3 langsung berpengaruh terhadap keberadaan lembaga, tudingan semacam itu kadang
menghambat ornop untuk memperluas basis dukungannya. Hubungan antara ornop, organisasi keagamaan, perguruan tinggi dan komunitas
korban sangat bervariasi. Di beberapa tempat seperti Jawa Tengah dan Timur ada hubungan cukup erat antara unsur-unsur ini karena bersumber pada induk yang sama,
seperti lembaga agama. Di tempat-tempat tertentu seperti Nusa Tenggara hubungan kekerabatan juga berperan penting dalam pertemuan antara berbagai elemen masyarakat
sipil dan pemerintah. Namun secara umum dapat dikatakan hubungan erat yang berpangkal pada kesamaan gagasan atau program masih sangat terbatas.
Pertemuan seperti itu biasanya berlangsung dalam jaringan kerja atau forum yang masih sangat didominasi oleh gerakan ornop dalam hal penentuan strategi, perumusan
program dan pelaksanaan kegiatan. Hal ini antara lain disebabkan perbedaan dalam manajemen, orientasi program dan mandat organisasi serta tidak adanya kesempatan
untuk merumuskan visi dan program bersama-sama secara demokratik. Akibatnya sering kali beban kerja yang sesungguhnya dapat dibagi kepada masing-masing unsur akhirnya
menumpuk pada salah satu anggota jaringan yang menghambat perluasan basis gerakan itu sendiri.
Rekomendasi:
2
• Memperluas basis sosial gerakan hak asasi manusia; • Mendukung inisiatif-inisiatif yang dilakukan oleh elemen-elemen lain dalam
masyarakat sipil; • Merancang proyek untuk meningkatkan kerja sama antara berbagai elemen
masyarakat sipil; • Mendukung lembaga-lembaga akademik dan riset untuk berfokus pada
pendidikan; • Memetakan dan mengevaluasi dukungan yang diberikan oleh lembaga-lembaga
donor; • Menggalang solidaritas terhadap perlindungan aktivis hak asasi manusia dan para
pekerja kemanusiaan; • Membentuk forum regional untuk menentukan prioritas.
2. Fokus Kegiatan di Masa Transisi
Secara geografis ada perbedaan signifikan antara daerah-daerah yang dilanda konflik sering kali disebut “daerah konflik” seperti Aceh, Papua dan belakangan ini Maluku
dan Sulawesi Tengah dengan lainnya. Daerah konflik pun dapat dibagi berdasarkan jenis konflik dan kekerasan yang timbul. Daerah seperti Aceh dan Papua yang dilanda konflik
di sekitar penentuan nasib sendiri dalam banyak hal berbeda dari Maluku, Poso atau Kalimantan Tengah yang dilanda konflik komunal.
2
Bagian Rekomendasi dalam keseluruhan bab ini ditambahkan oleh editor dengan menerjemahkan versi bahasa Inggris terbitan ICTJ, Januari 2004, hlm. 112, 114-117.
4 Di daerah yang dilanda konflik politik hubungan antara kekerasan masa lalu
dengan politik masa kini sangat erat. Di Papua misalnya hampir semua unsur masyarakat sipil melihat perdamaian akan sangat bergantung pada cara penyelesaian kekerasan yang
terjadi masa sebelumnya. Sebaliknya di Maluku dan Poso ada kecenderungan untuk menghindari pembicaraan mengenai kekerasan selama tiga tahun terakhir karena dapat
mengorek luka yang masih segar dan dengan begitu memperpanjang konflik.
Perbedaan itu berpengaruh besar dalam pembentukan pengertian mengenai masa transisi. Di daerah konflik masa transisi identik dengan situasi pasca-konflik atau setelah
kekerasan berhasil diatasi. Karena ledakan kekerasan masih terus terjadi pembicaraan mengenai transisi pun tidak pernah mendapat sambutan berarti. Sementara itu di daerah-
daerah yang relatif tenang, orang menyadari perbedaan antara masa reformasi dan Orde Baru sekalipun mengklaim tidak adanya perubahan mendasar.
Di tingkat nasional sementara itu lembaga-lembaga umumnya menganggap momentum perubahan yang memberi kesempatan untuk menangani kasus-kasus
kekerasan masa lalu sudah berlalu. Ada kekhawatiran umum bahwa setelah 2004 gagasan transitional justice sudah tidak relevan lagi dibicarakan karena transisi itu sepenuhnya
dikendalikan oleh kekuatan yang tidak menghendaki perubahan. Namun di tingkat regional dan lokal pergolakan politik 1998 melahirkan ruang-ruang gerak baru untuk
mengambil berbagai inisiatif.
Dalam situasi gamang seperti itu, kebanyakan ornop sekarang mencurahkan perhatiannya kepada kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang
justru meningkat setelah 1998.
3
Kenyataan ini melahirkan pertanyan mengenai makna transisi karena dalam banyak hal tidak ada perubahan berarti setelah Soeharto
mengundurkan diri. Fokus kepada Orde Baru sebagai rezim yang menggunakan kekerasan untuk mempertahankan kekuasaan menjadi kabur ketika munculnya berbagai
aktor baru sebagai pelaku kekerasan.
Dalam konteks menghadapi otoritarianisme Orde Baru, banyak aktivis mengakui bahwa gerakan ornop sedang menemui jalan buntu dan hanya bisa menunggu momentum
yang tepat sambil mengembangkan langkah-langkah “mengganggu” pemerintah untuk memberi perhatian. Mereka umumnya menganggap bahwa momentum perubahan yang
memberi kesempatan menangani kasus-kasus kekerasan masa lalu sudah berakhir, khususnya setelah pemilihan umum 1999. Ada kekhawatiran umum bahwa setelah
pemilihan umum 2004 masalah transitional justice sudah tidak relevan lagi untuk dibicarakan.
Penanganan konflik dan kekerasan pun biasanya berorientasi pada kasus-kasus tertentu. Ada harapan atau ilusi yang kuat bahwa penanganan kasus-kasus tertentu akan
mendorong terjadinya perubahan lebih besar. Karena itu ornop cenderung menggunakan strategi mengangkat kasus ke permukaan agar menjadi pembicaraan atau perhatian
publik, tanpa strategi yang jelas mengenai apa yang harus dilakukan sesudah itu. Dalam banyak hal ornop bergantung pada mekanisme hukum dan birokrasi yang mereka kritik
untuk menyelesaikan kasus-kasus yang diangkat.
Kritik yang sangat mendasar terhadap lembaga-lembaga yang beroperasi di tingkat nasional adalah terbatasnya perhatian terhadap masalah yang ada di daerah,
terutama di luar Jawa. Organisasi yang berbasis di Jawa, khususnya Jakarta, Bogor dan
3
Lihat Mohammad Zulfan Tadjoeddin, Database on Social Violence in Indonesia, United Nations Support Facility for Indonesian Recovery, Jakarta, April 2001
5 Yogyakarta, sangat berperan dalam menentukan kasus-kasus yang dianggap penting dan
perlu diangkat ke tingkat nasional. Sejumlah aktivis di tingkat nasional menyadari masalah itu tapi menyatakan bahwa masalah ini juga dipengaruhi oleh keberadaan atau
ketiadaan gerakan korban yang menuntut perhatian.
Masalah lain yang muncul dalam penentuan orientasi dan fokus adalah pertimbangan politik. Agenda atau kepentingan politik, seperti mencari basis pendukung
partai dan organisasi politik atau promoting a particular ideology, kerap mewarnai penanganan kasus-kasus kekerasan masa lalu. Pengungkapan kekerasan oleh Orde Baru
sebagai pihak yang salah menjadi jalan untuk membuktikan bahwa para korban dan ideologi atau kelompok politiknya ada di pihak yang benar. Keterlibatan komunitas
korban secara menyeluruh – bukan hanya wakil atau orang yang mengklaim sebagai wakilnya – menjadi sangat penting.
Rekomendasi:
• Perlunya suatu pemahaman bersama akan transisi di Indonesia; • Memetakan pencapaian dan kegagalan;
• Melakukan komunikasi dengan individu-individu yang peduli dalam tubuh pemerintahan untuk mengidentifikasi kemungkinan mempromosikan inisiatif
transitional justice.
3. Inisiatif Menangani Kekerasan Masa Lalu