Sumber : Dirjen Perimbangan Keuangan Daerah 2005
Gambar 2.1. Revisi UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
2.3. Konsep Kemiskinan
Sampai saat ini definisi tentang kemiskinan juga sangat beragam. Terutama bila kemiskinan dilihat dari pendekatan subyektif. Konsep kemiskinan itu antara lain
dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih
luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan bahan di
berbagai keadaan hidup. Penggunaan istilah ini termasuk:
·
Penggambaran kebutuhan material termasuk kekurangan bahan pokok dan pelayanan
·
Keadaan ekonomi, di mana kekurangan kekayaan biasanya dianggap sebagai modal, uang, barang material, atau sumber daya
·
Hubungan sosial, termasuk pengecualian sosial, ketergantungan, dan kemampuan untuk hidup dalam apa yang dianggap masyarakat sebagai hidup
normal; contohnya, kemampuan untuk mendidik anak dan berpartisipasi dalam aktivitas masyarakat.
Kemiskinan juga merupakan bentuk ketidakmampuan terhadap pihak penguasa sehingga mereka masuk dalam pihak kategori yang lemah, yang tidak bisa
berbuat apaapa, terancam dan tereksploitasi dan juga kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat Mubyarto, 2002.
Indikator kemiskinan menurut BPS dilihat dari tingkat pendapatan minimum yang merupakan pembatas antara keadaan yang disebut miskin dan tidak miskin.
Garis kemiskinan tersebut dilihat dari konsumsi kalori per kapita per hari sebesar 2100 kkalori. Lingkungan masyarakat pada umumnya memandang kemiskinan bila
pihak tersebut tidak mampu mengikuti standar kehidupan masyarakat sekitar atau dengan kata lain seseorang akan dikatakan miskin apabila pihak tersebut tidak dapat
memenuhi konsumsi. Tidak dapat dipungkiri pula pada umumnya, banyak masyarakat yang menilai kemiskinan dari sisi harta atau materi.
Menurut. Mubyarto 2002 bila kemiskinan dilihat dengan hal ini maka dapat mempermudah dalam melihat indikator kemiskinan, tetapi tetap tidak cukup layak
untuk mengkategorikan seseorang dalam kemiskinan karena 1 tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; 2 dapat menjerumuskan ke kesimpulan yang salah
bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai; 3 tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika harus
merumuskan kebijakan lintas sektor, bahkan bisa kontra produktif. Konsep tentang kemiskinan dari Bappenas adalah kemiskinan dilihat dari
kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, lakilaki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hakhak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan
kehidupan yang bermartabat. Hakhak dasar menurut Bappenas terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih,
pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial
politik, baik bagi perempuan maupun lakilaki. Dalam melihat hakhak ini Bappenas menggunakan beberapa pendekatan yaitu pendekatan kebutuhan dasar, pendekatan
pendapatan, pendekatan kemampuan dasar dan pendekatan objektif and subjektif. Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu
ketidakmampuan seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan,
penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alatalat produktif seperti tanah dan
lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid
standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan
kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan
tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan
Mubyarto, 2002.
2.4. Konsep Kinerja Keuangan