D. Hambatan Yang Bersifat Politis
Sebagaimana kita pahami, bahwa dalam konteks Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 Tentang Pemerintahan Aceh, disebutkan bahwa Kepala Daerah dan DPRK adalah mitra yang bersifat sejajar. Konstruksi ini memberikan kedudukan yang sama
tinggi antara Kepala Daerah dan DPRK, sehingga diharapkan dapat menjamin adanya kerjasama yang serasi antara keduanya guna mencapai tertib pemerintahan daerah.
Bila dihubungkan dengan pengawasan DPRK terhadap pelaksanaan APBK oleh kepala daerah, maka akan tersangkut hubungan kekuasaan antara kepala daerah
dengan DPRK dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah. Salah satunya adalah mengenai pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan APBK
yang secara otomatis akan mempunyai akibat yang wajar, yaitu kewajiban untuk menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban LKPJ yang diserahkan
kepada DPRK diikuti dengan hasil-hasil yang diperoleh, bila DPRK menindaklanjuti dengan hak-hak yang melekat padanya dalam rangka fungsi pengawasan, yaitu: hak
interpelasi, hak angket, dan hak petisi yang pada gilirannya dapat mengurangi kewibawaan kepala daerah, lebih-lebih seorang kepala daerah yang menduduki
jabatan politik penting dalam organisasi kekuatan sosial politik, maka posisi politik yang demikian sudah barang tentu membawa pengaruh politis psikologis pada
pelaksanaan pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksaan APBK. Hal tersebut diatas sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Nurhayati,
yang mengatakan:
Universitas Sumatera Utara
Apabila dilihat dari sisi peraturan perundang-undangan, maka hampir tidak ada hambatan yang dialami oleh DPRK terkait dengan fungsi pengawasan terhadap
pelaksanan APBK, karena peraturan perundang-undangan yang ada sudah cukup mengaturnya, Namun, saya berpendapat ada kemungkinan hambatan tersebut muncul
dari konstelasi politik yang ada pada suatu daerah.
101
Dalam kaitan ini, realitas politik sering digambarkan sebagai pertarungan kekuatan dan kepentingan. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud apabila
tidak mengacu pada etika politik, karena tujuan etika politik yang baik adalah untuk memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil. Defenisi
etika politik ini adalah untuk membantu menganalisis korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif dan struktur-struktur yang ada.
102
Dalam pada itu, sering diutarakan bahwa politik yang dalam hal ini merupakan kekuasaan adalah sesuatu yang netral, semuanya akan tergantung pada
penggunaannya. Sekalipun demikian tidak dapat dihilangkan kesan bahwa kekuasaan itu memiliki kecenderunagn tertentu yang lebih kuat dari pada sifatnya yang
dikatakan netral tersebut, hal tersebut terungkap dari kata-kata Lord Acton yang sudah menjadi terkenal didunia, bahwa ”kekuasaan cenderung disalahgunakan, dan
kekuasaan yang mutlak pasti disalahgunakan”. Maka dalam kerangka pemahaman
101
Wawancara dengan Nurhayati, Ketua Komisi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Gayo Lues, Kamis 20 Mei 2010.
102
Sadu Wasistiono dan Ondo Riyani, Etika Hubungan Legislatif-Eksekutif Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Bandung: Fokusmedia, 2003, hlm. 42.
Universitas Sumatera Utara
yang demikian, kekuasaan itu memiliki bakat untuk menjurus kepada praktik negatif.
103
Menyadari kondisi yang demikian, maka pengawasan DPRK terhadap penggunaan dana APBK yang dilakukan oleh kepala daerah hendaknya dipandang
dalam konteks aspek pendemokrasian dari pemberian otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggungjawab, disamping aspek keserasian hubungan antara kepala
daerah dengan DPRK. Hal ini tidak terlepas dari fungsi DPRK dalam kedudukannya sebagai pengemban dan penyalur aspirasi masyarakat, serta fungsi pengawasan
terhadap jalannya penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelaksanaan pembangunan daerah, dan juga sebagai mitra kerja kepala daerah dalam kedudukan
yang sama tinggi dalam merumuskan berbagai kebijaksanaan terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi.
H.M. Amru menerangkan pengawasan yang dilakukan DPRK bukan untuk mencari-cari kesalahan tetapi untuk membimbing sehingga tercapainya tujuan dalam
APBK tersebut yang dijalankan dengan akuntabel, transparan dan bersih untuk mewujudkan Good Govermence.
104
Oleh karena itu, pengawasan DPRK, terhadap pelaksanaan APBK yang disampaikan melalui Laporan Keterangan Pertanggungjawaban LKPJ kepala daerah
103
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia, Jakarta: Buku Kompas, 2003, hlm. 73.
104
Wawancara Dengan H. M. Amru, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Gayo Lues, Rabu, 19 Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
tidak perlu dikhawatirkan akan menghambat efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, tetapi lebih ditujukan untuk menciptakan pemerintahan yang
berdaya guna dan berhasil guna, dengan tetap mengembangkan semangat kerjasama yang serasi dan terbuka, yang pada gilirannya kepala daerah dalam melaksanakan
APBDAPBK, serta mengupayakan segala kebijakan yang diambil selalu berdasar hukum dan dapat dipertanggungjawabkan.
Memperhatikan hal tersebut diatas, maka untuk mengatasi hambatan yang bersifat politis dalam pelaksanaan fungsi pengawasan DPRK terhadap pelaksanaan APBK
yang dilakukan oleh kepala daerah, tentunya dalam menciptakan iklim yang kondusif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sudah saatnya ada political will dari
pemerintah untuk mengajukan Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang khusus mengatur tentang pengawasan DPRK terhadap pelaksanaan APBK.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka menurut hemat penulis, bahwa hambatan politis bagi DPRK dalam melakukan pengawasan pelaksanaan APBK,
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 1.
Budaya para politisi yang berpandangan bahwa politik itu adalah kekuasaan dan kepentingan.
2. Kelompok politik yang berbeda dipandang sebagai suatu persaingan.
Oleh karena itu, pengawasan DPRK terhadap pelaksanaan APBK harus dipandang dalm konteks aspek pendemokrasian dari pemberian otonomi daerah yang
luas, nyata dan bertanggungjawab, disamping aspek keserasian hubungan antara kepala daerah dengan DPRK. Hal ini tidak terlepas dari fungsi DPRK dalam
Universitas Sumatera Utara
kedudukannya sebagai pengemban dan penyalur aspirasi masyarakat, serta fungsi pengawasan terhadap jalannya penyelenggaraan pemerintahan daerah dan
pelaksanaan pembangunan daerah, dan juga sebagai mitra kerja kepala daerah dalam kedudukan yang sama tinggi dalam merumuskan berbagai kebijaksanaan terhadap
berbagai permasalahan yang dihadapi.
E. Kurang Harmonisnya Antara Kepala Daerah Dan DPRK Akibat Pengawasan.