Konsep Desentralisasi Fiskal TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Desentralisasi Fiskal

Secara umum, konsep desentralisasi dibagi menjadi desentralisasi politik desentralisasi administratif, desentralisasi fiskal, dan desentralisasi ekonomi Desentralisasi adminitratif sendiri merupakan pelimpahan wewenang yang dimaksudkan untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber­ sumber keuangan untuk menyediakan pelayanan publik. Pelimpahan tanggung jawab tersebut terutama menyangkut perencanaan, pendanaan, dan pelimpahan manajemen fungsi–fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada aparatnya di daerah, tingkat pemerintahan yang lebih rendah, badan otoritas tertentu, atau perusahaan tertentu Delivery, 2005 Desentralisasi fiskal merupakan salah satu mekanisme transfer dana dari APBN dalam kaitan dengan kebijakan keuangan negara yaitu untuk mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan dan memberikan stimulus terhadap aktivitas perekonomian masyarakat, maka dengan kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan akan menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang sepadan dengan besarnya kewenangan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom. Desentralisasi juga merupakan suatu bentuk pemindah tanggung jawab, kekuasaan dan wewenang dari tingkat pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah. Keputusan untuk melakukan desentralisasi dikarenakan faktor pemerintah daerah yang lebih dekat dengan masyarakat di daerahnya. Sebab disatu sisi bila desentralisasi dilakukan, akan berpengaruh secara langsung dan nyata terhadap masyarakat itu sendiri. Desentralisasi fiskal jadi salah satu “pilar” dalam memelihara kestabilan kondisi ekonomi nasional, karena dengan adanya transfer dana ke daerah akan mendorong aktivitas perekonomian masyarakat di daerah Pakasi, 2005. Prinsip­prinsip utama desentalisasi fiskal menurut Delivery 2005 adalah: 1. Otonomi Daerah Otonomi Daerah memberikan wewenang penuh kepada daerah untuk menjalankan pemerintahannya sendiri termasuk menyediakan pelayanan yang berdasar pada prioritas daerah itu sendiri, yang sesuai dengan aspirasi masyarakat serta berjalan di atas rel hukum dan peraturan yang berlaku. 2. Perencanaan Bottom­up Perencanaan Bottom­up akan mengangkat isu penggunaan pendekatan partisipatif oleh pemerintah daerah. Itu dilakukan untuk lebih mendengarkan pendapat masyarakat sasaran dalam proses identifikasi, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi terhadap inisiatif pembangunan sosial dan ekonomi. Dengan memperkenalkan sistim perencanaan bottom­up akan sekaligus meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah terhadap masyarakat yang dilayaninya dengan melibatkan masyarakat sebagai elemen utama dalam proses pengambilan keputusan pemerintah. 3. Partisipasi dalam Proses Demokratis Konteks desentralisasi pemerintah, partisipasi mengacu pada anggota masyarakat di dalam menjalankan hak dan tanggung jawabnya melalui proses demokratis. Proses tersebut antara lain berupa partisipasi anggota masyarakat dalam pemerintahan daerah untuk memilih wakil­wakil mereka di pemerintah daerah; juga membentuk kelompok­kelompok masyarakat seperti LSM­LSM, organisasi para pembayar bea, dan kelompok­kelompok pelayanan, di mana keduanya menjadi inisiator program mandiri yang inovatif seperti proyek pengentasan kemiskinan dan melakukan lobi ke pemerintah atas nama anggotanya. 4. Pembangkitan Sumber­sumber Keuangan Kesuksesan inisiatif desentralisasi dan otonomi daerah ditentukan oleh kapasitas pemerintah daerah untuk membangkitkan sumber­sumber keuangan dan sumber lainnya seperti personil. Sumber­sumber daya ini dapat berbentuk pemasukan pajak yang diatur oleh pemerintah lokal pengumpulan pajak daerah ataupun mentransfer dan menyeimbangkan pembayaran dari pemerintah yang lebih tinggi. 5. Keseimbangan Pembagian Sumber­sumber Daya Pembagian sumber­sumber daya yang seimbang di antara berbagai tingkatan pemerintahan akan menjamin bahwa daerah­daerah yang kaya akan sumber daya akan memperoleh manfaat dari eksploitasi sumber­sumber daya tersebut, sementara daerah­daerah yang miskin sumber daya akan memperoleh pembagian yang adil dari pendapatan yang dihasilkan. Secara teoritik, garis besar dana alokasi dari pemerintah pusat ke daerah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu berupa bantuan bersyarat conditional grants dan bantuan tidak bersyarat unconditional grants. Terdapat tiga bantuan bersyarat, yaitu: 1. Matching open­ended grants, pusat akan memberikan bantuan sejumlah dana tertentu kepada daerah untuk setiap alokasi yang dibelanjakan daerah untuk kegiatan tertentu. Misalnya, untuk pendidikan, Pemerintah Pusat akan membantu dalam jumlah yang sama atau dalam porsi tertentu. Pola bantuan seperti ini bisa mengakibatkan bantuan pusat terlalu besar, apabila pengeluaran daerah untuk program yang dibantu sangat besar, atau sebaliknya; 2. Matching closed­ended grants, pemerintah pusat menetapkan batas maksimum bantuan kepada daerah. Mekanisme semacam ini digunakan oleh banyak negara sebagai bgian dari upaya mengontrol anggaran. 3. Non­matching grants, pemerintah pusat menawarkan sejumlah dana bantuan untuk dibelanjakan pada sektor publik yang spesifik. Sedangkan untuk bantuan tidak bersyarat pemerintah pusat memberikan keleluasaan bagi daerah untuk memanfaatkan bantuan tersebut. Alasan utama pemberian bantuan tidak bersyarat ini adalah untuk mewujudkan pemerataan dalam kapasitas fiskal dari daerah­daerah guna menjamin penyediaan jasa publik yang layak bagi masyarakat Sumedi,2005.

2.2. Konsep Dana Alokasi Umum