Hak erfacht untuk perusahaan kebun besar yang ada pada mulai berlakunya UU ini,sejak saat tersebut menjadi Hak Guna Usaha tersebut dalam pasal
28 ayat 1 yang berlangsung selama sisa waktu hak erfacht tersebut,tetapi selama-lamanya 20 Tahun .
Ayat 2 Hak erfacht untuk pertanian kecil yang ada pada mulai berlaku UU ini,sejak
tersebut hapus dan selanjutnya diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan yang diadakan oleh Mentri Agraria.
Mengenai pasal III ini dipertegas oleh Peraturan Mentri Agraria Nomor 4 Tahun 1961 dikonversi menjadi hak guna bangunan asal saja sisa
waktu consesienya atau sewanya masih lebih dari 5 Tahun sesudah tanggal 24 September 1960 dengan perubahan syarat-syarat sedangkan ayat 2
menyatakan untuk pertanian-pertanian kecil telah dihapuskan .
2.3.1 Kepentingan Hukum
Terkecuali hak-hak tanah yang tunduk kepada hukum adat, yang belum berakhir ketentuan konversinya seperti sudah diungkapkan diatas
maka sungguhpun sudah ada kepres 32 Tahun 1979 tentang dinyatakannya bahwa tanah-tanah tersebut yang tunduk kepada ex BW telah berakhir
ketentuan konversinya dan tanahnya telah menjadi tanah yang dikuasai oleh negara kembali,namun dalam kenyataanya hak-hak yang terdahulu
tetap diakui bahwa dalam pemastian untuk dapat dialihkan kepada orang lain,dengan pernyataan persetujuan yang bersangkutan maka seperti yang
diatur oleh Kepres 32 Tahun 1979 tersebut sebagai berikut : Pasal 3 menyebutkan :
kepada pemegang hak yang tanahnya diperlukan untuk proyek pembangunan akan diberikan ganti rugi yang besarnya ditetapkan oleh suatu Panitia
Penaksir. Pasal 5 menyebutkan :
Tanah-tanah perkampungan bekas Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi hak barat yang telah menjadi perkampungan atau diduduki
rakyat, akan diberikan prioritas kepada rakyat yang mendudukinya, setelah
Universitas Sumatera Utara
dipenuhi persyaratan-persyaratan yang menyangkut kepentingan bekas pemegang hak tanah.
Demikian pula peraturan Mentri dalam Negri nomor 3 Tahun 1979 yang sama juga mengatur tentang hak-hak dari mereka yang sebelumnya
seperti tersebut dalam pasal 8,ayat 3,kepada bekas pemegang hak guna usaha yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini dapat diberi ganti rugi atas
tanaman dan bangunan serta mesin-mesin miliknya yang diperintahkan untuk dibongkar.
Pasal 13 menyebutkan bahwa jika Hak Guna Bangunan atau Hak pakai ex konversi hak barat tidak
diberikan dengan hak baru kepada pemegang haknya,maka dapat diberikan sesuatu hak kepada pihak lain yang saat mulai berlakunya peraturan itu
nyata-nyata secara sah, sedangkan terhadap bangunan yang ada di atasnya maka pemohon hak harus menyelesaikan dengan bekas pemegang hak
haknya. Kemudian PMDN 3 Tahun 1979 ini oleh Dirjen Agraria telah
diterbitkan surat edaran no.Btu.8356879Tanggal 30 Agustus 1979.Dari edaran tersebut ada beberapa hal yang patut menjadi perhatian kita :
a. .wewenang untuk menentukan kembali peruntukkan dan
penggunaan tanah tersebut sesuai dengan PMDN 3 Tahun 1979 langsung dipegang oleh Mentri Dalam Negri pasal 2 ayat 3
sehingga Gubernur ataupun Bupati Walikota tidak dapat mengambil kebijaksanaan sendiri.
b. .Rencana Gubernur untuk memberikan tanah-tanah bekas
perkebunan yang sudah diduduki oleh rakyat harus dilaporkan dahulu kepada Mentri dalam Negri untuk mendapatkan persetujuan
dan adanya fatwa tata guna tanah dan rencana pembangunan di daerah dan pendapat dari panitia pemeriksaan tanah
c. .Penjelasan pengertian dikuasai dan dipergunakan sendiri atas
tanah-tanah Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, maka diartikan disini dikuasai artinya tidak harus ada bangunan diatasnya, bisa
Universitas Sumatera Utara
saja tanah kosong tetapi untuk peralatan parkir atau halaman terbuka.
Dengan surat keputusan bersama Mentri dalam Negri,Mentri Pertanian dan Mentri Kehakiman nomor 297 Tahun 1981 diterbitkan syarat-syarat
khusus dalam pemberian Hak Guna Usaha baru untuk perusahaan perkebunan besar dalam rangka melaksanaan keputusan Presiden Republik
Indonesia no.32 tahun 1979.
14
2.2.4.Status quo hak-hak tanah terdahulu
Hal yang sama tentunya juga untuk hak-hak tanah ada, artinya setelah berlakunya ketentuan-ketentuan UUPA dan PP 10 Tahun 1961
maka tidak mungkin diterbitkan lagi hak-hak tanah yang tunduk kepada hukum adat.
Ada dua pandangan mengenai hal ini, yang satu memandang setelah berlakunya UUPA,maka tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak
adat tetapi pandangan lain menyebutkan oleh karena PP 10 Tahun 1961 saja baru dianggap ketentuan status quo ini berlaku.
Dengan berlakunya status quo atas tanah-tanah dari sistem lama,maka dapatlah kita laksanakan dengan konsekuen jonversi
tersebut.Dengan demikian pula setiap ada pembuatan suatu bukti hak baru atas tanah yang tunduk atau yang akan ditundukkan kepada sistem lama
adalah batal dan tidak berkekuatan hukum. Yang dapat ditolerir adalah pernyataan bahwa sesutau bidang tanah
itu tunduk kepada Hukum Adat.Hal ini berkaitan dengan pandangan pragmatis bahwa tanah-tanah yang tunduk kepada hukum adat pada
umumnya tidak mempunyai bukti-bukti hak-atas tanah,hanya diketahui batas-batasnya oleh para jiran tetangganya dan berdasarkan kenyataan
itulah maka kepala desa menerbitkan surat keterangan tentang hak tanah tersebut yang disahkan oleh camat stempat.Keterangan itu adalah bersifat
dekleratif hanya menerangkan saja dan tidak bersifat konsitutif.
14
Lihat konversi hak-hak atas tanah hal : 20
Universitas Sumatera Utara
Kita harus tetap ingat bahwa girik,letter c,petuk dan sebagiannya itu bukan bukti hak milik atas menurut hukum adat, tetapi adalah bukti
pajak yang sudah dibayar,dan bukti penagihan pajak itu sekarang namanya bukan lagi girik dan seterusnya tetapi telah berubah menjadi
ireda,kemudian Ipeda dan sekarang bernama PBB.Dan PBB ini berlaku untuk semua tanah saja yang ada di tanah air kita yang dimanfaatkan untuk
dimilikidikuasai oleh seseorang.Khusus Propinsi Irian Jaya maka konversi dari hak-hak atas tanahnya dengan surat Keputusan Mentri dalam Negri
nomor Sk.59Dja1973 sebagimana telah diatur dalam Peraturan Mentri dalam Negri no.8 Tahun 1971 diperpanjang sampai dengan tanggal 26b
September 1973.
15
2.4 .Kepastian Hukum Hak-Hak Atas Tanah 2.4.1.Pelaksanaan Pendaftaran tanah