studi hak asasi manusia. Sampai 2002 sudah ada 23 pusat studi yang dibentuk di berbagai provinsi. Beberapa di antaranya berkembang pesat menjadi resource centre bagi gerakan
hak asasi manusia di tingkat lokal, seperti Pusat Studi HAM UII di Yogyakarta, tapi di tempat-tempat lain para pengurus mengaku bahwa kekurangan sumber daya membuat
mereka tidak dapat berbuat banyak.
Kerja sama internasional seperti dengan Lund University di Swedia dan AusAID umumnya hanya berkisar pada pelatihan dan pengembangan kapasitas dalam bidang
penelitian, tapi sampai saat ini belum ada kegiatan penelitian yang menangani kasus- kasus kekerasan masa lalu seperti diamanatkan oleh perencanaan strategis departemen itu
sendiri. 3.2. Kejaksaan Agung
Pasal 21 UU No. 262000 menetapkan Kejaksaan Agung sebagai lembaga yang berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan atas perkara pelanggaran berat hak
asasi manusia. Di masa Orde Baru lembaga ini menjadi salah satu kekuatan yang melindungi para pelaku pelanggaran hak asasi manusia dengan mengabaikan laporan
tentang kasus-kaus kekerasan yang melibatkan aparat pemerintah.
2
UU No. 262000 pada dasarnya hanya mengatur beberapa hal teknis seperti wewenang Jaksa Agung untuk
mengangkat penyidik ad hoc dari kalangan masyarakat, tapi tidak mengubah watak lembaga itu secara keseluruhan.
Kekerasan yang melanda Timor Lorosae selama referendum adalah kasus pertama yang ditangani melalui mekanisme pengadilan hak asasi manusia. Kejaksaan Agung yang
bertugas menyusun dakwaan terbukti tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Laporan ELSAM memperlihatkan bahwa dakwaan yang disusun oleh tim kejaksaan sangat lemah
dan mencerminkan ketidaktahuan mengenai kasus yang ditangani maupun perangkat hukum yang digunakan.
3
Dalam kasus-kasus lain seperti penembakan mahasiswa Trisakti dan Semanggi yang direkomendasikan oleh Komnas HAM untuk diproses secara hukum, Kejaksaan
bahkan menampakkan keengganan untuk bekerja-sama. Berkas penyelidikan yang dikirim oleh Komnas HAM dikembalikan lagi dengan alasan belum lengkap dan tidak
memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan. Namun pihak Kejaksaan Agung tidak memberikan keterangan dan petunjuk untuk melengkapi seperti yang diatur dalam
pasal 20 ayat 1 UU No. 262000. Beberapa asisten penyelidik yang membantu Komnas HAM mengatakan pengembalian berkas itu lebih mencerminkan penolakan untuk
menghadapi masalah ketimbang kepatuhan pada undang-undang seperti yang diklaim oleh Jaksa Agung.
3.3. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas HAM
2
Kalangan aktivis hak asasi manusia umumnya menilai bahwa sampai saat ini Kejaksaan Agung adalah mata rantai yang paling lemah dalam upaya menegakkan hak asasi manusia, antara lain karena persekutuan
pejabat lembaga tersebut dengan para pelaku pelanggaran masa lalu.
3
Lihat Laporan Tim Monitoring Elsam, “Progress Report 1: Monitoring Pengadilan HAM Ad Hoc terhadap Pelanggaran Berat HAM di Timor-Timur, April-September 1999”, Jakarta: Elsam, 29 April 2002.
Lihat juga laporan David Cohen, “Intended to Fail: The Trials Before the Ad Hoc Human Rights Court in Jakarta”, New York: ICTJ, Agustus 2003. Catatan dari Editor.
Semasa kekuasaan Orde Baru, Komnas HAM adalah satu-satunya lembaga pemerintah yang menangani masalah hak asasi manusia. Komisi ini dibentuk melalui
keputusan presiden pada 1993 dengan tugas memajukan dan melindungi hak asasi manusia di Indonesia. Kegiatannya mencakup penyelidikan terhadap kasus-kasus tertentu
dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk merafitikasi sejumlah instrumen hak asasi manusia internasional.
Dengan UU No. 391999 mandat dan wewenang organisasi ini diperluas termasuk melakukan penyelidikan yang berkekuatan hukum pro justitia, yang wajib
ditindaklanjuti oleh pemerintah. Pasal 89 ayat 3 menetapkan wewenang Komnas HAM untuk memanggil saksi dan orang yang diduga bertanggung-jawab untuk memberikan
keterangan secara tertulis dan menyerahkan dokumen yang diperlukan dalam penyelidikan. UU No. 262000 lebih lanjut menetapkan komisi ini sebagai satu-satunya
lembaga yang dapat melakukan penyelidikan terhadap kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia.
Namun penguatan mandat dan wewenang ini belum menampakkan hasil yang memadai. Dalam kasus pembunuhan mahasiswa Trisakti dan Semanggi misalnya,
perwira militer yang dimintai kesaksian menolak pemanggilan dan bahkan mendiskreditkan komisi ini di hadapan publik. Baik kejaksaan maupun pengadilan yang
seharusnya memperkuat permintaan itu dengan perintah pemanggilan paksa tidak memberikan tanggapan apa pun. Komnas HAM juga berulang-ulang menjadi sasaran
serangan fisik oleh gerombolan preman dan sipil bersenjata yang ingin mempengaruhi proses penyelidikan kasus-kasus tertentu. Aparat keamanan hanya menahan para perusuh
beberapa waktu dan tidak seorang pun pernah dibawa ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Di tengah berbagai keterbatasan ini Komnas HAM mengambil inisiatif menangani pelanggaran masa lalu. Salah satu yang terpenting untuk keperluan pemetaan
ini adalah lokakarya transitional justice di Surabaya, 21-24 November 2000 yang diselenggarakan dalam kerja sama dengan Pusat Studi HAM Universitas Surabaya. Di
samping merumuskan sejumlah prinsip transitional justice dalam konteks Indonesia yang dituangkan dalam Kesepakatan Surabaya Surabaya Principles, lokakarya itu
ditindaklanjuti dengan pembentukan Masyarakat Transitional Justice MTJ yang beranggotakan sembilan tokoh masyarakat dan aktivis hak asasi manusia.
Tujuan MTJ ini antara lain adalah mengawasi proses transitional justice, memfasilitasi berbagai proses non-formal seperti rekonsiliasi akar rumput, dan
menyebarluaskan gagasan transitional justice kepada masyarakat dan penyelenggara negara. Selama 2001, badan ini mengadakan beberapa pertemuan dan seminar serta
menerbitkan sejumlah literatur mengenai transitional justice, tapi di tahun berikutnya mulai surut karena kekurangan sumber daya dan personel.
Di masa mendatang posisi Komnas HAM sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan penyelidikan akan semakin penting. Pergantian pengurus komisi
beberapa waktu lalu mendapat perhatian luas dari publik, terutama aktivis hak asasi manusia dan keluarga korban. Sebagian menilai bahwa penempatan Abdul Hakim
Garuda Nusantara, seorang pengacara hak asasi manusia yang berpengalaman, sebagai ketua komisi adalah langkah maju. Namun di sisi lain, banyak yang mempersoalkan
kehadiran beberapa anggota lama yang dinilai tidak pernah menangani kasus dengan baik dalam periode sebelumnya.
3.4. Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan Komnas Perempuan