pemerintah sipil, Kejaksaan Agung, ABRI dan aktivis hak asasi manusia yang untuk pertama kalinya terlibat dalam penyelidikan seperti itu. Dalam laporan yang dikeluarkan
Oktober 1998 tim itu menduga beberapa perwira tinggi militer terlibat dan bertanggung- jawab atas kerusuhan dan tindak kekerasan tersebut, dan meminta agar pemerintah segera
mengambil tindakan hukum.
Pada saat kurang lebih bersamaan pemerintah juga membentuk Tim Pencari Fakta TPF untuk menyelidiki kasus-kasus pelanggaran semasa berlakunya status Daerah
Operasi Militer DOM di Aceh. Penyelidikan yang berhasil mengumpulkan data-data sekitar 1.500 kasus kekerasan itu mendapat perhatian besar dari publik. Penggalian
kuburan massal di beberapa wilayah disiarkan melalui jaringan televisi dan menimbulkan dampak yang hebat. Sementara penyelidikan terhadap kerusuhan Mei 1998 tidak pernah
ditangani lebih lanjut, penyelidikan di Aceh ditindaklanjuti dengan pengadilan terhadap dua kasus.
Setelah dikeluarkannya UU No. 391999 penyelidikan hanya dilakukan oleh Komnas HAM yang membentuk komisi penyelidik pelanggaran hak asasi manusia KPP-
HAM. Kasus kekerasan di Timor Lorosae adalah yang pertama menggunakan kerangka kerja seperti itu. Penyelidikan berlangsung beberapa bulan dan para perwira militer
menunjukkan kemauan bekerja-sama dengan memenuhi semua pemanggilan. Bagaimanapun ada dugaan kuat bahwa penyelidikan berjalan mulus lebih karena
pemerintah menghadapi tekanan dunia internasional ketimbang keinginan sungguh- sungguh untuk menangani kasus tersebut.
Pada Februari lalu Komnas HAM yang baru melakukan pergantian pengurus membentuk sebuah tim yang menyelidiki kemungkinan membentuk KPP-HAM untuk
kejahatan yang dilakukan oleh Jenderal Soeharto. Saat ini tim tersebut mengumpulkan informasi awal mengenai lima kategori kasus kekerasan, yakni peristiwa 1965-66,
kekerasan di daerah operasi militer Aceh dan Papua, kasus Lampung dan Tanjung Priok, peristiwa 27 Juli 1996 dan Mei 1998 serta kasus penculikan aktivis 1997-98.
4.2. Proses Peradilan
Dari belasan kasus penting yang telah dan sedang diselidiki oleh berbagai badan pemerintah, hanya enam di antaranya yang berlanjut ke pengadilan. Tiga di antaranya
ditangani melalui pengadilan militer, sementara dua lainnya melalui pengadilan koneksitas yang kontroversial. Satu-satunya yang dijalankan sesuai amanat UU No.
262000 adalah pengadilan HAM ad hoc untuk kasus Timor Lorosae. Dalam pengadilan yang disebutkan sebelumnya – kecuali kasus pembunuhan Theys Eluay di Papua –
sejumlah pelaku di lapangan dijatuhi hukuman.
Aktivis hak asasi manusia dan ahli hukum menilai bahwa pengadilan tersebut hanya menjadi forum cuci tangan bagi para pejabat militer dengan cara mengorbankan
bawahan mereka. Dalam kasus Timor Lorosae misalnya, hanya empat dari puluhan terdakwa yang dijatuhi hukuman, dan dua orang di antaranya adalah orang Timor.
7
Di samping karena adanya tekanan politik, kapasitas jaksa dan hakim yang menangani
7
Hukuman terhadap mantan gubernur José Abilio Soares dan mantan panglima pro-integrasi Eurico Guterres menurut para ahli adalah semacam konfirmasi terhadap versi TNI mengenai kekerasan di Timor
Lorosae sebagai perang saudara.
persidangan memang sangat terbatas, baik dari segi pengetahuan mengenai konsep yang digunakan dalam persidangan maupun fakta-fakta peristiwanya.
Upaya memberikan pelatihan hak asasi manusia selama lima hari oleh Departemen Kehakiman dan HAM pada November 2001 dinilai terlalu singkat dan pada
dasarnya tidak mungkin membekali para hakim dengan pengetahuan cukup. Beberapa organisasi hak asasi manusia dalam diskusi dengan perwakilan Komisi Tinggi HAM PBB
pada akhir 1999 sempat membicarakan perlunya pelatihan yang lebih sistematis dan untuk jangka waktu lebih panjang. Namun gagasan tersebut tidak pernah terwujud
dengan alasan yang kurang jelas. 4.3. Perubahan Hukum dan Kelembagaan
Pemerintahan pasca-Soeharto termasuk produktif dalam hal mengubah dan membuat undang-undang serta aturan hukum baru. Namun hampir tidak ada yang
berorientasi pada perubahan, apalagi berpijak pada pemahaman dan pengakuan tentang kesalahan dalam struktur kekuasaan Orde Baru. Jika dalam lapangan ekonomi
pemerintah cenderung mengikuti haluan liberalisasi yang memudahkan integrasi Indonesia ke dalam perekonomian global, di bidang politik dan keamanan yang berlaku
adalah pemeliharaan sistem yang otoriter. Pasal-pasal yang kontroversial dalam hukum pidana, dikenal dengan sebutan haatzaai artikelen pasal-pasal penyebar kebencian,
sampai saat ini belum dicabut, sementara penetapan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya yang kontroversial justru merestorasi kekuasaan militer dalam kehidupan politik.
Perubahan kelembagaan juga berlangsung lamban dan sangat mempengaruhi kemampuan pemerintah memberlakukan rangkaian undang-undang dan peraturan baru
yang dikeluarkan. Militer, badan intelijen dan aparat penegak hukum yang berperan penting dalam memelihara kekuasaan Orde Baru tidak mengalami perubahan berarti.
8
Inisiatif perubahan pun hampir selalu datang dari lembaga yang bersangkutan dan bukan merupakan hasil kesepakatan wakil rakyat di DPR atau kekuatan politik yang langsung
dipilih oleh rakyat.
Masalah terbesar di sini adalah keberadaan sistem bayangan, semacam “negara dalam negara” atau black state yang melibatkan keluarga istana, birokrat pemerintah,
pengusaha kroni, perwira tinggi militer aktif maupun pensiunan, aparat intelijen, preman dan calo di segala tingkat. Dalam sistem inilah keputusan terpenting mengenai kehidupan
sosial, ekonomi dan politik sesungguhnya dilakukan. Lembaga-lembaga negara kadang tidak berfungsi sama sekali atau sekadar menjadi rubber stamp institution untuk
mengesahkan keputusan yang dibuat di luar mekanisme resmi. Langkah perubahan setelah Soeharto tidak pernah menyentuh keberadaan black state yang juga bertanggung-
jawab atas banyak kasus pelanggaran masa lalu. 4.4. Reparasi dan Rehabilitasi bagi Korban Kekerasan
8
Pemisahan Polri dari angkatan bersenjata pada pertengahan 1999 adalah satu dari sedikit langkah yang berarti, karena memungkinkan birokrasi sipil menangani keamanan internal. Namun, menurut pengakuan
sejumlah perwira senior dan mantan pejabat tinggi di lembaga itu, langkah tersebut tidak dengan sendirinya mengubah watak Polri yang militeristik dan korup. Lihat Indonesia: National Police Reform, ICG Report
No. 13, 20 February 2001.
Masalah rehabilitasi korban beberapa kali muncul ke permukaan dan mendapat perhatian dari pemerintah. Saat menjabat sebagai presiden, Abdurrahman Wahid sempat
mengumumkan rencana memberikan rehabilitasi kepada korban kekerasan 1965-66 dan keluarga mereka. Langkah awalnya adalah permintaan maaf secara terbuka dan
pernyataan tekad untuk mengikis diskriminasi terhadap eks-tahanan politik. Pernyataan itu mendapat reaksi keras dari berbagai pihak, terutama pendukung Orde Baru, yang
mengatakan langkah itu akan menjadi awal “kebangkitan komunisme” di Indonesia.
Hal itu, menurut beberapa aktivis, membuktikan bahwa reparasi dan rehabilitasi korban tidak dapat dilakukan tanpa proses pengungkapan kebenaran dan keadilan. Sikap
Abdurrahman Wahid dalam konteks itu hanya merupakan political gesture yang tidak memiliki kekuatan apa pun secara hukum dan justru menempatkan dirinya dalam
kesulitan.
9
Di samping memerlukan aturan hukum yang jelas, rehabilitasi harus didasarkan pada pemahaman dan pengakuan akan adanya kasus kekerasan untuk
menghindari konflik berkelanjutan di tingkat komunitas. Peraturan Pemerintah No. 32002 adalah satu-satunya landasan hukum yang
mengatur tanggung jawab negara terhadap korban kekerasan. Peraturan itu dibuat berdasarkan pasal 35 ayat 3 UU No. 262000, dan hanya mengatur rehabilitasi, restitusi
dan kompensasi dalam kasus-kasus yang sudah diputuskan melalui pengadilan HAM. Keputusan pengadilan dalam sidang kasus kekerasan di Timor Lorosae tidak mengatur
masalah itu sehingga pelaksanaannya belum lagi dapat dinilai. Melihat kemandekan itu beberapa kelompok masyarakat sipil bekerja-sama dengan Komnas Perempuan terlibat
dalam perumusan RUU Perlindungan Saksi dan Korban. Namun sampai saat ini rancangan itu belum mendapat perhatian dari para pembuat keputusan.
Sementara itu, sejumlah pejabat tinggi dan mantan pemimpin militer yang diduga terlibat dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia beberapa kali menawarkan
ishlah rujuk yang disertai ganti rugi. Reaksi keluarga korban terhadap kecenderungan ini berbeda-beda. Perbedaan pendapat sering terjadi di antara mereka yang mau
menerima tawaran tersebut karena alasan kesulitan ekonomi dan mereka yang bersikukuh bahwa keadilan tidak dapat ditukar dengan uang atau fasilitas lainnya.
10
Komnas Perempuan berperan penting dalam peningkatan kapasitas lembaga- lembaga pemerintah maupun masyarakat sipil yang memberikan pelayanan terhadap
korban kekerasan. Melalui proses belajar dan perencanaan bersama komisi tersebut mengembangkan model pelayanan terpadu di rumah sakit maupun yang berbasis
komunitas. Di samping ikut mendirikan sebuah pilot project untuk pelayanan rumah sakit di Jakarta, komisi juga membantu terbentuknya jaringan pemberi layanan kepada korban
yang terdiri atas pusat penanganan krisis crisis centers dan organisasi advokasi hak perempuan.
4.5. Rekonsiliasi