1
Bab 6 Kesimpulan dan Rekomendasi
Sebagaimana telah dikatakan di muka, tujuan pemetaan ini adalah memberi gambaran mengenai dinamika penanganan kekerasan masa lalu dan gagasan transitional justice di
Indonesia. Analisis dan kesimpulan yang dibuat hanya menggarisbawahi beberapa temuan dalam kerangka mengembangkan strategi yang lebih baik di masa mendatang,
yang tentunya tidak dapat membahas semua segi secara menyeluruh dan mendalam sekaligus. Masing-masing temuan dan pokok persoalan pada dasarnya memerlukan
perhatian lebih mendalam.
Untuk mempermudah penjelasan, kesimpulan akan dibagi dalam tiga bagian yakni a keberadaan, struktur dan kinerja organisasi masyarakat sipil yang terlibat
penanganan kekerasan masa lalu dan hak asasi manusia secara umum; b situasi yang dihadapi dalam masa transisi serta; c penetapan fokus kegiatan dan inisiatif yang
diambil. Masing-masing butir akan diikuti oleh beberapa butir rekomendasi.
1. Keberadaan, Struktur dan Kinerja Lembaga
Gerakan hak asasi manusia di Indonesia tumbuh dari kemunculan lembaga-lembaga bantuan hukum. Dalam gerakan ini pengacara dan ahli hukum memegang peran penting
dalam menentukan orientasi, fokus kegiatan maupun strategi perjuangan. Kegiatan utama dari lembaga-lembaga ini adalah memberikan pelayanan hukum bagi masyarakat yang
tidak diuntungkan seperti buruh, petani dan masyarakat miskin di perkotaan. Untuk waktu yang cukup lama basis pendukungnya adalah aktivis mahasiswa, intelektual dan
kelas menengah perkotaan. Hubungan dengan komunitas basis yang didampingi umumnya sangat terbatas saat ada kasus yang ditangani.
Setelah 1998 beberapa aktor baru mulai bermunculan seperti komunitas dan organisasi korban kekerasan, lembaga penelitian, institusi keagamaan serta kelompok
masyarakat yang prihatin terhadap keadaan hak asasi manusia di Indonesia. Tapi kemunculan ini juga bersifat sementara dan tidak mengubah basis pendukung gerakan
hak asasi manusia secara mendasar. Hubungan mereka dengan ornop pun biasanya bersifat ad hoc untuk keperluan kampanye dan advokasi. Sekalipun berperan penting
untuk mengangkat kasus-kasus tertentu aktor-aktor baru ini belum banyak terlibat dalam pengambilan keputusan mengenai strategi penanganannya.
Kemunculan komunitas dan organisasi korban patut digarisbawahi karena merupakan gejala yang sama sekali baru dalam gerakan hak asasi manusia di Indonesia.
Istilah “korban” sendiri mulai menjadi bagian penting dari wacana hak asasi manusia menjelang 1998. Sampai saat ini masih ada pengertian berbeda-beda mengenai korban.
Sebagian menolak istilah tersebut dan memilih survivors sebagai alternatifnya. Kelompok
2 lain coba memperluas pengertian korban ini mencakup semua orang dan komunitas yang
dirugikan oleh proses pembangunan maupun rezim otoriter.
1
Perjalanan gerakan hak asasi manusia di Indonesia juga ditandai pasang-surut berbagai organisasi dan kelompok. Masalah-masalah seperti ini sebenarnya sudah
berkali-kali dibicarakan, dan dalam kesimpulan ini kami hanya menekankan beberapa aspek yang terkait dengan sustainability gerakan itu sendiri.
Kepemimpinan dan kultur berorganisasi. Dalam banyak hal ornop mengandalkan tokoh-tokoh tertentu untuk mengembangkan kegiatan mereka. Keterampilan,
pengetahuan dan wibawa biasanya berputar di sekitar orang ketimbang organisasi sehingga tidak terbangun kultur organisasi yang kuat. Keputusan penting
mengenai langkah organisasi juga diputuskan oleh sebagian kecil orang yang tidak selalu mewakili kepentingan konstituen. Masalah mulai timbul ketika orang
yang diandalkan pindah pekerjaan dan meninggalkan organisasi.
Masalah strategi dan fokus kegiatan. Cukup banyak ornop dan organisasi masyarakat sipil lainnya yang berawal dari komite aksi, koalisi kampanye, atau
forum ad hoc lainnya, yang menunjukkan bahwa gerakan dalam banyak hal dituntun oleh keadaan dan bukan berdasarkan rencana jangka panjang yang jelas.
Fokus kegiatan pun sering kali mengikuti trend yang ditentukan oleh lembaga donor atau media massa. Masalah kemudian muncul ketika basis dukungan
finansial atau liputan media mulai melemah.
Kelemahan dalam kaderisasi. Masalah ini berkaitan dengan sempitnya basis pendukung gerakan hak asasi manusia. Para pekerja ornop atau organisasi lain
umumnya berasal dari kalangan aktivis mahasiswa. Sejauh ini tidak ada program pendidikan khusus untuk menyiapkan pekerja hak asasi manusia atau
kemanusiaan, sekalipun banyak sumber daya dicurahkan untuk training dan workshop yang hanya menjawab kebutuhan tertentu. Banyak organisasi yang
kemudian terlibat dalam kesulitan karena kekurangan sumber daya.
Ketergantungan pada lembaga donor. Hampir semua organisasi yang disebutkan dalam uraian di atas bergantung pada lembaga donor dalam melaksanakan
kegiatannya. Kegiatan ornop dalam banyak hal dipengaruhi oleh kerangka kerja yang digunakan donor ketimbang sebagai respon terhadap keadaan. Kalangan
donor sementara itu jarang membicarakan program satu sama lain dan melihat efektivitas bantuan secara menyeluruh. Donor umumnya memilih bekerja-sama
dengan lembaga yang dapat diandalkan sehingga lembaga yang bersangkutan memiliki terlalu banyak beban sementara banyak inisiatif yang “menjanjikan”
tidak mendapat dukungan dan akhirnya tenggelam.
Masalah lain yang berkaitan dengan keberadaan lembaga adalah represi dan tekanan dari berbagai pihak. Sekalipun ada keterbukaan dan ruang untuk menjalankan kegiatan yang
dianggap sensitif, represi terhadap human rights defender masih berkali-kali terjadi, terutama di daerah-daerah yang dilanda konflik bersenjata. Tekanan lain juga datang dari
pemerintah dan kekuatan konservatif di sekitar elite yang menuding ornop menjual bangsa dengan mempersoalkan masalah human rights di luar negeri. Walaupun tidak
1
Dengan rumusan semacam ini organisasi masyarakat miskin di perkotaan, gerakan petani dan masyarakat adat atau serikat-serikat buruh bisa dilihat sebagai kumpulan korban pula.
3 langsung berpengaruh terhadap keberadaan lembaga, tudingan semacam itu kadang
menghambat ornop untuk memperluas basis dukungannya. Hubungan antara ornop, organisasi keagamaan, perguruan tinggi dan komunitas
korban sangat bervariasi. Di beberapa tempat seperti Jawa Tengah dan Timur ada hubungan cukup erat antara unsur-unsur ini karena bersumber pada induk yang sama,
seperti lembaga agama. Di tempat-tempat tertentu seperti Nusa Tenggara hubungan kekerabatan juga berperan penting dalam pertemuan antara berbagai elemen masyarakat
sipil dan pemerintah. Namun secara umum dapat dikatakan hubungan erat yang berpangkal pada kesamaan gagasan atau program masih sangat terbatas.
Pertemuan seperti itu biasanya berlangsung dalam jaringan kerja atau forum yang masih sangat didominasi oleh gerakan ornop dalam hal penentuan strategi, perumusan
program dan pelaksanaan kegiatan. Hal ini antara lain disebabkan perbedaan dalam manajemen, orientasi program dan mandat organisasi serta tidak adanya kesempatan
untuk merumuskan visi dan program bersama-sama secara demokratik. Akibatnya sering kali beban kerja yang sesungguhnya dapat dibagi kepada masing-masing unsur akhirnya
menumpuk pada salah satu anggota jaringan yang menghambat perluasan basis gerakan itu sendiri.
Rekomendasi:
2
• Memperluas basis sosial gerakan hak asasi manusia; • Mendukung inisiatif-inisiatif yang dilakukan oleh elemen-elemen lain dalam
masyarakat sipil; • Merancang proyek untuk meningkatkan kerja sama antara berbagai elemen
masyarakat sipil; • Mendukung lembaga-lembaga akademik dan riset untuk berfokus pada
pendidikan; • Memetakan dan mengevaluasi dukungan yang diberikan oleh lembaga-lembaga
donor; • Menggalang solidaritas terhadap perlindungan aktivis hak asasi manusia dan para
pekerja kemanusiaan; • Membentuk forum regional untuk menentukan prioritas.
2. Fokus Kegiatan di Masa Transisi