1
Bab 5 Transitional Justice dalam
Situasi Konflik
``
1. Pengantar
Tahun-tahun terakhir Orde Baru ditandai dengan meluasnya konflik dan kekerasan di berbagai wilayah di Indonesia. Sejak 1995 kerusuhan meledak di wilayah Nusa
Tenggara, lalu meluas ke Kalimantan Barat, Jawa Timur dan beberapa kota di pantai utara Jawa. Seminggu sebelum Soeharto mengundurkan diri pada Mei 1998 kerusuhan
meledak di Medan, Palembang, Jakarta dan Solo yang mengakibatkan sekurangnya 1,500 orang tewas. Setelah itu kekerasan terus berlanjut dan mencapai puncaknya pada periode
1999-2002 di Maluku, Sulawesi Tengah dan Kalimantan Tengah.
1
Sampai akhir 2002 diperkirakan lebih dari 15.000 orang tewas dan lebih dari satu juta orang kehilangan
tempat tinggal mereka. Tabel 1. Kekerasan di Indonesia, 1990-2001
Sumber: UNSFIR, April 2001
Meningkatnya kekerasan sejak 1998 oleh para peneliti dan komentator dikaitkan dengan upaya destabilisasi oleh penguasa Orde Baru, yang bertujuan mendiskreditkan reformasi
1
Lihat Mohammad Zulfan Tadjoeddin, Database on Social Violence in Indonesia, United Nations Support Facility for Indonesian Recovery, Jakarta, April 2001.
2 dan melemahkan pemerintahan sipil yang dibentuk setelah pemilihan umum. Hal ini
dibuktikan dengan keterlibatan aparat militer dan polisi dalam konflik berkepanjangan di Maluku dan Poso. Beberapa penyelidikan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun
beberapa CSO sebenarnya sudah menguraikan masalah ini tapi sejauh ini belum ditindaklanjuti. Justru sebaliknya, menurut penilaian sejumlah aktivis pro-demokrasi,
rangkaian kejadian itu malah memperkuat posisi militer yang mengatakan bahwa kekuasaan sipil pada dasarnya tidak dapat menjalankan pemerintahan dengan baik.
Pada saat bersamaan di Aceh, Papua dan Timor Leste, gerakan perlawanan yang menuntut kemerdekaan juga meningkat aktivitasnya setelah 1998. Dalam bulan-bulan
pertama setelah Soeharto mengundurkan diri sikap pemerintah relatif lunak dengan membiarkan kelompok-kelompok pendukung kemerdekaan menggalang kekuatan di
masing-masing wilayah. Namun ketika melihat prospek pemisahan wilayah semakin nyata, terutama dalam referendum di Timor Leste, militer menjalankan berbagai operasi
militer yang bertujuan menghancurkan gerakan tersebut.
Ada perbedaan cukup besar antara daerah yang dilanda konflik komunal dengan konflik untuk penentuan nasib sendiri. Asal-usul konflik dan pihak-pihak yang terlibat di
dalamnya sangat berbeda. Di Maluku dan Poso pemisahan terjadi di antara kelompok masyarakat berdasarkan agama, sementara di Kalimantan Tengah pemisahan itu dibuat
berdasarkan kelompok etniknya. Di Aceh dan Papua, pemisahan berdasarkan agama maupun etnik tidak berperan penting, karena konflik terjadi antara gerakan perlawanan
dengan pemerintah.
Namun, terlepas dari perbedaan itu konflik bersenjata menempatkan orang dalam situasi yang kurang lebih sama. Ancaman kekerasan muncul setiap hari dan untuk jangka
waktu cukup panjang. Kekerasan di Maluku dan Poso misalnya berlangsung selama tiga tahun, dan sekalipun sudah mereda dalam beberapa bulan terakhir, tidak tertutup
kemungkinan untuk meledak kembali. Di Aceh dan Papua sejak pertengahan 1999 pemerintah melancarkan berbagai operasi militer dan terlibat dalam pertempuran dengan
gerakan perlawanan yang berakibat sejumlah besar penduduk sipil menjadi korban.
Dalam situasi semacam itu CSO yang bergerak dalam bidang hak asasi manusia umumnya menjadikan penghentian kekerasan dan bantuan kemanusiaan bagi para korban
sebagai prioritas kegiatannya. Program kegiatannya terarah pada resolusi konflik melalui gencatan senjata, perundingan antara pihak-pihak yang bertikai, atau pertemuan informal
di tingkat grass-roots. Penetapan strategi dan inisiatif transitional justice di daerah seperti ini tentunya berbeda dari daerah-daerah lain, dan karena alasan itu uraiannya
ditempatkan dalam bagian terpisah.
Uraian berikut dibuat berdasarkan kunjungan lapangan ke Papua dan pertemuan dengan aktivis hak asasi manusia dan pekerja kemanusiaan dari Aceh antara September
dan Oktober 2002, yang disusul dengan berbagai pertemuan informal di Jakarta dan Yogyakarta antara November 2002 dan Januari 2003. Pada Maret 2003 peneliti
berkunjung ke Sulawesi Tengah untuk mengumpulkan informasi mengenai strategi dan praktek transitional justice dalam kasus Poso. Karena keterbatasan waktu, informasi
mengenai Maluku dikumpulkan melalui pertemuan dengan berbagai organisasi dan individu yang bekerja di wilayah tersebut.
2. Kekerasan Masa Lalu dan Penentuan Nasib Sendiri