2 transitional justice di Indonesia. Pemetaan ini lebih lanjut diharapkan dapat membantu
gerakan masyarakat sipil di dalam maupun luar negeri dan komunitas donor mengembangkan strategi yang tepat, menghindari pengulangan dan saling memperkuat.
Khususnya bagi kelompok masyarakat sipil di Indonesia, pemetaan ini diharapkan bisa menjadi bahan refleksi dan dialog berkelanjutan untuk menghadapi situasi transisi yang
tidak menentu.
Sebagai usaha awal, pemetaan ini tentunya memiliki sejumlah keterbatasan. Para peneliti menyadari bahwa pemetaan ini belum dapat mengamati setiap inisiatif yang
muncul secara saksama dan menggunakan kerangka transitional justice yang ketat sebagai alat ukurnya. Pemetaan ini baru sampai taraf mendeskripsikan berbagai
pemikiran dan praktik yang dikembangkan gerakan masyarakat sipil di Indonesia untuk menangani kekerasan masa lalu. Analisis dan diskusi yang mendalam mengenai berbagai
aspek transitional justice di Indonesia masih perlu dilakukan. Studi awal ini diharapkan dapat memberi sumbangan ke arah itu.
1. Metodologi
Kegiatan pemetaan ini berawal dari pembicaraan antara ICTJ dengan beberapa wakil komunitas hak asasi manusia di Indonesia sejak pertengahan 2002. Hasil
pertemuan dan korespondensi awal itu antara lain adalah rencana kerja awal dan penetapan dua orang peneliti sebagai pelaksana kegiatan. Rencana kerja itu kemudian
dibahas lebih lanjut dalam sebuah lokakarya di Jakarta pada 3-4 September 2002 yang dihadiri antara lain oleh wakil ICTJ, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,
anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan wakil organisasi masyarakat sipil.
Ada beberapa isu penting yang dibahas dalam lokakarya itu, seperti batas-batas pengertian pelanggaran hak asasi manusia, jenis organisasi dan inisiatif yang perlu
diperhatikan dalam pemetaan, penentuan tempat yang akan dikunjungi, hasil akhir kegiatan serta hal-hal teknis menyangkut pelaksanaan.
1.1. Menetapkan Pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Para peserta lokakarya merasa bahwa inisiatif transitional justice selama ini cenderung membatasi perhatiannya pada kasus-kasus kekerasan fisik seperti pembantaian
massal, penahanan dan penyiksaan serta pelenyapan orang. Sekalipun memahami bahwa pembatasan seperti itu sangat penting bagi keperluan strategis, para peserta tetap melihat
perlunya kegiatan pemetaan ini memperhatikan hubungan antara kekerasan fisik dengan berbagai bentuk ketidakadilan lain seperti perampasan tanah yang berulang-kali terjadi
semasa Orde Baru.
Para peserta menekankan bahwa banyak organisasi atau kelompok di Indonesia yang menangani kekerasan fisik sebagai bagian dari program lebih luas, seperti
perjuangan keadilan agraria, penciptaan sistem pengelolaan sumber daya alam yang lebih adil atau keadilan bagi buruh di sektor industri. Namun untuk membuat kerangka kerja
menjadi lebih terarah, para peserta setuju bahwa kegiatan pemetaan memusatkan
3 perhatian pada organisasi, kelompok dan inisiatif yang menangani bentuk-bentuk
kekerasan sebagai berikut: • Pembantaian dan pembunuhan di luar hukum
• Perkosaan dan kekerasan berbasis jender • Penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya
• Penahanan dan pemenjaraan politik • Pelenyapan paksa dan penculikan
• Perampasan tanah yang berskala besar
Di banyak tempat tindak kekerasan semacam itu juga melibatkan penduduk sipil, namun karena perhatian terarah pada upaya mengubah sebuah sistem politik, maka fokus
diarahkan pada tindak kekerasan yang dilakukan atau didukung oleh negara. Beberapa perkecualian diperkenankan, khususnya dalam kasus-kasus kekerasan komunal seperti di
Maluku, Poso dan Kalimantan Tengah. 1.2. Penentuan Kategori Organisasi dan Inisiatif
Saat ini diperkirakan ada ratusan organisasi yang bergerak di bidang penegakan hak asasi manusia dan perdamaian di Indonesia. Sebagian di antaranya terdaftar sebagai
yayasan atau perhimpunan terbatas, tapi cukup banyak yang hanya berbentuk komite ad hoc atau jaringan yang longgar. Pemetaan ini menghindari kategorisasi berdasarkan
aspek legal tersebut agar dapat melihat dinamika gerakan masyarakat secara menyeluruh. Disadari bahwa organisasi yang tidak memiliki status hukum dan struktur yang jelas pun
dapat berperan penting dalam berbagai aspek penanganan kekerasan masa lalu.
Latar belakang dan tujuan organisasi masyarakat sipil pun sangat beragam dari satu tempat ke tempat lain. Ada organisasi yang sepenuhnya didorong oleh kepentingan
kemanusiaan dan bersifat sukarela. Organisasi seperti ini sering kali mengklaim diri tidak memiliki tujuan lain kecuali membantu orang lain, walaupun kegiatannya berperan
penting dalam gerakan hak asasi manusia secara umum. Sebaliknya ada organisasi dan kelompok yang menggunakan masalah hak asasi manusia untuk memajukan kepentingan
politik dan komersial yang sempit. Kekuatan politik sering kali terlibat dalam penanganan kasus kekerasan masa lalu untuk mendiskreditkan lawan-lawannya.
Para peneliti menyadari bahwa penanganan kekerasan masa lalu dan inisiatif transitional justice secara umum tidak pernah berlangsung dalam ruang vakum. Inisiatif
yang bertujuan memajukan kepentingan politik atau komersial yang sempit, seperti exposing korban kekerasan untuk mengobarkan permusuhan agama, tidak mendapat
perhatian dalam pemetaan ini.
1
Inisiatif yang akan diperhatikan adalah berbagai upaya menangani kasus-kasus kekerasan masa lalu yang terarah pada perbaikan sistem ekonomi
dan politik secara menyeluruh, penghargaan terhadap hak asasi manusia dan demokrasi. Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas ada beberapa kategori organisasi dan
inisiatif yang ditetapkan sebagai subjek dalam pemetaan:
1
Kecenderungan seperti ini ditemui dalam kasus-kasus kerusuhan komunal di Sulawesi Tengah, Maluku dan Kalimantan Tengah.
4 • Kelompok dan organisasi korban
• Organisasi non-pemerintah atau LSM, termasuk kelompok-kelompok yang tidak terdaftar sebagai yayasan atau perkumpulan terbatas
• Institusi keagamaan yang bekerja untuk keadilan, perdamaian dan hak asasi manusia
• Institusi akademik dan lembaga penelitian • Departemen dan kantor pemerintah
• Organisasi internasional termasuk lembaga donor • Komite ad hoc atau jaringan advokasi yang menangani kasus-kasus pelanggaran
hak asasi manusia tertentu. Menyadari bahwa banyak organisasi dan kelompok yang dibentuk dalam
beberapa tahun bahkan bulan terakhir saat pemetaan ini dilakukan, peneliti juga merasa perlu membuat batas-batas tambahan menyangkut jangka waktu kegiatan dan
sustainability. Pada bulan-bulan pertama setelah Soeharto mengundurkan diri di banyak tempat bermunculan komite aksi yang menuntut agar mantan presiden itu diadili karena
korupsi dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun komite-komite ini umumnya hanya berumur singkat dan kemudian menghilang setelah gerakan protes mulai surut. Inisiatif
semacam ini sekalipun berperan penting pada masanya, tidak menjadi perhatian dalam pemetaan.
Masalah lain adalah penamaan “inisiatif transitional justice” itu sendiri. Banyak organisasi yang menganggap kegiatannya hanya berkisar pada masalah hak asasi manusia
secara umum, tanpa konsep mengenai “penanganan kekerasan masa lalu” atau penegakan keadilan di masa transisi. Namun dalam kenyataannya, kegiatan mereka sangat relevan
dengan kerangka transitional justice yang digunakan dalam pemetaan ini. Untuk memperjelas batas-batasnya, para peneliti mengarahkan perhatian pada lembaga atau
kelompok yang menangani salah satu atau beberapa kegiatan berikut:
• Pengungkapan kebenaran atau fakta kekerasan • Proses peradilan terhadap pelaku kekerasan
• Reformasi hukum dan kelembagaan • Reparasi dan rehabilitasi bagi korban kekerasan
• Rekonsiliasi
1.3. Kerangka Analisis