34 mencairkan suasana dan membuka mata birokrasi akan kompleksitas masalah konflik
serta ancaman yang dihadapi jika tidak ditangani secara efektif. Kegiatan pelatihan yang melibatkan aparat birokrasi pada saat bersamaan dilihat
sebagai ruang untuk lobi semacam itu. Lembaga-lembaga penelitian selama ini cukup gencar melakukan kegiatan tersebut.
3.5.4. Penyusunan Undang-Undang Dasar hukum yang menegaskan komitmen akan perdamaian dan rekonsiliasi di Indonesia
pada dasarnya sangat lemah. Upaya ke arah itu sejauh ini masih sangat bergantung pada kehendak baik aparat pemerintah. Salah satu dasar hukum yang tengah diperjuangkan
adalah Rancangan UU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Organisasi korban sementara itu memiliki pandangan berbeda-beda mengenai rekonsiliasi. Komunitas korban peristiwa 1965-66 umumnya menyambut baik langkah itu
sebagai jalan legal untuk mempersoalkan kekerasan yang mereka alami, sementara korban kasus-kasus lain melihatnya sebagai langkah untuk menutup jalan pengadilan
untuk menyelesaikan kasus-kasus mereka.
REKONSILIASI Organisasi 2.1.
2.2. 2.3.
2.4.
NGOs
INFID KPIKD
• KONTRAS
KPA LBH-APIK
ELSAM •
• •
SYARIKAT •
• •
PBHI SNB
TRK •
• •
YKM YLBHI
VIC T
IM S
IKOHI •
LPKP •
• •
LPR-KROB PAKORBA
•
AC AD
EM IC
CSPS-UGM •
• •
PSPP-UKDW •
• PUSHAM UII
• •
CERIC-UI •
4. Temuan dan Analisis
Dalam bagian ini akan diuraikan beberapa masalah yang dihadapi oleh organisasi masyarakat sipil ketika menangani kekerasan masa lalu. Uraian ini akan dibagi dalam
35 tiga bagian mengenai a keberadaan, struktur dan kinerja lembaga-lembaga, b orientasi
dan fokus kegiatan di masa transisi, c inisiatif yang diambil untuk menangani kekerasan masa lalu.
1. Keberadaan, Struktur dan Kinerja Lembaga Gerakan hak asasi manusia di Indonesia dimulai dari lembaga bantuan hukum di mana
pengacara dan ahli hukum memegang peran penting. Kegiatan utamanya adalah pelayanan hukum bagi masyarakat yang tidak diuntungkan oleh sistem seperti buruh,
petani dan masyarakat miskin di perkotaan. Untuk waktu yang lama basis pendukungnya sangat terbatas, yakni aktivis mahasiswa, intelektual dan kelas menengah perkotaan.
Hubungan dengan komunitas basis yang didampingi biasanya terbatas pada saat adanya kasus yang ditangani.
Setelah 1998 beberapa aktor baru mulai bermunculan seperti komunitas dan organisasi korban kekerasan, lembaga penelitian, institusi keagamaan serta kelompok
masyarakat yang prihatin terhadap keadaan hak asasi manusia di Indonesia. Tapi kemunculan ini juga bersifat sementara dan tidak sampai mengubah basis pendukung
gerakan hak asasi manusia secara mendasar. Hubungan mereka dengan LSM pun biasanya bersifat ad hoc untuk keperluan kampanye dan advokasi. Sekalipun berperan
penting untuk mengangkat kasus-kasus tertentu para aktor baru belum banyak terlibat dalam pengambilan keputusan mengenai strategi penanganannya.
Perjalanan gerakan hak asasi manusia di Indonesia juga ditandai pasang-surut berbagai organisasi dan kelompok, yang membawa kita pada masalah sustainability. Ada
beberapa isu yang terkait dengan masalah ini:
Kepemimpinan dan kultur berorganisasi. Dalam banyak hal LSM mengandalkan tokoh-tokoh tertentu untuk mengembangkan kegiatan mereka. Ketrampilan,
pengetahuan dan wibawa biasanya berputar di sekitar orang ketimbang organisasi sehingga tidak terbangun kultur organisasi yang kuat. Keputusan penting
mengenai langkah organisasi juga diputuskan oleh sebagian kecil orang yang tidak selalu mewakili kepentingan konstituen. Masalah mulai timbul ketika orang
yang diandalkan pindah pekerjaan dan meninggalkan organisasi.
Masalah strategi dan fokus kegiatan. Cukup banyak LSM dan organisasi masyarakat sipil lainnya yang berawal dari komite aksi, koalisi kampanye, atau
forum ad hoc lainnya, yang menunjukkan bahwa gerakan dalam banyak hal dituntun oleh keadaan dan bukan berdasarkan rencana jangka panjang yang jelas.
Fokus kegiatan pun sering kali mengikuti trend yang ditentukan oleh lembaga donor atau media massa. Masalah kemudian muncul ketika basis dukungan
finansial atau liputan media mulai melemah.
Kelemahan dalam kaderisasi. Masalah ini berkaitan dengan sempitnya basis pendukung gerakan hak asasi manusia. Para pekerja LSM atau organisasi lain
umumnya berasal dari kalangan aktivis mahasiswa. Sejauh ini tidak ada program pendidikan khusus untuk menyiapkan pekerja hak asasi manusia atau
kemanusiaan, sekalipun banyak sumber daya dicurahkan untuk training dan lokakarya yang hanya menjawab kebutuhan tertentu. Banyak organisasi yang
kemudian terlibat dalam kesulitan karena kekurangan sumber daya.
36 Ketergantungan pada lembaga donor. Hampir semua organisasi yang disebutkan
dalam uraian di atas bergantung pada lembaga donor dalam melaksanakan kegiatannya. Kegiatan LSM dalam banyak hal dipengaruhi oleh kerangka kerja
yang digunakan donor ketimbang sebagai respon terhadap keadaan. Kalangan donor sementara itu jarang membicarakan program satu sama lain dan melihat
efektivitas bantuan secara menyeluruh. Donor umumnya memilih bekerja-sama dengan lembaga yang dapat diandalkan sehingga lembaga yang bersangkutan
memiliki terlalu banyak beban sementara banyak inisiatif yang menjanjikan tidak mendapat dukungan dan akhirnya tenggelam.
Masalah lain yang berkaitan dengan keberadaan lembaga adalah represi dan tekanan dari berbagai pihak. Sekalipun ada keterbukaan dan ruang untuk menjalankan
kegiatan yang dianggap sensitif, represi terhadap human rights defender masih sering terjadi, terutama di daerah-daerah yang dilanda konflik bersenjata. Tekanan lain juga
datang dari pemerintah dan kekuatan konservatif di sekitar elite yang menuding LSM menjual bangsa dengan mempersoalkan masalah hak asasi manusia di luar negeri.
Walaupun tidak langsung berpengaruh terhadap keberadaan lembaga, tudingan semacam itu kadang menghambat LSM untuk memperluas basis dukungannya.
2. Fokus dan Orientasi Kegiatan Kebanyakan LSM sekarang mencurahkan perhatiannya kepada kasus-kasus kekerasan
dan pelanggaran hak asasi manusia yang justru meningkat setelah 1998.
12
Kenyataan ini melahirkan pertanyan mengenai makna transisi karena dalam banyak hal tidak ada
perubahan berarti setelah Soeharto mengundurkan diri. Fokus kepada Orde Baru sebagai rezim yang menggunakan kekerasan secara sistematis untuk mempertahankan kekuasaan
menjadi kabur ketika munculnya berbagai aktor baru sebagai pelaku kekerasan.
Dalam konteks menghadapi otoritarianisme Orde Baru, banyak aktivis mengakui bahwa gerakan LSM sedang menemui jalan buntu dan hanya bisa menunggu momentum
yang tepat sambil mengembangkan langkah-langkah “mengganggu” pemerintah untuk memberi perhatian. Mereka umumnya menganggap bahwa momentum perubahan yang
memberi kesempatan menangani kasus-kasus kekerasan masa lalu sudah berakhir, khususnya setelah pemilihan umum 1999. Ada kekhawatiran umum bahwa setelah
pemilihan umum 2004 masalah transitional justice sudah tidak relevan lagi untuk dibicarakan.
Penanganan konflik dan kekerasan pun biasanya berorientasi pada kasus-kasus tertentu. Ada harapan atau ilusi yang kuat bahwa penanganan kasus-kasus tertentu akan
mendorong terjadinya perubahan lebih besar. Karena itu LSM cenderung menggunakan strategi mengangkat kasus ke permukaan agar menjadi pembicaraan atau perhatian
publik, tanpa strategi yang jelas mengenai apa yang harus dilakukan sesudah itu. Dalam banyak hal LSM bergantung pada mekanisme hukum dan birokrasi yang mereka kritik
untuk menyelesaikan kasus-kasus yang diangkat.
Kritik yang sangat mendasar terhadap lembaga-lembaga yang beroperasi di tingkat nasional adalah terbatasnya perhatian terhadap masalah yang ada di daerah,
12
Lihat Mohammad Zulfan Tadjoeddin, Database on Social Violence in Indonesia, United Nations Support Facility for Indonesian Recovery, Jakarta, April 2001
37 terutama di luar Jawa. Organisasi yang berbasis di Jawa, khususnya Jakarta, Bogor dan
Yogyakarta, sangat berperan dalam menentukan kasus-kasus yang dianggap penting dan perlu diangkat ke tingkat nasional. Sejumlah aktivis di tingkat nasional menyadari
masalah itu tapi menyatakan bahwa masalah ini juga dipengaruhi oleh keberadaan atau ketiadaan gerakan korban yang menuntut perhatian.
Masalah lain yang muncul dalam penentuan orientasi dan fokus adalah pertimbangan politik. Agenda atau kepentingan politik, seperti mencari basis pendukung
partai dan organisasi politik atau promoting a particular ideology, kerap mewarnai penanganan kasus-kasus kekerasan masa lalu. Pengungkapan kekerasan oleh Orde Baru
sebagai pihak yang salah menjadi jalan untuk membuktikan bahwa para korban dan ideologi atau kelompok politiknya ada di pihak yang benar. Keterlibatan komunitas
korban secara menyeluruh – bukan hanya wakil atau orang yang mengklaim sebagai wakilnya – menjadi sangat penting.
3. Inisiatif Menangani Kekerasan Masa Lalu Selama melakukan kunjungan dan wawancara peneliti menemukan sejumlah besar
kegiatan yang relevan dengan kerangka transitional justice. Masalahnya sampai saat ini tidak ada dokumentasi mengenai masing-masing inisiatif sehingga sulit menilai
pencapaian dan hambatan dari apa yang telah dikerjakan. Kegiatan-kegiatan baru biasanya dirumuskan pada saat akan dilaksanakan dan lebih bergantung pada kreativitas
perorangan ketimbang kesimpulan dari sebuah gerakan.
Dari matriks di atas terlihat bahwa public campaign adalah kegiatan yang paling menonjol. Kebanyakan organisasi di tingkat nasional mencurahkan perhatiannya pada
“menggalang opini publik” dengan memberikan pernyataan pers atau menyelenggarakan seminar dan diskusi. Sementara inisiatif yang benar-benar diarahkan untuk memperkuat
komunitas korban yang menjadi sumber daya tahan dan kekuatan gerakan hak asasi manusia atau lembaga strategis seperti lembaga pendidikan formal dan pesantren, sangat
terbatas. a. Mengungkap Kebenaran
Kegiatan-kegiatan di dalam area ini berpangkal pada pengaduan oleh masyarakat. Hanya beberapa lembaga yang mencurahkan perhatian khusus untuk memahami pola jenis
kekerasan tertentu atau sebarannya secara geografis. LSM cenderung mengumpulkan informasi sebagai dasar untuk melakukan kampanye publik tanpa penyelidikan lebih
mendalam yang sebenarnya diperlukan dalam proses peradilan. Ada harapan kuat bahwa jika sebuah kasus menjadi perhatian publik – karena kampanye yang dilakukan – maka
proses selanjutnya akan menjadi lebih mudah.
Sejauh ini belum ada pembagian kerja di antara lembaga-lembaga yang mengumpulkan informasi mengenai kasus-kasus kekerasan. Masing-masing lembaga
menjalankan kegiatan untuk menangani kasus tertentu dengan keperluan berbeda-beda dan cenderung menekankan keunikan sehingga tidak ada common platform atau agenda.
Akibatnya informasi yang dikumpulkan masih sangat fragmented dan mempersulit munculnya pemahaman mengenai kekerasan sistematis yang dilakukan oleh Orde Baru
sebagai sebuah rezim otoriter.
38 Dari segi cakupan geografis, wilayah yang ditangani oleh organisasi di tingkat
nasional maupun lokal masih sangat terbatas. Kasus yang ditangani umumnya adalah kasus yang mendapat perhatian luas dari media nasional saat kasus itu terjadi. Penentuan
itu juga sepertinya diserahkan ke lembaga-lembaga di tingkat nasional ketimbang menjadi kesimpulan gerakan yang ada di tingkat lokal.
b. Peradilan dan Penuntutan Ada semacam kesepakatan bahwa pengadilan adalah jalan terbaik untuk menangani
kasus-kasus kekerasan masa lalu.
13
Sementara pembicaraan tentang keadilan sepenuhnya terarah pada penghukuman melalui pengadilan, langkah konkret yang mengarah pada
tujuan itu masih sangat terbatas. Critical engagement dengan institusi penegak hukum yang beperan penting dalam penyelesaian kasus-kasus kekerasan juga jarang dilakukan,
dan oleh sebagian bahkan dianggap sebagai kegiatan yang sia-sia.
Pemikiran dan kegiatan LSM di wilayah ini juga tampak paradoks. Di satu pihak mereka menyadari bahwa sistem peradilan dan hukum yang ada sekarang tidak dapat
diharapkan, tapi dalam praktiknya sangat bergantung pada mekanisme tersebut. Sedikit inisiatif yang dilakukan untuk secara konkret mengubah hukum yang ada, misalnya
dengan mengajukan rancangan alternatif ke pemerintah atau DPR dan memperkuat tekanan agar usulan tersebut mendapat perhatian.
c. Reformasi Hukum dan Kelembagaan Program yang berkisar pada masalah reformasi hukum dan kelembagaan sangat banyak
dari segi jumlah, tapi umumnya dituntun oleh prinsip dan indikator good governance yang tidak berakar pada pengalaman konkret di Indonesia sendiri. Program semacam itu
umumnya tidak berkaitan dengan kasus-kasus kekerasan dan dengan sendirinya gagal memberikan rekomendasi yang menjamin bahwa kasus semacam itu tidak terulang di
masa mendatang.
Reformasi yang dibayangkan oleh kebanyakan LSM masih terarah pada hal-hal yang tampak di permukaan, seperti korupsi, perilaku dan wacana para birokrat serta
kasus-kasus kekerasan, ketimbang struktur yang melandasi masalah-masalah tersebut. Pemahaman mengenai warisan otoriterianisme Orde Baru dalam kehidupan politik masih
sangat terbatas pada perilaku sekalipun dalam diskusi berbicara mengenai struktur dan belum mempertimbangkan kekerasan, ekspansi bisnis, perilaku pejabat dan korupsi
sebagai sebuah kesatuan. d. Reparasi dan Rehabilitasi bagi Korban
Hubungan antara LSM di tingkat nasional dengan komunitas korban pada dasarnya sangat terbatas dan baru mulai berkembang setelah 1999 ketika beberapa organisasi yang
berbasis korban mulai muncul ke permukaan. Kegiatan LSM di tingkat nasional masih sebatas pada kampanye untuk menyadarkan publik mengenai keberadaan korban, dan
13
Dominasi pengacara dan ahli hukum dalam gerakan hak asasi manusia secara keseluruhan berperan penting dalam hal ini, karena dalam diskusi bersama komunitas korban sering kali terungkap berbagai
dimensi lain dari keadilan. Diskusi semacam itu belum mendapat ruang cukup untuk berkembang.
39 belum melangkah pada penanganan atau pelayanan yang lebih sistematis. Beberapa
organsiasi atau lembaga yang mencurahkan perhatiannya kepada masalah ini biasanya berada di luar lingkaran komunitas hak asasi manusia.
Organisasi korban yang berpusat di Jakarta pun sering kali hanya berupa sekretariat yang tidak langsung berkaitan dengan kegiatan-kegiatan konkret di tingkat
basis. Keterbatasan sumber daya menjadi masalah serius bagi organisasi korban untuk membangun hubungan yang teratur apalagi melibatkan basis-basis dalam penyusunan
program dan strategi.
5. Rekonsiliasi