Komnas Perempuan saat ini juga tengah mengumpulkan informasi mengenai kaitan antara kemiskinan dengan kekerasan terhadap perempuan di berbagai wilayah Indonesia.
Langkah lainnya adalah mendorong mekanisme penanganan kasus-kasus kekerasan yang diatur dalam UU No. 262000 agar ikut menyikapi kasus kekerasan
berbasis gender. Sejak awal Komnas Perempuan bekerja-sama dengan Komnas HAM mengembangkan metodologi penyelidikan yang lebih peka gender agar kasus-kasus
tersebut dapat diungkap seperti kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran berat hak asasi manusia lainnya. Untuk meningkatkan pemahaman dan kapasitas di wilayah
ini, komisi mengundang sejumlah narasumber seperti gender specialist untuk peradilan internasional untuk Rwanda ICTR dan bekas Yugoslavia ICTY.
3.5. Dewan Perwakilan Rakyat DPR
Di bawah UU No. 262000 DPR memainkan peran sentral dalam penanganan kasus-kasus kekerasan masa lalu. Pasal 42 mengatakan bahwa presiden dapat membentuk
Pengadilan HAM ad hoc untuk menangani kasus-kasus yang terjadi sebelum UU tersebut dikeluarkan atas usulan DPR.
6
Hal itu pertama kali dilakukan dalam kasus Timor Lorosae dan peristiwa Tanjung Priok. Setelah menerima hasil penyelidikan Komnas HAM, badan
itu segera mengumumkan perlunya dibentuk pengadilan HAM ad hoc bagi kedua kasus tersebut.
Bagaimanapun, banyak kalangan menilai bahwa pelaksanaan undang-undang tersebut akhirnya tumpang tindih dan sangat merugikan komunitas korban. Dalam kasus
pembunuhan mahasiswa Trisakti dan Semanggi, DPR membentuk Panitia Khusus Pansus yang akan menetapkan apakah kasus-kasus tersebut tergolong dalam
pelanggaran berat hak asasi manusia atau tidak. Jika ya, maka kasus-kasus tersebut perlu dibawa ke pengadilan HAM ad hoc. Dengan begitu, fungsi penyelidikan yang seharusnya
ada pada Komnas HAM kemudian dijalankan dalam DPR, yang akhirnya memutuskan bahwa kedua kasus itu tidak perlu dibawa ke pengadilan HAM ad hoc.
4. Langkah-Langkah yang Ditempuh
Langkah pemerintah pada dasarnya sangat ditentukan oleh perkembangan politik di dalam negeri. Tarik-menarik antara kekuatan yang menginginkan penyelesaian
menyeluruh sesegera mungkin dan kekuatan yang mempertahankan status quo tampak sangat kuat dalam penanganan kasus-kasus tertentu. Sementara aturan hukum yang
ditetapkan mengisyaratkan perlunya penanganan segera, dalam kenyataannya langkah- langkah yang diambil pemerintah sangat tidak efektif.
4.1. Penyelidikan Kasus-Kasus Kekerasan
Kasus pertama yang diselidiki oleh pemerintah pasca-Soeharto adalah kerusuhan dan perkosaan di Jakarta dan beberapa kota lain pada 12-15 Mei 1998. Pemerintahan
Habibie membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta TGPF yang beranggotakan wakil
6
Sementara pasal 33 ayat 4 menetapkan bahwa DPR juga berwenang mengusulkan calon hakim ad hoc yang akan menangani persidangan.
pemerintah sipil, Kejaksaan Agung, ABRI dan aktivis hak asasi manusia yang untuk pertama kalinya terlibat dalam penyelidikan seperti itu. Dalam laporan yang dikeluarkan
Oktober 1998 tim itu menduga beberapa perwira tinggi militer terlibat dan bertanggung- jawab atas kerusuhan dan tindak kekerasan tersebut, dan meminta agar pemerintah segera
mengambil tindakan hukum.
Pada saat kurang lebih bersamaan pemerintah juga membentuk Tim Pencari Fakta TPF untuk menyelidiki kasus-kasus pelanggaran semasa berlakunya status Daerah
Operasi Militer DOM di Aceh. Penyelidikan yang berhasil mengumpulkan data-data sekitar 1.500 kasus kekerasan itu mendapat perhatian besar dari publik. Penggalian
kuburan massal di beberapa wilayah disiarkan melalui jaringan televisi dan menimbulkan dampak yang hebat. Sementara penyelidikan terhadap kerusuhan Mei 1998 tidak pernah
ditangani lebih lanjut, penyelidikan di Aceh ditindaklanjuti dengan pengadilan terhadap dua kasus.
Setelah dikeluarkannya UU No. 391999 penyelidikan hanya dilakukan oleh Komnas HAM yang membentuk komisi penyelidik pelanggaran hak asasi manusia KPP-
HAM. Kasus kekerasan di Timor Lorosae adalah yang pertama menggunakan kerangka kerja seperti itu. Penyelidikan berlangsung beberapa bulan dan para perwira militer
menunjukkan kemauan bekerja-sama dengan memenuhi semua pemanggilan. Bagaimanapun ada dugaan kuat bahwa penyelidikan berjalan mulus lebih karena
pemerintah menghadapi tekanan dunia internasional ketimbang keinginan sungguh- sungguh untuk menangani kasus tersebut.
Pada Februari lalu Komnas HAM yang baru melakukan pergantian pengurus membentuk sebuah tim yang menyelidiki kemungkinan membentuk KPP-HAM untuk
kejahatan yang dilakukan oleh Jenderal Soeharto. Saat ini tim tersebut mengumpulkan informasi awal mengenai lima kategori kasus kekerasan, yakni peristiwa 1965-66,
kekerasan di daerah operasi militer Aceh dan Papua, kasus Lampung dan Tanjung Priok, peristiwa 27 Juli 1996 dan Mei 1998 serta kasus penculikan aktivis 1997-98.
4.2. Proses Peradilan