Analisis Fungsi Pengawasan Terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Oleh Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus ( Studi Di Dean Perwakilan Rakyat Kabupaten Gayo Lues )

(1)

ANALISIS YURIDIS FUNGSI PENGAWASAN TERHADAP

ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA KABUPATEN

OLEH DEWAN PERWAKILAN RAKYAT KABUPATEN

DALAM PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS

( Studi Di Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Gayo Lues )

Tesis

Oleh

R I J A L U D D I N

087005064

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS YURIDIS FUNGSI PENGAWASAN TERHADAP

ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA KABUPATEN

OLEH DEWAN PERWAKILAN RAKYAT KABUPATEN

DALAM PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS

( Studi Di Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Gayo Lues )

Tesis

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

R I J A L U D D I N

087005064

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS FUNGSI PENGAWASAN

TERHADAP ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA KABUPATEN OLEH DEWAN PERWAKILAN RAKYAT KABUPATEN DALAM PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS

( Studi Di Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Gayo Lues ).

Nama Mahasiswa : RIJALUDDIN.

NIM : 087005064.

Program Studi : Magister Ilmu Hukum.

Menyetujui: Komisi Pembimbing

(Prof. Muhammad Abduh, SH. K e t u a

)

(Dr. Pendastaren Tarigan, SH. MS) (Prof. Dr. Sunarmi, SH. MHum A n g g o t a A n g g o t a

)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr.Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum K e t u a


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 31 Agustus 2010.

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Muhammad Abduh, SH.

Anggota : 1. Dr. Pendastaren Tarigan, SH. MS. 2. Prof. Dr. Sunarmi, SH. MHum.

3. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH. MHum. 4. Dr. Mirza Nasution, SH. MHum.


(5)

ABSTRAK

Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) merupakan salah satu unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Dalam menjalankan pemerintahan daerah, DPRK bersama Bupati dibantu oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang diberi wewenang khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebagai konsekuensinya maka timbul otonomi khusus yang diberikan kepada Propinsi Aceh yang menaungi beberapa kabupaten, dan salah satunya adalah Kabupaten Gayo Lues. Dalam menjalankan roda pemerintahan, pemerintah daerah berpedoman pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) sebagai rencana keuangan tahunan pemerintah daerah kabupaten yang ditetapkan dengan qanun. Adapun bentuk pengawasan DPRK melalui pengawasan politik dan kebijakan yang bertujuan untuk memelihara akuntabilitas publik, terutama lembaga-lembaga yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan kebijakan dan program pemerintahan serta pembangunan didaerah. Dengan alasan tersebut maka permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan fungsi pengawasan DPRK terhadap APBK, bagaimana eksistensi DPRK dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap APBK serta hambatan apa yang dihadapi dalam melakukan pengawasan.

Jenis penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif, dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Dalam melakukan pengumpulan data dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu: penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan adalah dengan merujuk pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, sedangkan penelitian lapangan dilakukan melalui wawancara dengan informan serta pengumpulan data-data yang berkaitan dengan permasalahan. Untuk menganalisis data digunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menganalisis data secara mendalam dan holistic dan kemudian dilakukan penafsiran. Hasil dari penafsiran tersebut diharapkan mampu menjawab permasalahan hukum yang diajukan dalam tulisan ini.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan: Pertama, fungsi pengawasan DPRK diatur dalam UU No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang secara teknis diatur dalam tata tertib. Kedua, pelaksanaan pengawasan terhadap APBK adalah berdasarkan informasi konstituen tanpa masuk keranah yang bersifat teknis, sebagai tindak lanjut pengawasan DPRK memiliki hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. Ketiga, hambatan-hambatan DPRK dalam menjalankan fungsi pengawasannya terhadap APBK dapat beradal dari internal dan eksternal. Oleh karena itu untuk mengawasi permasalahan tersebut disarankan: Pertama, hendaknya pemerintah membuat rumusan dalam bentuk hanya satu peraturan perundang-undangan yang berkaitan tentang teknis fungsi pengawasan DPRK. Kedua, diharapkan kepada Komisi Independen Pemilihan Umum (KIP) agar lebih memperhatikan proses seleksi Sumber Daya Manusia bagi calon anggota legislatif daerah. Ketiga, diharapkan pemerintah membentuk suatu lembaga


(6)

atau sejenisnya yang berfungsi sebagai pusat peraturan perundang-undangan mengenai pengawasan DPRK.

Kata Kunci : Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten, Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten.


(7)

ABSTRACT

House of Representative District (DPRK) is one of the elements of the district local government whose members are elected through general elections. In carrying out local government, the DPRK with the regent assisted by work unit area (SKPD) who were given special authority to organized and manage their own affairs and interest of local communities in accordance with statutory regulations. As a consequence, the resulting special autonomy granted to Aceh province, which is responsible for several districts, one of which is the district of Gayo Lues. In running the government’s annual financial plans which set out the strip district law (qanun). The shape of the DPRK through a supervisory control politics and policies that aim to maintain public accountability, especially related institutions directly to the implementation of governmnet policies and programs as well as development in the region. With the above reasons, the problems arising in this research is on how setting the DPRK against APBK oversight, how the existence of the DPRK in conducting oversight APBK.

This is the type of legal research legal to the nature of empirical normative descriptive analitycal research. In conducting the data collection was done by 2 (two) ways, namely: research library and field research. The research literature is to refer to primary legal materials, secondary legal materials and legal materials tertiary, while the field research conducted through interviews with informants and gathering of data related to the problem. To analyze the data, a qualitative approach, namely by analyzing the data in depth and holistic and then performed the interpretation. Result of judical interpretation is expected to answer the legal issues raised in this paper.

From the research result can be summarized: first, the DPRK supervisory Law No. 27 Year 2009 of the MPR, DPR, DPD, and DPRD, Law No. 32 of year 2004 on region governance and Law No. 11 year 2006 concerning Aceh Government which are technically regulated in order. Second, the implementation of the supervision of APBK is based on information entered into the realm of constituents without the supervision of a technical nature, as a follow-up supervision of the DPRK has the right of interpellation right and the right to an oppinion poll. Thirdly, the DPRK obstacles in carrying out its oversight functions against APBK can come from internal and eksternal. Therefore, to overcome this problem is suggested: First, the government should make only one statement in the from of legislation relating to on DPRK technical oversight function. Second, it is expected to Independent Election Commision (KIP) to allow more attention to the selection process of human resources for local legislative candidates. Third, the government is expected to establish an institution or the like which serves as a central legislation on the supervision of the DPRK.

Keyword : House of Representatives District oversight functions, Budget of the Distric.


(8)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Pada detik yang berbahagia ini izinkanlah penulis memanjatkan segala puji dan syukur atas kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul : ”Analisis Fungsi

Pengawasan Terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Oleh Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus ( Studi Di Dean Perwakilan Rakyat Kabupaten Gayo Lues )”. Demikian juga shalawat beriring salam

disampaikan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa manusia dari alam kebodohan ke alam kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan.

Dalam melaksanakan penulisan Tesis ini bukanlah merupakan pekerjaan yang ringan laksana membalikkan telapak tangan, hal tersebut ditandai dengan banyaknya rintangan dan cobaan yang datang silih berganti menyertai langkah penulis dalam melakukan penulisan tesis ini. Namun semua itu penulis anggap sebagai suatu ujian dari ALLAH SWT, sehingga harus penulis hadapi dengan penuh kesabaran dan senantiasa mengharap ridho dan pertolongan dari ALLAH SWT, karena penulis yakin bahwa ALLAH SWT tidak akan membebani dan menguji hambaNya melebihi dari daya dan kemampuannya.

Penulisan Tesis ini dapat terselesaikan tidak terlepas berkat adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itulah pada kesempatan yang baik ini penulis menghaturkan banyak terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang penulis muliakan, yaitu:


(9)

1. Yang terpelajar Bapak Prof. Muhammad Abduh, SH. selaku ketua komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dalam memperluas wawasan penulis.

2. Yang terpelajar Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH. MS selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan kesempatan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

3. Yang terpelajar Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH. MHum selaku pembimbing III sekaligus Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang ditengah-tengah kesibukannya masih sempat untuk meluangkan waktunya dalam memberikan arahan, bimbingan dan masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam penulisan Tesis ini.

4. Yang terpelajar Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, SH. MHum dan yang terpelajar Bapak Dr. Mirza Nasution, SH. MHum yang telah berkenan sebagai penguji dari mulai kolokium hingga meja hijau dan telah banyak memberikan kritik dan sarannya demi menuju tesis ini kearah yang lebih baik.

5. Seluruh civitas akademika dan pegawai di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultasu Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.

6. Seluruh Anggota dan staf Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Gayo Lues yang telah membatu saya dalam melakukan penelitain yang namanya tidak dapat saya sebutkan satu persatu.


(10)

7. Teman-teman satu angkatan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (Dani Sintara, SH. MH, Ruly Pardian, SH. MH, Ya’thi Syahri, SH. MH, M. Rizky Hidayat, SH. MH, M. Hykna Kurniawan Lubis, Fadillah Haryono, Mardia Pulungan, SH. MH, Moraluddin Harahap, Franky Fernandus Purba, SH. MH, Satria Dharma Putra Zebua, Abel Zekonia Tri Legenda, SH. MH, Pristika Handayani, SH. MH, Lenni Wirana, SH. MH, Suriani, SH. MH, Claudya Purba, SH. MH, Ervinasari, SH. MH) dan yang lain yang tak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.

Semoga segala bantuan yang telah diberikan dapat dikategorikan sebagai amal saleh dan dibalas dengan pahal yang berlipat ganda oleh ALLAH SWT, Amin.

Dalam kesempatan ini juga penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada Aban-abang dan kakak-kakak penulis tercinta, yakni: Bang H. M. Amru, Bang Iskandar, Bang Nasir, Kak Ira, Kak Masita yang dengan ketulusannya telah mencurahkan perhatian dan kasih sayang kepada penulis, serta senantiasa menemani penulis baik dalam suka maupun duka, penulis mengucapkan terimakasih yang tiada tara, semoga senantiasa berada dalam lindungan ALLAH SWT.

Akhirnya penulis sampaikan terimakasih yang tiada tara disertai dengan doa nan tulus penulis untuk segala bantuan, doa restu, kasih sayang, pengorbanan, dan kesabaran yang telah diberikan oleh Almarhum dan Almarhumah orang tua penulis tercinta, yakni Ayahanda Ismail Daud dan Ibunda Nurhayatai, kalian telah menjadi pemicu dan motivator bagi anakmu untuk berusaha semaksimal mungkin dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.


(11)

Sesuai dengan kata pepatah ”Tiada Gading Yang Tak Retak, Kalau Tak Retak

Bukanlah Gading” yang berarti juga penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh

dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharap kritik dan saran dari para pembaca sekalian demi menuju tulisan ini kearah yang lebih baik.

Akhirnya, penulis berharap tulisan ini dapat membawa manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmu hukum, AMIN.

Terimakasih.

Medan, Agusutus 2010. Penulis


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR SKEMA ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penelitian ... 15

E. Keaslian Penelitian ... 16

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 17

1. Kerangka teori ... 17

2. Kerangka konsepsi ... 37

G. Metode Penelitian ... 39

1. Spesifikasi penelitian ... 39

2. Alat pengumpul data ... 39


(13)

BAB II : PENGATURAN FUNGSI PENGAWASAN DPRK/ DPRD TERHADAP PELAKSANAAN APBK/APBD

DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ... 36

A. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR,

DPR, DPD, dan DPRD ... 44

B. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah ... 46

C. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang

Pemerintahan Aceh ... 52

D. Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat

Kabupaten Gayo Lues Periode 2009-2014 ... 55

E. Analisis Peraturan Fungsi Pengawasan DPRD/DPRK ... 62

BAB III : EKSISTENSI DPRD/DPRK DALAM MELAKSANAKAN FUNGSI PENGAWASAN (CONTROL FUNCTION)

TERHADAP PELAKSANAAN APBD/APBK ……… 72

A. Mekanisme Penyusunan Anggaran Daerah Berdasarkan

Prinsip Good Financial Governance ... 72

B. Kedudukan Lembaga DPRK Sebagai Pengawasn

Dalam Pemerintahan Aceh ... 84

C. Analisis Fungsi Pengawasan DPRD/DPRK Terhadap

Pelaksanaan APBD/APBK ... 100

BAB IV : HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI OLEH DPRD/DPRK DALAM

MELAKSANAKAN FUNGSI PENGAWASAN

TERHADAP PELAKSANAAN APBD/APBK ... 109


(14)

B. Belum Adanya Standard, Sistem dan Prosedur Baku

Pengawasan DPRD/DPRK ... 111

C. Partisipasi Masyarakat Belum Optimal ... 112

D. Hambatan Yang Bersifat Politis ... 115

E. Kurang Harmonisnya Antara Kepala Daerah dan DPRK Akibat Pengawasan ... 119

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 122

A. Kesimpulan ... 122

B. Saran ... 124

DAFTAR PUSTAKA ... 126 LAMPIRAN


(15)

DAFTAR SKEMA

Halaman

Skema I : Makna Fungsi Pengawasan ... 65

Skema II : Proses Penyusunan Strategis dan

Prioritas APBD / APBK ... 76 Skema III : Siklus Pengelolaan Keuangan Daerah ... 82

Skema IV : Perencanaan dan Pelaksanaan Pengawasan

DPRK ... 93 Skema V : Pengawasan Terhadap APBD / APBK ... 97


(16)

DAFTAR SINGKATAN

• APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

• APBK : Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten.

• DPR : Dewan Perwakilan Rakyat.

• DPD : Dewan Perwakilan Daerah.

• DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

• DPRK : Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota.

• DPRA : Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

• DPA : Daftar Pengisian Anggaran.

• RPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.

• RKPD : Rencana Kerja Pemerintah Daerah.

• KUA : Kebijakan Umum Anggaran.

• PPAS : Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara.

• SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah.

• RKA-SKPD : Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah.

• RAPBD : Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

• MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat.

• SAP : Satuan Akuntansi Pemerintahan.

• LRA : Laporan Realisasi Anggaran.

• CALK : Catatan Atas Laporan Keuangan.

• SPM-UP : Surat Perintah Membayar Uang Persediaan.

• SPM-GU : Surat Perintah Membayar Ganti Uang.

• SPM-TU : Surat Perintah Membayar Tambahan Uang.

• SPM-LS : Surat Perintah Membayar Langsung.


(17)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Rijaluddin.

Tempat / Tanggal Lahir : Aceh Tenggara / 30 Mei 1984.

Alamat : Jl. Kolonel Muhammaddin No. 274 Blangkejeren, Gayo Lues.

Agama : Islam.

Pekerjaan : Wiraswasta.

Status Pribadi : Belum Menikah.

Pendidikan : 1. Madrasah Ibtidaiyah Negeri : Tahun 1996. Blang Tampeng Kuta Panjang

2. SMP Muhammadiyah : Tahun 1999. Kutacane

3. SMU Neg. 4 Medan : Tahun 2002

4. Fakultas Hukm Universitas : Tahun 2008 Muhammadiyah Sumatera

Utara

Nama Orang Tua Laki-Laki : Alm. Ismail Daud.

Nama Orang Tua Perempuan : Almh. Nurhayati.

Anak Ke : 7 dari 7 bersaudara.

Tahun Masuk Di Prog. Studi : Tahun 2008. Magister Ilmu Hukum USU


(18)

ABSTRAK

Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) merupakan salah satu unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Dalam menjalankan pemerintahan daerah, DPRK bersama Bupati dibantu oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang diberi wewenang khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebagai konsekuensinya maka timbul otonomi khusus yang diberikan kepada Propinsi Aceh yang menaungi beberapa kabupaten, dan salah satunya adalah Kabupaten Gayo Lues. Dalam menjalankan roda pemerintahan, pemerintah daerah berpedoman pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) sebagai rencana keuangan tahunan pemerintah daerah kabupaten yang ditetapkan dengan qanun. Adapun bentuk pengawasan DPRK melalui pengawasan politik dan kebijakan yang bertujuan untuk memelihara akuntabilitas publik, terutama lembaga-lembaga yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan kebijakan dan program pemerintahan serta pembangunan didaerah. Dengan alasan tersebut maka permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan fungsi pengawasan DPRK terhadap APBK, bagaimana eksistensi DPRK dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap APBK serta hambatan apa yang dihadapi dalam melakukan pengawasan.

Jenis penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif, dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Dalam melakukan pengumpulan data dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu: penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan adalah dengan merujuk pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, sedangkan penelitian lapangan dilakukan melalui wawancara dengan informan serta pengumpulan data-data yang berkaitan dengan permasalahan. Untuk menganalisis data digunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menganalisis data secara mendalam dan holistic dan kemudian dilakukan penafsiran. Hasil dari penafsiran tersebut diharapkan mampu menjawab permasalahan hukum yang diajukan dalam tulisan ini.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan: Pertama, fungsi pengawasan DPRK diatur dalam UU No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang secara teknis diatur dalam tata tertib. Kedua, pelaksanaan pengawasan terhadap APBK adalah berdasarkan informasi konstituen tanpa masuk keranah yang bersifat teknis, sebagai tindak lanjut pengawasan DPRK memiliki hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. Ketiga, hambatan-hambatan DPRK dalam menjalankan fungsi pengawasannya terhadap APBK dapat beradal dari internal dan eksternal. Oleh karena itu untuk mengawasi permasalahan tersebut disarankan: Pertama, hendaknya pemerintah membuat rumusan dalam bentuk hanya satu peraturan perundang-undangan yang berkaitan tentang teknis fungsi pengawasan DPRK. Kedua, diharapkan kepada Komisi Independen Pemilihan Umum (KIP) agar lebih memperhatikan proses seleksi Sumber Daya Manusia bagi calon anggota legislatif daerah. Ketiga, diharapkan pemerintah membentuk suatu lembaga


(19)

atau sejenisnya yang berfungsi sebagai pusat peraturan perundang-undangan mengenai pengawasan DPRK.

Kata Kunci : Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten, Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten.


(20)

ABSTRACT

House of Representative District (DPRK) is one of the elements of the district local government whose members are elected through general elections. In carrying out local government, the DPRK with the regent assisted by work unit area (SKPD) who were given special authority to organized and manage their own affairs and interest of local communities in accordance with statutory regulations. As a consequence, the resulting special autonomy granted to Aceh province, which is responsible for several districts, one of which is the district of Gayo Lues. In running the government’s annual financial plans which set out the strip district law (qanun). The shape of the DPRK through a supervisory control politics and policies that aim to maintain public accountability, especially related institutions directly to the implementation of governmnet policies and programs as well as development in the region. With the above reasons, the problems arising in this research is on how setting the DPRK against APBK oversight, how the existence of the DPRK in conducting oversight APBK.

This is the type of legal research legal to the nature of empirical normative descriptive analitycal research. In conducting the data collection was done by 2 (two) ways, namely: research library and field research. The research literature is to refer to primary legal materials, secondary legal materials and legal materials tertiary, while the field research conducted through interviews with informants and gathering of data related to the problem. To analyze the data, a qualitative approach, namely by analyzing the data in depth and holistic and then performed the interpretation. Result of judical interpretation is expected to answer the legal issues raised in this paper.

From the research result can be summarized: first, the DPRK supervisory Law No. 27 Year 2009 of the MPR, DPR, DPD, and DPRD, Law No. 32 of year 2004 on region governance and Law No. 11 year 2006 concerning Aceh Government which are technically regulated in order. Second, the implementation of the supervision of APBK is based on information entered into the realm of constituents without the supervision of a technical nature, as a follow-up supervision of the DPRK has the right of interpellation right and the right to an oppinion poll. Thirdly, the DPRK obstacles in carrying out its oversight functions against APBK can come from internal and eksternal. Therefore, to overcome this problem is suggested: First, the government should make only one statement in the from of legislation relating to on DPRK technical oversight function. Second, it is expected to Independent Election Commision (KIP) to allow more attention to the selection process of human resources for local legislative candidates. Third, the government is expected to establish an institution or the like which serves as a central legislation on the supervision of the DPRK.

Keyword : House of Representatives District oversight functions, Budget of the Distric.


(21)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

“Kekuasaan cenderung disalah gunakan dan kekuasaan yang mutlak pastilah disalah gunakan (power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely)” itulah kalimat yang pernah dikemukan oleh Lord Acton seorang berkebangsaan Inggris yang hidup antara tahun 1838 hingga 1902, yang awalnya hanya sebuah hipotesa belaka. Hipotesa yang akirnya seakan menjadi takdir yang tak terbantahkan lagi oleh sejarah panjang kekuasaan. Kekuasaan yang mutlak berada pada tangan seseorang yang telah melahirkan seorang Fir’aun, Nero hingga Mossolini dan Hitler dengan pemerintahan yang tiran. Kekuasaan yang mutlak berada di tangan sekelompok orang telah menjadi pedang bagi bangsawan Prancis atau Partai Komunis untuk mengoyakkan hak rakyat untuk kepentingan pribadi atau kelompok sendiri dalam pemerintahan yang oligarkhi. Demikian panjangnya sejarah hitam kekuasaan hingga pernah dianggap ideal setidaknya dalam teori Lao Sayeung di China atau pun Machiavelli di Prancis.1

Pada abad ke 18 perjuangan untuk membela hak-hak rakyat dari penindasan penguasa mulai muncul dan melebar ke seluruh penjuru dunia. Dengan ilmu pengetahuan, paham kemanusiaan (humanisme) dengan semangat kebebasan (liberte) derta persaudaraan (freternete) telah menjadi pradigma baru dalam hubungan antara

1

Dahlan Thaib Dkk, Teori Dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 3


(22)

penguasa dan rakyat. Penguasa dan rakyat yang disetarakan kedudukanya sehingga rakyat lebih memiliki posisi tawar yang kuat dihadapan penguasa (negara). Untuk mewujudkan kondisi yang demikian maka kekuasaan yang bersifat mutlak, apalagi keberadaannya pada satu tangan secara mutlak haruslah dilarang walaupun dengan alasan apapun. Hanya dengan demikian rakyat dapat lepas dari penindasan penguasa. Untuk dapat mencegah munculnya kekuasaan yang mutlak dalam suatu negara setidaknya ada dua cara yang dapat ditempuh. Yang pertama adalah dengan membatasi kekuasaan tersebut secara yuridis dalam suatu konstitusi negara sesuai dengan teori kontrak sosial (social contract) yang di kemukan oleh Jhon Locke, yang mana walaupun rakyat menyerahkan kekuasaan pada penguasa namun ada hak-hak yang mendasar (Hak asasi) yang tetap berada di tangan rakyat2. Jadi kekuasaan negara terbatas hanya pada hal yang diatur dalam konstitusi yang isinya harus dipatuhi sebagai aturan tertinggi (staat fundamental norm). dengan dianutnya asas tersebut maka negara tersebut merupakan negara hukum (rechsstaat) dan bukan negara kekuasaan (machsstaat) sebagai mana diatuar dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945, paham yang demikian dikenal dengan istilah Konstitusionalisme, yaitu paham yang mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.3

Negara hukum adalah suatu sistem kenegaraan yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku yang berkeadilan yang tersusun dalam suatu konstitusi, dimana semua

2

Samidjo, Ilmu Negara, (Bandung: Armico, 1968), hlm. 257

3


(23)

orang dalam negara tersebut baik yang diperintah maupun yang memerintah harus tunduk pada hukum yang sama, sehingga setiap orang yang sama diberlakukan sama dan setiap orang yang berbeda diperlakukan berbeda dengan dasar pembedaan yang rasional, tanpa memandang warna kulit, ras, gender, agama, daerah dan kepercayaan, dan kewenangan pemerintah dibatasi berdasarkan suatu prinsip distribusi kekuasaan, sehingga pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang dan tidak melanggar hak-hak rakyat diberikan peran sesuai dengan kemampuan dan peranannya secara demokrasi.4

Adapun cara kedua adalah dengan memecah kekuasaan negara, baik dengan sistim pemisahan (separation of power) atau dengan pembagian kekuasaan (distribution of power). Teori ini didasari oleh teori Trias politikal yang dikemukakan oleh Montesquieu dalam bukunya berjudul “L’espirit des lois” yang memunculkan tiga lembaga pemerintahan yang terdiri dari Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif5

4

Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, (Jakarta: PT. Refika Aditama, 2009) , hlm.3

. Khusus berkaitan dengan kekuasaan utama, yang berkaitan dengan kekusaan dalam penyelenggaraan pemerintahan dipegang oleh lembaga eksekutif, namun hanya dapat menjalankan kekuasaanya dengan aturan yang dibentuk sekaligus diawasi pelaksanaanya oleh lembaga legislatif. Kehadiran perwakilan rakyat dalam suatu negara demokrasi bukanlah untuk mengurangi kewenangan dari eksekutif tetapi harus

5

M. Mahfud M.D, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 72.


(24)

dipandang sebagai upaya untuk terjaminya kepentingan rakyat dalam seluruh kebijakan pemerintah termasuk pemerintah daerah.6

Dalam ketentuan umum Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat (4), disebutkan “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah” yang menjalankan kekuasaan legislatif. Fungsi dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) Kabupaten/Kota terdapat pada Pasal 41 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Jo. Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tentang Pemerintahan Aceh, Jo. Pasal 343 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, berbunyi:

DPRD Kabupaten/Kota mempunyai tugas: a. Legislasi

b. Anggaran c. Pengawasan

Dalam penjelasan Pasal 343 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jo. Pasal 77 huruf a, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis

6


(25)

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, disebutkan lebih lanjut bahwa: Pasal 77 huruf a, yang di maksud dengan fungsi legislasi adalah legislasi daerah yang merupakan fungsi DPRD Kabupaten/Kota bersama bupati/walikota. Hurup b, fungsi anggaran adalah fungsi DPRD Kabupaten/Kota bersama dengan pemerintah daerah untuk menyusun dan menetapkan APBD yang didalamnya termasuk anggaran untuk melaksanakan fungsi, tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota. Hurup c, fungsi pengawasan adalah fungsi DPRD Kabupaten/Kota untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang, peraturan daerah, dan keputusan bupati/walikota serta kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.

Sebagai mana disebut dalam konsideran Undang-Undang Nomor 22 tahun 2003; “Bahwa untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan perlu diwujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat dan serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat termasuk kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan nernegara”. Berdasarkan kalimat di atas sebagai dasar pertimbangan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 bahwa lembaga perwakilan rakyat dan lembaga perwakilan daerah merupakan wadah demokrasi dalam memperjuangkan aspirasi rakyat.7

77


(26)

Reformasi pemerintahan yang terjadi di Indonesia telah mengakibatkan pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan dari padadigma sentralistik ke arah desentralistik nyata ditandai dengan pemberian otonomi luas dan nyata pada daerah, pemberian ini dimaksudkan khusus untuk lebih memandirikan daerah serta pemberdayaan masyarakat (empowering).8

Sejalan dengan perkembangan kehidupan ketatanegaraan dan politik kebangsaan, setelah dilakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B, telah terjadi perubahan yang sangat mendasar dalam tatanan kenegaraan termasuk dalam susunan dan kedudukan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik ditingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

Oleh karena itu, dari berbagai ukuran penilaian keberhasilan suatu daerah dalam melaksanakan otonominya, maka yang menjadi pusat perhatian adalah masalah efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya yang terkait dengan masalah keuangan daerah. Keuangan merupakan faktor penting dalam suatu negara, disebabkan pengaruhnya yang demikian menentukan terhadap kompleksitas kelangsungan hidup negara dan masyarakatnya. Pengaruh dari aspek keuangan antara lain juga mencerminkan kualitas kenegaraannya. Apabila keberadaan keuangan negara yang dimiliki semakin baik, maka kedudukan pemerintah dalam menjalankan keorganisasian negara baik dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan dalam

8


(27)

melayani kepentingan masyarakatnya maupun dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan untuk mensejahterakan warganya akan semakin stabil. Sebaliknya, suatu pemerintahan dipandang akan menghadapi problema pelik dalam memperlancar pelaksanaan segenap fungsi dan tugas kenegaraan jika tidak didukung oleh kondisi keuangan yang baik pula.9

Penerapan Otonomi Daerah berdasrkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian di sempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebabkan pelaksanaan pemerintahan dapat di laksanakan secara lebih praktis dan nyata pada Pemerintahan Daerah. Provinsi Aceh (setelah di rubah namanya kembali mensajadi Provinsi Aceh dari nama sebelumnya Nanggro Aceh Darussalam berdasarkan Pergub tanggal 7 April 2009) Sebagai daerah otonomo khusus sejak sidang Umum MPR tahun 1999 melalui Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999, yang mengamanatkan antara lain pemberian otonomi khusus kepada Daerah Istimewa Aceh.

Menanggapi akan arti pentingnya keuangan dalam mencapai keberhasilan suatu daerah, maka dalam pelaksanaannya harus pula dibarengi dengan pengawasan agar tidak terjadinya penyalahgunaan wewenang.

Pelaksaaan ototnomi khusus di Provinsi Aceh didasakan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang telah di sempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Didalam konsideran (Menimbang) UU Nomor 18 Tahun 2001 huruf (d) antara lain disebutkan bahwa “ketentuan dalam

9

Faisal Akbar Nasution, Pemerintahan Daerah dan Sumber-Sumber Asli Pendapatan Daerah, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2009), hlm. 16.


(28)

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 belum menampung sepenuhnya hak asal usul dan keistimewaan Provinsi DaerahIstimewa Aceh”. Sedang dalam huruf (e) disebutkan “bahwa pelaksanaan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 perlu diselaraskan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.” Dari kutipan ini dapat dipahami bahwa otonomi khusus adalah otonomi yang diberikan sebagai tambahan atas otonomi yang sudah ada dan juga penyempurnaan atas penyelenggaraan keistimewaan yang sudah diberikan sebelumnya. Dalam Pasal 3 Undang-Undang ini ditemukan rumusan: (1)“Kewenangan, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah kewenangan otonomi khusus”. (2) “Kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam selain yang diatur pada ayat (1) tetap berlaku sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Dalam kaitan ini, sekiranya diingat bahwa yang tidak diotonomikan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pada pokoknya hanyalah lima buah urusan yaitu : hukum, agama, fiskal, hubungan luar negeri, dan pertahanan, maka otonomi khusus seyogyanya dipahami sebagai pemberian paling kurang sebagian kewenangan dalam lima urusan yang belum diotonomikan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebelumnya. Di dalam “Penjelasan Umum” Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 disebutkan bahwa “Hal mendasar dari Undang-Undang ini adalah pemberian kesempatan yang lebih luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri termasuk sumber-sumber ekonomi, menggali sumber daya alam dan sumber daya manusia, …dan


(29)

mengaplikasikan Syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat.” Dalam alinia lainnya disebutkan “Kewenangan yang berkaitan dengan bidang pertahanan negara merupakan kewenangan Pemerintah. Dalam hal pelaksanaan kebijakan tataruang pertahanan untuk kepentingan pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang tidak bersifat rahasia, Pemerintah berkoordinasi dengan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”.10

Pada dasarnya tugas DPRK dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sama dengan tugas DPRD dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang di sempurnakan dengan Undang-Undang No.12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.

Sebagai salah satu pilar demokrasi, DPRD mempunyai fungsi antara lain membuat peraturan, peraturan (legislasi) dalam hal ini peraturan daerah (Perda), DPRD harus memasukan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang di wakilinya dalam bentuk Pasal-Pasal peraturan yang dihasilkanya. Dalam fungsi keuangan (Budgeter) DPRD berwenang menentukan pemasukan dan pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam pembuatan APBD ini DPRD harus melibatkan unsur masyarakat, transparansi dan akuntabel, sebab uang yang digunakan itu berasal dari rakyat dan untuk kepentungan rakyat. Dalam menjalankan fungsi

10

Al Yasa’ Abubakar dan M. Daud Yoesoef, ”Qanun Sebagai Peraturan Pelaksanaan Otonomi Khusus”, www.djpp.depkumham.go.id.


(30)

pengawasan, DPRD bisa menggunakan berbagi hak yang di milikinya, seperti hak bertanya, hak interpelasi, hak angket dan menyatakan pendapat.11

Dalam anggaran terdapat siklus yang di sebut Budget Ciclus yang merupakan jangka waktu mulai dari anggara disusun sampai dengan saat perhitungan anggaran disahkan dengan Undang-Undang. Menurut Harjono Sumosudirdjo dalam W. Riawan Tjandra, tahapan siklus anggaran adalah sebagai berikut: 12

1. Penyusunan anggaran oleh pemerintah;

2. Pengelolaan anggaran di DPR yang berakir dengan pengesahan anggaran dengan UU;

3. Pelaksanaan anggaran oleh pemerintah;

4. Pengawasan-pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran; 5. Pengesahan perhitungan anggaran dengan UU.

Pengawasan yang digambarka dalam siklus anggaran terihat seakan-akan merupakan tahapan yang terpisah, pada hal sebenarnya pengawsan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari setiap siklus anggaran. Dengan demikian, pengawasan merupakan instrumen pengendalian yang melekat pada setiap tahapan dalam setiap siklus anggaran. Pengawasan merupakan sarana untuk menghubungkan target dengan realisasi setiap program/ kegiatan/ proyek yang dilaksanakan pemerintah. Fungsi pengawasan harus dilakukan pada setiap perencanaan dan pelaksanaanya, kegiatan pengwasan sebagai fungsi menejmen bermaksud untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kegagalan setelah perencanaan dibuat dan dilaksanakan, keberhasilan perlu dipertahankan bila mungkin ditingkatkan dalam perwujudan

11

Lili Romli, Potret Otonomi Daerah Dan Wakil Rakyat Di Tingkat Lokal, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hlm. XVI.

12


(31)

menejmen/administrasi berikutnya di lingkungan suatu unit kerja tertentu, sebaliknya kegagalan harus diperbaiki dengan menghindari penyebabnya, baik dalam penyusunan pelaksanaan maupun pelaksanaanya. Utuk itulah fungsi pengawasan perlu dilaksanakan sedini mungkin agar diperoleh umpan balik (feed back) untuk pelaksanaan perbaikan bila terdapat kekeliruan atau penyimpangan sbelum menjadi lebih buruk dan sulit diperbaiki.13

Mengenai pengelolaan dan pengawasan haruslah dipisah untuk menghindarkan berkolusi antara pengelola dan pengawas keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah menjadi tantangan baru yang dihadapi oleh pemerintah, sebagai mana yang telah dimaklumi bahwa tingkat korupsi yang tinggi menjadi salah satu masalah dasar yang halus diselesaika.14

Pengawasan yang dilakukan oleh DPRK terhadap qanun, peraturan Bupati dan kebijakan pemerintah daerah lainya tentu dipengruhi oleh faktor internal dari para pengawas itu sendiri seperti sumberdaya manusia, karna keterbatasan sumberdaya manusia dalam melakukan pengawasan akan memrpengruhi hasil pengawasanya.

Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPRD memang unik , hal ini berbeda dengan dua fungsi lainya yaitu fungsi legislasi dan dan anggaran . Kedua fungsi ini telah memiliki pedoman dan prosedur baku yang diatur dengan Unang-Undang, dalam bidang fungsi legislasi misalnya terdapat Undang-Undang Nomor 10 tahun

13

Ibid, hlm. 130.

14

Pipin Syarifin Dan Dedah Jubaedah, Hukum Pemerintahan Daerah, (Jakarta: Pustaka Bani Quraisy, 2005), hlm. l56


(32)

2004 tentang pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam bidang anggaran terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah , peraturan Mentri Dalam Negri Nomor 13 Tahun 2005 yang telah diubah dengan Nomor 59 tahun 2007 tentang pengelolaan keuangan daerah, dan bahkan Menteri Dalam Negri tiap tahun mengeluarkan Peraturan Menrti Dalam Negri tentang Pedoman Penyusunan APBD, namun dalam bidang pengawasan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah, Undang-Undang Susunan dan Kedudukan Legislatif menyerahkan sepenuhnya kepada DPRD agar tata cara pelaksanaan fungsi pengawasan diatur dalam Tata Tertib DPRD, meskipun terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tengatang Pedoman pembinaan dan Pengawasan Pemerintah Daerah namun Peraturan Pemerintah in juga tidak memberi pedoman yang jelas, bahkan dalam Peraturan Pemerintah ini hanya di sebutkan dalam pasal 43 yang berbunyi “DPRD sesuai dengan fungsinya dapat melakukan pengawasan terhadap Pemerintahan Daerah di dalam wilayah kerjanya sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.15

Kekurang harmonisan antara DPRD dengan pemerintah daerah sebagai akibat dari pengawasan, dapat saja bersumber dari akibat prilaku pengawasan itu sendiri yang bertindak sebagai pihak yang mencari-cari kesalahan, sehingga terjadi ketidak harmonisan. Disisi lain pihak yang diawasi seharusnya tidak perlu bersikap reaktif, jika pekerjaan itu diawasi, sebab jika pekerjaan yang diawasi (pemerintah daerah)

15

Muhlisin Malik, “Fungsi Pengawasan DPRD, Antara Pengawasan Politik Dan Monuver Politik”, www.cetak.bangkapos.com


(33)

tidak ada unsur kesengajaan melakukan penyimpangan terhadap pembangunan fasilitas insfrastruktur, tidak perlu kawatir kendatipun sedang diawasi. Penguatan posisi lembaga legislatif daerah yang kini dimiliki DPRD baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota cukup signipikan. Pasca lengsernya Soeharto menjadi titik awal memperkuat peran dan fungsi legislatif daerah terhadap hegemoni eksekutif.16

Penyususnan APBD dilakukan secara integrasi untuk selurus jenis belanja guna melaksanakan kegiatan pemerintahan yang didasarkan pada perinsip efesiensi alokasi dana. Dalam upaya mewujudkan hal tersebut perlu adanya penguatan kapasitas aparatur yang terlibat lansung dalam penyususnan angggaran maupun anggota DPRD yang mengawal perjalanan penyususnan APBD dan pengawasan pelaksanaannya. Sejalan dengan penguatan posisi legislatif daerah tersebut maka hubungan yang tidak harmonis antara pemerintah daerah dengan DPRD, sering terjadi dibandingkan dengan era orde baru. Bila hal ini terjadi maka dapat berakibat pada keterlambatan proses pengesahan APBD, yang pada giliranya akan terlambatnya pelaksanaan pembangunan.

17

Dengan otonomi khusus yang di jalankan dengan Undang-Undag Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pemerintahan di daerah dapat dilaksanakan dengan lebih praktis dan nyata pada Pemerintahan Daerah. Dengan kewenangan yang luas tersebut untuk menyelenggarakan rumah tangganya sendiri maka

16

Majalah Ondihon, Volume 1 Nomor 2 mei 2007, hlm. 14

17

Sadu Wasistiono & Yonatan Wiyoso, Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah


(34)

pengawasa APBK oleh DPRK merupakan tugas yang harus lebih diutamakan untuk menghidari penyelewengan APBK. APBK merupakan salah satu dana dalam menjalankan desentralisasi merupakan rancangan keuaangan tahunan pemerintah daerah yang ditetapkan dengan qanun. Qanun yang merupakan peraturan pelaksana Otonomi Khusus yang merupakan kewenangan pemerintah daerah dapat diartikan qanun sebagai peraturan daerah namun qanun tidak tunduk pada peraturan pemerintah karna qanun berada langsung di bawah Undang-Undang maka terdapat suatau hubungan yang unik dari peraturan perundang-undangan tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Yuridis Fungsi Pengawasan Terhadap Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Kabupatan Oleh Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus (Studi di Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Gayo Lues)”.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang, maka dirumuskan beberpa permasalahan yang diniai dapat memenuhi unsur-unsur dalam penelitian tesis ini nantinya, permasalahan yang akan diangkat adalah:

1. Bagaimana pengaturan fungsi pengawasan DPRK/DPRD terhadap APBK/APBD?

2. Bagaimana eksisitensi DPRK dalam melaksanakan fungsi pengawasan (control funcion) terhadap APBK?


(35)

3. Hal-hal apa saja yang menjadi hambatan bagi DPRK dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan APBK?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaturan fungsi pengawasan DPRK/DPRD terhadap APBK/APBD.

2. Untuk mengetahui eksisitensi DPRK dalam melaksanakan fungsi pengawasan (control funcion) terhadap APBK.

3. Untuk mengetahui hambatan bagi DPRK dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan APBK.

D. Manfaat Penelitian

Terjawabnya permasalahan dalam penelitian tesis ini dan tercapainya tujuan, diharapkan akan membawa sejumlah mamfaat baik dalam tataran akademis maupun tataran praktis, sehingga diharapkan penelitian ini nantinys bermamfaat untuk:

a. Secara teoritis.

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada giliranya memberikan sumbangan bagi perkembangan Hukum Tata Negara, khususnya berkaitan dengan pengawasan keuangan daerah.


(36)

b. Secara praktis:

1. Sebagai pedoman dan masukan bagi lembaga hukum dan institusi pemerintahan, penegak hukum, praktisi hukum dan masyarakat secara luas berkaitan dengan pemerintahan daerah.

2. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan berkaitan deangan penegakan dan pengembangan Hukum Tata Negara.

3. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademisi untuk menambah wawasan dalam hukum tata negara khusus berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan peranan DPRK dalam menjalankan fungsinya.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengamatan serta penelusuran kepustakaan yang dilakukan baik di perpustakan Universitas Sumetera Utara maupun di universitas lain, penelitian yang mengangkat judul “Analisis Yuridis Fungsi Pengawasan Terhadap Anggaran Pendapatan Dan Belanja kabupatan Oleh Dewan Perwakilan Kabupaten Dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus (Studi di Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Gayo Lues)” belum pernah dilakukan baik dalam judul yang sama maupun permaslahan yang sama, sehingga penelitian ini dapat dikatagorikan sebagai penelitian yang baru dan keaslianya dapat dipertanggungjawabkan, karna dilakukan deangan nuansa keilmuan, kejujuran, rasional objektif dan terbukadan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan akademisi.


(37)

Bersamaan dengan penelitian ini, penelitian tentang pemerintahan daerah juga dilakukan oleh Dani Sintara dengan judul “Analisis yuridis terhadap pertanggungjawaban kepala daerah sebagai pelaksana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam penyelengaraan pemerintah daerah” (Studi di pemerintahan kota Tanjung Balai), dan penelitian yang dilakukan oleh Frengki Fernandus Purba dengan judul “ Aspek yuridis peranan badan perencanaan pembangunan daerah (BAPEDA) dalam penyusunan rencangaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (RAPBD)” (Studi di kabupaten Simalungun), namun dasar pemikiranya berbeda, penelitian yang dilakukan penulis lebih menekankan pada fungsi DPRK terhadap pengawasan APBK dalam lingkup otonomi khusus.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum sebagaimana tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka Analisis yuridis dalam penelitian ini akan menganalisa perundang-undangan mengenai pengawasan DPRK terhadap APBK yang didasarkan kepada Undang-Undang Dasar 1945 sebagai norma hukum yang tertinggi disamping norma-norma hukum yang lain. Dalam negara hukum, kekuasaan negara dilaksanakan menurut prinsip dasar keadilan sehingga terikat secara konstitusional pada konstitusi. Hukum menjadi batas, penentu, dasar cara dan tindakan pemerintah serta segala Instansi dalam mencampuri hak dan kebebasan warganegara. Atas dasar hukum pula negara hukum menyelenggarakan apa yang


(38)

menjadi tujuan negara. Jadi tidak masuk akal jika negara hukum diwujudkan dengan cara yang melawan hukum.18

Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim dalam bukunya yang berjudul “Pengantar

Hukum Tata Negara Indonesia” menyebutkan bahwa unsur-unsur Negara hukum

dapat dilihat pada Negara hukum dalam arti sempit maupun formal. Dalam arti sempit, pada Negara hukum hanya dikenal 2 (dua) unsur penting, yaitu :

1. Perlindungan terhadap hak asasi manusia. 2. Pemisahan / pembagian kekuasaan.

Sedangkan Negara hukum dalam arti formal, unsur-unsurnya lebih banyak, yaitu mencakup antara lain :

1. Perlindungan terhadap hak asasi manusia. 2. Pembagian / pemisahan kekuasaan.

3. Setiap tindakan Pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan.

4. Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri.19

Berdasarkan uraian konsep tentang Negara hukum tersebut, ada 2 (dua) substansi dasar, yaitu:20

1. Adanya paham konstitusi.

2. Sistem demokrasi atau kedaulatan rakyat.

Paham konstitusi memiliki makna bahwa pemerintahan berdasarkan atas hukum dasar (konstitusi), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (absolutisme). Konsekuensi

18

Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, (Jakarta: Erlangga, 2000) hlm. 55.

19

Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983), hlm. 156.

20

Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2006), hlm. 120.


(39)

logis dari diterimanya paham konstitusi atau pemerintahan berdasarkan undang-undang dasar (wetmatigheid van bestuur), berarti bahwa kekuasaan pemerintahan negara presiden selaku eksekutif memegang kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar, presiden berhak memajukan undang-undang kepada lembaga perwakilan rakyat, presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang. Dengan prinsip ini pula presiden mengeluarkan peraturan.

Paham konstitusionalisme menghendaki eksistensi 2 (dua) elemen penting sekaligus; pertama, hukum yang menjadi pembatas bagi kemungkinan kesewenang-wenangan kekuasaan, dan kedua akuntabilitas politik sepenuhnya dari pemerintah (government) kepada yang diperintah (governed). Melalui sistem konstitusi dalam pemerintahan inilah akan melahirkan kesamaan hak dan kewajiban warga negara serta perlindungan didalam hukum dan pemerintahan, karena pemerintah (penguasa) dalam menerapkan aturan merujuk pada aturan dasar yang berlaku (konstitusi) bukan kekuasaan yang dimiliki.

Sedangkan sistem demokrasi atau paham kedaulatan rakyat adalah bahwa rakyat memerintah dan mengatur diri mereka sendiri (demokrasi). Hanya rakyat yang berhak mengatur dan menentukan pembatasan-pembatasan terhadap diri mereka sendiri. Oleh sebab itu dalam penyelenggaraan negara modern, keikutsertaan rakyat mengatur dilakukan melalui badan perwakilan yang menjalankan fungsi membuat undang-undang.21

21


(40)

Hubungan antara rakyat dan kekuasaan negara sehari-hari lazimnya berkembang atas dasar dua teori, yaitu teori demokrasi langsung (direct democracy) dimana kedaulatan rakyat dapat dilakukan secara langsung dalam arti rakyat sendirilah yang melaksanakan kekuasaan tertinggi yang dimilikinya, serta teori demokrasi tidak langsung (representative democracy). Dizaman modern sekarang ini dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi, maka ajaran demokrasi perwakilan menjadi lebih populer. Biasanya pelaksanaan kedaulatan ini disebut sebagai lembaga perwakilan.22

Realitas tersebut menunjukkan bahwa ciri khas dari paham demokrasi (kedaulatan rakyat) adalah adanya pemerintahan yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warganya, karena kekuasaan itu cenderung disalahgunakan disebabkan karena pada manusia itu terdapat banyak kelemahan dan jika hendak mendirikan negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasar atas aliran pikiran (staats idee) negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongan dalam lapangan apapun.

Karena itu, prinsip kedaulatan rakyat (democracy) dan kedaulatan hukum (nomocracy) hendaklah diselenggarakan secara beriringan sebagai dua sisi dari mata uang yang sama. Untuk itulah, maka Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia hendaklah menganut pengertian bahwa Negara Republik Indonesia itu adalah negara hukum yang demokratis dan sekaligus negara demokratis yang

22

Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya Di


(41)

berdasar atas hukum yang tidak terpisahkan satu sama lain. Keduanya juga merupakan perwujudan nyata dari keyakinan segenap bangsa Indonesia akan prinsip ke Maha-Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa.23

Implementasinya dalam ketatanegaraan Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 telah menegaskan sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia, yang pada hakekatnya menunjukkan mekanisme penyelenggaraan Negara Republik Indonesia sebagaimana dirumuskan dalam penjelasan umum, yakni:

1. Indonesia adalah negara berdasar atas hukum.

2. Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi, tidak bersifat absolutisme. 3. Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut

Undang-Undang Dasar.

4. Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara.

5. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

6. Menteri negara adalah pembantu Presiden, Menteri Negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.

Sendi demokrasi tersebut tidak hanya terdapat pada pemerintah pusat, tetapi juga harus direalisir dalam susunan pemerintahan daerah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, yang menganut prinsip bahwa satuan pemerintahan tingkat daerah penyelenggaraannya dilakukan dengan memandang dan mengingat dasar dalam sistem pemerintahan negara. Prinsip ini menghendaki

23

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 57.


(42)

perwujudan keikutsertaan masyarakat baik dalam ikut merumuskan kebijakan maupun mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah.24

Atas dasar hal tersebut, Bagir Manan mengemukakan paling tidak ada 3 (tiga) faktor yang menunjukkan keterkaitan antara susunan pemerintahan daerah dengan pendemokrasian pemerintahan:

1. Sebagai upaya untuk mewujudkan prinsip kebebasan (liberty).

2. Sebagai upaya untuk menumbuhkan suatu kebiasaan (habit) agar rakyat memutus sendiri berbagai macam kepentingan (umum) yang bersangkutan langsung dengan mereka. Membiasakan rakyat mengatur dan mengurus sendiri urusan-urusan pemerintahan yang bersifat lokal, bukan hanya sekedar sebagai wahana latihan yang baik, tetapi menyangkut segi yang sangat esensial dalam suatu masyarakat demokratik.

3. Sebagai upaya memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya terhadap masyarakat yang mempunyai berbagai tuntutan yang berbeda.25

Sejalan dengan hal tersebut, pengakuan negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir diberikan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang merupakan implementasi dari Pasal 18 B Undang-Undang Dasar 1945. UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan

Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal

suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi,

24

Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, Perumusan dan

Undang-Undang Pelaksanaannya, (Karawang, UNSIKA, 1993), hlm. 47.

25

Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, (Jakarta: Sinar harapan, 1994), hlm. 34.


(43)

serta politik di Aceh secara berkelanjutan. Hal-hal mendasar yang menjadi isi UU Pemerintahan Aceh ini antara lain:

1. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI berdasarkan UUD Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing. 2. Tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan UU

Pemerintahan Aceh ini merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara nasional.

3. Pengaturan dalam Qanun Aceh maupun Kabupaten/Kota yang banyak diamanatkan dalam UU Pemerintahan Aceh merupakan wujud konkret bagi terselenggaranya kewajiban konstitusional dalam pelaksanaan pemerintahan tersebut.

4. Pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah tercermin melalui pemberian kewenangan untuk pemanfaatan sumber pendanaan yang ada. 5. Implementasi formal penegakan syari’at Islam dengan asas personalitas

ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 pemerintah daerah kabupaten terdiri dari bupati dibantu perangkat daerah dan DPRK sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangan-undangan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan berdasarkan perundang-undangan, berarti disini merupakan implementasi dari desentralisasi dimana adanya penyerahan wewenang pusat kedaerah.

Menurut Sadu Wasistiono dan Yonatan Wiyoso desentralisasi dapat diartikan sebagai berikut:


(44)

1. Adanya transfer kewenangan dan tanggungjawab mengenai fungsi-fungsi publik;

2. Tranfer tersebut berasal dari pemerintahan pusat;

3. Transfer tersebut diberikan kepada etnis yang dapat dibentuk: a. Organisasi pemerintahan subnasional.

b. Badan-badan pemerintahan semi otonomi.

c. Organisasi atau penjabat pemerintah puasat yang berada di luar ibukota negara.

d. Organisasi nonpemerintah.

4. Maksud dari tranfer kewenangan dan tanggung adalah agar tujuan negara dapat dicapai secara lebih efektif, efesien dan demokrasi.26

Secara legalistik formal, misalnya menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, yang dimaksud dengan desentralisasi adalah ”penyerahan urusan dari pemerintahan atau daerah atasanya kepada daerah sebagai urusan rumah tangganya” Menururt Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang dimaksud dengan desentralisasi adalah ”penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonomi dalam rangka negara kesatuan Republik Indonesia” sedang menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang dimaksud dengan desentralisasi adalah ”penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistim negara Republik Indonesia”.27

26

Sadu Wasistiono dan Yonatan Wiyoso, op.cit, hlm. 6

Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 yang dimaksud dengan desentralisasi adalah ”Pemberian kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Repunlik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

27


(45)

Dari pengertian diatas, desentralisasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Penyerahan wewenang untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu dari pemerintah pusat kepada daerah otonom.

2. Fungsi yang diserahkan dapat dirinci atau merupakan fungsi yang tersisa (residual functions).

3. Penerima wewenang adalah daerah otonom.

4. Penyerahan wewenang berarti wewenang untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan; wewenang mengatur dan mengurus kepentingan yang bersifat lokal.

5. Wewenang mengatur adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum yang berlaku umum dan bersifat abstrak.

6. Wewenang mengurus adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum yang bersifat individual dan konkrit.

7. Keberadaan daerah otonom adalah diluar hierarki organisasi pemerintah pusat. 8. Menunjukkan pola hubungan antar organisasi.

9. Menciptakan political variety dan diversity of structure dalam system politik.28

Penyerahan uruasan pemerintahan kepada pemerintahan daerah dijelaskan oleh The Liang Gie, sebagai urusan rumah tangga pemerintahan daerah yang dapat dibagi dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu:29

1. Rumah tangga materiil (materiele huishoudingsbegrip)

Pembagian kewenangan secara terperinci antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang diatur dalam undang-undang pembentukannya dimana kewenangan-kewenangan tersebut lalau dibagi secara tegas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

2. Rumah tangga formal (formale houshoudingsbegrip).

28

Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana, 2007), hlm. 15.

29

The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negera REpublik Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1958), hlm. 30.


(46)

Pembagian tugas antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dilakukan atas dasar pertimbangan rasional dan praktifs. Di sini tidak ada perbedaan yang tegas antara apa yang menjadi kewenangan pusat dan daerah. Daerah diserahi tugas antara apa yang menjadi kewenangan pusat dan daerah. Daerah diserahi urusan-urusan tertentu oleh pusat bukan karena secara materil urusan-urusan terserbut harus diserahkan tetapi karena diyakini urusan-urusan tersebut akan lebih efektif dan efisien apabila diselenggarakan pemerintah daerah. Jadi, urusan-urusan rumah tangga tidak terperinci secara normative dalam undang-undang pembentukannya tetapi ditentukan dalam rumusan umum. Rumusan umum ini hanya mengandung prinsip-prinsip saja, sedangkan pengaturan selanjutnya diserahkan kepada prakarsa daerah yang bersangkutan. Masalah menentukan urusan pusat dan daerah diserahkan sepenuhnya kepada prakarsa dan inisiatif daerah. Disini pemerintah daerah memeiliki keleluasaan gerak (vrije taak) untuk mengambil inisiatif, memilih alternative, dan mengambil keputusan di sergala bidang yang menyangkut kepentingan daerahnya. Namun semuanya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Rumah tangga riil (reel huishoudingsbegrip)

Ajaran ini merupakan jalan tengah antara anggaran rumah tangga materiil dan rumah tangga formal. Rumah tangga materiil berangkat dari konsepsi bahwa pelimpahan wewenang kepada daerah harus didasarkan kepada factor-faktor riil di daerah, sepertin kemampuan daerah, potensi alam, dan keadaan pendudukan. Dalam ajaran ini dikenal adanya kebijakan pemberian urusan pokok dan urusan


(47)

tambahan, maksudnya pada saat pembentukannya Undnag-Undang mengaturnya telah mencantumkan beberapa urusan rumah tangga yang merupakan urusan pokok sebagai modal awal disertai segala atribut, wewenang, personal, perlengkapan, dan pembiayaan. Sejalan dengan kemampuan dan kesanggupan serta perkembangan daerah yang bersangkutan secara bertahap urusan-urusan tersebut dapat tumbuh.

Konsekwensi langsung dari penyerahan kewenangan dari pemerintahan pusat ke daerah (desentralisasi politik) adalah tindak lanjut dengan desentralisasi fiskal dan desentralisasi administrasi. Desentralisasi fiskal yang dimaksud adalah bahwa daerah memiliki kewenangan untuk menggali sumber asli pendapatan daerahnya sendiri, mengelola keuangan sendiri dengan perencanaan yang telah direncanakan sebelumnya. Hal tersebut mudah dipahami karena salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan self-supporting dalam bidang keuangan. Dengan perkataan lain, faktor keuangan merupakan facktor essensial dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Ini berarti, dalam penyelenggaraan urusan rumah tangganya daerah membutuhkan dana atau uang, karena adalah mustahil bagi daerah-daerah untuk dapat menjalankan berbagai tugas dan pekerjaannya dengan efektif dan efisien serta dapat melaksanakan pelayanan dan pembangunan bagi masyarakat tanpa tersedianya dana untuk itu.30

30 Ibid.


(48)

Sedang desentralisasi administrasi pemerintahan daerah memiliki kewenangan untuk merencanakan, pelaksanaan dan mengendalikan program-program untuk mencapai kesejahtraan masyarakat. Atau dengan perkataan laindesentralisasi administrasi lebih menekankan pada aspek efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan ekonomi daerah sebagai tujuan utama desentralisasi.31

Perencanaan keuangan dapat diartikan sebagai berikut:32

1. Rencana keuangan yang menerjemehkan penggunaan sumber-sumber yang tersedia untuk memenuhi aspirasi masyarakat menuju penciptaan kehidupan rakyat yang lebih baik dimasa yang akan datang.

2. Rencana keuangan Pemda untuk membangun perikehidipan masyarakat yang tentunya semakin berkembang dan dinamis yang tercermin dalam kegiatan, untuk mendorong rakyat untuk memenuhi kewajibanya sebagai warga negara. 3. Proses penentuan jumlah alokasi sumber-sumber ekonomi untuk setiap

program dan aktivitas dalam bentuk satuan uang.

4. Sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorentasi pada pencapaian hasil atau kinerja disebut anggaran kerja, kinerja harus mencerminkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik yang berarti berorentasi pada kepentungan publik.

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah bahwa prinsip-prinsip anggaran adalah:

1. Semua penerimaan (uang, barang dan atau jasa) dianggarkan dalam APBD. 2. Seluruh pendapatan, belanja dan pembiayaan dianggarkan secara bruto.

3. Jumlah pendapatan merupakan perkiraan terukur dan dapat dicapai serta berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah cukup dan harus diperkuat dengan dasar hukum yang melandasinya.

31

Chahib Sole dan Heru Rachmansjah, Pengelolaan dan Aset Keuangan Daerah, (Bandung: Fokusmedi, 2010), hlm. 27

32


(49)

Dengan adanya pembagian kewenangan diantara penyelenggara pemerintahan daerah, maka akan diikuti dengan check and balances system (sistem saling mengawasi) dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut. Oleh karna itu yang dibutuhkan adalah:33

1. Suatu distribusi kekuasaan agar kekuasaan tidak berada dalam suatu tangan saja.

2. Suatu keseimbangan kekuasaan agar masing-masing pemegang kekuasaan tidak cenderung terlalu kuat sehingga menimbulkan tirani, hal ini disimpulkan dalam lingkup pengertian Balances.

3. Suatu pengontrolan yang satu terhadap yang lain agar pemegang kekuasaan tidak berbuat sebebas-bebasnya yang dapat menimbulkan kesewenang-wenangan, hal ini disimpulkan dalam pengertian Chekcs, tidak hanya satu cabang pemerintahan dapat mengecek cabang pemrintahan lainya, tetapi harus melakukan pengecekan satu sama lainya.

Operasionalisasi dari check and balances ini dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut: 34

1. Pemberian kewenangan terhadap suatu tindakan kepada lebih dari satu cabang pemerintahan. Misalnya kewenangan pembuatan suatu Undang-Undang yang diberikan kepada pemerintah dan parlemen sekaligus. Jadi terjadi overlapping yang dilegalkan terhadap kewenangan para pejabat negara antara satu cabang pemerintahan dengan cabang pemerintahan lainnya.

2. Pemberian kewenangan pengangkatan pejabat tertentu kepada lebih dari satu cabang pemerintahan. Banyak pejabat tinggi negara dimana dalam proses pengangkatannya melibatkan lebih dari satu cabang pemerintahan. Misalnya melibatkan pihak eksekutif maupun legislatif.

3. Upaya hukum impeachment dari cabang pemerintahan yang satu terhadap cabang pemerintahan lainnya.

4. Pengawasan langsung dari satu cabang pemerintahan terhadap cabang pemerintahan lainnya, seperti pengawasan terhadap cabang eksekutif oleh cabang legislatif dalam penggunaan budget negara.

33

Ibid, hlm. 124

34


(50)

5. Pemberian kewenangan kepada pengadilan sebagai pemutus kata akhir (the

last word) jika ada pertikaian kewenangan antara badan eksekutif dengan

legislatif.

Sudah menjadi kebiasaan untuk membagi-bagi tugas pemerintah kedalam “trichotomy” yang terdiri dari eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pembagian ini seringkali ditemui, kendati batas pembagian kekuasaan itu tidak selalu sempurna, karena kadang-kadang satu sama lainnya tidak benar-benar terpisah, bahkan saling pengaruh mempengaruhi.35

Sebagai mana telah diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Peraturan perundang-undangan:

a. Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. Undang-Undang/ Perpu.

c. Peraturan Pemerintah. d. Peraturan Persiden. e. Peraturan Daerah.

Dimana dalam Undang-Undang tersebut peraturan daerah adalah salah satu tata urutan perundang-undangan di Indonesia, atau peraturan daerah merupakan salah satu hukum positif di Indonesia sehingga begitu strategisnya peraturan daerah mengatur kehidupan masyarakat untuk itu peraturan daerah yang telah dibuat harus diawasi penggunaanya.

35


(51)

Menurut Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 berbunyi “DPRA Dan DPRK Mempunyai fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.” Adapun hak DPRK di atur dalam Pasal 25 ayat (1), Yang berbunyi:

DPRA/DPRK mempunyai hak: a. Interpelasi.

b. Angket.

c. Mengajukan pernyataan pendapat. d. Mengajukan rancangan qanun.

e. Mengajukan rancangan atas perubahan qanun.

f. Membahas dan menyetujui rancangan qanaun tentang Anggaran Pendapan dan Belanja Aceh dan kabupaten/kota dengan Gubernur/Bupati/Walikota. g. Menyususn rencana anggaran belanja sesuai dengan fungsi, tugas dan

wewenang DPRA/DPRK sebagai bagian dari APBA dan APBK dengan standar harga yang disepakati Gubernur dan DPRA dan Bupati/Walikota dengan DPRK yang ditetapkan denagn peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota.

h. menggunakan anggaran sebagai mana yang telah ditetapkan oleh APBA/APBD dan diadministrasikan oleh Sekretaris Dewan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

i. penyusunan dan penetapan Peraturan Tata Terti dan Kode Etik Anggota DPRA/DPRK


(52)

Pengawasan merupakan peran penting dan positif dalam proses menejmen untuk mengukur kinerja dan pengambilan tindakan yang bertujuan untuk menjamin hasil dan berjalan sesuai yang telah direncanakan,

Pengawasn menurut waktunya dapat dibagi menjadi: 1. Pengawasan umpan depan (feedforward)

Pengawasan ini dimulai dari masa perencanaan atau sebelum kegiatan dimulai untuk menjamin kejelasan sasaran, tersedianya arahan yang memadai dan ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkan dengan memfokuskan pada kualitas sumberdaya.

2. Pengawasan umpan balik (feedback)

Pengawasan ini dilakukan setelah kegiatan dilaksanakan, pengawasan ini difokuskan pada kualitas dari hasil kegiatan untuk menyediakan informasi yang berguna untuk meningkatkan kinerja pada kegiatan selanjutnya.

Bila dilihat dari pihak yang mengawasi, pengawasan dapat dibagi menjadi: 1. Pengawasan bersama (concurrent)

Pengawasan ini dilakukan bersama oleh semua pihak yang berkepentingan dari kegiatan tersebut, dengan memonitor kegiatan yang sedang berjalan untuk menjamin segala sesuaatu dilaksanakan sesuai rencana dengan tujuan mengurangi hasil yang tidak diinginkan.

2. Pengawasan Internal dan Eksternal

Pengawasan internal dilakukan dalam satu badan secara vertikal dimana badan tersebut diberi kesempatan untuk memperbaiki sendiri.


(53)

Pengawsan eksternal dilakukan oleh badan pengawas fungsional melalui supervisi dan sistem administrasi formal.

Pengawasan yang dilakukan oleh DPRD adalah pengawasan fungsi legislatif terhadap penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan tugas, wewenang dan haknya melalui dengar pendapat, kunjungan kerja dan pembentukan panitia khusus dan panitia kerja.36

Sebagai tindak lanjut dari pengawasan DPRD diberi hak oleh Undang-Undang yaitu hak Interplasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat, dimana dapat dijabarkan sebagai berikt: 37

a. Hak interpelasi adalah hak DPRD untuk meminta keterangan kepala daerah menenai kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis yang berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat, daerah dan negara.

b. Hak angket adalah pelaksanaan funfsi pengawasan DPRD untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu kebijakan tentang kepala daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah dan negara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

c. Hak menyatakan pendapat adalah hak DPRD untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan kepala daerah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah disertai dengan rekomendasi penyelesaianya atau sebagai tindak lanjut dari pelaksaan hak inetrpelasi dan hak angket.

Salah satu fungsi DPRD yang cukup penting dan mempunyai dampak luas adalah fungsi anggaran DPRD dalam menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), hal ini berkaitan dengan kewajiban kepala daerah dalam melakukan pertanggungjawaban tahunan atas pelaksanaa APBD. Berdasarkan Pasal 179

Undang-36

Teguh Kurniawan, Sisitem Pengawasan BirokrasiDi Era Governance, http://www.admsci.ui.edu.

37


(54)

Undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa APBD merupakan pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Agar pengelolaan anggaran yang tertuang dalam APBD benar-benar sesui dengan kebutuhan daerah, DPRD melakukan pengawasan kebijakan dari perencanaan sampai pelaksanaan dan evaluasi, agar APBD tersusun dan terlaksana dengan tepat sasaran dan tepat waktu DPRD dapat mengarahkan penyusunan APBD berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.38

Dalam penyususnan anggaran (Perda APBD) langkah penting yang harus dilakukan adalah memperhatikan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah disikapi dengan satu kesatuan dalam sistim perencanaan nasional yaitu Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP-D) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengan Daerah (RPJM-D) serta Rencana Pembangunan Jangka Pendek yang sering disebut Rencana Pemerintah. Dalam singkronisasi rencana pembangunan dan penganggaran harus menjamin adanya keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan dengan penganggaran, pelaksanaan dan evaluasi serta pengendalian.

Siklus anggaran meliputi empat tahapan yaitu: 1. Tahap persiapan dan penyususnan anggaran. 2. Tahap ratipikasi.

3. Tahap imlpementasi.

4. Tahap pelaporan dan evaluasi.

38


(55)

Peran dan fungsi DPRD sebaiknya dijalankan sejak proses konsultasi publik/penjaringan aspirasi masyarakat untuk input dalam menyususum Anggaran Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), kebijakan umum APBD, penetapan strategi dan proritas APBD, yaitu pada tahap 1 dan 2. Sementara fungsi pengawasan dilakukan pada saat mulai menyususun rancana APBD inplementasi APBD dan pelaporan/penghitungan APBD, yaitu terdapat pada tahap 3 dan 4.39

Dalam kehidupan demokrasi segala aspek kehidupan harus melibatkan warganya, semua keputusan yang diambil yang berkaitan dengan kepentingan bersama harus melibatkan Anggota warganya secara keseluruhan, sekecil apapun keterkaitanya dengan kepentingan bersama itu, baik itu keputusan yang menyangkut tujuan-tujuan yang akan dicapai bersama atau aturan-aturan yang harus dipatuhi maupun pembagian tanggungjawab atau mengenai keuntungan yang akan diperoleh bersama.40

Berdasarkan Nota Kesepakatan Kepala Daerah dengan Pimpinan DPRD atau hasil pembahasan kebijakan umum APBD (KUA-APBD) dan prioritas dan plafon sementara (PPAS) maka kepala daerah menerbitkan surat edaran tentang Pedoman Penyusunan Rancangan Kerja dan Anggaran (RKA) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), berdasarkan surat edaran tersebut maka Kepala SKPD menyusun RKA-SKPD yang menggunakan pendekatan: 41

39

Ibid, hlm. 114

40

Rahimullah, Ilmu Perundang-undangan, (Jakarta: PT. Gramedia, 2006), hlm. 4

41


(56)

a. Kerangka pengeluaran jangka menenganah. b. Penganggaran terpadu.

c. Penganggaran berdasarkan prestasi kerja.

Berdasarkan RKA-SKPD yang telah ditelaah oleh tim anggaran pemerintah daerah dan telah dibahas oleh DPRD, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) menyusun rancangan peraturan kepala daeah tentang APBD (Raperda APBD) serta dokumen pendukungnya yang tediri dari nota keuangan dan rancangtan APBD (RAPBD).42

Pengawasan DPRD dapat dilakukan dengan cara melakukan dengar pendapat, kunjungan kerja, pembentukan panitia khusus dan pembentukan panitia kerja sesuai dengan dengan peraturan tatatertib DPRD. Untuk melakukan fungsi pengawasan tersebut DPRD dalam melaksanakan tugasnya berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintahan atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan atas suatu yang perlu ditangani demi kepentingan daerah, pemerintah dan pembangunan.

Atas dasar persetujan bersama Raperda APBD, Kepala Daerah menyiapkan rancangan peraturan daerah tentang penjabaran APBD.

43

Penyusunan tata tertib DPRD/DPRK setiap daerah berbeda-beda namun tetap mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

42

Ibid, hlm. 129

43


(1)

yang memerlukan langkah-langkah perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan

dan pengendalian. Sebab, pengawasan oleh DPRK yang tidak sesuai dengan

ranah kebijakan serta tidak terprogram akan membawa dampak pada munculnya

pada terabaikannya ruang lingkup pengawasan DPRK, kurangnya mutu

pengawasan dan pengawasan tersebut tidak efektif.

3.

Hendaknya dalam seleksi rekruitmen untuk menjadi wakil rakyat yang duduk di

DPRK/DPRD lebih diperketat lagi dan diharapkan pola rekruitmen dalam

perspectif futuristic vieuw akan melahirkan keanggotaan DPRK/DPRD yang

tangguh, profesional dan berkualitas, sehingga tidak terjadi kesalahan-kesalahan

dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku :

Abdul Gaffar Karim, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah Di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Abdurrahman, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, Jakarta: PT. Media Sarana Press.

Ahmad Yani, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.

Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, (Jakarta: Sinar Harapan, 1994.

---, Perjalanan Historis Pasal 18 Undang Dasar 1945, Perumusan dan Undang-Undang Pelaksanaannya,Karawang, UNSIKA, 1993.

---, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Jakarta: Hill. Co, 1992.

BN. Marbun, DPRD dan Otonomi Daerah Setelah Amandemen UUD 1945 dan UU Otonomi Daerah 2004, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.

Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, Jakarta: Erlangga, 2000.

Chahib Sole dan Heru Rachmansjah, Pengelolaan dan Aset Keuangan Daerah, Bandung: Fokusmedi, 2010.

Dahlan Thaib Dkk, Teori Dan Hukum Konstitusi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003. Daryato S.S., Kosa Kata Baru Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap,

Surabaya: Appolo, 1997.

Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, Konsep Panduan Perencanaan Anggaran Daerah, Jakarta: Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, 2001.


(3)

Faisal Akbar Nasution, Pemerintahan Daerah dan Sumber-Sumber Asli Pendapatan Daerah, Jakarta: PT. Sofmedia, 2009.

Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana, 2007.

Hans Kelsen, Teori Hukum Negara dan Negara, Jakarta: BEE Media Indonesi, 2007.

H.M. Laica Marzuki, Berjalan-Jalan Diranah Hukum, Pikiran-Pikiran Lepas, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006. HAW. Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Jakarta: Rajawali Pers, 2004.

---, Menuju Otonomi Luas, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Aksara Baru, 1986.

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.

---, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya Di Indonesia, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.

Lembaga Administrasi Negara, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia, Jakarta: CV. Haji Masagung, 1993.

Lili Romli, Potret Otonomi Daerah Dan Wakil Rakyat Di Tingkat Lokal, Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta: Andi, 2002.

Miriam Budiarjdo, Fungsi Legislatif Dalam Sisitem Perwakilan Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.

M. Mahfud M.D, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2001.

Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983.


(4)

Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, Jakarta: PT. Refika Aditama, 2009. Pemda Gayo Lues, Sistim Informasi Profil Daerah Kabupaten Gayo Lues Tahun 2008. Pipin Syarifin Dan Dedah Jubaedah, Hukum Pemerintahan Daerah, Jakarta: Pustaka Bani

Quraisy, 2005.

Rahimullah, Ilmu Perundang-undangan, Jakarta: PT. Gramedia, 2006.

Sadu Wasistiono & Yonatan Wiyoso, Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Bandung, Fokusmedia, 2009.

Sadu Wasistiono dan Ondo Riyani, Etika Hubungan Legislatif-Eksekutif Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Bandung: Fokusmedia, 2003.

Saiful Anwar dan Marzuki Lubis, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Medan: Gelora Madani Press, 2004.

Samidjo, Ilmu Negara, Bandung: Armico, 1968.

Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia, Jakarta: Buku Kompas, 2003. Soekarwo, Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah, Berdasarkan Prinsip-Prinsip Good

Financial Governance, Surabaya: Airlangga University Press, 2005.

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negera Republik Indonesia, Jakarta:

Gunung Agung, 1958.

Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2006.

Wahyudi Kumorotomo dan Erwan Agus Purwanto, Anggaran Berbasis Kinerja, Konsep dan Aplikasinya, Yogyakarta: Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada, 2005.


(5)

Peraturan Dan Perundang-undangan :

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Ketetapan MPR, Nomor IV/MPR/1999, Tentang

Penetapan Otonomi Khususus Bagi Aceh.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indanesian Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003, Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, Tentang Pemerintahan Aceh.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2005 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan

Nasional.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi

Istimewa Aceh.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman

Pengelolaan Keuangan Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Laporan Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan

Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada DPRD, dan Informasi Laporan

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat.

Qanun Kabupaten Gayo Lues Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Pokok-Pokok

Pengelolaan Keuangan Daerah.

Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Gayo Lues Periode

2009-2014.

Qanun Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana

Bagi Hasil Minyak Dan Gas Alam Dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus.


(6)

Majalah:

Majalah Ondihon, Volume 1 Nomor 2 mei 2007.

Internet:

Ahmad Yani, SH. M.M.AK, Dana Otonomi Khusus Pemerintah Aceh,

yosin.wordpress.com.

Al Yasa’ Abubakar dan M. Daud Yoesoef, Qanun Sebagai Peraturan Pelaksanaan

Otonomi Khusus, www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka/php.

Muhlisin Malik, Sag Mpd.I, Fungsi Pengawasan DPRD, Antara Pengawasan Politik

Dan Manuver Politik, www.cetak.bangkapos.com.

Teguh Kurniawan, Sisitem Pengawasan BirokrasiDi Era Governance,


Dokumen yang terkait

Peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Padang Lawas dalam penyelesaian sengketa lahan (studi kasus: sengketa lahan antara PT sumatera Riang Lestari dan PT Sumatera Sylva Lestari dengan Masyarakat Adat Kecamatan Aek Nabara Barumun)

1 100 105

Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Kinerja Eksekutif di Kota Medan

3 64 152

Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Suatu Studi Terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Simalungun Periode 2009-2014)

0 22 77

Hubungan Wakil dengan yang Diwakili (Studi Perbandingan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara Periode 1999-2004 dengan Periode 2004-2009)

1 45 101

Hak Recall Partai Politik Terhadap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Dalam Korelasinya Dengan Pelaksanaan Teori Kedaulatan Rakyat.

8 114 110

Minat Menonton anggota Dewan Perwakilan Daerah Tapanuli Selatan terhadap Berita Politik Di Metro TV ( Studi Korelasi Tentang Tayangan Berita Politik Dan Minat Menonton Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tapanuli Selatan Terhadap Metro TV )

1 39 143

Kesantunan Linguistik Dalam Ranah Sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara

1 41 285

Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Dprd) Periode 2009-2014 Terhadap Pengelolaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Kabupaten Subang

1 7 104

PELAKSANAAN FUNGSI PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) TERHADAP APBD KABUPATEN BANTUL TAHUN ANGGARAN 2011

0 2 112

FUNGSI PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN BELANJA DAERAH PADA DINAS PERKEBUNAN KABUPATEN KUANTAN SINGINGI TAHUN 2012.

0 0 16