Metode Pengendalian Persediaan Bahan Baku pada Industri Besar

5.7.3.3. Metode Pengendalian Persediaan Bahan Baku pada Industri Besar

PT. Mutiara Habemindo Rotan melakukan pengendalian persediaan bahan baku agar dapat melindungi kelancaran produksi dengan efektif dan efisien. Pengendalian persediaan bahan baku pada PT. Mutiara Habemindo Rotan dilakukan dengan mengetahui terlebih dahulu jumlah dan jenis bahan baku yang dibutuhkan disesuaikan dengan spesifikasi dari pesanan produk oleh bagian produksi. Setelah mengetahui total kebutuhan bahan baku atas suatu produk, kemudian bagian bahan baku akan melakukan pemeriksaan bahan baku yang dibutuhkan yang ada di gudang. Bagian bahan baku sebagai pengendali persediaan menghitung jumlah persediaan bahan baku yang harus dibeli sebanyak kebutuhan ditambah persediaan untuk antisipasi. Jumlah persediaan tersebut berbeda–beda antar periode disesuaikan dengan kondisi permintaan produk. Pada kondisi permintaan tinggi, persediaan diperkirakan untuk antisipasi kebutuhan selama tiga bulan. Sebaliknya, jika permintaan produk rendah perusahaan melakukan antisipasi persediaan untuk kebutuhan satu bulan. Setelah bagian bahan baku mengetahui jumlah persediaan bahan baku yang harus dibeli maka bagian pembelian melakukan pembelian bahan baku sesuai dengan yang dibutuhkan. Proses pengadaan bahan baku pada industri besar waktu tunggu adalah 6 hari. Proses pemesanan pada industri ini tidak jauh berbeda dengan industri menengah. Proses pemesanan juga dimulai dengan kegiatan sourcing, hanya saja dalam industri ini kegiatan sourcing dilakukan lebih teliti dalam memilih bahan baku dari pemasok. Tabel 23 Total Frekuensi Pemesanan dan Kuantitas Pesanan dengan Metode yang Diterapkan PT Mutiara Habemindo Rotan, 2006. Core Batang Poles Fitrit Tohiti Poles Bln Unit Frek Kuant Frek Kuant Frek Kuant Frek Kuant Jan Kg 0 7 4.030 10 8.118 1 1.152 Feb Kg 0 12 7.655 8 10.582 1 879 Mar Kg 0 0 7 3.488 4 7.768 3 1.809 Apr Kg 5 1.972 12 13.331 7 13.891 2 4.230 Mei Kg 11 4.918 39 33.237,22 7 20.299 Juni Kg 2 1.273 6 4.395 5 10.660 1 1.714 Juli Kg 0 0 14 15.073 5 9.924 3 4.348 Tabel 23 Lanjutan Agu Kg 5 2.263 22 17.921 3 11.200 1 776 Sept Kg 0 0 5 1.397 4 5.037 0 0 Okt Kg 4 1.785 8 8.162 1 699 Nov Kg 1 903 11 5.327 3 15.000 Des Kg 0 19 13.192,01 5 13.983 1 71 Total 28 13.114 162 127.208,23 62 12.7161 13 14.979 Sumber : Bagian Bahan Baku, PT HBM,2007 diolah Dari Tabel 23 tersebut dapat diketahui bahwa pemesanan yang dilakukan oleh PT. HBM selama tahun 2006 untuk rotan core 11 mm dilakukan sebanyak dua puluh delapan kali dengan jumlah pesanan sebesar 13.114 Kg, sedangkan pemesanan untuk rotan batang poles 26 – 28 mm sebanyak seratus enam puluh dua kali dengan jumlah pesanan terbesar yaitu sebesar 127.208.23 Kg. Pemesanan rotan fitrit 3 mm dilakukan sebanyak enam puluh dua kali dengan jumlah pesanan sebesar 12.7161 Kg dan rotan tohiti poles 18 – 20 mm sebanyak tiga belas kali dengan jumlah pesanan sebesar 14.979 Kg. Kuantitas pemesanan untuk rotan core 11 mm terbesar terjadi pada bulan Mei sebesar 4.918 Kg, sedangkan kuantitas pemesanan rotan batang poles 26 – 28 mm terbesar terjadi pada bulan Mei sebesar 33.273,2 Kg. kuantitas pemesanan rotan fitrit 3 mm terbesar terjadi pada bulan 20.299 Kg dan kuantitas pemesanan rotan tohiti poles 18 – 20 mm terbesar terjadi pada bulan Juli yaitu sebesar 4.348 Kg. 5.7.3.4. Metode EOQ Metode yang digunakan perusahaan dalam melakukan pengadaan persediaan bahan baku memiliki perbedaan dengan hasil yang diperoleh berdasarkan metode EOQ. Perbandingan antar metode yang diterapkan PT. Mutiara Habemindo Rotan dengan metode EOQ meliputi perbandingan frekuensi pemesanan, kuantitas pesanan, biaya pemesanan, biaya penyimpanan, dan perbandingan biaya persediaan. a Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku Pengendalian persediaan bahan baku berdasarkan metode EOQ dapat digunakan untuk menentukan jumlah frekuensi dan kuantitas pesanan persediaan bahan baku sehingga dapat meminimalkan biaya penyimpanan dan pemesanan persediaan bahan baku. Untuk mengetahui perbandingan frekuensi dan kuantitas pemesanan bahan baku antara metode perusahaan dan metode EOQ dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Perbandingan Frekuensi Pemesanan dan Kuantitas Pesanan Pengendalian Persediaan Rotan Perusahaan EOQ Jumlah Kuantitas Jenis Rotan Unit Frekuensi Frekuensi Perusahaan EOQ Core 11 mm Kg 28 9 13.114 12.772,8 Batang Poles 26 – 28 mm Kg 162 25 127.208,23 126.885,5 Fitrit 3 mm Kg 62 34 127.161 124.808,56 Tohiti Poles 18 – 20 mm Kg 13 8 14.979 15.242 Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa frekuensi pemesanan pada metode EOQ relatif lebih kecil dibandingkan dengan metode yang dilakukan PT. Mutiara Habemindo Rotan. Perbedaan frekuensi pemesanan yang diperoleh berdasarkan kedua metode tersebut akan berpengaruh terhadap besarnya biaya pemesanan persediaan bahan baku rotan. Semakin tinggi frekuensi pemesanan persediaan bahan baku maka akan semakin besar pula biaya pemesanan persediaan bahan baku. Berdasarkan perhitungan dengan metode EOQ diperoleh bahwa kuantitas pemesanan optimal untuk core 11 mm adalah sebesar 1.419,2 Kg, pemesanan dilakukan sebanyak sembilan kali dengan jumlah pesanan yang lebih rendah dibandingkan dengan metode yang diterapkan perusahaan yaitu sebesar 12.772,8 Kg. Perusahaan dapat melakukan pembelian kembali sebesar Q 1.419,2 Kg apabila jumlah persediaan di gudang telah mencapai garis sebesar R 292,5 Kg. Pengaruh tingkat persediaan rotan jenis core 11 mm terhadap waktu dapat dilihat pada Gambar 13. Q=1419,2 Unit Kg Metode EOQ Waktu Bulan Gambar 13 Tingkat Persediaan Rotan Jenis Core 11 mm Vs Waktu Bagi EOQ Metode Perusahaan Pada Gambar 14 menunjukkan pengaruh tingkat persediaan rotan jenis batang poles 26 – 28 mm terhadap waktu. Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode EOQ diperoleh kuantitas pemesanan optimal untuk batang poles 26 – 28 mm yaitu sebesar 5.075,42 Kg, dengan pemesanan sebanyak dua puluh lima kali. Jumlah pesanan lebih rendah dibandingkan dengan metode yang diterapkan perusahaan yaitu sebesar 126.885,5 Kg, sedangkan besarnya titik pemesanan kembali yang merupakan nilai dimana industri akan melakukan pembelian bahan baku saat mencapai nilai tersebut, untuk batang poles 26 – 28 mm adalah sebesar R 2.837,34 Kg dengan jumlah pembelian sebesar Q 5.075,42 Kg. Untuk fitrit 3 mm besarnya kuantitas pemesanan yang optimal berdasarkan EOQ adalah sebesar 3.670,84 Kg dan pemesanan dilakukan sebanyak tiga puluh empat kali dengan jumlah pesanan yang lebih rendah dibandingkan dengan metode perusahaan yaitu sebesar 124.808,56 Kg. Pada saat persediaan fitrit 3 mm di gudang mencapai garis R 2.836,32 Kg, maka perusahaan dapat melakukan pemesanan kembali dengan pesanan sebesar Q 3.670,84 Kg. Pengaruh tingkat persediaan rotan jenis fitrit 3 mm terhadap waktu dapat dilihat pada Gambar 15. 8088 Unit Kg Waktu Kg R=2837,34 Q=5075,42 Metode Perusahaan Metode EOQ Gambar 14 Tingkat Persediaan Rotan Jenis Batang Poles 26 – 28 mm Vs Waktu Bagi Metode EOQ dan Metode Perusahaan 74 75 40 Gambar 15 Tingkat Persediaan Rotan Jenis Fitrit 3 mm Vs Waktu Bagi Metode EOQ dan Metode Perusahaan Metode Perusahaan Metode EOQ Selanjutnya, untuk tohiti poles 26 – 28 mm kuantitas pemesanan yang optimal berdasarkan perhitungan dengan metode EOQ adalah sebesar 1.905,25 Kg dan pemesanan dilakukan sebanyak delapan kali, dengan jumlah pesanan selama setahun sebesar 15.242 Kg. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan metode perusahaan. Pengaruh tingkat persediaan rotan jenis tohiti poles 18 – 20 mm terhadap waktu dapat dilihat pada Gambar 16. Metode Perusahaan Metode EOQ Gambar 16 Tingkat Persediaan Rotan Jenis Tohiti Poles 26 – 28 mm Vs Waktu Bagi Metode EOQ dan Metode Perusahaan Apabila persediaan bahan baku jenis tohiti poles 26 – 28 mm telah mencapai garis R titik pemesanan kembali sebesar 334,08 Kg, maka diharuskan pada bagian pembelian untuk segera melakukan pemesanan kembali jenis rotan tersebut sebesar Q 1.905,25 Kg. 2 Analisis Biaya Persediaan Bahan Baku Biaya pemesanan berkaitan dengan frekuensi pemesanan, sehingga biaya pemesanan tertinggi pada tiap jenis rotan terdapat pada metode perusahaan. Pada tabel di bawah ini dapat dilihat besarnya biaya persediaan berdasarkan metode EOQ pada PT. Mutiara Habemindo Rotan untuk keempat jenis bahan baku. Pada Tabel di bawah ini dapat dilihat besarnya biaya persediaan yang timbul berdasarkan metode EOQ pada PT. Mutiara Habemindo Rotan PT. HBM untuk keempat jenis bahan baku tersebut. Tabel 25. Perbandingan Biaya Persediaan Bahan Baku Rotan Berdasarkan Metode Perusahaan dan EOQ Biaya Pemesanan Rp. Biaya Penyimpanan Rp. Biaya Persediaan Setahun Rp. Bahan Baku Perusahaan EOQ Perusahaan EOQ Perusahaan EOQ Core 11 mm 4.760.000 1.530.000 30.367.115,63 14.137.893 35.127.115,63 15.667.893 Batang Poles 26 – 28 mm 27.540.000 4.250.000 552.879.782,1 106.520.377,25 580.419.782,1 110.770.377,3 Fitrit 3 mm 10.540.000 5.780.000 1.502.157.134 200.224.132,38 1.512.697.134 206.004.132,38 Tohiti Poles 18 – 20 mm 2.210.000 1.360.000 146.442.334 10.692.263 148.652.334 12.052.263 Total 45.050.000 12.920.000 2.231.846.366 331.574.665,6 2.276.896.365,73 344.494.665,6 Berdasarkan hasil perhitungan dapat diketahui bahwa biaya pemesanan tertinggi terdapat pada rotan batang poles 26 – 28 mm pada metode perusahaan yaitu Rp. 27.540.000, sedangkan biaya pemesanan terendah terdapat pada rotan tohiti poles 18 – 20 mm yaitu sebesar Rp. 1.360.000 dengan metode EOQ. Selisih biaya pemesanan yang dapat dilakukan antara metode EOQ dengan metode yang digunakan perusahaan adalah sebesar Rp. 32.130.000. yang terdiri dari Rp. 3.230.000 untuk core 11 mm, Rp. 23.290.000 untuk batang poles 26 – 28 mm, Rp. 4.760.000 untuk fitrit 3 mm dan Rp. 850.000 untuk tohiti poles 18 – 20 mm. Pada biaya penyimpanan diperoleh hasil yaitu biaya penyimpanan tertinggi terdapat pada metode perusahaan yaitu pada rotan fitrit 3 mm sebesar Rp. 1.502.157.134 dan biaya penyimpanan terendah terdapat pada rotan tohiti poles 18 – 20 mm dengan metode EOQ yaitu sebesar Rp.10.692.263. Biaya penyimpanan berhubungan dengan banyaknya jumlah persediaan bahan baku yang disimpan di gudang, apabila terdapat sisa persediaan yang tinggi akan menimbulkan biaya penyimpanan yang tinggi pula. Selisih biaya penyimpanan yang diperoleh antara metode EOQ dengan metode yang digunakan perusahaan adalah sebesar Rp. 1.900.271.700. Perbandingan biaya persediaan tiap jenis rotan untuk kedua metode menunjukkan bahwa secara keseluruhan biaya persediaan bahan baku tahunan dengan menggunakan metode perusahaan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode EOQ. Selisih biaya persediaan bahan baku tahunan antara kedua metode sebesar Rp.1.932.401.700. Selisih biaya persediaan yang didapat apabila menggunakan metode EOQ untuk rotan core 11 mm sebesar Rp. 19.459.222,63, rotan batang poles 26 – 28 mm sebesar Rp. 469.649.404,9, rotan fitrit 3 mm sebesar Rp. 1.306.693.002 dan rotan tohiti poles 18 – 20 mm adalah sebesar Rp. 136.600.071. Hasil olahan secara terperinci dapat dilihat pada Lampiran 13 dan 14. Seperti halnya industri menengah pada Industri ini, safety stock juga tidak diperhatikan dalam perhitungan metode EOQ dikarenakan selama ini PT HBM tidak pernah mengalami kesulitan dalam memperoleh bahan baku rotan.

5.7.4 Hubungan Antara Pengendalian Persediaan dengan Ketersediaan

Bahan Baku, Modal Kerja dan Pasar pada Industri Kecil, Menengah dan Besar Dari ketiga industri yang diteliti, hanya industri menengah dan besar saja yang melakukan pengendalian persediaan. Namun pada gambar yang disajikan pada industri menengah dan besar terlihat bahwa kedua industri tersebut melakukan pemesanan yang lebih banyak dari hasil yang diperoleh berdasarkan metode EOQ, hal ini dikarenakan pemesanan akan bahan baku masing – masing kebutuhan jenis rotan tersebut baik itu pada industri menengah maupun industri besar dilakukan hanya berdasarkan adanya pesanan yang datang dari konsumen, akan tetapi tidak adanya penyusunan perkiraan pemakaian bahan baku untuk keperluan proses produksi pada kedua industri tersebut menyebabkan pembelian bahan baku menjadi tidak teratur. Meski potensi rotan Indonesia berjumlah sekitar 250.000 – 270.000 tontahun ASMINDO, 2005, namun kondisi rotan saat ini tengah mengalami “kelangkaan” dalam hal harga. Informasi yang diperoleh dari salah satu pemasok bahan baku yaitu CV Pesona, menyebutkan bahwa peningkatan harga terjadi untuk jenis dan ukuran tertentu khususnya rotan manau asalan dengan diameter 30 – 32 mm yang semula hanya Rp.7.800 batang, kini meningkat menjadi Rp.14.500batang dan core lambang diameter 5 – 20 mm yang semula hanya Rp. 8.900 Kg menjadi Rp.12.500 Kg. Harga dari bahan baku yang digunakan oleh kedua industri merupakan faktor penentu seberapa besarnya dana yang harus disediakan oleh kedua industri untuk menyelenggarakan persediaan bahan baku dalam jumlah unit tertentu. Terjadinya peningkatan harga bahan baku yang dipergunakan, mengakibatkan untuk mencapai sejumlah persediaan tertentu akan diperlukan dana yang semakin besar, dan pembelian persediaan bahan baku dengan jumlah yang relatif kecil akan mengakibatkan frekuensi pembelian bahan baku menjadi semakin besar. Seiring dengan bertambah besarnya frekuensi pembelian bahan baku, maka biaya pemesanan bahan baku akan menjadi semakin tinggi pula. Dengan demikian maka besarnya modal kerja yang digunakan akan menjadi semakin tinggi. Pada ketiga Industri ini modal kerja yang digunakan dapat berasal dari pinjaman perbankan sumber dana lain atau dari modal sediri. Dari hasil pengamatan dan wawancara dengan pengusaha dari ketiga perusahaan diperoleh informasi bahwa untuk PO Junaidi yang tergolong dalam industri kecil, kebutuhan pinjaman dana dari perbankan cenderung mengalami kesulitan baik prosedur maupun jaminan. Prosedur dalam hal ini merupakan persyaratan pembukuan akuntansi PO Junaidi tidak melakukan pencatatan dengan baik atas keuangan dalam perusahaan, sedangkan untuk jaminan, PO Junaidi juga tidak memiliki bukti sertifikat yang kuat untuk digunakan sebagai jaminan. Untuk CV Pesona Rattan Nusantara yang tergolong dalam industri menengah dan PT Mutiara Habemindo Rotan HBM yang tergolong dalam Industri besar, sumber dana dari perbankan tidak mengalami kesulitan baik prosedur tata cara maupun jaminan. Namun ketiga perusahaan tersebut umumnya mengeluhkan disamping prosedur pinjaman, juga bunga pinjaman yang dinilai terlalu tinggi yang saat ini mencapai diatas 15 . Akibat dari tingginya bunga tersebut perusahaan sulit