Analisis Temuan Transitional Justice dalam

27 Aktivis hak asasi manusia juga mengatakan bahwa banyak orang Papua sendiri yang terlibat dalam tindak kekerasan terhadap sesamanya di masa lalu. Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang mengungkap keterlibatan ini akan menjadi sumber pertentangan baru. Karena alasan itu Pieter Ell dari KONTRAS Papua mengatakan bahwa rekonsiliasi konsolidasi seharusnya dilakukan di antara orang Papua terlebih dulu sebelum komisi itu dapat berjalan. KKR seharusnya menjadi tempat orang mengungkapkan keprihatinan di satu pihak tapi juga memperkuat persatuan orang Papua di pihak lain.

3. Analisis Temuan

Pengertian Transisi Organisasi dan kelompok yang bekerja di dalam situasi konflik umumnya merasa bahwa situasi setelah 1998 justru memburuk. Mereka beranggapan bahwa transisi menuju demokrasi di Indonesia adalah ilusi belaka, terlepas dari perubahan politik yang terjadi setelah Soeharto mengundurkan diri. Kebebasan bicara dan berkumpul sejauh ini hanya dinikmati oleh kelas menengah perkotaan – yang juga mendominasi semua diskusi mengenai transisi dan penegakan keadilan – sementara keadaan di daerah pedesaan pada dasarnya tidak mengalami banyak perubahan. Di Maluku dan Poso gerakan menentang Orde Baru pada dasarnya tidak pernah berkembang luas, dan hanya terbatas di kalangan mahasiswa serta intelektual perkotaan. Transisi menuju demokrasi tidak pernah menjadi pembahasan umum, dan saat ini hal yang paling diharapkan adalah ketenangan dan perdamaian yang terwujud dalam peletakan senjata. Penyelidikan terhadap asal-usul kekerasan, apalagi kejadian sebelum terjadinya konflik seperti kekerasan 1965-66 yang juga terjadi di kedua wilayah itu, praktis tidak mendapat perhatian. Sementara itu di Aceh dan Papua yang selama puluhan tahun terlibat dalam konflik mengenai penentuan status wilayah, transisi dimengerti sebagai fase setelah penentuan nasib sendiri dilakukan secara demokratik dan terbuka. Otonomi daerah dan berbagai skema lain yang ditawarkan pemerintah di Jakarta dilihat semata-mata sebagai cara meredam tuntutan gerakan kemerdekaan. Penyelidikan mengenai masa lalu mendapat perhatian besar antara lain untuk memperkuat klaim atas hak menentukan nasib sendiri. Respon Darurat sebagai Prioritas Di semua wilayah yang dilanda konflik ornop cenderung menjadikan humanitarian assistance sebagai prioritas kegiatannya. Lembaga-lembaga yang sesungguhnya bergerak dalam bidang berbeda sepertinya dituntut untuk terlibat dalam kegiatan semacam itu yang kadang berakibat program pokoknya terbengkalai untuk sementara waktu. Di samping itu ada banyak organisasi baru yang didirikan semata-mata untuk menyalurkan bantuan dan menangani program emergency. Keberlangsungan Organisasi 28 Banyak lembaga di wilayah konflik ini dibentuk setelah 1998 atau setelah terjadinya konflik 1999-2000. Jumlah keseluruhannya diperkirakan sekitar seribu organisasi untuk keempat wilayah. Aktivis yang diwawancarai mengakui bahwa tidak semua organisasi memiliki visi dan program kerja yang jelas. Sebagian bahkan dibentuk untuk mendapatkan jatah proyek dari lembaga donor dan tidak dapat bertahan setelah dana yang dicurahkan habis terpakai. Ketergantungan pada lembaga donor ini belakangan mendapat perhatian serius dari NGO communities di keempat wilayah karena terbukti melemahkan gerakan civil society secara umum. Sekalipun jumlah lembaga terus bertambah, orang yang secara konsisten menekuni pekerjaannya masih sangat terbatas. Saat terjadi boom ornop seseorang bisa menjadi bagian dari belasan jaringan, kelompok kerja atau forum pada saat bersamaan. Pendidikan untuk tenaga-tenaga baru, baik di lingkungan pendidikan formal maupun dari kalangan komunitas yang didampingi masih sangat lemah. Kegagalan membangun sistem rekruitmen dan penggantian tenaga ini di beberapa daerah sudah mencapai taraf mengkhawatirkan dan dengan sendirinya menjadi ancaman serius bagi sustainability gerakan CSO. Masalah lain yang sering menjadi ancaman bagi sustainability CSO adalah tindak kekerasan terhadap para aktivisnya. Di Aceh dan Papua aktivis ornop menjadi salah satu sasaran utama dari kekuatan bersenjata yang terlibat dalam konflik. Dalam tiga tahun terakhir puluhan orang menjadi korban, beberapa di antaranya tewas, karena kegiatan mereka. Tekanan semacam ini membuat sejumlah lembaga menghentikan kegiatan mereka untuk sementara. Konflik bersenjata di Maluku dan Poso sekalipun tidak mengancam pekerja kemanusiaan atau aktivis hak asasi manusia secara langsung, sering membuat keadaan demikian tidak terkendali dan menghambat pelaksanaan program. Masalah Fokus Kegiatan Situasi konflik pada dasarnya sangat kompleks dan memerlukan tingkat kecakapan yang tinggi serta pengetahuan yang menyeluruh tentang masing-masing wilayah. Hal ini disadari oleh sebagian besar ornop dan biasanya menyeret mereka untuk melakukan kegiatan dan program berbeda-beda pada saat bersamaan. Kecenderungan untuk menjadi “supermarket” – istilah yang sering digunakan oleh aktivis untuk menyebut lembaga yang memiliki terlalu banyak program – berakibat kinerja secara keseluruhan terus merosot. Kesulitan menetapkan fokus kadang berkaitan dengan lembaga donor yang cenderung mencari organisasi yang diketahui memiliki kinerja yang baik untuk menjalankan program masing-masing. 18 Kerja sama menjadi sulit dibangun karena “semua orang mengerjakan semua hal” dan tidak ada pembagian kerja berdasarkan kapasitas, pengetahuan dan kemampuan. Akibatnya banyak lembaga dan aktivis yang kemudian “kehabisan nafas” exhausted karena terlalu banyak program pada saat bersamaan, yang akhirnya berpengaruh pada sustainability gerakan CSO secara umum. 18 Di wilayah-wilayah konflik dikenal istilah “emergency response” yang membuat semua organisasi merasa harus mengambil bagian tanpa memikirkan kesiapan dan kapasitas masing-masing. Pendidikan dan pelatihan bagi tenaga-tenaga baru sementara itu sangat terbatas, sehingga beban kerja selalu jatuh pada sebagian orang dan lembaga yang bagaimanapun memiliki keterbatasan juga. 29 Kelemahan dalam Komunikasi Sejak 1998 sesungguhnya ada ratusan inisiatif transitional justice yang telah dilakukan oleh CSO di berbagai daerah. Namun dalam diskusi terbatas maupun wawancara terlihat bahwa pengetahuan mengenai apa yang dikerjakan satu sama lain masih sangat terbatas. Akibatnya sering terjadi pengulangan kegiatan seperti diskusi mengenai penanganan kekerasan, pengadilan hak asasi manusia atau pelatihan truth-seeking di tempat yang sama, sementara para peserta selalu merasa sedang mendapat sesuatu yang “baru”. Lemahnya komunikasi ini lebih jauh berdampak pada pengembangan strategi, karena setiap lembaga cenderung merasa yang pertama melakukan sesuatu padahal dapat menghemat tenaga dengan memanfaatkan hasil-hasil yang telah ditempuh dan dicapai di tempat-tempat lain. Pembentukan jaringan atau forum komunikasi selama ini tidak efektif menjalankan peran sebagai tempat menyebarluaskan informasi apalagi membuat kesimpulan mengenai pencapaian dan merumuskan strategi bersama. Masalah lain adalah terpusatnya informasi di sejumlah kecil pemimpin dan staf ornop yang memiliki akses pada pertemuan dan jaringan komunikasi tertentu. Kesenjangan antara komunitas basis basic communities, korban kekerasan dan perencanaan program atau strategi penanganan semakin lebar. Persaingan Antar-Lembaga Tidak dapat dipungkiri bahwa persaingan antara lembaga-lembaga yang bekerja di wilayah konflik cukup tinggi. Di satu sisi gejala ini mendorong masing-masing orang maupun lembaga untuk bekerja lebih baik dan meningkatkan kemampuannya. Tapi orang yang diwawancarai dalam penelitian ini umumnya menilai gejala seperti itu cenderung merugikan. Persaingan ini sering kali terkait dengan alasan yang sangat personal maupun akses terhadap lembaga internasional dan sumber finansial. Kemunculan Organisasi-Organisasi Berbasis Komunitas Community-Based Organisations Gejala yang relatif baru di wilayah-wilayah konflik adalah pembentukan organisasi yang berbasis komunitas, yang lazim disebut people’s organisations. Di hampir semua wilayah bermunculan organisasi seperti ini, umumnya beranggotakan korban kekerasan dan keluarga mereka. Sekalipun sulit ditentukan jumlahnya, peran organisasi-organisasi ini sungguh penting dalam membantu pengumpulan informasi serta pendidikan di berbagai bidang bagi komunitas korban lainnya. Hubungan antara organisasi rakyat dengan ornop tidak selalu berjalan baik. Di beberapa tempat muncul ketergantungan baru pada ornop yang membantu pembentukannya, terutama dari segi finansial dan perumusan program. Di sisi lain ada organisasi yang berkembang relatif pesat dan justru melihat ornop semacam penghambat karena terlalu banyak melakukan intervensi dan berusaha mengontrol perkembangan organisasi. Perkembangan seperti ini pada dasarnya mendesak ornop dan aktivis hak asasi manusia secara umum untuk merumuskan kembali peran mereka. 1

Bab 6 Kesimpulan dan Rekomendasi

Sebagaimana telah dikatakan di muka, tujuan pemetaan ini adalah memberi gambaran mengenai dinamika penanganan kekerasan masa lalu dan gagasan transitional justice di Indonesia. Analisis dan kesimpulan yang dibuat hanya menggarisbawahi beberapa temuan dalam kerangka mengembangkan strategi yang lebih baik di masa mendatang, yang tentunya tidak dapat membahas semua segi secara menyeluruh dan mendalam sekaligus. Masing-masing temuan dan pokok persoalan pada dasarnya memerlukan perhatian lebih mendalam. Untuk mempermudah penjelasan, kesimpulan akan dibagi dalam tiga bagian yakni a keberadaan, struktur dan kinerja organisasi masyarakat sipil yang terlibat penanganan kekerasan masa lalu dan hak asasi manusia secara umum; b situasi yang dihadapi dalam masa transisi serta; c penetapan fokus kegiatan dan inisiatif yang diambil. Masing-masing butir akan diikuti oleh beberapa butir rekomendasi.

1. Keberadaan, Struktur dan Kinerja Lembaga

Gerakan hak asasi manusia di Indonesia tumbuh dari kemunculan lembaga-lembaga bantuan hukum. Dalam gerakan ini pengacara dan ahli hukum memegang peran penting dalam menentukan orientasi, fokus kegiatan maupun strategi perjuangan. Kegiatan utama dari lembaga-lembaga ini adalah memberikan pelayanan hukum bagi masyarakat yang tidak diuntungkan seperti buruh, petani dan masyarakat miskin di perkotaan. Untuk waktu yang cukup lama basis pendukungnya adalah aktivis mahasiswa, intelektual dan kelas menengah perkotaan. Hubungan dengan komunitas basis yang didampingi umumnya sangat terbatas saat ada kasus yang ditangani. Setelah 1998 beberapa aktor baru mulai bermunculan seperti komunitas dan organisasi korban kekerasan, lembaga penelitian, institusi keagamaan serta kelompok masyarakat yang prihatin terhadap keadaan hak asasi manusia di Indonesia. Tapi kemunculan ini juga bersifat sementara dan tidak mengubah basis pendukung gerakan hak asasi manusia secara mendasar. Hubungan mereka dengan ornop pun biasanya bersifat ad hoc untuk keperluan kampanye dan advokasi. Sekalipun berperan penting untuk mengangkat kasus-kasus tertentu aktor-aktor baru ini belum banyak terlibat dalam pengambilan keputusan mengenai strategi penanganannya. Kemunculan komunitas dan organisasi korban patut digarisbawahi karena merupakan gejala yang sama sekali baru dalam gerakan hak asasi manusia di Indonesia. Istilah “korban” sendiri mulai menjadi bagian penting dari wacana hak asasi manusia menjelang 1998. Sampai saat ini masih ada pengertian berbeda-beda mengenai korban. Sebagian menolak istilah tersebut dan memilih survivors sebagai alternatifnya. Kelompok