6 Organisasi non-pemerintah atau LSM
124 Institusi keagamaan
9 Institusi akademik
8 Departemen dan kantor pemerintah
2 Organisasi internasional
10 Komite ad hoc atau jaringan advokasi
12 TOTAL
178
Lokakarya kedua untuk pemetaan ini dilakukan di Jakarta pada 8-9 Januari 2003. Para peneliti menyampaikan laporan kemajuan pemetaan dan membahas beberapa
temuan awal. Para peserta menilai perlunya peneliti menyampaikan hasil temuan dan informasi dasar mengenai transitional justice kepada lembaga yang belum dihubungi
agar mengetahui kerangka dan tujuan pemetaan. Setelah lokakarya para peneliti mengadakan pertemuan dengan Komnas Perempuan, ELSAM dan HuMA untuk
menyelenggarakan lokakarya di Padang, Banjarmasin, Palu dan Denpasar.
Masing-masing lokakarya dihadiri sekitar 20-25 orang dari berbagai lembaga hak asasi manusia, kelompok korban dan organisasi perempuan serta individu yang berminat
pada isu transitional justice. Dalam setiap lokakarya para peserta membuat peta-peta kekerasan dan mendiskusikan berbagai inisiatif yang telah dan tengah berjalan. Di hari
terakhir para peserta merumuskan isu-isu strategis yang muncul dalam proses lokakarya dan memikirkan beberapa strategi dan langkah untuk menindaklanjuti temuan tersebut.
3. Struktur Laporan
Laporan ini dibagi ke dalam enam bab dan dilengkapi dengan beberapa peta, tabel dan lampiran. Bab pertama adalah bagian ini yang merupakan pendahuluan. Bab kedua
akan menjelaskan langkah-langkah pemerintah menangani kekerasan masa lalu sejak 1998, khususnya pada pencapaian, kegagalan, hambatan dan ruang yang tersedia bagi
inisiatif transitional justice secara hukum. Penjelasan ini diharapkan dapat memberi semacam konteks untuk memahami dinamika inisiatif transitional justice yang dilakukan
oleh organisasi masyarakat sipil di Indonesia.
Bab kedua akan menggambarkan berbagai kelompok dan organisasi masyarakat sipil yang bergerak pada tingkat nasional beserta inisiatif transitional justice yang
dilakukan. Setelah memberikan profil singkat mengenai tiap organisasi, uraian dilanjutkan dengan penggambaran inisiatif yang diambil. Bab selanjutnya akan
menguraikan dinamika penanganan kekerasan masa lalu di beberapa daerah yang berbeda. Para peneliti menyadari bahwa dinamika menangani kekerasan masa lalu sangat
beragam dan berbeda dari satu wilayah ke wilayah lain. Namun karena keterbatasan ruang dan waktu, unit penjelasan yang dipilih adalah pulau atau kepulauan ketimbang
provinsi atau kabupaten.
Bab terakhir akan berbicara tentang upaya menangani kekerasan masa lalu di daerah-daerah yang dilanda konflik, khususnya Aceh, Papua, Poso dan Maluku.
Penjelasan diarahkan pada apa yang mungkin dilakukan untuk mengangkat kasus-kasus
7 kekerasan masa lalu sementara kekerasan masih terus berlangsung, berdasarkan informasi
dan pengamatan selama kunjungan lapangan.
Bab 2 Menegakkan Keadilan di Masa Transisi
1. Pelanggaran Hak Asasi Manusia Semasa Orde Baru
Selama 32 tahun, penguasa Orde Baru menggunakan kekerasan untuk membungkam perlawanan politik, menjalankan kebijakan ekonomi dan mempertahankan
persatuan nasional. Berawal dari pembasmian gerakan kiri pertengahan 1960-an, rangkaian kekerasan kemudian melanda sektor-sektor masyarakat lainnya: gerakan
nasionalis pendukung Soekarno, komunitas Islam yang menolak asas tunggal Pancasila, gerakan mahasiswa dan kalangan akademik yang mengkritik kebijakan pemerintah,
aktivis buruh dan petani yang memperjuangkan hak-hak dasar mereka, sampai pada pejuang pembebasan nasional di Timor Leste. Seperti dikatakan seorang peneliti masalah
politik, “hampir semua orang Indonesia memiliki anggota keluarga, saudara atau kenalan yang pernah menjadi korban kekerasan negara”.
Kekerasan tidak hanya digunakan untuk menindas perbedaan politik. Program pembangunan, terutama komersialisasi pertanian, pengembangan sektor perkebunan,
kehutanan dan pertambangan sering kali dijalankan dengan mengusir penduduk secara paksa. Sementara itu untuk menciptakan angkatan kerja yang disiplin, pemerintah Orde
Baru mengekang semua kegiatan politik dan berulang-ulang menindas gejolak dengan tindak kekerasan. Para pemimpin serikat buruh dan aktivis LSM yang mendampinginya
menjadi sasaran intimidasi, dan beberapa di antaranya terbunuh atau dijatuhi hukuman penjara karena kegiatannya.
Di beberapa tempat kekerasan menimpa penduduk yang sama berulang-ulang. Setelah menjadi korban dalam gelombang kekerasan 1965-66, penduduk kemudian diusir
dari tanah mereka karena program pembangunan. Anggota keluarga yang memprotes tindakan pemerintah dan berusaha membela hak-hak dasar dalam protes petani atau
buruh kemudian kembali menjadi korban kekerasan. Pemerintah sendiri kerap menggunakan slogan “bahaya laten PKI” atau “GPK” Gerakan Pengacau Keamanan
untuk membenarkan tindak kekerasan yang berulang-ulang terhadap komunitas yang sama.
2. Berbagai Dilema Masa Transisi
Negeri yang mengalami transisi menuju demokrasi selalu mengalami dilema untuk menangani kekerasan yang dilakukan oleh rezim sebelumnya. Pemerintahan baru
di satu sisi menghadapi tekanan dari masyarakat sipil, terutama kalangan korban kekerasan, yang menuntut agar para pelaku kekerasan di masa lalu dijatuhi hukuman,
sementara di sisi lain berhadapan dengan perlawanan dari para pelaku yang juga masih memiliki kekuatan politik dan militer yang cukup signifikan. Keputusan untuk