Masalah rehabilitasi korban beberapa kali muncul ke permukaan dan mendapat perhatian dari pemerintah. Saat menjabat sebagai presiden, Abdurrahman Wahid sempat
mengumumkan rencana memberikan rehabilitasi kepada korban kekerasan 1965-66 dan keluarga mereka. Langkah awalnya adalah permintaan maaf secara terbuka dan
pernyataan tekad untuk mengikis diskriminasi terhadap eks-tahanan politik. Pernyataan itu mendapat reaksi keras dari berbagai pihak, terutama pendukung Orde Baru, yang
mengatakan langkah itu akan menjadi awal “kebangkitan komunisme” di Indonesia.
Hal itu, menurut beberapa aktivis, membuktikan bahwa reparasi dan rehabilitasi korban tidak dapat dilakukan tanpa proses pengungkapan kebenaran dan keadilan. Sikap
Abdurrahman Wahid dalam konteks itu hanya merupakan political gesture yang tidak memiliki kekuatan apa pun secara hukum dan justru menempatkan dirinya dalam
kesulitan.
9
Di samping memerlukan aturan hukum yang jelas, rehabilitasi harus didasarkan pada pemahaman dan pengakuan akan adanya kasus kekerasan untuk
menghindari konflik berkelanjutan di tingkat komunitas. Peraturan Pemerintah No. 32002 adalah satu-satunya landasan hukum yang
mengatur tanggung jawab negara terhadap korban kekerasan. Peraturan itu dibuat berdasarkan pasal 35 ayat 3 UU No. 262000, dan hanya mengatur rehabilitasi, restitusi
dan kompensasi dalam kasus-kasus yang sudah diputuskan melalui pengadilan HAM. Keputusan pengadilan dalam sidang kasus kekerasan di Timor Lorosae tidak mengatur
masalah itu sehingga pelaksanaannya belum lagi dapat dinilai. Melihat kemandekan itu beberapa kelompok masyarakat sipil bekerja-sama dengan Komnas Perempuan terlibat
dalam perumusan RUU Perlindungan Saksi dan Korban. Namun sampai saat ini rancangan itu belum mendapat perhatian dari para pembuat keputusan.
Sementara itu, sejumlah pejabat tinggi dan mantan pemimpin militer yang diduga terlibat dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia beberapa kali menawarkan
ishlah rujuk yang disertai ganti rugi. Reaksi keluarga korban terhadap kecenderungan ini berbeda-beda. Perbedaan pendapat sering terjadi di antara mereka yang mau
menerima tawaran tersebut karena alasan kesulitan ekonomi dan mereka yang bersikukuh bahwa keadilan tidak dapat ditukar dengan uang atau fasilitas lainnya.
10
Komnas Perempuan berperan penting dalam peningkatan kapasitas lembaga- lembaga pemerintah maupun masyarakat sipil yang memberikan pelayanan terhadap
korban kekerasan. Melalui proses belajar dan perencanaan bersama komisi tersebut mengembangkan model pelayanan terpadu di rumah sakit maupun yang berbasis
komunitas. Di samping ikut mendirikan sebuah pilot project untuk pelayanan rumah sakit di Jakarta, komisi juga membantu terbentuknya jaringan pemberi layanan kepada korban
yang terdiri atas pusat penanganan krisis crisis centers dan organisasi advokasi hak perempuan.
4.5. Rekonsiliasi
9
Sumber lain mengatakan bahwa Abdurrahman Wahid sebaliknya menyesalkan sikap LSM dan kelompok hak asasi manusia yang tidak menyambut pernyataan itu dengan langkah-langkah konkret untuk menangani
peristiwa tersebut. Korespondensi melalui e-mail, Oktober 2002.
10
Seorang pendamping keluarga korban di Jakarta mengatakan perbedaan itu sering kali menimbulkan perpecahan di kalangan keluarga korban. Diskusi di Jakarta, September 2002.
Ada beberapa pengertian berbeda yang berkembang di Indonesia mengenai rekonsiliasi. Di kalangan elite politik, termasuk pemimpin militer, rekonsiliasi berarti
kesepakatan, kompromi atau kontrak sosial baru di antara para pemimpin mengenai pembangunan kembali di masa reformasi. Kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia
adalah bagian dari masa lalu yang harus dilupakan karena hanya akan mengorek luka lama dan menimbulkan perpecahan. Varian lain dari pandangan ini mengatakan bahwa
kesepakatan semacam itu perlu sejauh menghargai perbedaan yang diatur dan dijaga oleh hukum.
Di lingkungan pemerintah gagasan rekonsiliasi mulai bergulir pada bulan-bulan pertama masa reformasi. Pada 4 September 1999, pemerintah membentuk Tim
Rekonsiliasi Nasional yang beranggotakan wakil Departemen Kehakiman, Mabes ABRI dan Komnas HAM. Alasan pembentukannya, menurut Marzuki Darusman yang saat itu
masih menjabat sebagai Ketua Komnas HAM, karena penyelesaian kasus kekerasan melalui proses hukum akan memakan waktu terlalu lama dan berpotensi menciptakan
ketidakadilan baru. Partai-partai politik pun mendukung gagasan itu sebagai “jalan tengah” di tengah ketidakmampuan pemerintahan baru menggelar pengadilan yang
menyeluruh. Namun tim tersebut tidak berhasil mencapai kesepakatan apa pun mengenai mekanisme rekonsiliasi yang dimaksud.
Gagasan itu kembali beredar saat Abdurrahman Wahid menjadi presiden. Berbagai konferensi dan seminar digelar untuk membahas pembentukan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi.
11
Dalam RUU KKR yang disusun oleh Departemen Kehakiman dan HAM, disebutkan bahwa pembentukan komisi menjadi penting karena
tidak semua kasus pelanggaran berat hak asasi manusia dapat diselesaikan secara tuntas melalui pengadilan HAM. Rancangan itu pada dasarnya mengacu pada tiga hal, yakni
pengungkapan kebenaran, pertimbangan amnesti dan pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban.
Salah satu rujukan terpenting adalah pengalaman pembentukan Truth and Reconciliation Commission di Afrika Selatan. Dalam kunjungannya ke Afrika Selatan,
Abdurrahman Wahid menyempatkan diri bertemu dengan Presiden Thabo Mbeki untuk membicarakan pengalaman di negeri itu dan kemungkinan membentuk komisi serupa di
Indonesia. Di Jakarta, Menteri Pertahanan Matori Abdul Jalil saat menerima kunjungan Duta Besar Afrika Selatan N. M. Mashabane mengatakan bahwa Indonesia perlu
mencontoh pengalaman Afrika Selatan dalam hal rekonsiliasi.
Bagaimanapun, sampai saat ini rancangan tersebut masih tersendat di Sekretariat Negara, dan beberapa anggota DPR dalam sebuah seminar dan pertemuan meragukan
bahwa penetapannya menjadi UU akan terjadi dalam waktu dekat. Jika melihat UU No. 252000 mengenai Program Pembangunan Nasional, pembentukan KKR juga tidak
terlihat dalam agenda kerja pemerintah sampai 2004.
12
11
Tap MPR No. VMPR2000 dan UU No. 262000 juga menyebut pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai lembaga independen yang bertugas mencari dan mengungkapkan kebenaran atas
pelanggaran hak asasi manusia dan melaksanakan rekonsiliasi.
12
Catatan editor: Saat tulisan ini diedit untuk penerbitan versi Indonesianya, telah ada perkembangan signifikan berkenaan dengan RUU KKR termaksud. Setelah diserahkan oleh Presiden Megawati kepada
DPR pada 26 Mei 2003, yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Panitia Khusus Pansus dalam tubuh DPR pada 9 Juli 2003, akhirnya pada tanggal 7 September 2004, RUU KKR tersebut disetujui
dalam Rapat Paripurna DPR. Keterangan ini disarikan dari hasil amatan tim monitoring parlemen untuk RUU KKR Elsam.
1
Bab 3 Gerakan Masyarakat Sipil dan
Transitional Justice di Tingkat Nasional
1. Pengantar
Sampai saat ini masih ada perdebatan luas mengenai batas-batas civil society di Indonesia. Dalam pemetaan ini pengertian yang digunakan adalah semua lembaga non-
pemerintah, baik yang memiliki status hukum sebagai yayasan, perhimpunan dan beberapa lembaga semi-pemerintah seperti lembaga penelitian yang berada di bawah
universitas negeri, maupun kelompok orang yang bekerja-sama berdasarkan kesamaan kepentingan maupun minat.
Para pengamat masalah sosial dan politik Indonesia sepakat bahwa gerakan masyarakat sipil ini berperan penting dalam perlawanan terhadap militerisme Orde Baru
maupun membantu memberdayakan masyarakat yang menjadi korban. Peran itu mulai dibicarakan sejak akhir 1980-an ketika kemacetan dalam proses politik menuntut orang
memikirkan jalan dan bentuk ekspresi politik baru, termasuk untuk menangani kasus- kasus pelanggaran hak asasi manusia.
Perubahan politik pertengahan 1998 membuka jalan bagi pembentukan berbagai lembaga baru, mulai dari partai politik, serikat buruh, perhimpunan jurnalis dan media
sampai organisasi keagamaan dan ornop. Lembaga advokasi hukum dan kelompok hak asasi manusia termasuk sektor yang paling pesat pertumbuhannya
1
Bagaimanapun banyak organisasi yang kemudian hanya bertahan beberapa waktu saja dan menghentikan
atau mengubah kegiatannya ketika dukungan finansial mulai merosot. Di sisi lain perkembangan penting yang patut dicatat dalam konteks penegakan
keadilan di masa transisi adalah munculnya organisasi-organisasi berbasis korban dan gerakan rakyat di tingkat komunitas yang biasa disebut organisasi rakyat OR. Mereka
juga terlibat dalam penanganan berbagai aspek penegakan hak asasi manusia, termasuk mengungkap dan mempersoalkan kasus-kasus pelanggaran semasa Orde Baru. Sebagian
tumbuh dengan dukungan berbagai NGO Non-Governmental Organisation, selanjutnya disebut LSM, Lembaga Swadaya Masyarakat, tapi dalam perumusan dan pelaksanaan
programnya relatif mandiri.
Bab ini akan menampilkan profil dan kegiatan beberapa organisasi yang bergerak di tingkat nasional, artinya mengembangkan program melintasi batas-batas propinsi dan
memusatkan perhatian pada perubahan yang berskala nasional. Hampir semua organisasi ini berkantor di Jakarta, yang merupakan pusat pemerintahan dan sekaligus pusat
1
Sebuah laporan UN Support Facility for Indonesian Recovery mencatat bahwa sejak 1998 jumlah lembaga yang bergerak di bidang ini meningkat dua belas kali lipat. Lihat Frank Feulner, “Consolidating
Democracy in Indonesia: Contributions of Civil Society and the State. Part One: Civil Society”, Working Paper No. 0104. Jakarta: UNSFIR, October 2001.