Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan Komnas Perempuan

3.4. Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan Komnas Perempuan

Hasil investigasi Tim Relawan Kemanusiaan mengenai kekerasan seksual dalam tragedi Mei 1998 di beberapa kota besar di Sumatera dan Jawa mengundang reaksi dari berbagai lapisan masyarakat. Sejumlah aktivis perempuan yang tergabung dalam Masyarakat Anti-Kekerasan terhadap Perempuan mengambil inisiatif bertemu dengan Presiden B. J. Habibie untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah atas peristiwa tersebut. Pertemuan itu diakhiri dengan pernyataan presiden yang mengutuk dan meminta maaf atas terjadinya peristiwa tersebut, dan menyatakan komitmen pemerintah untuk secara aktif menangani kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Pada Oktober 1998, komitmen itu ditunjukkan dengan membentuk Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan kemudian sering disingkat atau disebut Komnas Perempuan melalui keputusan presiden. Berbeda dengan komisi-komisi lain yang cenderung dilakukan dari atas, proses pembentukan komisi ini diwarnai perdebatan mengenai nama dan sifatnya. 4 Dalam banyak hal komisi ini adalah produk critical engagement antara kelompok masyarakat sipil dan pemerintah, dan merupakan langkah maju dalam gerakan hak asasi manusia secara umum. Komisi ini dipimpin oleh sidang paripurna yang beranggotakan 22 orang dengan dukungan 12 orang staf yang bekerja dalam tiga divisi dengan latar belakang pendidikan dan keahlian yang beragam. Sekalipun tidak memiliki kantor-kantor cabang di daerah, dalam tiga tahun Komnas Perempuan berhasil membangun jaringan kerja sama dengan kelompok-kelompok masyarakat sipil, lembaga pemerintah termasuk universitas, rumah sakit dan lembaga-lembaga penegak hukum. Di tingkat internasional komisi ini membangun kerja sama dengan organisasi perempuan dan hak asasi manusia pada umumnya di Asia-Pasifik, Eropa maupun Amerika Utara. Ada banyak hal yang dilakukan komisi ini untuk memastikan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan keadilan gender secara umum mendapat perhatian khusus dalam masa transisi. Sejak awal pembentukannya komisi berperan aktif dalam advokasi kebijakan dengan memberi masukan tertulis kepada lembaga peradilan agar membuat keputusan yang berbasis pada keadilan gender dan adanya perlindungan bagi saksi dan korban dalam kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Komisi juga terlibat dalam berbagai KPP untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia yang dibentuk oleh Komnas HAM. Salah satu inisiatif penting dalam kaitannya dengan kekerasan masa lalu adalah pemetaan dan penyusunan dokumentasi mengenai kekerasan terhadap perempuan di seluruh Indonesia. 5 Kegiatan itu dilakukan dalam kerja sama dengan 30 organisasi dari Aceh hingga Papua selama dua tahun. Di samping menyoroti kekerasan, laporan itu juga menggambarkan perjuangan perempuan melawan pelanggaran hak asasi manusia baik yang dilakukan masyarakat sipil maupun lembaga pemerintah. Divisi dokumentasi 4 Nama yang diusulkan pemerintah saat itu adalah Komisi Nasional untuk Perlindungan Wanita yang menurut kalangan aktivis tidak secara tegas menunjukkan penolakan terhadap kekerasan. Hal lain yang diperdebatkan adalah independensi komisi dari segi finansial dan dalam hal merumuskan program kerjanya. 5 Hasil pemetaan itu telah diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Peta Kekerasan: Pengalaman Perempuan Indonesia pada Oktober 2002 dengan dukungan SGIFF-CIDA, The Asia Foundation dan Yayasan TIFA. Komnas Perempuan saat ini juga tengah mengumpulkan informasi mengenai kaitan antara kemiskinan dengan kekerasan terhadap perempuan di berbagai wilayah Indonesia. Langkah lainnya adalah mendorong mekanisme penanganan kasus-kasus kekerasan yang diatur dalam UU No. 262000 agar ikut menyikapi kasus kekerasan berbasis gender. Sejak awal Komnas Perempuan bekerja-sama dengan Komnas HAM mengembangkan metodologi penyelidikan yang lebih peka gender agar kasus-kasus tersebut dapat diungkap seperti kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran berat hak asasi manusia lainnya. Untuk meningkatkan pemahaman dan kapasitas di wilayah ini, komisi mengundang sejumlah narasumber seperti gender specialist untuk peradilan internasional untuk Rwanda ICTR dan bekas Yugoslavia ICTY.

3.5. Dewan Perwakilan Rakyat DPR