Rekonsiliasi Gerakan Masyarakat Sipil dan

39 belum melangkah pada penanganan atau pelayanan yang lebih sistematis. Beberapa organsiasi atau lembaga yang mencurahkan perhatiannya kepada masalah ini biasanya berada di luar lingkaran komunitas hak asasi manusia. Organisasi korban yang berpusat di Jakarta pun sering kali hanya berupa sekretariat yang tidak langsung berkaitan dengan kegiatan-kegiatan konkret di tingkat basis. Keterbatasan sumber daya menjadi masalah serius bagi organisasi korban untuk membangun hubungan yang teratur apalagi melibatkan basis-basis dalam penyusunan program dan strategi.

5. Rekonsiliasi

Dari lima elemen transitional justice, rekonsiliasi merupakan wilayah yang paling lemah. Pembicaraan mengenai rekonsiliasi sangat terbatas pada hal-hal yang umum, antara lain karena proses mengungkap kebenaran dan keadilan belum jelas. Rekonsiliasi misalnya sering dilihat sebagai pengampunan terhadap pelaku ketimbang komitmen untuk membangun tatanan yang lebih baik di masa mendatang.

Bab 4 Dinamika Regional

1. Pengantar

Bagian ini berusaha memperlihatkan dinamika penanganan kekerasan masa lalu di beberapa daerah di Indonesia. Dalam lokakarya pertama para peserta mengingatkan kecenderungan bahwa informasi mengenai gerakan hak asasi manusia, apalagi penanganan kekerasan masa lalu selama ini sangat terbatas pada kota-kota besar di Jawa. Karena itu ditekankan pentingnya menyediakan ruang cukup untuk membahas perkembangan di berbagai daerah dan melihatnya sebagai keseluruhan ketimbang studi- studi kasus seperti yang sering dilakukan selama ini. Alasan lain karena pengalaman hidup di bawah rezim otoriter Orde Baru memang berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Di Kalimantan dan Sulawesi misalnya Orde Baru identik dengan kekuasaan yang terpusat di Jakarta. Sentimen terhadap penguasa pusat tidak hanya beredar di kalangan korban kekerasan tapi juga elite lokal yang merasa dirugikan dengan pola pembangunan dan pemerintahan yang terpusat. Sejak lama mereka menuntut ruang gerak lebih luas atau otonomi yang kadang dihadapi pemerintah dengan tindak kekerasan. Intensitas hubungan dengan penguasa juga berbeda-beda. Di beberapa bagian Sumatera penguasa Orde Baru sejak awal berhubungan erat dengan elite lokal di bidang bisnis dan pemerintahan yang sering terkait dengan represi. Sementara di daerah lain seperti Nusa Tenggara Timur persinggungan penguasa sampai waktu cukup lama hanya terjadi di bidang pemerintahan baru mulai berkembang sejak 1980-an dengan terjadinya ekspansi bisnis di beberapa kabupaten. Gejolak politik 1998 juga ditanggapi dengan reaksi berbeda-beda. Di daerah- daerah yang lama menjadi basis kekuatan Orde Baru, perubahan tidak begitu tampak. Elite lokal memilih setia kepada partai penguasa dan tetap menduduki jabatan dalam birokrasi maupun lembaga perwakilan. Kekuasaan bisnis hampir tidak tersentuh dan penindasan terhadap rakyat yang menuntut hak-hak mereka tetap terjadi seperti masa sebelumnya. Masalah kekerasan masa lalu tidak banyak dipersoalkan karena kalangan elite menolak membicarakannya. Sebaliknya di daerah yang semasa Orde Baru tidak begitu diperhatikan – baik dari segi politik keamanan maupun ekonomi – ruang untuk melakukan perubahan cenderung lebih besar. Elite lokal sekalipun merupakan bagian dari Orde Baru di masa lalu tidak dengan sendirinya mengikuti kehendak pemerintah di Jakarta ketika perubahan terjadi. Banyak orang yang melihatnya sebagai peluang untuk membangun kekuatan di tingkat lokal, dan mengakomodasi beragam tuntutan yang muncul dari bawah. Otonomi daerah yang ditetapkan melalui UU No. 221999 dalam konteks ini menjadi pedang bermata dua. Tarik-menarik di kalangan elite yang ingin memetik keuntungan mendominasi pembicaraan mengenai otonomi, seperti tercermin dalam