimaan keuangan hanya berkisar antara 1­2 persen. Tabel 6.6. Persentase kontribusi PAD Terhadap Penerimaan KabupatenKota di Jawa Barat 1998­2004 KabKota Persentase kontribusi PAD Sebelum Sesudah 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Kab. Bogor 25 20 12 14 15 18 20 Kab Sukabumi 5 4 7 6 5 ­ 5 Kab Cianjur 5 5 7 4 5 6 7 Kab. Bandung 12 12 10 8 7 10 10 Kab. Garut 7 5 5 4 6 6 6 Kab.Tasikmalaya 10 7 8 5 1 3 4 Kab. Ciamis 5 8 6 3 3 4 6 Kab. Kuningan 7 5 6 5 4 5 6 Kab. Cirebon 7 9 7 5 5 8 8 Kab.Majalengka 6 5 5 4 6 6 6 Kab. Sumedang 13 15 15 10 9 10 11 Kab. Indramayu 4 8 6 5 8 6 7 Kab. Subang 9 8 9 7 8 7 8 Kab.Purwakarta 23 19 18 14 15 ­ 14 Kab. Karawang 21 19 17 12 12 11 16 Kab. Bekasi 22 15 15 11 12 16 26 Ko. Bogor 25 17 18 11 12 ­ 13 Ko. Sukabumi 22 15 15 10 9 12 12 Ko. Bandung 32 30 27 15 20 22 19 Ko. Cirebon 29 21 20 14 14 14 14 Ko. Bekasi 21 24 20 13 15 15 15 Ko. Depok ­ ­ 17 16 16 8 11 Sumber : BPS Jawa Barat, 1998­2004 Diolah . PAD merupakan indikator kemandirian daerah dan rincian sumbangan negara sebagai indikator ketergantungan dan keberhasilan kinerja keuangan daerah dapat dilihat dari pos­pos penerimaan. Semakin besar porsi penerimaan daerah dari PAD, maka semakin kecil ketergantungan daerah terhadap APBN BPS 2004. Pendapatan asli daerah sendiri yang terdiri dari pajak dan retribusi cenderung mengalami penurunan yang bervariasi antara kabupaten dan kota. Sebagai contoh dapat dilihat di wilayah Kota Bandung, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Karawang. Ketika sebelum era desentralisasi, realisasi penerimaan asli daerah terhadap penerimaan berkisar antara 15 persen hingga 30 persen, tetapi semenjak masa desentralisasi kontribusi PAD terhadap penerimaan menurun menjadi 5 persen hingga 10 persen. Hal ini mengindikasikan tingkat kemandirian di kabupatenkota provinsi Jawa Barat masih rendah, karena tidak ada satupun baik kota maupun kabupaten yang PAD­nya diatas 50 persen. PAD merupakan hasil dari potensi penerimaan pajakretribusi daerah digabungkan dengan upaya pemungutan pajakretribusi. Perbedaan antara pajak daerah dan retribusi daerah tidak hanya didasarkan pada objeknya, tetapi juga perbedaan atas pendekatan tarif. Oleh sebab itu, tarif retribusi bersifat fleksibel sesuai dengan tujuan retribusi dan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah masing­masing untuk melaksanakan atau mengelola jenis pelayanan publik di daerahnya. Semakin efisien pengelolaan pelayanan publik di suatu daerah, maka semakin kecil tarif retribusi yang dikenakan. Ketidakberdayaan daerah dalam menggali potensi PAD ini boleh jadi disebabkan oleh kebijakan selama orde baru yang selama ini tidak memberikan motivasi kepada daerah untuk menggali potensinya sendiri. Proyeksi penerimaan daerah pada umumnya hanya didasarkan pada pengalaman penerimaan tahun sebelumnya. Usaha untuk menggali potensi PAD belum banyak dilakukan oleh daerah. Selama periode analisis desentralisasi fiskal, dampak positif belum dirasakan. Signal­signal penurunan ketergantungan pembiayaan pembangunan daerah pada pemerintah pusat di wilayah kabupatenkota provinsi Jawa Barat belum nampak, bahkan terdapat kecenderungan meningkat. Selain itu tabel tersebut juga menunjukkan, PAD daerah perkotaan cenderung lebih besar daripada PAD daerah kabupaten. Sebagai contoh dapat kita lihat dengan mengambil wilayah kabupaten­kota secara acak, dengan hasil sebagai berikut. 5 10 15 20 25 30 35 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Kb. Cianjur Kab. Bandung Kab. Garut Ko. Bandung Ko. Cirebon Ko. Bekasi Sumber : BPS Jawa Barat, 1998­2004 Diolah Gambar 6.2 Perbandingan Kontribusi PAD Terhadap Penerimaan antara Kabupaten dan Kota 1998­2004 Provinsi Jawa Barat persen Hal ini bisa diakibatkan karena kegiatan perekonomian jauh lebih berkembang diperkotaan dibandingkan dengan daerah kabupaten. Umumnya, daerah dengan intensitas kegiatan ekonomi yang tinggi, dengan peningkatan nilai investasi yang tinggi setiap tahun, akan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pajak atau PDRB. Sebagian besar daerah di Indonesia merupakan kabupaten, jadi wajar bila sebagian besar kabupaten di Indonesia meningkatkan PAD­nya agat tidak jauh berbeda dengan daerah perkotaan. Tetapi tidak semua dapat atau mampu secara cepat meningkatkan PAD­nya, yang cenderung mampu adalah daerah kabupaten dengan potensi sumber alam yang cukup besar. Rendahnya kontribusi Pendapatan Asli Daerah dan Bagi Hasil Pajak terhadap penerimaan menunjukkan betapa pentingnya peranan DAU sebagai instrumen utama dana perimbangan dalam menutupi kesenjangan fiskal di daerah. Seperti yang sudah diuraikan, tujuan utama DAU adalah untuk menjamin semua daerah untuk memiliki sumber dana dalam rangka menyediakan pelayanan publik minimum dengan standar tertentu, atau paling tidak inilah yang menjadi interpretasi pemerintah dari amanat UU No 25 tahun 1999. 6.3 Deskripsi Pengeluaran Kabupaten dan Kota Kepala daerah dan aparat perencananya dalam mewujudkan tujuan desentralisasi, harus berupaya memahami aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan terutama sektor­sektor yang penting dan menentukan hidup orang banyak di daerah dengan menggunakan pendapatan daerah yang bersangkutan. Pengeluaran keuangan mempresentasikan hal tersebut, yaitu pengeluaran pemerintah yang merupakan proksi terhadap kebutuhan daerah, termasuk kebutuhan publik. Setelah terlaksananya desentralisasi fiskal, kenaikan rata­rata pengeluaran keuangan kabupatenkota Provinsi Jawa Barat meningkat hingga 200 persen. Tabel 6.7 Pengeluaran Keuangan Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 1998­2003. Desentralisasi Fiskal Sebelum Sesudah KabKota Jenis Pengeluaran yang dianalisis juta 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Kab.upaten Bandung Total Pengeluaran 320.416 371.492 471.684 892.466 841.550 1.018.761 1. Rutin 203.090 63 291.753 78 330.010 70 676.401 76 593.517 70 927.161 91 ­ B. Pegawai 155.993 228.328 271.613 558.519 481.592 621.147 ­ B. Barang 24.501 32.308 36.377 56.190 63.396 98.205 2.Pembangunan 117.326 37 79.738 22 141.674 30 216.064 24 248.033 30 91.600 9 ­ pertanian 2.452 3.178 2.737 4.827 2.300 1.937 ­ industri 150 697 575 680 500 428 ­ kes. sosial 4.325 1 3.710 1 7.626 2 27.231 3 28.874 3 8.925 1 Kab.upaten Sukabumi Total Pengeluaran 115.833 163.756 148.466 363.319 395.179 551.420 1. Rutin 75.011 64 102.507 62 104.682 70 251.846 70 276.781 70 140.104 25 ­ B. Pegawai 63.324 86.786 85.895 209.848 230.873 79.781 ­ B. Barang 4.651 5.433 5.465 12.294 12.317 11.649 2 Pembangunan 40.822 36 61.249 38 43.784 30 111.473 30 118.397 30 411.316 75 ­ pertanian 1.550 3.195 1.738 3.453 3.355 15.887 ­ industri 174 689 234 453 400 2.461 ­ kes sosial 4.187 4 5.087 3 3.051 2 10.555 3 9.703 2 17.083 3 Kota Bandung Total Pengeluaran 204.649 304.975 291.835 759.557 902.793 995.943 1. Rutin 144.021 70 200.726 66 209.293 72 562.268 75 676.065 75 761.727 76 ­ B. Pegawai 92.770 122.888 116.545 359.068 413.794 452.462 ­ B. Barang 19.231 33.970 48.570 76.649 86.252 93.524 2.Pembangunan 60.628 30 104.249 34 82.541 28 197.289 25 226.727 25 234.215 24 ­ pertanian 887 1.875 1.993 2.146 17.958 3.465 ­ industri 225 1.220 495 796 130 1.081 ­ kes. sosial 3.622 1 4.931 2 7.578 3 15.268 2 26.925 20 19.122 2 Ket : Angka dalam persen menunjukkan ratio masing­masing jenis pengeluaran terhadap total pengeluaran Sumber : BPS Jawa Barat, 1998­2003. Diolah. Hasil analisis pada Tabel 6.7 menunjukkan struktur pengeluaran masing­ masing wilayah mencerminkan perihal yang sama, di mana pengeluaran tetap didominasi oleh pengeluaran rutin. Baik sebelum desentralisasi dan sesudah desentralisasi fiskal, porsi terbesar anggaran pemerintah daerah adalah anggaran rutin. Analisis data data lengkap terlampir memperlihatkan dominasi pengeluaran adalah untuk anggaran rutin. Hampir seluruh wilayah di provinsi Jawa Barat, pengeluaran rutin berkisar antara 70­90 persen, berarti hanya 10­30 persen untuk anggaran pembangunan. Pengecualian untuk Kabupaten Sukabumi, yang menganggarkan pengeluaran rutin jauh lebih kecil dibandingkan sektor pembangunan. Dalam hal ini Kabupaten Sukabumi mempunyai kesadaran untuk mengejar ketertinggalannya dibandingkan daerah lain, dengan memprioritaskan sekor pembangunan publik. Sebab, dengan memprioritaskan proporsi belanja publik maka pembangunan ekonomi daerah bersifat berpihak pada kemiskinan. Hal ini tentu berdampak pada meningkatnya kualitas sumberdaya manusia. Jadi secara keseluruhan, prioritas pengeluaran di kabupatenkota Provinsi Jawa Barat belum memuaskan. Alokasi anggaran pengeluaran pembangunan persektoral sendiri tidak mengalami banyak perubahan. Hal ini berarti belum terjadi perubahan struktur perekonomian yang drastis pada kabupatenkota di Provinsi Jawa Barat. Perekonomian daerah masih banyak yang bertumpu atau mayoritas pada sektor pertanian, dibandingkan sektor industri dan perdagangan serta jasa. Tetapi analisis yang terlihat dibandingkan sebelum era otonomi, sektor industri cenderung mengalami peningkatan setelah otonomi daerah diberlakukan. Hal ini mengindikasikan lambat­laun kemungkinan sektor industri akan mendominasi dibandingkan sektor pertanian. Dalam hal anggaran sektor kesejahteraan tidak berbeda jauh sebelum masa desentralisasi, yaitu hanya berkisar antara 1­3 persen. 6.4. Profil Tingkat Kemiskinan Sebelum dan Masa Desentralisasi Fiskal. Secara deskriptif dapat kita lihat bagaimana profil tingkat kemiskinan sebelum dan masa desentralisasi fiskal. Hasil ini dilihat dengan laju keseluruhan jumlah penduduk miskin yang menunjukkan kecenderungan negatif atau menurun. Tabel 6.8. Persentase Perubahan Jumlah Penduduk Miskin Tahun 1999­2000 Sebelum Desentralisasi Jumlah Penduduk Miskin Wilayah 1999 2000 Perubahan Jumlah Laju Kab. Bogor 73 76 3 2 Kab. Cianjur 47 49 2 2 Kab. Cirebon 63 49 ­14 ­11 Kab. Indramayu 34 36 2 3 Kab. Kuningan 26 23 ­3 ­6 Kab.Majalengka 20 27 7 17 Kab. Bekasi 26 27 1 2 Kab. Karawang 11 32 21 3 Kab. Subang 16 22 ­14 19 Kab. Bandung 89 73 ­16 ­9 Kab. Sumedang 15 17 2 7 Kab. Garut 64 49 ­15 ­11 Kab.Tasikmalaya 66 45 ­21 ­16 Kab. Ciamis 27 31 4 7 Kota. Bogor 88 100 12 7 Kota. Sukabumi 17 14 ­3 ­9 Kota. Cirebon 5 4 ­1 ­10 Kota. Bekasi 25 13 ­12 ­24 Kota. Bandung 22 15 ­7 ­16 Sumber : BPS Jawa Barat, 2004 diolah Wilayah yang tergolong meningkat jumlah penduduk miskin setelah desentralisasi fiskal, adalah Kabupaten Subang. Sedangkan Kota Bogor, Kabupaten Majalengka, Kabupeten Karawang, sempat mengalami penurunan tingkat penduduk miskin pada awal tahun desentralisasi fiskal, tetapi laju penduduk miskinnya kembali meningkat pada tahun 2004. Tabel 6.9 Persentase Perubahan Jumlah Penduduk Miskin Jawa Barat tahun 2001­2004 Masa Desentralisasi Wilayah Jumlah Penduduk Miskin Perubahan Laju 2001 2004 Jumlah Kb. Bogor 47 45 ­2 ­1 Kb. Cianjur 42 35 ­7 ­4 Kb. Cirebon 34 34 Kb. Indramayu 15 27 12 20 Kb. Kuningan 23 19 ­4 ­4 Kb.Majalengka 18 20 2 3 Kb. Bekasi 20 12 ­8 ­10 Kb. Karawang 16 25 9 14 Kb. Subang 21 20 ­2 ­2 Kb. Bandung 88 48 ­40 ­11 Kb. Sumedang 10 12 2 5 Kb. Garut 62 33 ­29 ­12 Kb.Tasikmalaya 39 26 ­13 ­8 Kb. Ciamis 23 22 ­1 ­1 Ko. Bogor 2 6 4 50 Ko. Sukabumi 1 1 Ko. Cirebon 3 2 ­1 ­8 Ko. Bekasi 18 5 ­13 ­18 Ko. Bandung 14 7 ­7 ­12 Sumber : BPS Jawa Barat 2004 diolah

6.5. Hasil Estimasi dan Evaluasi Model