PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN IPA MELALUI PENDEKATAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHAREDENGAN MEDIA AUDIOVISUAL PADA SISWA KELAS IV SDN KALIBANTENG KIDUL 02

(1)

THINK-PAIR-SHARE

DENGAN MEDIA

AUDIOVISUAL PADA SISWA KELAS IV SDN

KALIBANTENG KIDUL 02

SKRIPSI

Disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang

Oleh

SITI NURCHOLIFAH 1401409173

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2013


(2)

 

ii 

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini: nama : Siti Nurcholifah NIM : 1401409173

program Sudi : Pendidikan Guru Sekolah Dasar fakultas : Fakultas Ilmu Pendidikan

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Peningkatan Kualitas Pembelajaran IPA Melalui Pendekatan Kooperatif Tipe Think-Pair-Sharedengan Media Audiovisual pada Siswa Kelas IV SDNKalibanteng Kidul 02” benar-benar hasil karya penulis sendiri, bukan jiplakan karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Apabila terbukti bahwa pernyataan ini tidak benar, sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

Semarang, Juli 2013 Penulis,

Siti Nurcholifah


(3)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi atas nama Siti Nurcholifah NIM 1401409173, dengan judul ”Peningkatan Kualitas Pembelajaran IPA Melalui Pendekatan Kooperatif Tipe Think-Pair-Sharedengan Media Audiovisual pada Siswa Kelas IV SDNKalibanteng Kidul 02”, telah disetujui oleh dosen pembimbing untuk diajukan ke Sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang, pada :

hari :Rabu

tanggal :10 Juli 2013

Semarang, 10 Juli 2013

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr.Sri Sulistyorini, M.Pd NIP.195805171983032002

Drs. A. Zaenal Abidin, M.Pd NIP.195605121982031003

Mengetahui

Ketua Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar


(4)

 

iv 

NIP.195510051980122001

PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi atas nama Siti Nurcholifah NIM 1401409173, dengan judul ”Peningkatan Kualitas Pembelajaran IPA Melalui Pendekatan Kooperatif Tipe Think-Pair-Sharedengan Media Audiovisual pada Siswa Kelas IV SDNKalibanteng Kidul 02”, telah dipertahankan di hadapan Sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang, pada :

hari : Jumat

tanggal :26 Juli 2013

Panitia Ujian

Ketua Sekretaris

Drs. Hardjono, M.Pd NIP. 19510801 197903 1 007

Fitria Dwi Prasetyaningtyas, S.Pd., M.Pd NIP. 19850606 200912 2 007

Penguji Utama

Sutji Wardhayani, S.Pd., M.Kes NIP 19520221 197903 2 001

Penguji I Penguji II


(5)

(6)

 

vi 

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto

Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

(QS. Al Baqarah)

Barang siapa menempuh jalan untuk menempuh ilmu, maka Allah akan memudahkan orang itu karena ilmu tersebut jalan menuju surga. (HR. Muslim)

Persembahan

Dengan mengucap rasa syukur kepada Allah SWT Dan sholawat kepada Muhammad SAW Karya ini saya persembahkan kepada:

Kedua orang tuaku (Bakir dan Lusiyah) Yang selalu memberi dukunganuntuk terus bersemangat dalam mewujudkan cita-citaku


(7)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia, dan berkah-Nya sehingga penulis mendapat bimbingan dan kemudahan dalam menyelesaikan penyusunan Skripsi dengan judul “Peningkatan Kualitas Pembelajaran IPA Melalui Pendekatan Kooperatif Tipe Think-Pair-Share dengan Media Audiovisual pada Siswa Kelas IV SDN Kalibanteng Kidul 02”. Skripsi ini merupakan syarat akademis dalam menyelesaikan pendidikan S1 Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang.

Di dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M. Hum., Rektor Universitas Negeri Semarang. 2. Drs. Hardjono, M.Pd., Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan.

3. Dra. Hartati, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar.

4. Dr. Sri Sulistyorini,M.Pd., Dosen Pembimbing I, yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

5. Drs. A. Zaenal Abidin, M. Pd., Dosen Pembimbing II, yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 6. Jumari, S.Pd. I., Kepala SDN Kalibanteng Kidul 02 Semarang yang telah

memberikan ijin kepada penulis untuk mengadakan penelitian.

7. Meka Sudesti, S.Pd., guru kelas IV SDN Kalibanteng Kidul 02 Semarang yang telah membantu penulis sebagai kolaborator dalam pelaksanaan penelitian.

8. Seluruh guru dan karyawan serta siswa SDN Kalibanteng Kidul 02 Semarang yang telah membantu penulis melaksanakan penelitian.

9. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.


(8)

 

viii 

Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita tawakal dan memohon hidayah dan inayah-Nya. Semoga skripsi yang sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Semarang, Juli2013


(9)

ABSTRAK

Siti Nurcholifah. 2013. Peningkatan Kualitas Pembelajaran IPAMelalui Pendekatan Kooperatif Tipe Think-Pair-Share dengan Media Audiovisual pada Siswa Kelas IV SDN Kalibanteng Kidul 02. Skripsi, Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing (1) Dr. Sri Sulistyorini, M.Pd., dan Pembimbing (2) Drs. A. Zaenal Abidin, M.Pd.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti bahwa pembelajaran IPA di kelas IV SDN Kalibanteng Kidul 02belum optimal. Dalam pelaksanaannya guru menerapkan model pembelajaran yang kurang menarik,kurang melibatkan siswa secara aktif, kerjasama siswa dalam kelompok kurang efektif, kurangnya penggunaan media pembelajaran, dan hasil belajar rendah.Dengan memperhatikan kendala tersebut perlu diupayakan peningkatan kualitas pembelajaran IPA melalui pendekatan kooperatif tipe think-pair-share dengan media audiovisual karena siswa akan berpikir secara individu dan bekerjasama dalam kelompok berpasangan secara optimal sehingga dapat meningkatkan keterampilan guru, aktivitas siswa, dan hasil belajar.

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah pendekatan kooperatif tipe think-pair-share dengan media audiovisual dapat meningkatkan keterampilan guru, aktivitas siswa, dan hasil belajar siswa kelas IV SDN Kalibanteng Kidul 02. Tujuan penelitian ini adalah meningkatkan kualitas pembelajaran IPA melalui pendekatan kooperatif tipe think-pair-share dengan media audiovisual pada siswa kelas IV SDN Kalibanteng Kidul 02.

Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam tiga siklus. Setiap siklus terdiri atas empat tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Subjek penelitian adalah guru dan siswa kelas IV SDN Kalibanteng Kidul 02. Teknik pegumpulan data menggunakan tes, observasi/pengamatan, dokumentasi, angket, dan catatan lapangan.

Hasil penelitian ini menunjukkan perolehan skor keterampilan guru siklus I pertemuan 1yaitu23(cukup), siklus I pertemuan 2 yaitu 31 (baik), siklus II pertemuan 1 yaitu 32 (baik), siklus II pertemuan 2 yaitu 34 (sangat baik), pada siklus III pertemuan 1 yaitu 35 (sangat baik), dan siklus III pertemuan 2 yaitu 36 (sangat baik). Perolehan skor aktivitas siswa pada siklus I pertemuan 1yaitu12,06(cukup), siklus I pertemuan 2 yaitu 14,32 (cukup), siklus II pertemuan 1 yaitu 15,53 (baik), siklus II pertemuan 2 yaitu 16,25 ( baik), siklus III pertemuan 1 yaitu 17,33 (baik), dan siklus III pertemuan 2 yaitu 18,75 (baik). Ketuntasan hasil belajar kognitif siswa meningkat yaitu pada siklus 1 diperoleh rata-rata63,47dengan ketuntasan belajar 55,56%,siklus II diperoleh rata-rata 74,16dengan ketuntasan belajar 83,33%,dan siklus III diperoleh rata-rata 77,76dengan ketuntasan belajar 88,89%.

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa pembelajaran IPA melalui pendekatan kooperatif tipe think-pair-share dengan media audiovisual dapat meningkatkan keterampilan guru, aktivitas siswa dan hasil belajar siswa.


(10)

 

Disarankandapat menjadi salah satu alternatif dalam meningkatkan kualitas pembelajaran IPA.

Kata kunci : kualitas pembelajaran, IPA, TPS dan media audiovisual

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN…... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN ... iv

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR BAGAN ... xii

DAFTAR DIAGRAM ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan dan Pemecahan Masalah………... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori ... 11

2.1.1. Hakikat Belajar ... 11

2.1.2. Hakikat Pembelajaran ... 12

2.1.3. Kualitas Pembelajaran ... 14


(11)

2.1.5. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar ... 34

2.1.6. Pembelajaran Kooperatif ... 36

2.1.7. Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share ...………... 42

2.1.8. Media Audiovisual... 47

2.1.9. Indikator Keterampilan Guru dan Aktivitas Siswa Melalui Pendekatan Kooperatif Tipe Think-Pair-Share dengan Media Audiovisual …... 52

2.2. Kajian Empiris ... 53

2.3. Kerangka Berfikir ... 55

2.4. Hipotesis Tindakan ... 57

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Subyek Penelitian ... 58

3.2. Variabel Penelitian ... 58

3.3. Prosedur dan Langkah-Langkah Penelitian Tindakan Kelas ... 58

3.4. Siklus Penelitian ... 62

3.5. Data dan Cara Pengumpulan Data... 79

3.6. Teknik Analisis Data ... 82

3.7. Indikator Keberhasilan ... 89

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian ... 90

4.2. Pembahasan ... 187

BAB V PENUTUP 5.1. Simpulan ... 209

5.2. Saran ... 211


(12)

 

xii 

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tahap Perkembangan Kognitif Menurut Piaget ..……….. 35

Tabel 3.1 KKM IPA SDN Kalibanteng Kidul 02... 83

Tabel 3.2 Kategori Tingkat Ketuntasan Hasil Belajar Siswa ... 84

Tabel 3.3 Pedoman Penskoran Keterampilan Guru dan Aktivitas Siswa.. 86

Tabel 3.4 Kriteria Skor Keterampilan Guru ... 87

Tabel 3.5 Kriteria Skor Aktivitas Siswa ... 88

Tabel 4.1 Hasil Belajar Pra Siklus ... 92

Tabel 4.2 Hasil Observasi Keterampilan Guru Siklus I ... 105

Tabel 4.3 Hasil Observasi Aktivitas Siswa Siklus I ... 113

Tabel 4.4 Hasil Belajar Siswa Siklus I ... 119

Tabel 4.5 Data Respon Siswa Siklus I ... 122

Tabel 4.6 Hasil Observasi Keterampilan Guru Siklus II ... 138

Tabel 4.7 Hasil Observasi Aktivitas Siswa Siklus II ... 145

Tabel 4.8 Hasil Belajar Siswa Siklus II ... 150

Tabel 4.9 Data Hasil Respon Siswa Siklus II ... 153

Tabel 4.10 Hasil Observasi Keterampilan Guru Siklus III ... 168

Tabel 4.11 Hasil Observasi Aktivitas Siswa Siklus III ... 175

Tabel 4.12 Hasil Belajar Siswa Siklus III ... 180

Tabel 4.13 Data Hasil Respon Siswa Siklus III ... 183

Tabel 4.14 Peningkatan Keterampilan Guru Siklus I, Siklus II, dan Siklus III ... 188

Tabel 4.15 Peningkatan Aktivitas Siswa Siklus I, Siklus II, dan Siklus III 196 Tabel 4.16 Rekapitulasi Hasil Belajar Pra Siklus, Siklus I, Siklus II, dan Siklus III ... 202


(13)

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Bagan 2.2

Tingkatan Taksonomi Bloom Revisi…... Kerucut Pengalaman Edgar Dale...………...…….

30 52 Bagan 2.3 Kerangka Berpikir ... 55 Bagan 3.1 Model Penelitian Tindakan Kelas ... 59


(14)

 

xiv 

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 4.1 Distribusi Nilai Hasil Belajar Siswa Pra Siklus...………... 93

Diagram 4.2 Hasil Belajar Klasikal Pra Siklus ... 94

Diagram 4.3 Hasil Observasi Keterampilan Guru Siklus I...………….... 106

Diagram 4.4 Hasil Observasi Aktivitas Siswa Siklus I ... 114

Diagram 4.5 Distribusi Nilai Hasil Belajar Siswa Siklus I ... 120

Diagram 4.6 Hasil Belajar Klasikal Siklus I ... 121

Diagram 4.7 Respon Siswa Siklus I ... 122

Diagram 4.8 Hasil Observasi Keterampilan Guru Siklus II ... 139

Diagram 4.9 Hasil Observasi Aktivitas Siswa Siklus II ... 146

Diagram 4.10 Distribusi Nilai Hasil Belajar Siswa Siklus II ... 151

Diagram 4.11 Hasil Belajar Klasikal Siklus II ... 152

Diagram 4.12 Respon Siswa Siklus II ... 154

Diagram 4.13 Hasil Observasi Keterampilan Guru Siklus III ... 169

Diagram 4.14 Hasil Observasi Aktivitas Siswa Siklus III ... 176

Diagram 4.15 Distribusi Nilai Hasil Belajar Siswa Siklus III ... 181

Diagram 4.16 Hasil Belajar Klasikal Siklus III ... 182

Diagram 4.17 Respon Siswa Siklus III ... 184

Diagram 4.18 Peningkatan Skor Tiap Indikator Keterampilan Guru Siklus I, Siklus II, dan Siklus III ... 189

Diagram 4.19 Peningkatan Keterampilan Guru Siklus I, Siklus II, dan Siklus III ... 189

Diagram 4.20 Peningkatan Skor Tiap Indikator Aktivitas Siswa Siklus I, Siklus II, dan Siklus III ... 197

Diagram 4.21 Peningkatan Aktivitas Siswa Siklus I, Siklus II, dan Siklus III 198 Diagram 4.22 Rekapitulasi Ketuntasan Klasikal Data Pra Siklus, Siklus I, Siklus II, dan Siklus III ... 203 Diagram 4.23 Rekapitulasi Peningkatan Rata-Rata Hasil Belajar Siswa 203


(15)

Data Siklus I, Siklus II, dan Siklus III ...

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kisi-Kisi Instrumen Penelitian ... 216

Lampiran 2 Lembar Pengamatan Keterampilan Guru ... 219

Lampiran 3 Lembar Pengamatan Aktivitas Siswa ... 224

Lampiran 4 Angket Respon Siswa ... 228

Lampiran 5 Catatan Lapangan ... 229

Lampiran 6 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ... 230

Lampiran 7 Data Awal Nilai Ulangan IPA Kelas IV ... 293

Lampiran 8 Hasil Observasi Keterampilan Guru Siklus I ... 295

Lampiran 9 Hasil Observasi Keterampilan Guru Siklus II ... 297

Lampiran 10 Hasil Observasi Keterampilan Guru Siklus III ... 299

Lampiran 11 Tabel Rekapitulasi Data Hasil Keterampilan Guru Siklus I, Siklus II, dan Siklus III ... 301

Lampiran 12 Hasil Observasi Aktivitas Siswa Siklus I Pertemuan 1 ... 302

Lampiran 13 Hasil Observasi Aktivitas Siswa Siklus I Pertemuan 2 ... 304

Lampiran 14 Hasil Observasi Aktivitas Siswa Siklus II Pertemuan 1 ... 306

Lampiran 15 Hasil Observasi Aktivitas Siswa Siklus II Pertemuan 2 ... 308

Lampiran 16 Hasil Observasi Aktivitas Siswa Siklus III Pertemuan 1 ... 310

Lampiran 17 Hasil Observasi Aktivitas Siswa Siklus III Pertemuan 2 ... 312

Lampiran 18 Tabel Rekapitulasi Data Hasil Aktivitas Siswa Siklus I, Siklus II, dan Siklus III ... 314

Lampiran 19 Data Hasil Belajar Siswa Siklus I... 315

Lampiran 20 Data Hasil Belajar Siswa Siklus II ... 317

Lampiran 21 Data Hasil Belajar Siswa Siklus III ... 319

Lampiran 22 Tabel Rekapitulasi Data Hasil Belajar Siswa Siklus I, Siklus II, dan Siklus III ... 321

Lampiran 23 Data Hasil Angket Respon Siswa Siklus I ... 323


(16)

 

xvi 

Lampiran 25 Data Hasil Angket Respon Siswa Siklus III... 325

Lampiran 26 Tabel Rekapitulasi Angket Respon Siswa Siklus I, Siklus II, dan Siklus III ... 326

Lampiran 27 Catatan Lapangan Siklus I Pertemuan 1 ... 327

Lampiran 28 Catatan Lapangan Siklus I Pertemuan 2 ... 330

Lampiran 29 Catatan Lapangan Siklus II Pertemuan 1 ... 333

Lampiran 30 Catatan Lapangan Siklus II Pertemuan 2 ... 336

Lampiran 31 Catatan Lapangan Siklus III Pertemuan 1 ... 339

Lampiran 32 Catatan Lapangan Siklus III Pertemuan 2 ... 342

Lampiran 33 Foto Kegiatan Pembelajaran ... 345


(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kegiatan berdoa bersama dan pengkondisian kelas ... 345 Gambar 2 Guru menyampaikan apersepsi dan menuliskan pokok

bahasan... 345 Gambar 3 Guru menampilkan media audiovisual menggunakan

LCD... 345 Gambar 4 Guru menjelaskan materi pelajaran ... 346 Gambar 5 Siswa memikirkan jawaban kemudian menuliskan hasil

pemikirannya secara individu (Tahap think atau

berpikir)………... 346

Gambar 6 Siswa berdiskusi dan guru membimbing jalannya diskusi kelompok(tahap pair atau berpasangan)………... 346 Gambar 7 Guru menunjuk satu kelompok yang mengacungkan jari dan

kelompok yang tertunjuk mempresentasikan hasil

diskusinya(tahap share atau

berbagi)…...

347

Gambar 8 Guru menyimpulkan hasil diskusi dan memberi reward kepada kelompok presentasi………... 347 Gambar 9 Siswa mengerjakan soal evaluasi lalu mengumpulkan hasil


(18)

 

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Menurut Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. (Sanjaya, 2006:2)

Berdasarkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar tingkat SD/MI dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 22 tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar bahwa Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. (Permendiknas, 2006:484)


(19)

Tujuan pembelajaran IPA di SD yang tercantum di dalam lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 antara lain agar siswa memiliki kemampuan: (1) memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaanNya, (2) mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, (3) mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan, (4) mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi, dan masyarakat, (5) meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam, (6) meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan, (7) memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs. (Permendiknas, 2006:484-485)

Namun berdasarkan survei yang dilakukan oleh TIMSS, diduga kurikulum IPA di Indonesia belum diimplementasikan oleh kebanyakan sekolah. Hal ini diperkuat oleh Dasar pemikiran yang ditulis pada Panduan Seminar Sehari Hasil Studi Internasional Prestasi Siswa Indonesia dalam Bidang Matematika, Sains, dan Membaca, yang menyebutkan bahwa salah satu sebab rendahnya mutu lulusan adalah belum efektifnya proses pembelajaran. Proses pembelajaran selama ini masih terlalu berorientasi terhadap penguasaan teori dan hafalan dalam semua bidang studi yang menyebabkan kemampuan belajar peserta didik menjadi


(20)

3  

 

terhambat. Metode pembelajaran yang terlalu berorientasi kepada guru (teacher centered) cenderung mengabaikan hak-hak dan kebutuhan, serta pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga proses pembelajaran yang menyenangkan, mengasyikkan, dan mencerdaskan kurang optimal (Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran IPA, 2007:14). Demikian juga hasil penelitian yang diselenggarakan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) melalui program PISA (Programme for International Student Assessment) untuk anak usia 15 tahun tentang asesmen hasil belajar sains pada level internasional membuktikan bahwa masih lemahnya kemampuan siswa dalam bidang sains khususnya literasi sains.(Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran IPA, 2007:1).

Berdasarkan hasil observasi yang dilaksanakan pada saat Praktik Pengalaman Lapangan 1 (PPL 1) yaitu tanggal 30 Juli 2012 sampai dengan 9 Agustus 2012 di SDN Kalibanteng Kidul 02 Semarang, ditemukan fakta permasalahan dalam pelaksanaan pembelajaran IPA. Proses pembelajaran yang berlangsung masih belum optimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu dari guru, siswa, sumber dan media pembelajaran. Dari segi guru antara lain: (1) dalam pelaksanaan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam guru menerapkan model pembelajaran yang kurang menarik perhatian siswa, (2) guru sering membentuk kelompok-kelompok besar dalam pembelajaran, (3) kurangnya inisiatif guru untuk mengakomodasi kelompok secara berpasangan, dan (4) guru kurang memberi kesempatan siswa untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Dari segi siswa antara lain: (1) tugas hanya dikerjakan oleh salah


(21)

satu atau beberapa orang saja dalam kelompok, (2) tidak semua siswa memikirkan jawaban dari pertanyaan yang diajukan oleh guru, (3) interaksi dan kerjasama siswa yang efektif antar anggota kelompok masih sangat kurang, dan (4) kondisi kelas yang gaduh dan sulit terkontrol. Sedangkan dari segi sumber dan media pembelajaran yaitu (1) konsep yang diterima siswa hanya dari buku paket dan dari apa yang disampaikan guru saja, dan (2) kurangnya guru mengoptimalkan penggunaan media pembelajaran.

Permasalahan tersebut ditunjukkan dengan data pencapaian hasil belajar IPA siswa kelas IV SDN Kalibanteng Kidul 02 yang belum optimal, yaitu hanya 13 dari 36 siswa (36,11%) yang mendapatkan nilai ≥ 61 atau yang mengalami belajar tuntas. Sedangkan 23 dari 36 siswa (63,89%) yang lain mendapat nilai < 61 atau belum mengalami belajar tuntas. Pencapaian nilai terendah siswa adalah 39 dan nilai tertinggi yang diperoleh siswa adalah 94 dengan nilai rata-rata kelas yaitu 61,78.

Berdasarkan data hasil belajar dan pengamatan aktivitas siswa di atas, masalah tersebut merupakan masalah yang mendesak untuk segera dipecahkan karena berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Untuk itu perlu upaya untuk mengadakan perbaikan dan peningkatan kualitas pembelajaran IPA supaya siswa menjadi lebih aktif dalam pembelajaran dan dapat memahami konsep-konsep IPA dengan baik sehingga hasil belajar dapat meningkat serta dapat memenuhi kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan sekolah. Dan alternatif tindakan yang dipilih peneliti dalam memecahkan masalah tersebut yaitu penerapan pendekatan kooperatif tipe Think-Pair-Share dengan media audiovisual.


(22)

5  

 

Pendekatan kooperatif tipe Think-Pair-Share merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi (Trianto, 2009:81). Hal ini sejalan dengan pendapat dari Isjoni (2012:78) yang menyatakan bahwa model ini memberi siswa kesempatan untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang lain. Lebih banyak kesempatan untuk kontribusi setiap anggota kelompok, interaksi lebih mudah, sehingga siswa lebih aktif dalam pembelajaran . Dari kedua pendapat tersebut, keunggulan Think-Pair-Share jelas terlihat bahwa model pembelajaran Think-Pair-Share dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran, baik secara individu maupun secara kelompok seperti membaca, menulis, mendengarkan, bertanya, menjawab, maupun mengungkapkan pendapatnya dalam diskusi. Model pembelajaran ini memungkinkan siswa untuk belajar secara mandiri maupun bekerja sama dengan siswa lain, sehingga seluruh siswa dapat berkesempatan berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran.

Pendekatan kooperatif tipe Think-Pair-Share divariasikan dengan media audiovisual. Media audiovisual merupakan media yang memungkinkan seseorang tidak hanya dapat melihat atau mengamati sesuatu, melainkan sekaligus dapat mendengar sesuatu yang divisualisasikan (Anitah, 2010:49). Hal ini bertujuan untuk meningkatkan motivasi dan menarik minat belajar siswa dalam mengikuti pembelajaran IPA.

Pernyataan di atas didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (1) Eka Yudha Ardhiyanto tahun 2011 yang berjudul Peningkatan Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran IPA dengan Menggunakan Pendekatan Kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) melalui CD Interaktif Siswa Kelas VA SD Negeri Tambakaji


(23)

04. Hasil penelitiannya menunjukkan dengan menggunakan pendekatan kooperatif tipe Think Pair Share dapat meningkatkan keterampilan guru, aktivitas siswa, dan hasil belajar siswa. (2) Erlina Novi Kusumayati tahun 2012 yang berjudul Peningkatan Kualitas Pembelajaran IPA Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share pada Siswa Kelas V-B SDN Tambakaji 05 Semarang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwaketerampilan guru, aktivitas siswa dan prestasi belajar siswa melalui penerapan model pembelajaran kooperatif tipeThink Pair Share ini dapat meningkat.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka peneliti akan mengkaji permasalahan melalui penelitian tindakan kelas dengan judul “Peningkatan Kualitas Pembelajaran IPA Melalui Pendekatan Kooperatif Tipe Think-Pair-Share dengan Media Audiovisual pada Siswa Kelas IV SDN Kalibanteng Kidul 02”.

1.2 PERUMUSAN MASALAH DAN PEMECAHAN MASALAH

1.2.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut :

1.2.1.1 Rumusan Umum

Apakah pendekatan kooperatif tipe Think-Pair-Share dengan media audiovisual dapat meningkatkan kualitas pembelajaran IPA pada siswa kelas IV SDN Kalibanteng Kidul 02?


(24)

7  

  1.2.1.2 Rumusan Khusus

a. Apakah pendekatan kooperatif tipe Think-Pair-Share dengan media audiovisual dapat meningkatkan keterampilan guru dalam pembelajaran IPA kelas IV SDN Kalibanteng Kidul 02?

b. Apakah pendekatan kooperatif tipe Think-Pair-Sharedengan media audiovisual dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam mengikuti pembelajaran IPA kelas IV SDN Kalibanteng Kidul 02?

c. Apakah pendekatan kooperatif tipe Think-Pair-Sharedengan media audiovisual dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas IV SDN Kalibanteng Kidul 02?

1.2.2 Pemecahan Masalah

Dari rumusan masalah tersebut maka alternatif tindakan yang dapat dilakukan sebagai pemecahan masalah adalah dengan pendekatan kooperatif tipe

Think-Pair-Share dengan media audiovisual. Tahap-tahapannya adalah sebagai

berikut:

1. Menyusun RPP sesuai dengan model pembelajaran Think-Pair-Share dengan media audiovisual.

2. Mempersiapkan media pembelajaran yang berupa media audiovisual.

3. Melaksanakan pembelajaran yang sesuai dengan RPP yang telah disusun. Guru menggunakan langkah pembelajaran Think-Pair-Share (Suprijono, 2009:91) sebagai berikut:


(25)

a. Berpikir (Thinking), guru mengajukan pertanyaan atau isu yang terkait dengan pelajaran untuk dipikirkan oleh siswa. Guru memberikan kesempatan kepada mereka memikirkan jawabannya.

b. Berpasangan (Pairing), guru meminta siswa berpasang-pasangan. Disini guru memberi kesempatan kepada pasangan-pasangan itu untuk berdiskusi.

c. Berbagi (Sharing), siswa bersama pasangannya mempresentasikan hasil diskusi pada semua teman.

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut:

1.3.1 Tujuan Umum

Meningkatkan kualitas pembelajaran IPA melalui pendekatan kooperatif tipe Think-Pair-Share dengan media audiovisual pada siswa kelas IV SDN Kalibanteng Kidul 02.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Meningkatkan keterampilan guru dalam pembelajaran IPA melalui pendekatan kooperatif tipe Think-Pair-Share dengan media audiovisual pada siswa kelas IV SDN Kalibanteng Kidul 02.

b. Meningkatkan aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran IPA melalui pendekatan kooperatif tipe Think-Pair-Share dengan media audiovisual pada siswa kelas IV SDN Kalibanteng Kidul 02.


(26)

9  

 

c. Meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPA dengan pendekatan kooperatif tipe Think-Pair-Share dengan media audiovisual pada siswa kelas IV SDN Kalibanteng Kidul 02.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

1.4.1Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya pada pendidikan sekolah dasar.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: 1.4.2.1 Bagi Siswa

a. Menumbuhkan minat belajar siswa pada

pembelajaran IPA, sehingga IPA menjadi mata pelajaran yang menarik bagi siswa.

b. Meningkatkan aktivitas siswa dalam proses

pembelajaran.

c. Mengembangkan keterampilan siswa untuk

mampu memecahkan permasalahan. 1.4.2.2 Bagi Guru

a. Dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengevaluasi terhadap pembelajaran yang sudah berlangsung.


(27)

c. Membantu guru untuk menyelesaikan masalah-masalah pembelajaran. d. Membuat guru lebih kreatif dalam pelaksanaan proses pembelajaran. 1.4.2.3 Bagi Sekolah

a. Digunakan sebagai

pertimbangan dalam memotivasi guru untuk melaksanakan proses pembelajaran yang efektif dan efisien dengan menerapkan pendekatan kooperatif tipe think-pair-share dengan media audiovisual.

b. Menumbuhkan

kerja sama antar guru yang berdampak positif pada kualitas pembelajaran di sekolah.


(28)

 

11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 KAJIAN TEORI

2.1.1 Hakikat Belajar

Pengertian belajar menurut Slameto(2010:2) ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Burton (dalam Usman, 2011:5) menyebutkan bahwa seseorang setelah mengalami proses belajar akan mengalami perubahan tingkah laku, baik aspek pengetahuannya, keterampilannya, maupun aspek sikapnya. Dapat dikatakan berhasil diantaranya ditandai dengan terjadinya perubahan tingkah laku pada diri individu yang belajar.

Belajar menurut Gagne(dalam Rifa’i 2009:84) merupakan sebuah sistem yang di dalamnya terdapat pelbagai unsur yang saling kait-mengait sehingga menghasilkan perubahan perilaku. Beberapa unsur yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a) Pembelajar

Pembelajar dapat berupa peserta didik, pembelajar, warga belajar, dan peserta latihan.

b) Rangsangan(stimulus)

Peristiwa yang merangsang penginderaan pembelajaran disebut situasi stimulus. Agar pembelajar mampu belajar optimal, ia harus memfokuskan pada stimulus tertentu yang diminati.

c) Memori


(29)

pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dihasilkan dari aktivitas belajar sebelumnya.

d) Respon

Tindakan yang dihasilkan dari aktualisasi memori disebut respon. Pembelajar yang sedang mengamati stimulus, maka memori yang ada di dalam dirinya kemudian memberikan respon terhadap stimulus tersebut.

Dari beberapa pengertian belajar menurut para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh perubahan perilaku yang relatif dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik, yang diperoleh melalui interaksi individu dengan lingkungannya.

2.1.2 Hakikat Pembelajaran

Beberapa pakar pendidikan (dalam Rifa’i, 2009:191) menerangkan tentang pengertian pembelajaran, yaitu sebagai berikut:

1) Briggs (1992) menyatakan bahwa pembelajaran merupakan seperangkat peristiwa (events) yang mempengaruhi peserta didik sedemikian rupa sehingga peserta didik itu memperoleh kemudahan.

2) Gagne (1981) menyatakan bahwa pembelajaran merupakan serangkaian peristiwa eksternal peserta didik yang dirancang untuk mendukung proses internal belajar.

Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran adalah upaya yang dilakukan guru untuk menciptakan kondisi yang kondusif dalam proses membelajarkan siswa sehingga dapat mencapai tujuan tertentu.


(30)

13  

 

Jika pembelajaran dilihat dari pendekatan sistem, ada beberapa komponen yang terlibat dalam proses pembelajaran. Menurut Rifa’i (2009:194) komponen-komponen pembelajaran tersebut yakni:

1) Tujuan

Tujuan yang secara eksplisit diupayakan agar pencapaiannya melalui kegiatan pembelajaran adalah instructional effect. Biasanya berupa pengetahuan, dan keterampilan atau sikap yang dirumuskan secara eksplisit dalam TPK semakin spesifik dan operasional.

2) Subyek belajar

Subyek belajar merupakan komponen yang utama karena berperan sebagai subyek sekaligus obyek. Sebagai subyek karena peserta didik adalah individu yang melakukan proses belajar-mengajar. Sebagai obyek karena kegiatan pembelajaran diharapkan dapat mencapai perubahan perilaku pada diri subyek belajar.

3) Materi pelajaran

Materi pelajaran akan memberi warna yang dan bentuk dari kegiatan pembelajaran. Materi pelajaran yang komprehensif dan terorganisasi secara sistematis dan dideskripsikan dengan jelas akan berpengaruh juga tehadap intensitas proses pembelajaran.

4) Strategi pembelajaran

Srategi pembelajaran merupakan pola umum mewujudkan proses pembelajaran yang diyakini efektivitasnya untuk mencapai tujuan pembelajaran.


(31)

5) Media pembelajaran

Media pembelajaran merupakan alat/wahana yang digunakan pendidik dalam proses pembelajaran untuk membantu penyampaian pesan pembelajaran.

6) Penunjang

Komponen penunjang yang dimaksud dalam sistem pembelajaran adalah fasilitas belajar, buku sumber, alat pelajaran, bahan pelajaran, dan semacamnya. Komponen penunjang berfungsi memperlancar, melengkapi, dan mempermudah terjadinya proses pembelajaran.

Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa dalam suatu sistem pembelajaran terdapat komponen-komponen yang saling terkait, yang dapat mendukung proses pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu.

2.1.3 Kualitas Pembelajaran

2.1.3.1 Pengertian Kualitas Pembelajaran

Kualitas pembelajaran artinya mempersoalkan bagaimana kegiatan pembelajaran yang dilakukan selama ini dilakukan berjalan dengan baik serta menghasilkan luaran yang baik pula (Uno, 2011:153). Menurut Etzironi (dalam Hamdani, 2011:194) bahwa kualitas dapat dimaknai dengan istilah mutu atau keefektifan secara definitif, efektifitas dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan atau sasarannya. Efektivitas merupakan suatu konsep yang lebih luas mencakup berbagai faktor di dalam maupun di luar diri seseorang.


(32)

15  

 

Dari kedua pendapat tersebut, kualitas pembelajaran dapat dimaknai sebagai mutu atau keefektifan suatu pembelajaran, mengacu pada usaha menciptakan keadaan yang baik untuk memperoleh hasil yang baik sebagai tingkat keberhasilannya sehingga dapat mencapai tujuan atau sasarannya.

2.1.3.2 Indikator Kualitas Pembelajaran

Indikator kualitas pembelajaran menurut DIKTI (2004:7) dalam buku “Peningkatan Kualitas Pembelajaran” antara lain adalah sebagai berikut:

a. Perilaku pembelajaran guru, dapat dilihat dari kinerjanya yaitu:

1) Membangun persepsi dan sikap positif siswa terhadap belajar dan guru. 2) Menguasai disiplin ilmu berkaitan dengan keluasan dan kedalaman

jangkauan substansi dan metodologi dasar keilmuan, serta mampu memilih, menata, mengemas dan merepresentasikan materi sesuai dengan kebutuhan mahasiswa.

3) Agar dapat memberikan layanan pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan siswa, guru perlu memahami keunikan siswa dengan segenap kelebihan, kekurangan, dan kebutuhannya. Memahami lingkugan keluarga, sosial budaya, dan kemajemukan masyarakat tempat siswa berkembang.

4) Menguasai pengelolaan pembelajaran yang mendidik berorientasi pada siswa tercermin dalam kegiatan merencanakan, melaksanakan, serta mengevaluasi pembelajaran secara dinamis, untuk membentuk kompetensi siswa yang dikehendaki.


(33)

5) Mengembangkan kepribadian sebagai kemampuan untuk dapat mengetahui, mengukur, dan mengembangkan kemampuannya secara mandiri.

b. Perilaku dan dampak belajar peserta didik, dapat dilihat dari kompetensinya antara lain:

1) Memiliki persepsi dan sikap positif terhadap belajar, termasuk didalamnya persepsi dan sikap terhadap mata pelajaran, guru, media, dan fasilitas belajar serta iklim belajar.

2) Mau dan mampu mendapatkan dan mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan serta membangun sikapnya.

3) Mau dan mampu memperluas serta memperdalam pengetahuan dan keterampilan serta memantapkan sikapnya.

4) Mau dan mampu menerapkan pengetahuan, keterampilan, dan sikapnya secara bermakna .

5) Mau dan mampu membangun kebiasaan berfikir, bersikap, dan bekerja produktif.

c. Iklim pembelajaran meliputi:

1) Suasana kelas yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya kegiatan pembelajaran yang berkembangnya kegiatan pembelajaran yang menarik, menantang, menyenangkan dan bermakna bagi pembentukan profesionalitas kependidikan.

2) Perwujudan nilai dan semangat ketauladanan, prakarsa, dan kreativitas guru.


(34)

17  

 

d. Materi pembelajaran yang berkualitas, tampak dari:

1) Kesesuaiannya dengan tujuan pembelajaran dan kompetensi yang harus dikuasai siswa.

2) Ada keseimbangan antara keluasaan dan kedalaman materi dengan waktu yang tersedia.

3) Materi pembelajaran sistematis dan kontekstual.

4) Dapat mengakomodasikan partisipasi aktif siswa dal;am belajar semaksimal mungkin.

5) Dapat menarik manfaat yang optimal dari perkembangan dan kemajuan bidang ilmu, teknologi, dan seni.

6) Materi pembelajaran memenuhi kriteria filosofis, profesional, psiko-pedagogis dan praktis.

e. Kualitas media pembelajaran, antara lain:

1) Dapat menciptakan pengalaman belajar yang bermakna.

2) Mampu memfasilitasi proses interaksi antara siswa dan sisiwa, siswa dengan dosen, serta siswa dengan ahli bidang ilmu yang relevan.

3) Media pembelajaran dapat memperkaya pengalaman belajar siswa. 4) Melalui media pembelajaran, mampu mengubah suasana belajar dari

siswa yang pasif menjadi aktif berdiskusi dan mencari informasi melalui berbagai sumber belajar yang ada.

Dari kelima indikator yang dijelaskan di atas sudah ada dan sudah tercapai dalam pembelajaran. Namun indikator yang perlu ditingkatkan dalam penelitian ini adalah perilaku pembelajaran guru dan dampak belajar peserta didik. Dari dua


(35)

hal tersebut dalam mengamati kualitas pembelajaran terdapat tiga unsur yaitu keterampilan guru, aktivitas siswa, dan hasil belajar. Ketiga unsur tersebut diuraikan sebagai berikut:

2.1.3.2.1 Keterampilan Guru

Mengajar pada hakikatnya merupakan suatu proses mengatur dan mengorganisasikan lingkungan yang ada di sekitar siswa sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong siswa melakukan proses belajar (Hamdani, 2011:17). Sedangkan menurut Sardiman (2011:47) mengajar merupakan suatu usaha untuk menciptakan kondisi atau sistem lingkungan yang mendukung dan memungkinkan untuk berlangsungnya proses belajar. Untuk mengatur dan menciptakan lingkungan yang kondusif maka guru perlu menguasai keterampilan-keterampilan yang disebut dengan keterampilan-keterampilan dasar mengajar guru.

Menurut hasil penelitian Turney (dalam Mulyasa, 2011:69) terdapat 8 keterampilan mengajar yang harus dikuasai guru, yaitu: 1) keterampilan bertanya; 2) keterampilan memberi penguatan; 3) keterampilan mengadakan variasi; 4) keterampilan menjelaskan; 5) keterampilan membuka dan menutup pelajaran; 6) keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil; 7) keterampilan mengelola kelas; 8) keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan. 8 keterampilan dasar mengajar tersebut secara rinci dijelaskan sebagai berikut:

a. Keterampilan bertanya

Keterampilan bertanya sangat perlu dikuasai guru untuk menciptakan pembelajaran yang efektif dan menyenangkan, karena dalam hampir setiap tahap pembelajaran guru dituntut untuk mengajukan pertanyaan, dan


(36)

19  

 

kualitas pertanyaan yang diajukan guru akan menentukan kualitas jawaban peserta didik. (Mulyasa, 2011:70).

Dalam proses pembelajaran, bertanya memainkan peranan penting karena pertanyaan yang tersusun dengan baik dan teknik melontarkan pertanyaan yang tepat akan memberikan dampak positif terhadap siswa, yaitu: (a) meningkatkan pastisipasi siswa dalam kegiatan pembelajaran, (b) membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa terhadap suatu masalah yang sedang dibicarakan, (c) Mengembangkan pola pikir dan cara belajar aktif dari siswa, karena pada hakikatnya berpikir itu sendiri sesungguhnya adalah bertanya, (d) Menuntun proses berpikir siswa, sebab pertanyaan yang baik akan membantu siswa agar dapat menentukan jawaban yang baik, dan (e) memusatkan perhatian siswa terhadap masalah yang sedang dibahas (Depdiknas, 2008:26-27).

b. Keterampilan memberi penguatan

Penguatan (reinforcement) merupakan segala bentuk respons, apakah bersifat verbal ataupun nonverbal yang merupakan bagian modifikasi dari tingkah laku guru terhadap tingkah laku siswa yang bertujuan untuk memberikan informasi atau umpan balik bagi siswa atas perbuatannya sebagai suatu tindakan dorongan ataupun koreksi (Usman, 2011:80). Keterampilan memberikan penguatan adalah keterampilan dalam memberikan respon terhadap suatu perilaku yang dapat meningkatkan kemungkinan terulangnya kembali perilaku tersebut yang dapat dilakukan secara verbal, dan non verbal, dengan prinsip kehangatan, keantusiasan,


(37)

kebermaknaan, dan menghindari respon yang negatif (Mulyasa, 2011:77-78).

Cara yang dapat dilakukan guru dalam memberikan penguatan adalah sebagai berikut (Depdiknas, 2008:28):

1) Penguatan kepada pribadi tertentu. Penguatan harus jelas kepada siapa ditujukan, sebab bila tidak jelas akan tidak efektif.

2) Penguatan kepada kelompok siswa, yaitu dengan memberikan penghargaan kepada kelompok siswa yang dapat menyelesaikan tugas dengan baik.

3) Pemberian penguatan segera setelah muncul tingkah laku siswa yang diharapkan karena penguatan yang ditunda kurang efektif.

4) Variasi dalam penggunaan sehingga tidak menimbulkan kebosanan. c. Keterampilan mengadakan variasi

Keterampilan memberikan variasi adalah keterampilan guru dalam mengadakan perubahan dalam proses kegiatan pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan motivasi belajar peserta didik, serta mengurangi kejenuhan dan kebosanan (Mulyasa, 2011:78). Djamarah (2006:158) berpendapat bahwa penggunaan metode mengajar yang bervariasi dapat menggairahkan belajar anak didik. Pada suatu kondisi tertentu anak didik merasa bosan dengan metode ceramah yang disebabkan mereka harus dengan setia dan tenang mendengarkan guru tentang suatu masalah. Maka perlu dialihkan dengan suasana lain misalnya dengan tanya jawab, diskusi, dan penugasan sehingga kebosanan dapat terobati.


(38)

21  

 

Terdapat komponen-komponen keterampilan mengadakan variasi menurut Usman (2011:85-88):

1) Variasi dalam cara mengajar guru, antara lain: penggunaan varisi suara (teacher voice), pemusatan perhatian siswa (focusing), kesenyapan atau kebisuan guru (teacher silence), mengadakan kontak pandang dan gerak (eye contact and movement), gerakan badan mimik, dan pergantian posisi guru di dalam kelas dan gerak guru (teachers movement).

2) Variasi dalam penggunaan media dan alat pengajaran, antara lain: variasi alat atau bahan yang dapat dilihat (visual aids), variasi alat atau bahan yang dapat didengar (auditif aids), variasi alat atau bahan yang dapat diraba dimanipulasi dan digerakkan (motorik), dan variasi alat atau bahan yang dapat didengar dilihat dan diraba (audio-visual aids). 3) Variasi pola interaksi dan kegiatan siswa, meliputi: pola guru-murid,

pola guru-murid-guru, pola guru-murid-murid, pola guru-murid murid-guru murid-murid, serta pola melingkar.

d. Keterampilan menjelaskan

Keterampilan menjelaskan adalah keterampilan guru dalam mendeskripsikan secara lisan tentang sesuatu benda, keadaan, fakta, dan data sesuai dengan waktu dan hukum-hukum yang berlaku. (Mulyasa, 2011:80). Sejalan dengan pendapat Usman (2011:88-89) bahwa keterampilan menjelaskan dalam pengajaran ialah penyajian informasi


(39)

secara lisan yang diorganisasi secara sistematik untuk menunjukkan adanya hubungan yang satu dengan yang lainnya.

Dalam memberikan penjelasan dalam suatu pembelajaran ada beberapa komponen yang perlu diperhatikan, antara lain: (1) perencanaan penjelasan, yaitu isi pesan yang akan disampaikan dan peserta didik, dan (2) penyajian penjelasan, yang meliputi: pengucapan bahasa yang jelas, intonasi yang sesuai, menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, memberi definisi jika ada kata yang baru, serta penjelasan dapat diterima oleh peserta didik. Sardiman (2011:164) menambahkan bahwa penyampaian materi akan lebih mantap dan dinamis jika guru menguasai bahan pelajaran lain yang dapat memberikan pengayaan serta memperjelas dari bahan-bahan bidang studi yang akan diajarkan.

e. Keterampilan membuka dan menutup pelajaran

Keterampilan membuka pelajaran merupakan upaya guru untuk menciptakan kesiapan mental dan menarik perhatian peserta didik secara optimal, agar mereka memusatkan diri sepenuhnya pada pelajaran yang akan disajikan. Sedangkan keterampilan menutup pelajaran adalah upaya guru untuk mengetahui pencapaian tujuan dan pemahaman peserta didik terhadap meteri yang telah dipelajari, serta mengakhiri kegiatan pembelajaran. (Mulyasa, 2011:84).

Usman (2011:92-93) menjelaskan ada beberapa komponen keterampilan membuka dan menutup pelajaran yang perlu diperhatikan guru antara lain:


(40)

23  

 

1) Komponen keterampilan membuka pelajaran, meliputi: menarik perhatian siswa, menimbulkan motivasi, memberi acuan, serta membuat kaitan atau hubungan diantara materi-materi yang akan dipelajari dengan pengalaman dan pengetahuan yang telah dikuasai siswa.

2) Komponen keterampilan menutup pelajaran, meliputi: meninjau kembali penguasaan inti pelajaran dengan merangkum inti pelajaran dan membuat ringkasan, dan evaluasi.

Kegiatan membuka dan menutup pelajaran merupakan kegiatan rutin yang harus dilakukan seorang guru untuk memulai dan menutup pembelajaran. Jika kedua kegiatan ini dilakukan secara profesional maka akan memberikan pengaruh positif terhadap kegiatan pembelajaran, antara lain membangkitkan motivasi belajar peserta didik, kejelasan peserta didik akan tugas-tugas yang harus dikerjakan, dan mengetahui tingkat keberhasilan yang harus dicapai oleh peserta didik.

f. Keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil

Diskusi kelompok merupakan salah satu bentuk kegiatan pembelajaran sudah sering digunakan. Diskusi kelompok adalah suatu proses yang teratur yang melibatkan sekelompok orang dalam interaksi tatap muka yang informal dengan berbagai pengalaman atau informasi, pengambilan kesimpulan, atau pemecahan masalah (Usman, 2011:94).

Tidak setiap guru mampu membimbing siswanya untuk berdiskusi tanpa mengalami latihan. Untuk itu ada beberapa komponen yang perlu


(41)

diperhatikan guru dalam membimbing diskusi, antara lain: (1) memusatkan perhatian peaerta didik pada tujuan dan topik diskusi, (2) memperluas masalah atau urunan pendapat, (3) menganalisis pandangan peserta didik, (4) meningkatkan partisipasi peserta didik, (5) menyebarkan kesempatan berpartisipasi, dan (6) menutup diskusi. (Mulyasa, 2011:89)

g. Keterampilan mengelola kelas

Mengelola kelas adalah keterampilan guru untuk menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif, dan mengendalikannya jika terjadi gangguan dalam pembelajaran (Mulyasa, 2011:91). Keterampilan mengelola kelas memiliki komponen sebagai berikut (Usman, 2011:98-100):

1) Keterampilan yang berhubungan dengan penciptaan dan pemeliharaan kondisi belajar yang optimal, meliputi: menunjukkan sikap tanggap, memberi perhatian, memusatkan perhatian kelompok, memberi petunjuk-petunjuk yang jelas, menegur secara verbal, dan memberi penguatan.

2) keterampilan yang berhubungan dengan pengembalian kondisi belajar yang optimal yang meliputi modifikasi tingkah laku, mengelola kelompok dengan menggunakan pendekatan pemecahan masalah kelompok, dan menemukan dan memecahkan tingkah laku yang menimbulkan masalah.

Sudirman N (dalam Djamarah 2006:178) mengemukakan bahwa secara umum mengelola kelas memiliki tujuan menyediakan fasilitas bagi kegiatan belajar siswa yang bermacam-macam baik itu dalam lingkungan


(42)

25  

 

sosial, emosional, maupun intelektual dalam kelas. Fasilitas-fasilitas yang disediakan itu memungkinkan siswa belajar dan bekerja, tercipta suasana yang memberi kepuasan, suasana disiplin, perkembangan intelektual, emosional dan sikap serta apresiasi pada siswa.

h. Keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan

Mulyasa (2011:92) mengatakan bahwa pengajaran kelompok kecil dan perorangan merupakan suatu bentuk pembelajaran yang memungkinkan guru memberikan perhatian terhadap setiap peserta didik, dan menjalin hubungan yang lebih akrab antara guru dengan peserta didik maupun antara peserta didik dengan peserta didik. Secara fisik bentuk pengajaran ini ialah bila jumlah siswa yang dihadapi oleh guru terbatas, yaitu berkisar antara 3-8 orang untuk kelompok kecil dan seorang untuk perseorangan.

Keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan dapat dilakukan dengan mengembangkan keterampilan dalam pengorganisasian, membimbing dan memudahkan belajar, perencanaan penggunaan ruangan, dan pemberian tugas yang jelas, menantang serta menarik. (Mulyasa, 2011:92)

Berdasarkan8 keterampilan mengajar tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa guru harus dapat menguasai dan mengembangkan keterampilan-keterampilan tersebut melalui pendekatan kooperatif tipe think-pair-share dengan media audiovisual dalam kegiatan pembelajarannya agar kegiatan pembelajaran dapat berkualitas dan tujuan pembelajaran dapat tercapai maksimal.


(43)

2.1.3.2.2 Aktivitas Siswa

Aktivitas belajar siswa merupakan kegiatan yang dilakukan siswa yaitu belajar sambil bekerja untuk memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan aspek-aspek tingkah laku lainnya, serta mengembangkan keterampilan yang bermakna untuk hidup di masyarakat (Hamalik, 2008:172). Sardiman (2011:95) menyatakan bahwa dalam kegiatan belajar, subyek didik atau siswa harus aktif berbuat. Dengan kata lain, bahwa dalam belajar sangat diperlukan adanya aktivitas. Tanpa aktivitas, proses belajar tidak mungkin berlangsung dengan baik.

Menurut Paul B. Diedrick (dalam Hamalik, 2008:172) ada 8 macam aktivitas siswa, antara lain:

a. Visual activities (kegiatan visual), seperti membaca, melihat gambar,

mengamati eksperimen, demonstrasi, pameran, dan mengamati orang lain bekerja.

b. Oral activities (kegiatan lisan), seperti mengungkapkan suatu fakta atau

prinsip, menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, wawancara, diskusi, dan interupsi.

c. Listen activities (kegiatan mendengarkan), seperti: mendengarkan penyajian

bahan, mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan radio.

d. Writing activities (kegiatan menulis), seperti: menulis cerita, menulis

laporan, memeriksa karangan, membuat rangkuman, mengerjakan tes, dan mengisi angket.


(44)

27  

 

e. Drawing activities (kegiatan menggambar), seperti: menggambar, membuat

grafik, peta, diagram, pola.

f. Motor activities (kegiatan metrik), seperti: melakukan percobaan, memilih

alat-alat, melaksanakan pameran, membuat model, menyelenggarakan permainan, menari, dan berkebun.

g. Mental activities (kegiatan mental), seperti: merenungkan, mengingat,

memecahkan masalah, menganalisis faktor-faktor, melihat hubungan-hubungan, dan membuat keputusan.

h. Emotional activities (kegiatan emosional), seperti; menaruh minat,

membedakan, berani, tenang, dsb.

Dari delapan klasifikasi kegiatan tersebut menunjukkan bahwa aktivitas di sekolah cukup kompleks dan bervariasi. Jika kegiatan tersebut dapat diciptakan di sekolah secara baik tentu saja kegiatan pembelajaran di sekolah-sekolah akan lebih dinamis, tidak membosankan dan benar-benar menjadi pusat aktivitas belajar yang maksimal dan bahkan akan memperlancar peranannya sebagai pusat dan transformasi kebudayaan.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa aktivitas belajar siswa adalah segala kegiatan yang dilakukan melalui pendekatan kooperatif tipe think-pair-share dengan media audiovisual dalam proses interaksi (guru dan siswa) yang menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental intelektual dan emosional guna memperoleh hasil belajar berupa perpaduan antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.


(45)

2.1.3.2.3 Hasil Belajar

Menurut Suprijono (2009:5) hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan keterampilan. Sedangkan pendapat Rifa’i (2009:85) mengungkapkan bahwa hasil belajar merupakan perubahan perilaku yang diperoleh peserta didik setelah mengalami kegiatan belajar. Perolehan aspek-aspek perubahan perilaku tersebut bergantung pada apa yang dipelajari pembelajar. Oleh karena itu apabila pembelajar mempelajari pengetahuan tentang konsep, maka perubahan perilaku yang diperoleh adalah berupa penguasaan konsep.

Berdasarkan dari uraian dan pendapat para pakar pendidikan di atas maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku peserta didik setelah mengalami aktivitas belajar yang berupa pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan keterampilan.

Benyamin S. Bloom menyampaikan tiga taksonomi yang disebut dengan ranah belajar, yaitu ranah kognitif (cognitive domain), ranah afektif (affektive domain), dan ranah psikomotorik (psychomotoric domain) (Rifa’i, 2009:86-89). Berikut penjabarannya:

a. Ranah kognitif

Ranah kognitif berkaitan dengan hasil berupa pengetahuan, kemampuan dan kemahiran intelektual. Ranah kognitif mencakup kategori mengingat (remember), memahami (understand), mengaplikasikan (apply), menganalisis (analyze), mengevaluasi (evaluate), dan mencipta/membuat (create).


(46)

29  

  b. Ranah afektif

Ranah afektif berkaitan dengan perasaan, sikap, minat, dan nilai. Kategori tujuannya mencerminkan hirarkhi yang berentangan dari keinginan untuk menerima sampai dengan pembentukan pola hidup. Kategori tujuan peserta didikan afektif adalah penerimaan (receiving), penanggapan (responding), penilaian (valuing), pengorganisasian (organization), pembentukan pola hidup (organization by a value complex).

c. Ranah psikomotorik

Ranah psikomotorik berkaitan dengan kemampuan fisik seperti keterampilan motorik dan syaraf, manipulasi objek, dan koordinasi syaraf. Penjabaran ranah psikomotorik ini sangat sukar kerena seringkali tumpang tindih dengan ranah kognitif dan afektif. Kategori jenis perilaku untuk ranah psikomotorik menurut Elizabeth Simpson adalah persepsi (perception), kesiapan (set), gerakan terbimbing (guided response), gerakan terbiasa (mechanism), gerakan kompleks (complex overt response), penyesuaian (adaptation), dan kreativitas (originality).

Tiap ranah terbagi menjadi beberapa yang berurutan secara bertingkat mulai dari keterampilan yang paling sederhana hingga yang kompleks. Representasi taksonomi Bloom yang paling banyak dirujuk adalah piramida keterampilan kognitif yang terdiri dari enam tingkat (dikenal dengan C1 hingga C6), yaitu mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan berkreasi. Berikut adalah piramida keterampilan kognitif dari taksonomi Bloom:


(47)

(Maksum, 2012) Bagan 2.1 Tingkatan Taksonomi Bloom Revisi

Dalam penelitian ini, hasil belajar yang diperoleh lebih dominan pada ranah kognitif yaitu pada hasil belajar siswa yang berupa nilai hasil evaluasi setiap individu. Evaluasi dilaksanakan setiap akhir pembelajaran dengan tujuan untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan melalui pendekatan kooperatif tipe Think-Pair-Share dengan media audiovisual.

2.1.4 Hakikat Belajar IPA

Samatowa (2010:3) mengatakan bahwa Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) membahas tentang gejala-gejala alam yang disusun secara sistematis yang didasarkan pada hasil percobaan dan pengamatan yang dilakukan manusia. Menurut Aly dan Rahma (2001:18) IPA adalah suatu pengetahuan teoritis yang diperoleh atau disusun dengan cara yang khas/khusus, yaitu melakukan observasi eksperimentasi, penyimpulan, penyusunan teori, eksperimentasi, observasi, dan


(48)

31  

 

demikian seterusnya kait mengkait antara cara yang satu dengan cara yang lain. Sedangkan menurut Darmojo (dalam Samatowa, 2010: 3) IPA merupakan pengetahuan yang rasional dan objektif tentang alam semesta dengan segala isinya. Pernyataan tersebut selaras dengan hal yang tercantum dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang standar isi, bahwa Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) bahwa IPA merupakan mata pelajaran yang berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga proses penemuan.

Pada hakikatnya ilmu pengetahuan alam memiliki empat komponen, antara lain ilmu pengetahuan alam merupakan suatu produk, proses, sikap ilmiah, dan teknologi (Cain dan Evans, 1990:3). Penjelasannya secara rinci adalah sebagai berikut:

a. IPA sebagai produk

This component includes the accepted fact, laws, principals, and theoriesof science(Cain dan Evans, 1990:4). IPA sebagai suatu produk merupakan kumpulan pengetahuan yang tersusun dalam bentuk fakta, hukum, prinsip, dan teori.Produk IPA biasanya dimuat dalam buku ajar, buku-buku teks, artikel ilmiah dalam jurnal.

b. IPA sebagai proses

This component focuses on the means used in acquiring science component (Cain dan Evans, 1990:4). Penekanan dalam ilmu ditempatkan


(49)

pada keterampilan proses. Komponen ini berfokus pada cara yang digunakan dalam memperoleh komponen sains.

Keterampilan proses ini merupakan dasar dalam pelaksanaan pembelajaran selanjutnya yang menyeluruh sehingga akan memperoleh pengetahuan IPA secara optimal. Keterampilan proses ini tidak terpisah dari konten ilmu pengetahuan, melainkanmerupakan alat penyelidikan ilmiah. Dalam pelaksanannya siswa melakukan praktek dan pengamatan langsung sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna.

c. IPA sebagai pengembangan sikap

The elementary teacher must encourage children to develope a need for seeking rational answers and explanations to natural and physical phenomena. As a teacher, capitalize on children’s natural curiosity and promote an attitude of discovery(Cain dan Evans, 1990:5). Para guru SD harus mendorong anak untuk mengembangkan kebutuhan untuk mencari jawaban rasional dan penjelasan untuk fenomena alam dan fisik. Sebagai seorang guru, memanfaatkan rasa tahu alami anak-anak dan mempromosikan sikap penemuan.

Dalam pembelajaran diharapkan siswa dapat mengembangkan sikap ilmiah melalui kegiatan ilmiah seperti diskusi, percobaan, simulasi, dan kegiatan di lapangan. Dengan demikian akan tumbuh sikap ingin tahu dan ingin mendapat jawaban yang benar dari obyek yang diamati. Dalam kegiatan pembelajaran guru bertindak sebagai motivator sehingga siswa tidak perlu takut akan kesalahan yang dilakukan. Justru dari hal tersebut


(50)

33  

 

akan membangun pemahaman sehingga siswa menjadi semakin termotivasi untuk mendapatkan kebenaran ilmiah.

d. IPA sebagai teknologi

That focus emphasizes preparing our students for the world of tomorrow. the development of technology as it relates to our daily lives has become a vital part of sciencing(Cain dan Evans, 1990:6).Fokus pada teknologi menekankan pada persiapan siswa untuk dunia besok. Perkembangan teknologi yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari telah menjadi bagian penting dari ilmu pengetahuan.

IPA sebagai teknologi merupakan perkembangan ilmu pengetahuan yang diterapkan dan dalam kehidupan masyarakat sebagai alat untuk menunjang kegiatan manusia. Perkembangan teknologi dalam IPA merupakan bahasan yang penting karena bertujuan mempersiapkan siswa untuk menghadapi tantangan dunia yang semakin lama semakin maju. Dalam pembelajaran yang berkembang saat ini, IPA sebagai teknologi dapat dilihat dalam pembelajaran IPA berorientasi SETS (Science, Environment, Technology, and Society) yakni pembelajaran IPA yang mengaitkan unsur sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat.

Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa IPA adalah kajian tentang alam sekitar yang rasional dan objektif berupa pengetahuan bukan hanya pemahaman fakta, konsep, ataupun prinsip tetapi juga mengenai cara menemukan fakta, konsep, dan prinsip itu sendiri melalui sikap ilmiah. IPA merupakan suatu produk dan proses yang tak terpisahkan. Peserta didik membangun


(51)

pengetahuannya sendiri dengan cara melihat IPA sebagai suatu proses dengan acuan IPA sebagai produk untuk membangun dan mengembangkan sikap ilmiah peserta didik sehingga dapat mengembangkan teknologi yang dapat menunjang kehidupan manusia.

2.1.5 Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar

Pembelajaran IPA termasuk pembelajaran yang pokok dan penting diajarkan di Sekolah Dasar. Secara garis besar ruang lingkup mata pelajaran IPA SD/MI terperinci menjadi empat kelompok, yaitu:

a. Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan.

b. Benda atau materi, sifat-sifat dan kegunaan meliputi : cair, padat, dan gas. c. Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik,

cahaya, dan pesawat sederhana.

d. Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda langit lainnya.

(Permendiknas, 2006:485)

Keempat kelompok bahan kajian IPA SD/MI tersebut disajikan secara spiral. Artinya setiap bahan disajikan di semua tingkat kelas tetapi dengan tingkat kedalaman yang berbeda yakni semakin tinggi tingkat kelas semakin dalam bahasannya.

Untuk mencapai keberhasilan dalam tiap pembelajaran, siswa harus memiliki bekal kemampuan berpikir rasional dan ilmiah. Karena dengan


(52)

35  

 

kemampuan berpikir rasional dan ilmiah itulah siswa akan mendapatkan pengalaman bermakna sehingga dapat memecahkan permasalahan yang ada dalam pembelajaran IPA.

Dalam menerapkan pembelajaran IPA di kelas guru harus memperhatikan karakteristik perkembangan peserta didik. Tahap perkembangan kognitif menurut Piaget (dalam Rifa’i, 2009:26-30), yaitu (1) tahap sensorimotorik (0-2 tahun); (2) tahap praoperasional (2-7 yahun); (3) tahap operasional kongkret (7-11 tahun); dan (4) tahap operasional formal (11-15 tahun).

Paul Suparno (dalam Suprijono, 2009:23) menggambarkan perkembangan kognitif menurut Piaget sebagai berikut:

Tabel 2.1

Tahap Perkembangan Kognitif Menurut Piaget

TAHAP UMUR CIRI POKOK PERKEMBANGAN

Sensorimotor 0-2 tahun Berdasarkan tindakan langkah demi langkah.

Praoperasi 2-7 tahun Penggunaan simbol/bahasa tanda Konsep intuitif

Operasi konkret 8-11 tahun Pakai aturan jelas/logis Reversibel dan kekekalan Operasi formal 11 tahun ke

atas

Hipotesis Abstrak

Deduktif dan induktif Logis dan Probabilitas

Untuk rata-rata usia peserta didik yang mengenyam pendidikan sekolah dasar yaitu antara 6-12 tahun. Berkaitan dengan teori Piaget maka anak usia sekolah dasar masuk dalam tahap operasional konkret. Pada tahap ini anak mampu mengoperasionalkan berbagai logika, namun masih dalam bentuk benda kongkrit.


(53)

Dengan melihat tahap perkembangan siswa usia SD yang masih memerlukan bentuk benda konkrit maka dalam pembelajarannya siswa mengenal IPA dimulai dari lingkungan kehidupan siswa. Seperti yang diungkap Makhrus dkk (2008:14) pembelajaran IPA di sekolah dasar atau madrasah yang sederajat harus menerapkan bahwa pembelajaran IPA dimulai dari yang dikenal siswa, baru kemudian aspek yang belum dikenal. Artinya pembelajaran berlangsung dari yang dekat dengan kehidupan siswa sehari-hari kemudian melangkah kepada aspek yang jauh.

2.1.6 Pembelajaran Kooperatif

2.1.6.1 Pengertian Pembelajaran Kooperatif

Slavin (2005:4) mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pengajaran dimana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pelajaran. Dalam kelas kooperatif, para siswa diharapkan dapat saling membantu, saling mendiskusikan dan berargumentasi, untuk mengasah pengetahuan yang mereka kuasai saat itu dan menutup kesenjangan dalam pemahaman masing-masing.

Kata kooperatif (cooperative) itu sendiri artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim (Isjoni, 2012:15). Sejalan dengan pemikiran itu Johnson dan Johnson (dalam Isjoni, 2012:45) menuturkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah mengerjakan sesuatu bersama-sama dengan saling membantu satu sama


(54)

37  

 

lainnya sebagai satu tim untuk mencapai tujuan bersama. Dan menurut Suprijono (2009: 54) pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru. Di sini peran guru adalah menetapkan tugas dan pertanyaan-pertanyaan serta menyediakan bahan-bahan dan informasi yang dirancang untuk membantu peserta didik menyelesaikan masalah yang dimaksud.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu pembelajaran yang di dalamnya terbentuk kelompok-kelompok kecil yang diarahkan oleh guru agar mereka saling bekerjasama dengan kemampuan maksimal untuk mempelajari materi pelajaran demi mencapai tujuan bersama.

2.1.6.2 Tujuan Pembelajaran Kooperatif

Menurut Slavin (2005:33) tujuan yang paling penting dari pembelajaran kooperatif adalah untuk memberikan para siswa pengetahuan, konsep, kemampuan, dan pemahaman yang mereka butuhkan supaya bisa menjadi anggota masyarakat yang bahagia dan memberikan kontribusi. Kemudian tujuan pembelajaran kooperatif menurut Isjoni (2012:21) yaitu agar peserta didik dapat belajar secara berkelompok bersama teman-temannya dengan cara saling menghargai pendapat dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengemukakan gagasannya dengan menyampaikan pendapat mereka secara berkelompok.


(55)

Pembelajaran kooperatif mengajarkan siswa bekerja sebagai tim sehingga membutuhkan kerjasama yang baik. Seperti yang diungkap Slavin (2005:10), ada tiga konsep penting dalam pembelajaran kooperatif, yakni:

a. Penghargaan bagi tim, artinya tim akan mendapat penghargaan atau sertifikat jika mereka berhasil melampaui kriteria tertentu yang telah ditetapkan.

b. Tanggungjawab individual, maksudnya bahwa kesuksesan tim bergantung pada pembelajaran individual dari semua anggota tim.

c. Kesempatan sukses yang sama, maksunya adalah semua siswa memberi kontribusi kepada timnya dengan cara meningkatkan kinerja mereka dari yang sebelumnya sehingga mereka akan tertantang untuk melakukan yang terbaik demi timnya.

Dengan melihat tiga konsep tersebut, secara tidak langsung kerjasama tim akan mengembangkan keterampilan siswa dalam berhubungan antar sesama dalam pembelajaran kooperatif. Karena diharapkan kelak akan tercetak generasi-generasi baru yang memiliki potensi akademik yang tinggi sekaligus memiliki solidaritas sosial yang kuat.

2.1.6.3 Variasi dalam Pembelajaran IPA

Pembelajaran kooperatif memiliki beberapa variasi dalam pelaksanaan pembelajarannya, antara lain:

2.1.6.3.1 Student Team Achievement Division (STAD)

Pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan salah satu tipe yang menggunakan kelompok-kelompok kecil dengan jumlah anggota tiap


(56)

39  

 

kelompoknya 4-5 orang secara heterogen. Diawali dengan penyampaian tujuan pembelajaran, penyampaian materi, kegiatan kelompok, kuis, dan penghargaan kelompok. (Trianto, 2009:68)

Dalam pembelajaran STAD siswa dikelompokkan secara heterogen yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, berasal dari berbagai suku, dan memiliki tingkat kemampuan yang bervariasi. Dengan keragaman tersebut diharapkan akan tumbuh kemampuan kerjasama, kreatif, dan berpikir kritis untuk menjadi kelompok terbaik. Namun pembentukan kelompok seperti ini sulit dilakukan pada karakter siswa yang sudah memiliki kelompok sendiri. Mereka cenderung lebih nyaman dengan kelompoknya sendiri dibanding dengan kelompok barunya karena peran serta anggota menjadi tidak merata.

2.1.6.3.2Jigsaw

Dalam pembelajaran jigsaw, pada mulanya guru membentuk keompok asal terdiri dari 4-6 siswa. Setelah terbentuk guru membagikan materi kepada tiap-tiap kelompok. Setiap anggota kelompok memiliki tanggungjawab untuk memahami materi yang berbeda. Kemudian semua anggota kelompok yang memiliki topik yang sama berkumpul sebagai kelompok ahli untuk berdiskusi.Seperti yang dijelaskan Trianto (2009:74) bahwa masing-masing anggota kelompok secara acak ditugaskan untuk menjadi ahli (expert) pada suatu aspek tertentu dari materi tersebut. Setelah itu mereka kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota kelompok asal lainnyatentang materi yang telah dikuasai. Pembelajaran diakhiri dengan diskusi seluruh kelas berupa review terhadap topik yang telah dipelajari dan kuis.


(57)

Pembentukan kelompok seperti ini sangat baik untuk mengaktifkan partisipasi siswa dan tanggungjawab. Namun dalam pelaksanaannya membutuhkan waktu yang lama sedangkan alokasi waktu yang tersedia di sekolah dasar sangatlah terbatas.

2.1.6.3.3 Investigasi Kelompok

Dalam pembelajaran Investigasi kelompok guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok dengan anggota 5-6 siswa secara heterogen. Kelompok dibentuk dengan mempertimbangkan keakraban dan minat yang sama dalam topik tertentu. Selanjutnya siswa melakukan penyelidikan secara mendalam pada topik tertentu. Dan terakhir mempresentasikan laporannya kepada seluruh kelas. (Trianto, 2009: 79)

Pembelajaran investigasi kelompok menuntut kesiapan guru menyiapkan materi atau topik investigasi secara keseluruhan, memerlukan norma dan struktur kelas yang lebih rumit, dan memerlukan waktu lama untuk penyesuaian. Sehingga untuk karakter kelas yang mudah ribut akan lebih sulit dikendalikan.

2.1.6.3.4 Numbered Head Together (NHT)

Numbered Head Together (NHT) atau penomoran berpikir bersama merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan sebagai alternatif terhadap stuktur kelas tradisional (Trianto, 2009:82). Dalam pembelajarannya, guru membentuk kelompok dan setiap anggota kelompok diberi nomor secara berurutan. Slavin (2005:255) menjelaskan tiap siswa dalam sebuah kelompok mempunyai nomor dan para


(58)

41  

 

mewakili kelompoknya. Jadi jelaslah setelah guru mengajukan pertanyaan dan didiskusikan bersama kelompoknya, salah satu siswa yang telah ditunjuk maju untuk menjawab pertanyaan dari guru.

Dalam pembelajaran NHT (Numbered Head Together) guru menunjuk siswa secara acak, sehingga biasanya menimbulkan ketegangan diantara para siswa. Siswa yang pandai cenderung mendominasi sehingga terkadang juga menimbulkan sikap minder dan pasif dari siswa yang lemah.

2.1.6.3.5 Think-Pair-Share (TPS)

Pembelajaran Think-Pair-Share (TPS) atau berpikir-berpasangan-berbagi diawali dengan guru menyampaikan pelajaran, para siswa duduk berpasangan dengan timnya masing-masing. Guru memberi pertanyaan kepada kelas. Masing-masing siswa diberi kesempatan untuk memikirkan jawaban.Kemudian berpasangan dengan pasangannya untuk mencapai sebuah kesepakatan terhadap jawaban. Dan terakhir guru meminta siswa untuk berbagi jawaban yang telah mereka sepakati kepada siswa di seluruh kelas itu. (Slavin, 2005:257)

Dalam pembelajarannya, TPS sangat efektif untuk meningkatkan partisipasi siswa karena jumlah kelompok yang kecil (berpasangan atau dua orang). Hal ini dapat mempermudah siswa dalam berinteraksi serta menuntut siswa untuk berpikir secara individu maupun kelompok mendiskusikan suatu permasalahan. Dengan demikian, kegaduhan dalam kelas dapat terminimalisir.

Dari beberapa variasi pembelajaran kooperatif di atas peneliti menggunakan pendekatan kooperatif tipe Think-Pair-Share sebagai solusi pemecahan masalah. Sesuai dengan permasalahan yang ada dalam pembelajaran


(59)

IPA di kelas IV SDN Kalibanteng Kidul 02, pembelajaran think-pair-share lebih efektif digunakan untuk meningkatkan partisipasi siswa di dalam kelas daripada model pembelajaran kooperatif lainnya. Dalam pembelajaran ini siswa diberi kesempatan untuk bekerja secara individu dan secara kelompok, sehingga mereka memiliki tanggung jawab pribadi sekaligus tanggung jawab dalam menyelesaikan suatu permasalahan.

2.1.7 Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share

2.1.7.1 Pengertian Think-Pair-Share

Think-pair-share (TPS) atau berpikir berpasangan berbagi merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa (Trianto, 2009:81). Model pembelajaran ini berkembang dari penelitian belajar kooperatif dan waktu tunggu. Dikembangkan pertama kali oleh Frank Lyman dan kawan-kawannya di Unversitas Maryland pada tahun 1985.

Menurut Arends (dalam Trianto, 2009:81) think-pair-share merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi. Dengan asumsi bahwa semua resitasi atau diskusi membutuhkan pengaturan untuk mengendalikan kelas secara keseluruhan, dan prosedur yang digunakan dalam think-pair-share dapat memberi siswa lebih banyak waktu berpikir, untuk merespons dan saling membantu.

Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa think-pair-share merupakan suatu cara untuk menciptakan diskusi secara berpasang-pasangan yang akan mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dengan berpikir


(60)

43  

 

secara mandiri maupun secara kelompok (berpasangan) kemudian membagikan hasil diskusinya kepada teman seluruh kelas dalam pembelajaran.

2.1.7.2 Langkah-Langkah Pembelajaran Think-Pair-Share

Dalam suatu diskusi perlu adanya partisipasi semua anggota kelompoknya. Dengan memberi kesempatan siswa untuk berpikir dan membentuk kelompok berpasangan maka akan mendorong siswa untuk berpikir mandiri serta memecahkan masalah secara bersama-sama dengan pasangannya secara efektif.

Tiga tahapan dalam pelaksanaan pembelajaran Think-Pair-Share, yaitu:

a. Thinking (berpikir)

Dalam tahap ini guru mengajukan pertanyaan atau isu terkait dengan pelajaran kemudian peserta didik diberi kesempatan untuk memikirkan jawabannya sendiri.

b. Pairing (berpasangan)

Dalam tahap ini guru meminta peserta didik berpasang-pasangan dan mendiskusikan jawaban hasil pemikirannya. Diharapkan diskusi ini dapat memperdalam makna dari jawaban yang telah dipikirkannya.

c. Sharing (berbagi)

Dalam tahap ini hasil diskusi tiap-tiap pasangan dibicarakan kepada kelompok/pasangan lain seluruh kelas. Diharapkan terjadi tanya jawab yang mendorong pada pengonstruksian pengetahuan secara integratif sehingga peserta didik dapat menemukan struktur dari pengetahuan yang dipelajarinya.


(61)

Dalam pembelajaran yang menggunakan model think-pair-share, guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang lain. Keunggulan menggunakan think-pair-share adalah partisipasi siswa menjadi lebih optimal, yaitu memberi kesempatan delapan kali lebih banyak kepada setiap siswa untuk dikenali dan menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain (Isjoni, 2012:78). Dengan membiasakan siswa senantiasa ikut berpartisipasi maka akan mendorong tingginya aktivitas siswa serta melatih sikap tanggap dan intelegensi siswa dalam pembelajaran secara keseluruhan.

Kelebihan think-pair-share yang lain yaitu antara lain: (1) memberi siswa waktu lebih banyak untuk berfikir, menjawab, dan saling membantu satu sama lain; (2) seorang siswa juga dapat belajar dari siswa lain serta saling menyampaikan idenya untuk didiskusikan sebelum disampaikan di depan kelas; (3) dapat memperbaiki rasa percaya diri dan semua siswa diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam kelas; (4) siswa dapat mengembangkan keterampilan berfikir dan menjawab dalam komunikasi antara satu dengan yang lain serta bekerja saling membantu dalam kelompok kecil; dan (5) memungkinkan guru untuk lebih banyak memantau siswa dalam proses pembelajaran (Nova, 2011).

2.1.7.3 Teori yang Mendasari Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share

Pembelajaran kooperatif bernaung dalam teori konstruktivis. Teori pembelajaran konstruktivis menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai.


(62)

45  

 

Menurut teori ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, yaitu dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjat anak tangga tersebut (Nur dalam Trianto, 2009: 28).

Teori perkembangan Piaget mendukung teori kontruktivisme. Teori ini memandang bahwa perkembangan kognitif sebagai suatu proses di mana anak secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi yang mereka lakukan. Implikasinya dalam proses pembelajaran yaitu pada saat guru memperkenalkan informasi yang melibatkan siswa menggunakan konsep-konsep, memberikan waktu yang cukup untuk menemukan ide-ide dengan menggunakan pola-pola berpikir formal (Trianto, 2009:29).

Vygotsky berpendapat seperti Piaget, bahwa siswa membentuk pengetahuan sebagai hasil dari pikiran dan kegiatan siswa sendiri melalui bahasa. Teori ini lebih menekankan pada aspek sosial dari pembelajaran. Proses pembelajaran akan terjadi jika anak bekerja sendiri atau menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, namun tugas tersebut masih berada dalam jangkauan mereka (Trianto, 2009:38-39). Vygotsky juga berpandangan bahwa kegiatan


(63)

kolaboratif di antara anak-anak mendorong pertumbuhan karena anak-anak yang usianya sebaya lebih suka bekerja di dalam wilayah pembangunan paling dekat satu sama lain, perilaku yang diperlihatkan dalam kelompok kolaborasi lebih berkembang daripada yang dapat mereka tunjukkan sebagai individu. (Slavin, 2005:37)

Dari beberapa teori di atas memunculkan konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka membangun pengetahuan melalui pengalaman-pengalaman dan melakukan interaksi yaitu dengan cara saling berdiskusi dengan temannya dalam kelompok. Suprijono (2009:56) mengatakan bahwa kelompok dapat terdiri dari dua orang saja, tetapi juga dapat terdiri dari banyak orang. Pembelajaran think-pair-share merupakan pembelajaran dengan cara berkelompok secara berpasangan (dua orang) yang saling berinteraksi mendiskusikan permasalahan. Sehingga melalui interaksi tersebut siswa dapat lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit.

2.1.8 Media Audiovisual

Kata “media” berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata “medium”, yang secara harfiah berarti “perantara atau pengantar”. Sehingga media merupakan wahana penyalur informasi belajar atau penyalur pesan (Djamarah, 2006:120). Menurut Romiszowski (dalam Wibawa 2001: 12) media ialah pembawa pesan yang berasal dari suatu sumber pesan (yang dapat berupa orang atau benda) kepada penerima pesan. Sedangkan media pembelajaran menurut Anitah (2010:5) adalah setiap orang, bahan, alat, atau peristiwa yang


(64)

47  

 

dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan pebelajar untuk menerima pengetahuan, keterampilan, dan sikap.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran merupakan suatu wahana berupa orang, alat, bahan, maupun peristiwa yang dapat menyalurkan pesan atau informasi dari sumber pesan (pengajar) kepada penerima pesan (pebelajar) sehingga pebelajar dapat menerima pengetahuan, keterampilan, dan sikap dengan baik.

Ada beberapa keuntungan menggunakan media dalam pembelajaran menurut Wibawa (2001:14), antara lain: (1) guru mempunyai lebih banyak waktu untuk membantu siswa yang lemah; (2) siswa akan belajar secara aktif; dan (3) siswa dapat belajar sesuai dengan gaya dan kecepatan masing-masing.

Untuk menunjang keberhasilan, peneliti memilih menggunakan media audiovisual. Media audiovisual adalah media yang mempunyai unsur suara dan unsur gambar (Djamarah, 2006:124). Media audiovisual menurut Anitah (2010:49) adalah media yang tidak hanya dapat melihat atau mengamati sesuatu tetapi dapat sekaligus mendengar sesuatu yang divisualisasikan. Dengan media audiovisual dalam pembelajaran dapat melibatkan banyak indera siswa untuk menangkap materi pelajaran yaitu indera penglihat (visual) dan indera pendengar (audio). Menurut Arsyad (2007:30) media audiovisual yaitu penggunaan materi yang penyerapannya melalui pandangan atau pendengaran serta tidak seluruhnya tergantung pada pemahaman kata atau simbol-simbol yang serupa.

Ada perbedaan perolehan hasil belajar yang didapat melalui indera pandang dan indera dengar. Arsyad (2007:9) mengatakan bahwa perbandingan


(65)

perolehan hasil belajar melalui indera pandang dan indera dengar sangat menonjol perbedaannya. Hal tersebut sesuai dengan Edgar Dale (dalam Arsyad, 2007:10) yang memperkirakan bahwa pemerolehan hasil belajar melalui indera pandang berkisar 75%, melalui indera dengar sekitar 13%, dan melalui indera lainnya sekitar 12%. Salah satu gambaran yang paling banyak dijadikan acuan sebagai landasan teori penggunaan media dalam proses belajar yaitu Dale’s Cone of Experience (Kerucut Pengalaman Dale). Kerucut ini merupakan elaborasi yang rinci dari konsep tiga tingkatan pengalaman yang diungkap oleh Bruner.

Abstrak

Konkret

Bagan 2.2 Kerucut Pengalaman Edgar Dale  

Lambang Visual

Gambar Diam, Rekaman Radio  Gambar Hidup Pameran 

Televisi  Karyawisata

Dramatisasi 

Benda Tiruan/Pengamatan Pengalaman Langsung  Lambang Kata 


(66)

49  

 

Hasil belajar seseorang diperoleh mulai dari pengalaman langsung (konkret), kenyataan yang ada di lingkungan kehidupan seseorang kemudian melalui benda tiruan, sampai kepada lambang verbal (abstrak). Semakin ke atas di puncak kerucut semakin abstrak media penyampai pesan itu. Urut-urutan ini tidak berarti proses belajar dan interaksi belajar mengajar harus selalu dimulai dari pengalaman langsung tetapi dengan jenis pengalaman yang paling sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan kelompok siswa yang dihadapi dengan mempertimbangkan situasi belajarnya.

Leshin, Pollock, dan Reigeluth mengklasifikasikan media ke dalam lima kelompok, yaitu (1) media berbasis manusia (guru, instruktur, tutor, main-peran, kegiatan kelompok, field-trip); (2) media berbasis cetak (buku, penuntun, buku latihan, alat bantu kerja, dan lembaran lepas); (3) media berbasis visual (buku, alat bantu kerja, bagan, grafik, peta, gambar, transparansi, slide); (4) media berbasis audio-visual (video, film, program slide-tape, televisi); dan (5) media berbasis komputer (pengajaran dengan bantuan komputer, interaktif video, hypertext). (Arsyad, 2007:36)

Media audiovisual memadukan unsur audio (suara) dan unsur visual (gambar). Berdasarkan sumbernya media audiovisual dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:

a. Media audiovisual murni, yaitu baik unsur suara maupun unsur gambar berasal dari satu sumber seperti film video-casette; dan

b. Media audiovisual tidak murni, yaitu yang unsur suara dan unsur gambarnya berasal dari sumber yang berbeda, misalnya film bingkai suara yang unsur


(67)

gambarnya bersumber dari slidesproyektor dan unsur suaranya bersumber dari tape recorder. Contoh lainnya adalah film strip suara dan cetak suara.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan media audiovisual tidak murni karena media yang dibuat dengan cara mengkombinasikan unsur visual dan unsur audio dari berbagai sumber. Unsur visual yang digunakan diperoleh dari slide berupa gambar dan tulisan, sedangkan unsur audio yang digunakan berasal dari pengisi suara yang dipadukan dalam slide. Selain itu peneliti juga memasukkan unsur video dalam tampilan audiovisual untuk mendukung dan memperjelas materi. Kemudian peneliti mengemas unsur-unsur media tersebut ke dalam suatu media pembelajaran yaitu media audiovisual. Media audiovisual inilah yang akan digunakan untuk mendukung ketercapaian keberhasilan pembelajaran khususnya pembelajaran IPA di SD.

Dalam menentukan media pembelajaran guru perlu mempertimbangkan kelayakan media pembelajaran agar tercapai hasil yang optimal. Pertimbangan kelayakan yang dapat dipakai oleh guru IPA untuk memilih media pembelajaran yang baik antara lain:

a. Kelayakan praktis (keakraban guru dengan jenis media pembelajaran) meliputi ketersediaan media pembelajaran di lingkungan belajar setempat, ketersediaan waktu untuk mempersiapkan media, ketersediaan sarana dan fasilitas pendukung dan keluwesan, artinya mudah dibawa kemana-mana, digunakan kapan saja dan oleh siapa saja.

b. Kelayakan teknis, yaitu media pembelajaran yang relevan dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan merangsang terjadinya proses belajar.


(1)

17.Setelah kelompok presentasi menyampaikan hasil diskusinya, guru meminta kelompok lain menanggapi dan guru memberi reward dan tepuk tangan kepada kelompok presentasi pertama.

18.Guru memberi kesempatan lagi kepada kelompok lain yang ingin menyampaikan hasil diskusinya. Semua siswa pun mengacungkan jari dan guru menunjuk salah satu kelompok untuk maju mempresentasikan hasil diskusinya. Guru dan kelompok lain menanggapi kelompok presentasi yang kedua lalu memberi reward kepada kelompok tersebut.

19.Guru bersama siswa menyimpulkan hasil diskusi.

20.Guru memberi kesempatan bertanya kepada siswa yang belum memahami bagian materi yang telah disampaikan guru.

21.Guru bersama siswa melakukan refleksi dan menyimpulkan materi selama pembelajaran.

22.Guru membagikan lembar soal evaluasi kepada setiap siswa. siswa mengerjakannya secara individu.

23.Guru memberikan motivasi kepada siswa.

24.Guru mengakhiri pembelajaran dengan mengucap salam pada pukul 08.45 WIB.

Semarang, 03 Mei 2013 Observer,


(2)

LAMPIRAN 33 

FOTO KEGIATAN PEMBELAJARAN

Gambar 1: Kegiatan berdoa bersama dan pengkondisian kelas

Gambar 2: Guru menyampaikan apersepsi dan menuliskan pokok bahasan


(3)

Gambar 4: Guru menjelaskan materi pelajaran

Gambar 5: Siswa memikirkan jawaban kemudian menuliskan hasil pemikirannya secara individu (Tahap think atau berpikir)

Gambar 6: Siswa berdiskusi dan guru membimbing jalannya diskusi kelompok(tahap pair atau berpasangan)


(4)

Gambar 7: Guru menunjuk satu kelompok yang mengacungkan jari dan kelompok yang tertunjuk mempresentasikan hasil diskusinya(tahap share atau berbagi)

Gambar 8: Guru menyimpulkan hasil diskusi dan memberi reward kepada kelompok presentasi

Gambar 9: Siswa mengerjakan soal evaluasi lalu mengumpulkan hasil pekerjaannya


(5)

LAMPIRAN 34                                                


(6)

Dokumen yang terkait

PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN IPS MELALUI MODEL JIGSAW DENGAN MEDIA AUDIO VISUAL PADA SISWA KELAS IV SDN KALIBANTENG KIDUL 02 KOTA SEMARANG

0 5 331

PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN IPA MELALUI MODEL PBL DENGAN MEDIA AUDIOVISUAL PADA SISWA KELAS IV SDN KALIBANTENG KIDUL 02 KOTA SEMARANG

0 12 274

PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN IPS MELALUI MODEL THINK PAIR SHARE DENGAN MEDIA CD PEMBELAJARAN PADA SISWA KELAS III SD NEGERI KALIBANTENG KIDUL 02 SEMARANG

0 4 317

PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN IPA MELALUI MODEL QUANTUM TEACHING DENGAN MEDIA CD INTERAKTIF PADA SISWA KELAS V SDN KALIBANTENG KIDUL 02

0 3 422

PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN IPA MELALUI MODEL KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE DENGAN MEDIA CD PEMBELAJARAN PADA SISWA KELAS V SDN MANGUNSARI SEMARANG

0 27 302

PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN IPS MELALUI MODEL THINK PAIR SHARE BERBANTUAN AUDIOVISUAL PADA SISWA KELAS IV SDN BRINGIN 02 KOTA SEMARANG

0 3 269

Peningkatan Kualitas Pembelajaran IPS Melalui Pendekatan Kooperatif Tipe Numbered Heads Together Berbasis CD Pembelajaran Pada Siswa Kelas IV B SDN Kalibanteng Kidul 01 Semarang

0 9 199

PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN IPA MELALUI PENDEKATAN KOOPERATIF TIPE TALKING STICK SISWA KELAS III SDN KALIBANTENG KIDUL 01 SEMARANG

0 9 232

Peningkatan Kualitas Pembelajaran IPA Melalui Pendekatan Kooperatif Tipe Numbered Heads Together Pada Siswa Kelas VI SDN Kalibanteng Kidul 01 Semarang.

0 0 1

PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN IPA MELALUI PENDEKATAN KOOPERATIF TIPE TALKING STICK SISWA KELAS III SDN KALIBANTENG KIDUL 01 SEMARANG.

0 0 1