Bab 2 Menegakkan Keadilan di Masa Transisi
1. Pelanggaran Hak Asasi Manusia Semasa Orde Baru
Selama 32 tahun, penguasa Orde Baru menggunakan kekerasan untuk membungkam perlawanan politik, menjalankan kebijakan ekonomi dan mempertahankan
persatuan nasional. Berawal dari pembasmian gerakan kiri pertengahan 1960-an, rangkaian kekerasan kemudian melanda sektor-sektor masyarakat lainnya: gerakan
nasionalis pendukung Soekarno, komunitas Islam yang menolak asas tunggal Pancasila, gerakan mahasiswa dan kalangan akademik yang mengkritik kebijakan pemerintah,
aktivis buruh dan petani yang memperjuangkan hak-hak dasar mereka, sampai pada pejuang pembebasan nasional di Timor Leste. Seperti dikatakan seorang peneliti masalah
politik, “hampir semua orang Indonesia memiliki anggota keluarga, saudara atau kenalan yang pernah menjadi korban kekerasan negara”.
Kekerasan tidak hanya digunakan untuk menindas perbedaan politik. Program pembangunan, terutama komersialisasi pertanian, pengembangan sektor perkebunan,
kehutanan dan pertambangan sering kali dijalankan dengan mengusir penduduk secara paksa. Sementara itu untuk menciptakan angkatan kerja yang disiplin, pemerintah Orde
Baru mengekang semua kegiatan politik dan berulang-ulang menindas gejolak dengan tindak kekerasan. Para pemimpin serikat buruh dan aktivis LSM yang mendampinginya
menjadi sasaran intimidasi, dan beberapa di antaranya terbunuh atau dijatuhi hukuman penjara karena kegiatannya.
Di beberapa tempat kekerasan menimpa penduduk yang sama berulang-ulang. Setelah menjadi korban dalam gelombang kekerasan 1965-66, penduduk kemudian diusir
dari tanah mereka karena program pembangunan. Anggota keluarga yang memprotes tindakan pemerintah dan berusaha membela hak-hak dasar dalam protes petani atau
buruh kemudian kembali menjadi korban kekerasan. Pemerintah sendiri kerap menggunakan slogan “bahaya laten PKI” atau “GPK” Gerakan Pengacau Keamanan
untuk membenarkan tindak kekerasan yang berulang-ulang terhadap komunitas yang sama.
2. Berbagai Dilema Masa Transisi
Negeri yang mengalami transisi menuju demokrasi selalu mengalami dilema untuk menangani kekerasan yang dilakukan oleh rezim sebelumnya. Pemerintahan baru
di satu sisi menghadapi tekanan dari masyarakat sipil, terutama kalangan korban kekerasan, yang menuntut agar para pelaku kekerasan di masa lalu dijatuhi hukuman,
sementara di sisi lain berhadapan dengan perlawanan dari para pelaku yang juga masih memiliki kekuatan politik dan militer yang cukup signifikan. Keputusan untuk
menangani masalah itu dengan sendirinya tidak dapat semata-mata dibimbing oleh pertimbangan moral atau prinsip etik belaka. Justru sebaliknya tindakan pemerintah dan
pilihan kebijakan yang tersedia sangat bergantung pada cara pemerintahan lama digeser, kapasitas sistem peradilan, dan ketersediaan personel yang cakap untuk melaksanakan
kebijakan.
Di Indonesia pergantian pemerintah pada Mei 1998 berlangsung penuh ketidakpastian. Penunjukan B. J. Habibie sebagai presiden menandakan bahwa rezim
lama turut mengendalikan perubahan dan sekaligus memangkas tuntutan perubahan yang lebih radikal. Gerakan reformasi pun gagal membuat perubahan sesuai syarat yang
mereka tetapkan dan dengan sendirinya kehilangan daya untuk menetapkan langkah- langkah selanjutnya. Pada saat bersamaan tindak kekerasan semakin meluas. Kekerasan
komunal melanda Maluku, Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah, sementara pertikaian TNI dan gerakan politik di Aceh dan Papua pun semakin meningkat.
Menghadapi kekacauan dan ancaman destabilisasi, pemerintah baru tidak punya pilihan lain kecuali meminta militer bertindak tegas.
Pemilihan umum 1999 yang disambut sebagai langkah maju menuju demokrasi pada saat bersamaan menandai berakhirnya era “parlemen jalanan”. Para pendukung
reformasi yang semula berkerumun di sekitar aksi-aksi protes untuk menentukan perubahan mulai menghimpun kekuatan sendiri dengan cara-cara yang sama seperti
partai politik di masa Orde Baru. Tuntutan tegas untuk mengadili para pelaku korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia semakin surut di tengah berkembangnya wacana
Realpolitik yang lebih mementingkan keseimbangan politik ketimbang prinsip kebenaran dan keadilan. Ilustrasi yang paling menyentak adalah kegagalan membawa para pelaku
pembunuhan mahasiswa Trisakti dan Semanggi, yang memicu dukungan publik bagi gerakan reformasi, ke pengadilan yang sesuai.
3. Lembaga Negara yang Menangani Kekerasan Masa Lalu