Mata PT. Bhineka, yang langsung diambil dari gudang industri. Apabila jenis dan ukuran tertentu tidak tersedia maka bahan baku diambil dari pemasok
menggunakan memo dari PT. Tanda Mata PT. Bhineka dan akan dibayar oleh industri yang bersangkutan.
Pada industri menengah dan besar yaitu CV. Pesona Rattan Nusantara dan PT. Mutiara Habemindo Rotan, pengadaan jumlah bahan baku yang dilakukan
setiap bulan tidak memiliki kuantitas yang tetap, hal tersebut dikarenakan tidak tetapnya besar target produksi setiap bulan. Apabila perusahaan industri membeli
dalam jumlah yang sama tiap bulannya maka kekurangan atau kelebihan persediaan bahan baku rotan kemungkinan akan terjadi. Berdasarkan pengamatan
di lapangan kedua industri tersebut membeli lebih banyak dari kebutuhan produksi, hal ini dilakukan sebagai langkah antisipasi kebutuhan rotan secara
mendadak, seperti adanya pesanan yang tak terduga dan juga akibat kerusakan rotan baik saat penyimpanan maupun saat proses produksi.
Kedua industri tersebut menengah dan besar memperoleh pasokan bahan baku langsung dari pemasok di Kabupaten Cirebon. Jumlah pemasok kedua
industri tersebut berjumlah lebih dari 10 pemasok. Pembelian bahan baku yang cukup sering dilakukan oleh kedua industri ini berasal dari CV. Nusantara H.
Buchori dan CV. Sumber Sulawesi yang merupakan pemasok terbesar dan telah cukup lama memasok bahan baku rotan untuk industri pengolahan rotan di
Kabupaten Cirebon.
5.6. Prosedur Pembelian Bahan Baku
Secara umum prosedur pembelian bahan baku rotan yang dilakukan pada beberapa industri pengolahan rotan di Kabupaten Cirebon adalah sebagai berikut :
1. Industri menempatkan order kepada beberapa pemasok yang memiliki
spesifikasi yang sesuai sampel jenis rotan, harga rotan, kualitas rotan dll. 2.
Melakukan negosiasi dengan beberapa pemasok tersebut dan melihat pemasok mana yang menawarkan harga relatif terjangkau sesuai anggaran
dan sesuai dengan spesifikasi yang diminta. 3.
Melakukan sourcing, yaitu survei ke lokasi pemasok untuk memeriksa spesifikasi rotan hasil negosiasi.
4. Memberikan Purchasing Order PO yang berisi antara lain spesifikasi
rotan, jumlah rotan, waktu pembayaran dll. 5.
Menunggu persetujuan PO dari pemasok PO bisa dibatalkan oleh pemasok maupun dari pihak industri.
6. Bila telah terdapat kesepakatan, maka barang siap dikirim ke industri
sesuai dengan pesanan. 7.
Barang diterima di gudang, kemudian dilakukan Quality Control QC. Apabila barang tidak memenuhi standar pemesanan maka barang
dikembalikan ke pemasok untuk segera diganti sesuai dengan kualitas dan jumlah yang disetujui bersama dalam perjanjian PO. QC dilakukan dengan
menggunakan sistem sampling, yaitu diambil sejumlah rotan tertentu untuk diperiksa.
Antara IKM rotan dengan pemasok tidak terdapat hubungan kontrak yang saling mengikat. Perjanjian hanya terjadi saat pihak dari industri menawarkan PO
dan disetujui oleh pemasok. Hal ini dikarenakan ada beberapa pemasok yang hanya mempunyai jenis – jenis rotan tertentu saja, sehingga apabila industri
membutuhkan jenis rotan lainnya maka tidak terlalu sulit untuk mendapatkannya.
5.7. Pengendalian Persediaan Bahan Baku
Dalam penelitian ini bahan baku utama dibatasi hanya pada jenis rotan yang memiliki persentase pemakaian bahan baku terbesar dari total pemakaian
bahan baku selama tahun 2006. Untuk biaya persediaan hanya meliputi biaya pemesanan dan penyimpanan bahan baku, sedangkan biaya kekurangan atau
kelebihan dan biaya penyiapan tidak dibahas dalam penelitian ini karena tidak terdapat pada ketiga industri tersebut.
Biaya pemesanan bahan baku adalah biaya yang dikeluarkan akibat adanya pemesanan bahan baku per pesanan tanpa dipengaruhi jumlah pesanan yang
dipesan. Biaya pemesanan terdiri dari biaya sourcing untuk industri menengah dan besar yang merupakan biaya survey ke lokasi bahan baku setelah melakukan
kontak dengan pemasok yang meliputi biaya makan, akomadisi dsb, biaya telepon, biaya administrasi pembuatan faktur, memo, dll, dan biaya
pengangkutan yang timbul apabila bahan yang dipesan tidak diantar sampai
gudang pabrik sehingga industri harus mengambil sendiri bahan tersebut dari pemasok.
Biaya penyimpanan adalah biaya yang dikeluarkan akibat melakukan penyimpanan bahan baku di gudang pada industri menengah dan besar.
Komponen biaya ini terdiri dari biaya pemeliharaan dan biaya penyusutan. Biaya pemeliharaan meliputi biaya perawatan yang berupa kegiatan fumigasi yang
dilakukan dua minggu sekali dan biaya rotasi. Kegiatan ini dilakukan untuk menghindari kerusakan pada rotan yang disimpan selama penyimpanan seperti
munculnya kutu, perubahan warna dan kerusakan lainnya. Sedangkan biaya penyusutan adalah biaya yang timbul akibat adanya bahan baku yang rusak
sehingga tidak dapat digunakan dalam proses produksi meski telah dilakukan pemeliharaan.
Biaya – biaya pemesanan dan penyimpanan yang timbul merupakan biaya estimasi perkiraan yang berasal dari pemilik industri pada industri kecil serta dari
bagian keuangan pada industri menengah dan besar, sedangkan biaya penyusutan dan biaya pemeliharaan pada industri menengah dan besar diperoleh dari hasil
perkalian harga bahan baku yang dibeli dengan persentase masing – masing penyusutan dan pemeliharaan bahan baku per tahun yang diestimasi oleh
perusahaan. Pada penelitian ini juga memberi batasan bahwa biaya – biaya tetap yang
terkait dalam kegiatan penyimpanan persediaan rotan di gudang, seperti biaya listrik, upah tenaga kerja, asuransi persediaan, dan biaya pemeliharaan mesin dan
gudang, tidak diperhitungkan dalam biaya pengendalian persediaan. Hal ini disebabkan biaya – biaya tetap tersebut besarnya tidak tergantung pada jumlah
persediaan rotan yang disimpan. Biaya – biaya tetap tersebut sudah dibebankan pada biaya overhead industri.
Perbandingan hasil pengendalian persediaan rotan dilakukan dengan membandingkan antara metode yang diterapkan pada industri yang bersangkutan
dengan metode EOQ yang meliputi perbandingan frekuensi pemesanan, kuantitas pesanan, biaya pemesanan, biaya penyimpanan, dan perbandingan biaya
persediaan.
5.7.1. Industri Kecil
PO. Junaidi merupakan salah satu industri kecil yang terletak di Desa Cangkring, Kecamatan Tegal Wangi. PO. Junaidi merupakan salah satu pengesub
industri menengah besar. Industri ini merupakan usaha perseorangan yang dikelola sebagai usaha rumah tangga, sehingga belum dilakukan sistem
pembukuan yang jelas. Modal usaha yang dimiliki industri ini tidak tercatat secara terperinci karena asset perusahaan dan asset pribadi belum terpisahkan secara
jelas. Industri ini akan berproduksi bila mendapatkan order baik dari masyarakat sekitar maupun industri menengah besar.
Produk yang dibuat tergantung dari pemesan. Adanya rancangan produk dari pemesan akan memudahkan industri ini untuk mengerjakannya. Biasanya
industri ini memproduksi frame rangka serta anyaman meubel dari rotan. Jumlah tenaga kerja yang terserap pada industri ini adalah sebanyak 7 orang.
5.7.1.1. Pemakaian Bahan Baku Rotan Industri Kecil
Bahan baku utama yang digunakan dalam kegiatan produksi adalah rotan. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada PO. Junaidi, bahan baku rotan
yang digunakan untuk proses produksi hanya terdiri dari 3 jenis yaitu rotan batang poles, core dan fitrit. Persentase pemakaian jenis bahan baku yang terbesar yaitu
rotan batang poles diameter 28 – 30 mm 28,16 , core diameter 10 mm 21,62 dan fitrit diameter 3,5 mm 24,49 . Untuk mengetahui lebih jelas mengenai
pemakaian bahan baku rotan pada PO. Junaidi dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Total Pemakaian Bahan Baku pada PO Junaidi Tahun 2006
No Jenis Rotan
Jumlah Pemakaian Setahun
Kg Persentase
1 20 – 22 mm
423 1.123
2 24 – 26 mm
205 0.544
3 26 – 28 mm
321 0.852
4 Batang Poles
28 – 30 mm 10608
28.16 5
30 – 32 mm 4019
10.668 6
34 – 36 mm 2312
6.137
Tabel 8 Lanjutan
7 6 mm
12 0.032
8 7 mm
41 0.109
9 8 mm
1489 3.953
10 10 mm
8143 21.616
11 12 mm
21 0.056
12 Core
16 mm 62
0.165 13 2
mm 460
1.221 14 3
mm 4516,5
12 15 3,5
mm 9224.5
24.487 16 4
mm 7
0.0186 17
Fitrit 6 mm
324 0.86
Total 37671.5 100
Sumber : PO Junaidi, 2007 diolah
Ket : Jenis rotan yang dianalisis dalam penelitian ini, dengan total keseluruhan mencapai 74,263 dari
total pemakaian rotan selama tahun 2006.
PO Junaidi tidak memiliki jumlah persediaan bahan baku rotan sehingga bahan baku yang dipakai untuk proses produksi akan langsung habis terpakai
tanpa adanya sisa persediaan. Pemakaian bulanan bahan baku rotan yaitu rotan batang poles diameter 28 – 30 mm, core diameter 10 mm dan fitrit diameter 3,5
mm dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Pemakaian Bulanan untuk Bahan Baku Rotan Batang Poles Diameter 28
– 30 mm, Core Diameter 10 mm dan Fitrit Diameter 3,5 mm Periode Tahun 2006 Kg
Bulan Batang Poles
28 – 30 mm Core
10 mm Fitrit
3,5 mm
Januari 938 470
325 Februari 1402 1260
2519 Maret 253
1150 1078.5
April 1952
875 412
Mei 1758 586
673.5 Juni 111.5
65 287.5
Juli 293 575
231 Agustus 0 209
938 September 1347 803
1134.5 Oktober 814 590
181
November 1310 700 816.5
Desember 429.5 860 628 Total 10608
8143 9224.5
Sumber : PO Junaidi, 2007
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa total pemakaian bahan baku rotan selama tahun 2006 untuk rotan batang poles ukuran diameter 28 – 30
mm sebesar 10.608 Kg. Pemakaian terbesar terjadi pada bulan April yaitu sebesar 1.952 Kg. Total pemakaian rotan core ukuran diameter 10 mm sebesar 8.143 Kg
dengan pemakaian terbesar terjadi pada bulan Februari yaitu sebesar 1.260 Kg, sedangkan total pemakaian rotan fitrit ukuran diameter 3,5 mm sebesar 9.224,5
Kg dengan pemakaian terbesar terjadi pada bulan Februari yaitu sebesar 2.519 Kg.
5.7.1.2. Analisis Biaya Persediaan Industri Kecil
PO. Junaidi tidak melakukan pemesanan bahan baku rotan secara langsung dari pemasok, namun industri ini tetap mengeluarkan biaya pemesanan untuk
mendapatkan order pesanan dari industri menengah besar. Komponen biaya pemesanan untuk industri ini terdiri dari biaya telepon, biaya administrasi dan
biaya pengangkutan. Komponen biaya pemesanan untuk keempat jenis bahan baku rotan dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Komponen Biaya Pemesanan per Pesanan Rotan PO Junaidi Rp
Jenis Rotan Jenis Biaya
Batang Poles Core
Fitrit
B. Telepon 1.500
1.500 1.500
B. Administrasi 2.500
2.500 2.500
B. Pengangkutan 50.000
50.000 50.000
Total 54.000 54.000
54.000
Sumber : Wawancara Pemilik PO Junaidi, 2007
Komponen biaya terbesar adalah biaya pengangkutan yaitu sebesar Rp. 50.000 atau sebesar 93,75 dari total biaya pemesanan. Biaya ini timbul karena
bahan baku yang dibutuhkan tidak diantar langsung ke industri ini melainkan ke industri menengah besar yang memesan dari pemasok. Oleh karena itu industri
ini harus mengambil sendiri bahan baku yang dibutuhkan pada industri menengahbesar yang memberi pesanan kepada industri ini.
Komponen biaya penyimpanan bahan baku pada PO. Junaidi hanya terdiri dari biaya pemeliharaan. Pemeliharaan bahan baku pada industri ini berupa
kegiatan fumigasi terhadap bahan baku yang belum terpakai untuk proses produksi, hal ini dilakukan untuk menjaga kualitas rotan yang akan diolah.
Komponen biaya pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Komponen Biaya Penyimpanan PO Junaidi per Unit PO Junaidi, 2006
Biaya Penyimpanan Jenis Bahan
Baku
Biaya Pemeliharaan RpKgTahun
Total Biaya Simpan RpKgBulan
Total Biaya Simpan RpKgMinggu
Batang Poles 28 – 30 mm
250 20,83 5,21 Core
10 mm 250 20,83 5,21
Fitrit 3,5 mm
250 20,83 5,21 Sumber :
Wawancara Pemilik PO Junaidi, 2007
5.7.1.3. Sistem Pengendalian Persediaan Bahan Baku Industri Kecil
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pada industri kecil yang dilakukan penelitian yaitu PO Junaidi tidak memiliki stok bahan baku di gudang
sehingga industri ini tidak melakukan pengendalian persediaan bahan baku. Bahan baku dibeli oleh pemberi pesanan yang berasal dari industri menengah besar.
Bahan baku yang diperoleh langsung habis terpakai untuk proses produksi. Untuk dapat memenuhi kebutuhan produksinya, industri ini sangat bergantung pada
industri menengah besar. Jika tidak ada order yang datang maka proses produksi pun tidak berjalan.
5.7.2. Industri Menengah
CV Pesona Rattan Nusantara merupakan industri berskala Menengah dengan nilai investasi atau aset antara Rp 200.000.000 sampai Rp 1.000.000.000.
Industri ini terletak di Desa Bodesari, Kecamatan Plumbon, Kabupaten Cirebon dengan tenaga kerja sebanyak 45 orang.
Industri ini berproduksi berdasarkan pesanan sehingga jumlah pembelian persediaan rotan tidak sama setiap bulannya. Pesanan yang diterima berasal dari
luar negeri maupun dalam negeri. Tujuan ekspor industri ini adalah negara –
negara di Asia dan Eropa seperti Singapure, Australia, Prancis, Italy, Turkey dan lain – lain.
5.7.2.1. Pemakaian Bahan Baku Industri Menengah
Metode pemakaian persediaan bahan baku rotan yang diterapkan dalam industri ini adalah metode FIFO first in - first out, yaitu bahan baku yang
pertama kali masuk digunakan lebih dahulu. Metode ini dipakai untuk untuk menghindari kerusakan bahan baku akibat tersimpan terlalu lama.
Pemakaian bahan baku rotan pada CV. Pesona Rattan Nusantara ditujukan untuk proses produksi furniture. Pemakaian bahan baku untuk jenis rotan pada
industri ini tidak terlalu banyak. Pesanan yang diterima lebih banyak pada penggunaan bahan lain seperti abaca dan eceng. Jenis rotan yang dipakai hanya
rotan batang poles, asalan semambu, core, dan fitrit. Pemakaian bahan baku terbesar terjadi pada pemakaian bahan abaca loreng 35,13, abaca tambang
13,77, dan eceng kepang 14,375, namun dikarenakan dalam penelitian ini hanya terpusat pada bahan baku rotan maka ketiga bahan tersebut tidak dibahas
dalam pengendalian persediaan di dalam penelitian ini. Pemakaian jenis rotan lainnya yang terbesar yaitu rotan batang poles diameter 28 – 30 mm 6,491 ,
core diameter 15 mm 0,145 , fitrit diameter 3,5 mm 9,086 serta asalan semambu diameter 26 – 28 mm 0,538 . Pemakaian bahan baku CV. Pesona
Rattan Nusantara dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Total Pemakaian Bahan Baku pada CV Pesona Rattan Nusantara
Tahun 2006
No Jenis Rotan
Jumlah Pemakaian
Setahun Kg
Persentase
1 18 – 20 mm
490 0.255
2 20 – 22 mm
5391 2.804
3 24 – 26 mm
3012 1.57
4 26 – 28 mm
649 0.337
5 28 – 30 mm
12480 6.491
6 30 – 32 mm
8726 4.539
7 Batang Poles
32 - 34 mm 837
0.435 8 6
mm 101
0.052 9 7
mm 21
0.011 10
10 mm
143 0.074
11 12 mm
158 0.082
12 Core
14 mm 75
0.039
Tabel 12 Lanjutan
13 15 mm
278 0.145
14 17 mm
39 0.02
15 2,75 mm
918 0.477
16 3 mm
10211 5.311
17 3,5 mm
17468 9.086
18 4 mm
4628 2.407
19 Fitrit
5 mm 1227
0.638 20
20 - 22 mm 671
0.349 21
24 - 26 mm 404
0.210 22
Sumber : Bagian bahan baku CV Pesona Nusantara, 2007 diolah
Asalan Semambu 26 – 28 mm
1035 0.538
23 Abaca Loreng
67541 35.130
24 Abaca Tambang
26480.5 13.773
25 Eceng Kepang
27636.5 14.375
Total 192259 100
Ket : Jenis rotan yang dianalisis dalam penelitian ini, dengan total keseluruhan mencapai 16.26 dari total
pemakaian rotan selama tahun 2006.
Total pemakaian bulanan untuk bahan baku rotan batang poles 28 – 30 mm pada CV. Pesona Rattan Nusantara yaitu sebesar 12.480 Kg, sedangkan
total pemakaian rotan core 15 mm sebesar 278 Kg. Total pemakaian rotan fitrit 3,5 mm sebesar 17.468 Kg dan total pemakaian rotan asalan semambu 26 – 28
mm sebesar 1.035 Kg. Pemakaian rotan batang poles 28–30 mm terbesar terjadi pada bulan April yaitu sebesar 1.610 Kg, sedangkan pemakaian rotan core 15
mm terbesar terjadi pada bulan September yaitu sebesar 87 Kg. Pemakaian rotan fitrit 3,5 mm yang terbesar terjadi pada bulan Agustus yaitu sebesar 2.504,5 Kg
dan pemakaian rotan asalan semambu 26 – 28 mm yang terbesar terjadi pada bulan Desember yaitu sebesar 210 Kg. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai
pemakaian bulanan bahan baku rotan pada CV. Pesona Rattan Nusantara dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Pemakaian Bulanan untuk Bahan Baku Rotan Batang Poles Diameter 28 – 30 mm, Core Diameter 15 mm, Fitrit Diameter 3,5 mm dan Asalan
Semambu Diameter 26 – 28 mm Periode Tahun 2006 Kg
Bulan Batang Poles
28 – 30 mm Core
15 mm Fitrit
3,5 mm Asalan Semambu
26 – 28 mm
Januari 1410 8 730.5 16
Februari 940 2
701 79
Maret 1140 0 1458.5 70
April 1610 22 1944 14 Mei 780 12
1778 38
Juni 970 52 1008.5
200 Juli 270 11
982.5 56
Agustus 840 4 2504.5 160
September 1110 87
931 115
Oktober 600 10 1646 12
November 1260 51
1941.5 65
Desember 1550 19 1842 210
Total 12480 278 17468 1035
Sumber : Bagian Bahan Baku CV Pesona Nusantara, 2007
5.7.2.2. Biaya Persediaan Bahan Baku Industri Menengah
Total biaya persediaan bahan baku pada CV. Pesona Rattan Nusantara terdiri dari biaya pemesanan dan biaya penyimpanan. Biaya pemesanan bahan
baku ini adalah total biaya yang dikeluarkan per pesanan tanpa dipengaruhi jumlah pesanan yang dipesan. Komponen biaya ini terdiri atas biaya sourcing,
biaya telepon, biaya administrasi pembelian biaya pembuatan purchasing order, faktur, dll
dan biaya transportasi pengangkutan pengadaan bahan baku. Komponen biaya pemesanan untuk bahan baku rotan yang terbesar
terdapat pada biaya administrasi yaitu sebesar Rp. 26.000 32,7 . Komponen administrasi terdiri dari biaya pembuatan purchasing order dan biaya pembuatan
faktur. Total biaya pemesanan bahan baku pada CV. Pesona Rattan Nusantara sebesar Rp. 79.500. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai komponen biaya
pemesanan bahan baku rotan pada CV. Pesona Rattan Nusantara dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Komponen Biaya Pemesanan per Pesanan Rotan CV Pesona Rattan Nusantara Tahun 2006
Biaya Pemesanan Rp Pesanan Jenis Rotan
Biaya Sourcing
Biaya Telepon
Biaya Administrasi
Biaya Pengangkutan
Total Biaya
Pesan Batang Poles
28 – 30 mm 30.000 3.500 26.000
20.000 79.500 Core
15 mm
30.000 3.500 26.000 20.000 79.500
Fitrit
3,5 mm
30.000 3.500 26.000 20.000 79.500
Asalan Semambu
26 – 28 mm 30.000 3.500 26.000
20.000 79.500
Sumber : Wawancara Bagian Keuangan, CV Pesona Rattan Nusantara, 2007
Selain biaya pemesanan, pada komponen biaya persediaan terdapat biaya
penyimpanan bahan baku. Untuk komponen biaya penyimpanan pada CV. Pesona Rattan Nusantara terdiri atas biaya pemeliharaan dan biaya penyusutan. Kedua
biaya ini merupakan biaya estimasi dari hasil wawancara dengan bagian keuangan CV. Pesona Rattan Nusantara dengan asumsi bahwa biaya pemeliharaan besarnya
adalah 3 dari total biaya tahunan, sedangkan besarnya tingkat penyusutan bahan baku untuk rotan adalah sebesar 12,5 per tahun. Total biaya
penyimpanan bahan baku pada CV. Pesona Rattan Nusantara untuk rotan batang poles 28 – 30 mm sebesar Rp. 1.356,25 tahun, sedangkan untuk rotan core 15
mm sebesar Rp. 1.410,5 tahun. Total penyimpanan bahan baku untuk rotan fitrit 3,5 mm sebesar Rp. 2.247,5 tahun dan untuk rotan asalan semambu 26 – 28
mm sebesar Rp. 379,75 tahun. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai komponen biaya penyimpanan bahan baku rotan pada CV. Pesona Rattan
Nusantara dapat dilihat pada Tabel 15, sedangkan perhitungan biaya penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 7.
Tabel 15 Komponen Biaya Penyimpanan Rotan Batang Poles Diameter 28 – 30 mm, Core Diameter 15 mm, Fitrit Diameter 3,5 mm dan Asalan
Semambu Diameter 26 – 28 mm
Biaya Penyimpanan Jenis Rotan
Biaya Pemeliharaan Rp
Biaya Penyusutan Rp
Total Biaya Simpan RpKgThn
Batang Poles 28 – 30 mm
262,5 1.093,75 1.356,25
Core 15 mm
273 1.137,5 1.410,5
Fitrit 3,5 mm
435 1.812,5 2.247,5
Asalan Semambu
26 – 28 mm 73,5 306,25
379,75 Sumber
: Wawancara Bagian Keuangan CV Pesona rattan Nusantara, 2007 Diolah
5.7.2.2. Metode Pengendalian Persediaan Bahan Baku pada
Industri Menengah
Pengendalian persediaan bahan baku pada CV Pesona Rattan Nusantara merupakan tanggung jawab bagian produksi, bagian bahan baku dan bagian
pembelian. Bagian produksi dan bagian bahan baku bertanggung jawab mengatur tingkat persediaan sehingga tidak terjadi kelebihan dan kekurangan bahan baku,
serta menghitung jumlah kebutuhan bahan baku yang dibutuhkan untuk proses produksi. Sedangkan tugas dari bagian pembelian adalah mengadakan pembelian
bahan baku agar selalu ada tepat pada saat dibutuhkan. Proses pengadaan bahan baku dalam melakukan pemesanan pada industri
ini waktu tunggu adalah 3 hari, terhitung sejak industri melakukan sourcing, kegiatan penawaran baik melalui telepon ataupun saat sourcing sampai
disetujuinya suatu Purchashing Order antara kedua belah pihak. Pada industri ini tidak terdapat permasalahan dalam waktu tunggu pengadaan bahan baku.
Tabel 16 Total Frekuensi Pemesanan dan Kuantitas Pesanan dengan Metode yang Diterapkan CV Pesona Rattan Nusantara, 2006.
Batang Poles 28 – 30 mm
Core 15 mm
Fitrit 3,5 mm
Asalan Semambu 26 – 28 mm
Bln
Unit Frek Kuant Frek Kuant Frek Kuant
Frek Kuant
Jan Kg 2 1810 0 0 0 1
40 Feb Kg 1 530 0
0 0 1 103
Mar Kg 3 2170 0 1 251 1
34 Apr Kg 1 1400 2
117 2 3463 1
68 Mei Kg 1 740 0
2 632 1 74
Juni Kg 1 600 1 42
1 3072 4 301
Juli Kg 1 1620 0 0 0 1
80 Ags Kg 0 0 0
1 2115 1 60
Sep Kg 1 810 1 71
0 0 0 Okt Kg 1 280 0
3 2370 0 Nov Kg 2 1430 1
43 4 8142.5 2
169 Des Kg 3 1800 0
0 0 3 226
Total Kg 17 13190 5 273
14 20045.5 16
1155
Sumber : Bagian Bahan Baku, CV Pesona Rattan Nusantara, 2007 diolah
Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa CV. Pesona Rattan Nusantara melakukan pemesanan untuk jenis batang poles ukuran diameter 28 –
30 mm sebanyak tujuh belas kali dengan jumlah pesanan sebesar 13.190 Kg, sedangkan untuk jenis core diameter 15 mm pemesanan dilakukan sebanyak lima
kali dengan jumlah pesanan sebesar 273 Kg. Untuk jenis fitrit diameter 3,5 mm pemesanan dilakukan sebanyak empat belas kali dengan jumlah pesanan sebesar
20.045,5 Kg dan jenis asalan semambu diameter 26 – 28 mm pemesanan dilakukan sebanyak enam belas kali dengan jumlah pesanan sebesar 1.155 Kg.
Kuantitas pemesanan tertinggi untuk bahan baku batang poles 28 – 30 mm terjadi pada bulan Maret yaitu sebesar 2.170 Kg. Untuk bahan baku core 15
mm kuantitas pemesanan tertinggi terjadi pada bulan April yaitu sebesar 117 Kg, sedangkan kuantitas pemesanan tertinggi untuk bahan baku fitrit 3,5 mm dan
asalan semambu 26 – 28 mm masing – masing terjadi pada bulan November sebesar 8.142 Kg dan pada bulan Juni sebesar 301 Kg. Untuk perhitungan
frekuensi pemesanan, kuantitas pemesanan yang dihasilkan secara lebih rinci
berdasarkan metode yang telah diterapkan perusahaan dapat dilihat pada Lampiran 6 dan Lampiran 7.
5.7.2.4. Metode EOQ
Metode EOQ merupakan metode yang digunakan untuk menentukan kuantitas pesanan persediaan yang meminimalkan biaya penyimpanan persediaan
dan pemesanan persediaan. Selain itu dengan metode EOQ dapat pula diketahui titik pemesanan kembali reorder point yang bertujuan untuk menjaga agar
persediaan tetap tersedia dalam jumlah yang optimal. Titik ini akan menunjukkan keadaan untuk mengadakan pemesanan kembali untuk menggantikan persediaan
yang telah digunakan. Metode yang digunakan perusahaan dalam melakukan pengadaan
persediaan bahan baku memiliki perbedaan dengan hasil yang diperoleh berdasarkan metode EOQ. Perbandingan antar metode yang diterapkan CV.
Pesona Rattan Nusantara dengan metode EOQ meliputi perbandingan frekuensi pemesanan, kuantitas pesanan, biaya pemesanan, biaya penyimpanan dan
perbandingan biaya persediaan.
a Analisis Pengendalian Persediaan Industri Menengah
Pengendalian persediaan bahan baku berdasarkan metode EOQ dapat digunakan untuk menentukan jumlah frekuensi dan kuantitas pesanan persediaan
bahan baku sehingga dapat meminimalkan biaya penyimpanan dan pemesanan persediaan bahan baku. Untuk mengetahui perbandingan frekuensi dan kuantitas
pemesanan bahan baku antara metode perusahaan dan metode EOQ dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Perbandingan Frekuensi dan Kuantitas Pemesanan Bahan Baku
Pengendalian Persediaan Rotan Perusahaan EOQ
Jumlah Kuantitas
Jenis Rotan
Unit Frekuensi Frekuensi Perusahaan EOQ
Batang Poles 28 – 30 mm
Kg 17 11 13.190
13.678,72 Core
15 mm Kg
5 2
273 350,86
Tabel 17 Lanjutan
Fitrit 3,5 mm
Kg 14 17 20.045,5
20.244,45 Asalan
Semambu 26 – 28 mm
Kg 16 2 1.155
1.390,82
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa frekuensi pemesanan pada metode EOQ relatif lebih kecil dibandingkan dengan metode yang dilakukan CV.
Pesona Rattan Nusantara. Kecuali untuk fitrit 3,5 mm, memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan metode perusahaan, hal ini dikarenakan jumlah permintaan
fitrit yang tinggi selama tahun 2006. Perhitungan dengan metode EOQ memperoleh hasil yaitu kuantitas
pemesanan persediaan bahan baku yang optimal untuk rotan batang poles 28 – 30 mm adalah sebesar 1.243,51 Kg, dan frekuensi pemesanan dilakukan
sebanyak sebelas kali dengan jumlah pesanan lebih tinggi dibandingkan dengan metode yang diterapkan perusahaan yaitu sebesar 13.678,72 Kg. Untuk
mengetahui tingkat pengendalian persediaan rotan batang poles 28 – 30 mm dapat dilihat pada Gambar 9.
L=3 L=3 L=3 L=3 L=3 L=3 L=3 L=3 L=3 L=3
Metode EOQ Metode Perusahaan
Gambar 9 Tingkat Persediaan Rotan Jenis Batang Poles 28 – 30 mm Vs Waktu Bagi EOQ dan metode perusahaan
Pada saat persediaan batang poles 28 – 30 mm mencapai garis R titik pemesanan kembali sebesar 147,09 Kg, maka bagian pembelian akan memesan
bahan baku jenis tersebut dengan pesanan sebesar Q 1.243,51Kg. Pada Gambar 10 menunjukkan pengaruh tingkat persediaan rotan jenis
core 15 mm terhadap waktu. Gambar ini memperlihatkan bahwa untuk meminimumkan besarnya biaya persediaan, maka jumlah pesanan bahan baku
yang optimal berdasarkan perhitungan dengan metode EOQ adalah sebesar 175,43 Kg, dengan frekuensi pemesanan sebanyak dua kali. Jumlah pesanan lebih tinggi
dari metode perusahaan yaitu sebesar 350,86 Kg
.
Pada saat persediaan core 15 mm mencapai garis R 3,03 Kg, maka bagian pembelian akan memesan bahan
baku jenis tersebut dengan pesanan sebesar Q 175,43 Kg.
R=3,03
Metode EOQ Metode Perusahaan
Gambar 10 Tingkat Persediaan Rotan Jenis Core 15 mm Vs Waktu Bagi EOQ
Pada Gambar 11 dapat dilihat bahwa jumlah pesanan bahan baku rotan jenis fitrit 3,5 mm yang optimal berdasarkan metode EOQ adalah sebesar
1.190,85 Kg dan pemesanan dilakukan sebanyak tujuh belas kali dengan jumlah pesanan lebih tinggi dibandingkan dengan metode yang diterapkan perusahaan
yaitu sebesar 20.244,45 Kg, serta dapat melakukan pembelian kembali sebesar Q 1.190,85 Kg apabila jumlah persediaan di gudang telah mencapai garis R
223,56 Kg.
Gambar 11 Tingkat Persediaan Rotan Jenis Fitrit 3,5 mm Vs Waktu Bagi EOQ
Untuk rotan jenis asalan semambu 26 – 28 mm, jumlah pemesanan optimal berdasarkan metode EOQ adalah sebesar 695,41 Kg dan pemesanan
dilakukan sebanyak dua kali. Jumlah pesanan lebih tinggi dari metode perusahaan
yaitu sebesar 1.390,82
Kg
. Tingkat persediaan rotan jenis asalan semambu 26 – 28 mm disajikan pada Gambar 12.
1
Metode EOQ Metode Perusahaan
Metode Perusahaan Metode EOQ
Gambar 12 Tingkat Persediaan Rotan Jenis Asalan Semambu 26 – 28 mm Vs Waktu Bagi EOQ
Pada saat persediaan asalan semambu 26 – 28 mm mencapai garis R titik pemesanan kembali sebesar 12,87 Kg, maka bagian pembelian akan
memesan bahan baku jenis tersebut dengan pesanan sebesar Q 695,41 Kg.
b Analisis Biaya Persediaan Bahan Baku
Biaya pemesanan berkaitan dengan frekuensi pemesanan, sehingga biaya pemesanan tertinggi pada tiap jenis rotan terdapat pada metode perusahaan. Pada
tabel di bawah ini dapat dilihat perbandingan besarnya biaya persediaan berdasarkan metode EOQ dengan metode perusahaan pada CV. Pesona Rattan
Nusantara untuk keempat jenis bahan baku.
Tabel 18 Perbandingan Biaya Persediaan Bahan Baku
Biaya Pemesanan Biaya Penyimpanan
Biaya Persediaan Bahan Baku
Perusahaan EOQ Perusahaan EOQ
Perusahaan EOQ
Batang Poles 28 – 30 mm
1.351.500 874.500 13.786.281,25 9.275.882
15.137.781,25 10.150.382 Core
15 mm 397.500 159.000
844.184,25 247.444,01
1.241.684,25 406.444,01 Fitrit
3,5 mm 1.113.000 1.351.500
61.298.876,88 22.749.700,69
62.411.876,88 24.101.200,69 Asalan
Semambu 26 – 28 mm
1.272.000 159.000 374.053,75
264.081,92 1.646.053,75 423.081,95
Total 4.134.000
2.544.000 76.303.396,13
32.537.108,65 80.437.396,13 35.081.108,65
Berdasarkan hasil perhitungan dapat diketahui bahwa biaya pemesanan tertinggi terdapat pada rotan batang poles 28 – 30 mm pada metode perusahaan
dan fitrit 3,5 mm pada metode EOQ masing – masing sebesar Rp. 1.351.500, sedangkan biaya pemesanan terendah terdapat pada rotan core 15 mm dan asalan
semambu 26 – 28 mm masing–masing sebesar Rp. 159.000 dengan metode EOQ. Selisih biaya pemesanan yang dapat dilakukan pada biaya pemesanan
berdasarkan metode EOQ adalah sebesar Rp. 1.590.000 yang terdiri dari Rp. 477.000 untuk rotan batang poles 28 – 30 mm, Rp. 238.500 untuk rotan core 15
mm dan sebesar Rp. 1.113.000 untuk rotan asalan semambu 26 – 28 mm, sedangkan untuk fitrit 3,5 mm memiliki nilai sebesar – Rp. 238.500. Hal ini
dikarenakan jumlah frekuensi pemesanan untuk fitrit 3,5 mm pada metode EOQ lebih besar dari jumlah frekuensi pemesanan yang dilakukan berdasarkan metode
perusahaan. Semakin banyak frekuensi pemesanan yang dilakukan semakin besar biaya pemesanan.
Pada biaya penyimpanan diperoleh hasil yaitu biaya penyimpanan tertinggi terdapat pada metode perusahaan yaitu pada rotan fitrit 3,5 mm sebesar
Rp. 61.298.876,88 dan biaya penyimpanan terendah terdapat pada rotan core 15 mm dengan metode EOQ yaitu sebesar Rp. 247.444,01. Biaya penyimpanan
berhubungan dengan banyaknya jumlah persediaan bahan baku yang disimpan di gudang, apabila terdapat sisa persediaan yang tinggi akan menimbulkan biaya
penyimpanan yang tinggi pula. Selisih biaya penyimpanan yang diperoleh berdasarkan metode EOQ adalah sebesar Rp. 43.766.287,48
yang terdiri dari Rp. 4.510.399,25 untuk rotan batang poles 28 – 30 mm, Rp. 596.740,24 untuk rotan
core 15 mm, Rp. 38.549.176,19 untuk rotan fitrit 3,5 mm, dan sebesar Rp. 109.971,8
untuk rotan asalan semambu 26 – 28 mm. Perbandingan biaya persediaan tiap jenis rotan untuk kedua metode
menunjukkan bahwa secara keseluruhan biaya persediaan bahan baku tahunan dengan menggunakan metode perusahaan memiliki nilai yang lebih tinggi
dibandingkan dengan metode EOQ. Selisih total biaya persediaan bahan baku tahunan antara kedua metode adalah sebesar Rp. 45.356.287,48.
Selisih biaya persediaan yang didapat apabila menggunakan metode EOQ untuk rotan batang
poles 28–30 mm adalah sebesar Rp. 4.987.399,25, rotan core 15 mm sebesar Rp. 835.240,24, rotan fitrit 3,5 mm sebesar Rp. 38.310.676,19 dan rotan asalan
semambu adalah sebesar Rp. 1.222.971,8.
Pada industri ini tidak diperlukan adanya safety stock atau persediaan pengaman untuk bahan baku rotan dikarenakan penggunaan bahan baku utama
bukan pada bahan baku rotan melainkan bahan baku lain.
5.7.3. Industri Besar
PT Mutiara Habemindo Rotan atau biasa dikenal dengan PT HBM merupakan salah satu industri rotan berskala besar terbesar di Kabupaten Cirebon.
Setiap hari, pabrik ini mampu memproduksi tiga sampai enam unit kontainer bahan jadi dan bahan setengah jadi furniture.
Industri ini terletak di Desa Kertasari, Kecamatan Plered yang merupakan kerjasama antara Indonesia dengan Jerman, dengan tenaga kerja sebanyak ± 400
orang. Tujuan ekspor utama pada industri ini adalah Jerman dan Inggris. Selain
kedua Negara tersebut pemasaran industri ini juga meliputi negara – negara lainnya seperti Scandinavia, Swedia, Irak, Belanda, Amerika.
5.7.3.1. Pemakaian Bahan Baku Industri Besar
Bahan baku utama yang digunakan dalam kegiatan produksi pada industri ini adalah rotan dan kayu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada PT HBM,
bahan baku non kayu yang digunakan dalam proses produksi pada industri ini selama tahun 2006 terdiri dari empat belas jenis yaitu core, batang poles, fitrit,
tohiti poles, lesio sanded peel, pulut merah, lesio kulit sega, foc, manau asalan, cl asalan, abaca loreng, abaca tambang putih, lesio tiger hitam, dan eceng kelabang.
Industri ini menerapkan metode pemakaian persediaan bahan baku rotan yang sama dengan metode pemakaian persediaan bahan baku pada industri
menengah yaitu metode FIFO first in - first out. Jumlah pemakaian bahan baku rotan yang berfluktuasi setiap bulannya menunjukkan bahwa pemakaian bahan
baku didasarkan atas jumlah dan jenis barang meubel yang diproduksi berdasarkan pesanan pembeli, sehingga kebutuhan bahan baku untuk jenis tertentu
berubah – ubah. Total pemakaian bahan baku untuk keempat belas jenis tersebut disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19 Total Pemakaian Bahan Baku pada PT Mutiara Habemindo Rotan Selama Tahun 2006
No
Jenis Rotan Jumlah Pemakaian
setahun Kg Persentase
1 6 mm
2.689 0,734
2 8 mm
116 0,032
3 10 mm
4.762 1,3
4 11 mm
11.165 3,049
5 Core
12 mm 5.527
1,509 6
14 mm
12 0,003
7 15
mm 2.121
0,579 8
16 – 18 mm 1.139
0,311 9
18 – 20 mm 13.320
3,638 10
20 – 22 mm 26.650
7,278 11
Batang Poles 22 – 24 mm
16.134 4,406
12 24 – 26 mm
17.319 0,729
Tabel 19 Lanjutan
13 26 – 28 mm
84.804 23,16
14 28 – 30 mm
37.457 10,229
15 30 – 32 mm
19.944 5,447
16 32 – 34 mm
1.912 0,522
17 2 mm
5.927 1,619
18 2,5 mm
1.791 0,489
19 3 mm
88.492 24,167
20 3,5 mm
4.642 1,268
21 Fitrit
4 mm 2.798
0,764 22 3
mm 100
0,027 23 5,5
mm 4.297
1,173 24
Lesio Sanded Peel 8 mm
150 0,041
25 Pulut Merah
3 – 6 mm 542
0,148 26
Tohiti Poles 18 – 20 mm
4.787 1,307
27 Lesio Kulit Sega
5 mm 3.142
0,858 28 4
mm 323
0,088 29
Foc 5 mm
203 0,055
30 26 – 28 mm
36 0,009
31 28 – 30 mm
2.193 0,599
32 30 – 32 mm
285 0,078
33 Manau Asalan
32 – 34 mm 18
0,005 34
CL Asalan 16 – 18 mm
320 0,087
35 Abaca Loreng
1.124 0,307 36
Abaca Tambang Putih 1.534
0,419 37
Lesio Tiger Hitam 30
0,008 38 Eceng
Kelabang 43 0,012
Total 366.160 100
Sumber : Bagian Bahan Baku, PT HBM, 2007 diolah
Ket : Jenis rotan yang dianalisis dalam penelitian ini, dengan total keseluruhan mencapai 51,683
dari total pemakaian rotan selama tahun 2006.
Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa jumlah pemakaian bahan baku rotan terbesar adalah rotan core diameter 11 mm 51,68 , rotan batang
poles diameter 26 – 28 mm 23,16 , rotan fitrit diameter 3 mm 24,167 dan rotan tohiti poles diameter 18 – 20 mm 1,307 . Keempat rotan tersebut
merupakan jenis dan ukuran rotan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Total pemakaian bahan baku untuk jenis rotan core diameter 11 mm adalah sebesar
11.165 Kg, rotan batang poles diameter 26 – 28 mm sebesar 84.804 Kg, rotan
fitrit diameter 3 mm sebesar 88.492 Kg, dan tohiti poles diameter 18 – 20 mm sebesar 4.787 Kg. Data pemakaian bulanan untuk keempat jenis bahan baku rotan
tersebut akan disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Pemakaian Bulanan untuk Bahan Baku Rotan Core Diameter 11 mm,
Batang Poles 26 – 28 mm, Fitrit Diameter 3 mm dan Tohiti Poles Diameter 18 – 20 mm Periode Tahun 2006 Kg
Bulan Core 11 mm
Batang Poles 26 – 28 mm
Fitrit 3 mm
Tohiti Poles 18 – 20 mm
Januari 0 3.983
13.160 Februari 0
1.701 4.590
Maret 0 2.398
7.252 320
April 1.799 10.836
6.149 362
Mei 3.731 22.355
8.706 Juni 1.193
4.276 6.643
400 Juli 0
2.883 5.090
1.226 Agustus
2.142 12.619 6.878 1.092 September 107 1.590 2.699 0
Oktober 0 397
2.413 November 2.066 12.866 9.681 515
Desember 127 8.900 15.231
872
Total 11.165 84.804 88.492 4.787
Sumber : Bagian Bahan Baku, PT HBM, 2007 diolah
5.7.3.2. Biaya Persediaan Bahan Baku pada Industri Besar
Total biaya pengendalian persediaan bahan baku pada PT Mutiara Habemindo Rotan juga terdiri dari biaya pemesanan dan biaya penyimpanan.
Biaya pemesanan bahan baku ini adalah total biaya yang dikeluarkan per pesanan tanpa dipengaruhi jumlah pesanan yang dipesan. Komponen biaya ini terdiri atas
biaya sourcing, biaya telepon, biaya administrasi pembelian biaya pembuatan purchase order, faktur, dll
dan biaya transportasi pengangkutan pengadaan bahan baku. Komponen biaya pemesanan untuk keempat jenis bahan baku rotan
dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21 Komponen Biaya Pemesanan per Pesanan pada Rotan PT Mutiara Habemindo Rotan Selama Tahun 2006
Biaya Pemesanan Rp Pesanan Jenis Rotan
Biaya Sourcing
Biaya Telepon
Biaya Administrasi
Biaya Pengangkutan
Total Biaya
Pesan Core
11 mm 50.000 10.000
60.000 50.000 170.000
Batang Poles 26 – 28 mm
50.000 10.000 60.000
50.000 170.000 Fitrit
3 mm 50.000 10.000
60.000 50.000 170.000
Tohiti Poles 18 – 20 mm
50.000 10.000 60.000
50.000 170.000 Sumber
: Wawancara Bagian Keuangan PT HBM, 2007
Komponen biaya penyimpanan pada industri besar yaitu PT Mutiara Habemindo Rotan terdiri atas biaya pemeliharaan dan biaya penyusutan. Kedua
biaya ini merupakan biaya estimasi dari hasil wawancara dengan bagian keuangan PT HBM dengan asumsi bahwa biaya pemeliharaan besarnya adalah 5 dari
total biaya tahunan. Sedangkan besarnya tingkat penyusutan bahan baku untuk rotan adalah sebesar 18 per tahun. Komponen biaya penyimpanan keempat
jenis bahan baku rotan dapat dilihat pada Tabel 22. Perhitungan biaya penyimpanan dapat dilihat pada lampiran 11 .
Tabel 22 Komponen Biaya Penyimpanan Rotan Core 11 mm, Batang Poles Diameter 26 – 28 mm, Fitrit Diameter 3 mm dan Tohiti Poles Diameter
18 – 20 mm
Biaya Penyimpanan RpKgThn Jenis Rotan
Biaya Pemeliharaan
Biaya Penyusutan Total Biaya Simpan
Core 11 mm
481,25 1.732,5 2.213,75
Batang Poles 26 – 28 mm
365 1.314 1.679
Fitrit 3 mm
697.5 2.511 3.208,5
Tohiti Poles 18 – 20 mm
305 1.098 1.403
Sumber : Wawancara Bagian Keuangan PT HBM, 2007 Diolah
5.7.3.3. Metode Pengendalian Persediaan Bahan Baku pada Industri Besar
PT. Mutiara Habemindo Rotan melakukan pengendalian persediaan bahan
baku agar dapat melindungi kelancaran produksi dengan efektif dan efisien. Pengendalian persediaan bahan baku pada PT. Mutiara Habemindo Rotan
dilakukan dengan mengetahui terlebih dahulu jumlah dan jenis bahan baku yang dibutuhkan disesuaikan dengan spesifikasi dari pesanan produk oleh bagian
produksi. Setelah mengetahui total kebutuhan bahan baku atas suatu produk, kemudian bagian bahan baku akan melakukan pemeriksaan bahan baku yang
dibutuhkan yang ada di gudang. Bagian bahan baku sebagai pengendali persediaan menghitung jumlah
persediaan bahan baku yang harus dibeli sebanyak kebutuhan ditambah persediaan untuk antisipasi. Jumlah persediaan tersebut berbeda–beda antar
periode disesuaikan dengan kondisi permintaan produk. Pada kondisi permintaan tinggi, persediaan diperkirakan untuk antisipasi kebutuhan selama tiga bulan.
Sebaliknya, jika permintaan produk rendah perusahaan melakukan antisipasi persediaan untuk kebutuhan satu bulan. Setelah bagian bahan baku mengetahui
jumlah persediaan bahan baku yang harus dibeli maka bagian pembelian melakukan pembelian bahan baku sesuai dengan yang dibutuhkan.
Proses pengadaan bahan baku pada industri besar waktu tunggu adalah 6 hari. Proses pemesanan pada industri ini tidak jauh berbeda dengan industri
menengah. Proses pemesanan juga dimulai dengan kegiatan sourcing, hanya saja dalam industri ini kegiatan sourcing dilakukan lebih teliti dalam memilih bahan
baku dari pemasok. Tabel 23 Total Frekuensi Pemesanan dan Kuantitas Pesanan dengan Metode yang
Diterapkan PT Mutiara Habemindo Rotan, 2006.
Core Batang Poles Fitrit Tohiti
Poles Bln Unit
Frek Kuant Frek Kuant Frek Kuant Frek Kuant
Jan Kg 0 7
4.030 10 8.118
1 1.152 Feb Kg 0
12 7.655
8 10.582 1 879
Mar Kg
0 0 7 3.488 4 7.768 3 1.809
Apr Kg 5 1.972 12 13.331 7 13.891
2 4.230 Mei Kg 11 4.918 39 33.237,22 7 20.299
Juni Kg 2 1.273 6 4.395
5 10.660 1
1.714 Juli
Kg 0 0 14 15.073 5 9.924 3 4.348
Tabel 23 Lanjutan
Agu Kg 5 2.263 22 17.921
3 11.200 1
776 Sept
Kg 0 0 5 1.397 4 5.037 0 0
Okt Kg 4 1.785 8 8.162
1 699
Nov Kg 1 903 11
5.327 3 15.000
Des Kg 0 19 13.192,01 5 13.983
1 71
Total 28 13.114 162 127.208,23 62 12.7161 13 14.979
Sumber : Bagian Bahan Baku, PT HBM,2007 diolah
Dari Tabel 23 tersebut dapat diketahui bahwa pemesanan yang dilakukan oleh PT. HBM selama tahun 2006 untuk rotan core 11 mm dilakukan sebanyak
dua puluh delapan kali dengan jumlah pesanan sebesar 13.114 Kg, sedangkan pemesanan untuk rotan batang poles 26 – 28 mm sebanyak seratus enam puluh
dua kali dengan jumlah pesanan terbesar yaitu sebesar 127.208.23 Kg. Pemesanan
rotan fitrit 3 mm dilakukan sebanyak enam puluh dua kali dengan jumlah pesanan sebesar 12.7161 Kg dan rotan tohiti poles 18 – 20 mm sebanyak tiga
belas kali dengan jumlah pesanan sebesar 14.979 Kg. Kuantitas pemesanan untuk rotan core 11 mm terbesar terjadi pada bulan
Mei sebesar 4.918 Kg, sedangkan kuantitas pemesanan rotan batang poles 26 – 28 mm terbesar terjadi pada bulan Mei sebesar 33.273,2 Kg. kuantitas pemesanan
rotan fitrit 3 mm terbesar terjadi pada bulan 20.299 Kg dan kuantitas pemesanan rotan tohiti poles 18 – 20 mm terbesar terjadi pada bulan Juli yaitu sebesar 4.348
Kg. 5.7.3.4.
Metode EOQ
Metode yang digunakan perusahaan dalam melakukan pengadaan persediaan bahan baku memiliki perbedaan dengan hasil yang diperoleh
berdasarkan metode EOQ. Perbandingan antar metode yang diterapkan PT. Mutiara Habemindo Rotan dengan metode EOQ meliputi perbandingan frekuensi
pemesanan, kuantitas pesanan, biaya pemesanan, biaya penyimpanan, dan perbandingan biaya persediaan.
a Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku
Pengendalian persediaan bahan baku berdasarkan metode EOQ dapat digunakan untuk menentukan jumlah frekuensi dan kuantitas pesanan persediaan
bahan baku sehingga dapat meminimalkan biaya penyimpanan dan pemesanan persediaan bahan baku. Untuk mengetahui perbandingan frekuensi dan kuantitas
pemesanan bahan baku antara metode perusahaan dan metode EOQ dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24. Perbandingan Frekuensi Pemesanan dan Kuantitas Pesanan
Pengendalian Persediaan Rotan Perusahaan EOQ
Jumlah Kuantitas
Jenis Rotan
Unit Frekuensi
Frekuensi Perusahaan
EOQ
Core 11 mm
Kg 28 9 13.114
12.772,8 Batang Poles
26 – 28 mm Kg 162
25 127.208,23
126.885,5 Fitrit
3 mm Kg 62
34 127.161
124.808,56 Tohiti Poles
18 – 20 mm Kg 13
8 14.979 15.242
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa frekuensi pemesanan pada metode EOQ relatif lebih kecil dibandingkan dengan metode yang dilakukan PT.
Mutiara Habemindo Rotan. Perbedaan frekuensi pemesanan yang diperoleh berdasarkan kedua metode tersebut akan berpengaruh terhadap besarnya biaya
pemesanan persediaan bahan baku rotan. Semakin tinggi frekuensi pemesanan persediaan bahan baku maka akan semakin besar pula biaya pemesanan
persediaan bahan baku. Berdasarkan perhitungan dengan metode EOQ diperoleh bahwa kuantitas
pemesanan optimal untuk core 11 mm adalah sebesar 1.419,2 Kg, pemesanan dilakukan sebanyak sembilan kali dengan jumlah pesanan yang lebih rendah
dibandingkan dengan metode yang diterapkan perusahaan yaitu sebesar 12.772,8 Kg. Perusahaan dapat melakukan pembelian kembali sebesar Q 1.419,2 Kg
apabila jumlah persediaan di gudang telah mencapai garis sebesar R 292,5 Kg. Pengaruh tingkat persediaan rotan jenis core 11 mm terhadap waktu dapat dilihat
pada Gambar 13.
Q=1419,2
Unit Kg
Metode EOQ
Waktu Bulan
Gambar 13 Tingkat Persediaan Rotan Jenis Core 11 mm Vs Waktu Bagi EOQ
Metode Perusahaan
Pada Gambar 14 menunjukkan pengaruh tingkat persediaan rotan jenis batang poles 26 – 28 mm terhadap waktu. Berdasarkan hasil perhitungan
dengan metode EOQ diperoleh kuantitas pemesanan optimal untuk batang poles 26 – 28 mm yaitu sebesar 5.075,42
Kg, dengan pemesanan sebanyak dua puluh lima kali. Jumlah pesanan lebih rendah dibandingkan dengan metode yang
diterapkan perusahaan yaitu sebesar 126.885,5 Kg, sedangkan besarnya titik pemesanan kembali yang merupakan nilai dimana industri akan melakukan
pembelian bahan baku saat mencapai nilai tersebut, untuk batang poles 26 – 28 mm adalah sebesar R 2.837,34 Kg dengan jumlah pembelian sebesar Q
5.075,42 Kg. Untuk fitrit 3 mm besarnya kuantitas pemesanan yang optimal
berdasarkan EOQ adalah sebesar 3.670,84 Kg dan pemesanan dilakukan sebanyak tiga puluh empat kali dengan jumlah pesanan yang lebih rendah dibandingkan
dengan metode perusahaan yaitu sebesar 124.808,56 Kg. Pada saat persediaan fitrit 3 mm di gudang mencapai garis R 2.836,32 Kg, maka perusahaan dapat
melakukan pemesanan kembali dengan pesanan sebesar Q 3.670,84 Kg.
Pengaruh tingkat persediaan rotan jenis fitrit 3 mm terhadap waktu dapat dilihat pada Gambar 15.
8088 Unit Kg
Waktu Kg
R=2837,34 Q=5075,42
Metode Perusahaan Metode EOQ
Gambar 14 Tingkat Persediaan Rotan Jenis Batang Poles 26 – 28 mm Vs Waktu Bagi Metode EOQ dan Metode Perusahaan
74
75 40
Gambar 15 Tingkat Persediaan Rotan Jenis Fitrit 3 mm Vs Waktu Bagi Metode EOQ dan Metode Perusahaan
Metode Perusahaan Metode EOQ
Selanjutnya, untuk tohiti poles 26 – 28 mm kuantitas pemesanan yang optimal berdasarkan perhitungan dengan metode EOQ adalah sebesar 1.905,25
Kg dan pemesanan dilakukan sebanyak delapan kali, dengan jumlah pesanan selama
setahun sebesar 15.242 Kg. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan metode perusahaan. Pengaruh tingkat persediaan rotan jenis tohiti poles 18 – 20 mm
terhadap waktu dapat dilihat pada Gambar 16.
Metode Perusahaan Metode EOQ
Gambar 16 Tingkat Persediaan Rotan Jenis Tohiti Poles 26 – 28 mm Vs Waktu Bagi Metode EOQ dan Metode Perusahaan
Apabila persediaan bahan baku jenis tohiti poles 26 – 28 mm telah mencapai garis R titik pemesanan kembali sebesar 334,08 Kg, maka diharuskan
pada bagian pembelian untuk segera melakukan pemesanan kembali jenis rotan tersebut sebesar Q 1.905,25 Kg.
2 Analisis Biaya Persediaan Bahan Baku
Biaya pemesanan berkaitan dengan frekuensi pemesanan, sehingga biaya pemesanan tertinggi pada tiap jenis rotan terdapat pada metode perusahaan. Pada
tabel di bawah ini dapat dilihat besarnya biaya persediaan berdasarkan metode EOQ pada PT. Mutiara Habemindo Rotan untuk keempat jenis bahan baku. Pada
Tabel di bawah ini dapat dilihat besarnya biaya persediaan yang timbul berdasarkan metode EOQ pada PT. Mutiara Habemindo Rotan PT. HBM untuk
keempat jenis bahan baku tersebut. Tabel 25. Perbandingan Biaya Persediaan Bahan Baku Rotan Berdasarkan
Metode Perusahaan dan EOQ
Biaya Pemesanan Rp.
Biaya Penyimpanan Rp.
Biaya Persediaan Setahun Rp.
Bahan Baku
Perusahaan EOQ
Perusahaan EOQ Perusahaan EOQ Core
11 mm 4.760.000 1.530.000
30.367.115,63 14.137.893 35.127.115,63 15.667.893
Batang Poles 26 – 28 mm
27.540.000 4.250.000 552.879.782,1
106.520.377,25 580.419.782,1
110.770.377,3 Fitrit
3 mm 10.540.000 5.780.000
1.502.157.134 200.224.132,38
1.512.697.134 206.004.132,38
Tohiti Poles 18 – 20 mm
2.210.000 1.360.000 146.442.334 10.692.263 148.652.334 12.052.263
Total 45.050.000 12.920.000
2.231.846.366 331.574.665,6
2.276.896.365,73 344.494.665,6
Berdasarkan hasil perhitungan dapat diketahui bahwa biaya pemesanan tertinggi terdapat pada rotan batang poles 26 – 28 mm pada metode perusahaan
yaitu Rp. 27.540.000, sedangkan biaya pemesanan terendah terdapat pada rotan tohiti poles 18 – 20 mm yaitu sebesar Rp. 1.360.000 dengan metode EOQ.
Selisih biaya pemesanan yang dapat dilakukan antara metode EOQ dengan metode yang digunakan perusahaan adalah sebesar Rp. 32.130.000. yang terdiri
dari Rp. 3.230.000 untuk core 11 mm, Rp. 23.290.000 untuk batang poles 26 – 28 mm, Rp. 4.760.000 untuk fitrit 3 mm dan Rp. 850.000 untuk tohiti poles 18
– 20 mm. Pada biaya penyimpanan diperoleh hasil yaitu biaya penyimpanan
tertinggi terdapat pada metode perusahaan yaitu pada rotan fitrit 3 mm sebesar Rp. 1.502.157.134 dan biaya penyimpanan terendah terdapat pada rotan tohiti
poles 18 – 20 mm dengan metode EOQ yaitu sebesar Rp.10.692.263. Biaya penyimpanan berhubungan dengan banyaknya jumlah persediaan bahan baku
yang disimpan di gudang, apabila terdapat sisa persediaan yang tinggi akan
menimbulkan biaya penyimpanan yang tinggi pula. Selisih biaya penyimpanan yang diperoleh antara metode EOQ dengan metode yang digunakan perusahaan
adalah sebesar Rp. 1.900.271.700. Perbandingan biaya persediaan tiap jenis rotan untuk kedua metode
menunjukkan bahwa secara keseluruhan biaya persediaan bahan baku tahunan dengan menggunakan metode perusahaan memiliki nilai yang lebih tinggi
dibandingkan dengan metode EOQ. Selisih biaya persediaan bahan baku tahunan antara kedua metode sebesar Rp.1.932.401.700. Selisih biaya persediaan yang
didapat apabila menggunakan metode EOQ untuk rotan core 11 mm sebesar Rp. 19.459.222,63, rotan batang poles 26 – 28 mm sebesar Rp. 469.649.404,9, rotan
fitrit 3 mm sebesar Rp. 1.306.693.002 dan rotan tohiti poles 18 – 20 mm adalah sebesar Rp. 136.600.071.
Hasil olahan secara terperinci dapat dilihat pada Lampiran 13 dan 14. Seperti halnya industri menengah pada Industri ini, safety stock juga tidak
diperhatikan dalam perhitungan metode EOQ dikarenakan selama ini PT HBM tidak pernah mengalami kesulitan dalam memperoleh bahan baku rotan.
5.7.4 Hubungan Antara Pengendalian Persediaan dengan Ketersediaan
Bahan Baku, Modal Kerja dan Pasar pada Industri Kecil, Menengah dan Besar
Dari ketiga industri yang diteliti, hanya industri menengah dan besar saja yang melakukan pengendalian persediaan. Namun pada gambar yang disajikan
pada industri menengah dan besar terlihat bahwa kedua industri tersebut melakukan pemesanan yang lebih banyak dari hasil yang diperoleh berdasarkan
metode EOQ, hal ini dikarenakan pemesanan akan bahan baku masing – masing kebutuhan jenis rotan tersebut baik itu pada industri menengah maupun industri
besar dilakukan hanya berdasarkan adanya pesanan yang datang dari konsumen, akan tetapi tidak adanya penyusunan perkiraan pemakaian bahan baku untuk
keperluan proses produksi pada kedua industri tersebut menyebabkan pembelian bahan baku menjadi tidak teratur.
Meski potensi rotan Indonesia berjumlah sekitar 250.000 – 270.000 tontahun ASMINDO, 2005, namun kondisi rotan saat ini tengah mengalami
“kelangkaan” dalam hal harga. Informasi yang diperoleh dari salah satu pemasok bahan baku yaitu CV Pesona, menyebutkan bahwa peningkatan harga terjadi
untuk jenis dan ukuran tertentu khususnya rotan manau asalan dengan diameter 30 – 32 mm yang semula hanya Rp.7.800 batang, kini meningkat menjadi
Rp.14.500batang dan core lambang diameter 5 – 20 mm yang semula hanya Rp. 8.900 Kg menjadi Rp.12.500 Kg.
Harga dari bahan baku yang digunakan oleh kedua industri merupakan faktor penentu seberapa besarnya dana yang harus disediakan oleh kedua industri
untuk menyelenggarakan persediaan bahan baku dalam jumlah unit tertentu. Terjadinya peningkatan harga bahan baku yang dipergunakan, mengakibatkan
untuk mencapai sejumlah persediaan tertentu akan diperlukan dana yang semakin besar, dan pembelian persediaan bahan baku dengan jumlah yang relatif kecil
akan mengakibatkan frekuensi pembelian bahan baku menjadi semakin besar. Seiring dengan bertambah besarnya frekuensi pembelian bahan baku, maka biaya
pemesanan bahan baku akan menjadi semakin tinggi pula. Dengan demikian maka besarnya modal kerja yang digunakan akan menjadi semakin tinggi.
Pada ketiga Industri ini modal kerja yang digunakan dapat berasal dari pinjaman perbankan sumber dana lain atau dari modal sediri. Dari hasil
pengamatan dan wawancara dengan pengusaha dari ketiga perusahaan diperoleh informasi bahwa untuk PO Junaidi yang tergolong dalam industri kecil, kebutuhan
pinjaman dana dari perbankan cenderung mengalami kesulitan baik prosedur maupun jaminan. Prosedur dalam hal ini merupakan persyaratan pembukuan
akuntansi PO Junaidi tidak melakukan pencatatan dengan baik atas keuangan dalam perusahaan, sedangkan untuk jaminan, PO Junaidi juga tidak memiliki
bukti sertifikat yang kuat untuk digunakan sebagai jaminan. Untuk CV Pesona Rattan Nusantara yang tergolong dalam industri
menengah dan PT Mutiara Habemindo Rotan HBM yang tergolong dalam Industri besar, sumber dana dari perbankan tidak mengalami kesulitan baik
prosedur tata cara maupun jaminan. Namun ketiga perusahaan tersebut umumnya mengeluhkan disamping
prosedur pinjaman, juga bunga pinjaman yang dinilai terlalu tinggi yang saat ini mencapai diatas 15 . Akibat dari tingginya bunga tersebut perusahaan sulit
untuk mamproduksi produk yang dapat manghasilkan keuntungan atau margin diatas bunga bank.
Dalam pemasaran produknya, pada industri menengah dan industri besar menggunakan fasilitas internet untuk mencari buyer dan memasarkan produknya
ke luar negeri. Selain itu pada masing – masing industri tersebut juga memiliki eksportir tersendiri, sehingga memudahkan kedua industri tersebut dalam mencari
buyer . Mengenai pasar sendiri, ketiga perusahaan tersebut masih dalam kondisi
yang baik terutama pada CV Pesona Rattan Nusantara yang terus melakukan design yang inovatif meski kini sudah tidak lagi menggunakan rotan sebagai
bahan baku utama melainkan abaca dan eceng. Pada industri kecil yaitu PO Junaidi hingga kini tetap dapat berproduksi meski hanya melayani pasaran lokal
saja dan dalam jumlah yang tidak terlalu banyak, sedangkan pada PT HBM juga masih memiliki pasar luar negeri yang cukup luas. Industri ini juga banyak
melakukan inovasi dalam design sehingga masih dapat bertahan dan tetap diminati oleh kalangan konsumen luar negeri khususnya Eropa.
Pembayaran atas produk yang dipesan pada ketiga industri dilakukan dengan kredit atau piutang, namun selama ini pembayaran dari pembeli atau buyer
dibayarkan secara tepat waktu begitu produk telah sampai di tangan pembeli.
5.8 Permasalahan yang Dihadapi pada Industri Pengolahan Rotan di Kabupaten Cirebon
Kondisi saat ini sedikit tidak kondusif bagi para pengusaha rotan di Kabupaten Cirebon karena kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada
pengusaha rotan dalam negeri dalam melakukan pembukaan kran ekspor terhadap bahan baku rotan. Kondisi ini merangsang kebangkitan industri rotan Cina dan
Vietnam, dua negara pesaing bagi industri rotan Cirebon dalam merebut pangsa pasar rotan dunia.
Pembukaan kembali keran ekspor, menjadikan pemodal asing yang berinvestasi dalam industri rotan di Cirebon, secara perlahan menarik
investasinya. Mereka memindahkan modalnya kembali ke negerinya, seperti Jerman dan Taiwan. Bahkan, tak sedikit mengalihkan investasi ke Vietnam dan
Cina yang dalam hitungan ekonomi jauh lebih murah dibanding Indonesia Cirebon.
Meski Cirebon dikenal sebagai sentra industri rotan nomor satu di tanah air, sesungguhnya Cirebon bukanlah daerah penghasil utama rotan mentah.
Industri rotan Cirebon sangat bergantung pada suplai rotan mentah asal Sulawesi dan Kalimantan. Sebelum Permenperdag No.122005 diberlakukan, industri rotan
Cirebon mendapat perlindungan, karena petani rotan Sulawesi dan Kalimantan dilarang menjual rotan mereka ke luar negeri. Stok bahan baku rotan untuk
memenuhi kebutuhan para pengusaha dan perajin rotan Cirebon pun melimpah. Namun, begitu keran ekspor dibuka, para pelaku industri rotan Cina dan
Vietnam lebih leluasa mendapatkan bahan baku dari Indonesia. Dibukanya keran ekspor justru memberi stimulan bagi para petani rotan Sulawesi dan Kalimantan
untuk menjual ke pasar luar negeri dibandingkan harus menjual ke perajin Cirebon. Selain faktor harga lebih menarik, menjual rotan ke luar negeri juga
lebih memberikan keuntungan dari selisih nilai jual antara dollar dan rupiah. Sehingga berdampak pada menurunnya pasokan rotan mentah untuk Cirebon.
Selain kebijakan tersebut, pemerintah juga tidak memberikan fasilitas modal yang mendukung industri rotan di Kabupaten Cirebon, baik itu dalam
bentuk pinjaman dana maupun alatmesin. Saat ini potensi produksi rotan di Indonesia berjumlah sekitar 250.000 –
270.000 ton tahun, sedangkan produsen dalam negeri hanya mampu menyerap sebanyak 125.000 ton tahun, dengan kondisi ini seharusnya tidak terjadi
kekurangan bahan baku bagi industri rotan. Kekurangan bahan baku di dalam negeri diduga karena maraknya penyelundupan dari sentra produksi rotan ke luar
negeri sehingga menyebabkan peningkatan harga untuk beberapa jenis rotan tertentu. Penyelundupan menyebabkan harga ekspor rotan jauh di bawah harga
rotan legal. Sejumlah informasi menyebutkan harga produk rotan yang seharusnya US 4 per Kg justru tidak mampu bersaing dengan harga di Cina yang turun
hingga US 1,8 per Kg.
Menurut ketua Asosiasi Industri Permebelan dan Furnitur Indonesia Asmindo Komisariat Daerah Cirebon H Sumartja, menjelaskan bahwa harga
kursi rotan di Jerman adalah US7,5 per unit. Sementara, biaya produksi kursi di Cirebon sudah mencapai US 9 per unit. Mahalnya harga furnitur rotan produksi
di dalam negeri itu dikarenakan kebijakan pemerintah yang kurang jelas. Diantaranya biaya pelabuhan yang tinggi, pajak ganda dan ditambah lagi dengan
biaya-biaya yang tidak jelas pungutan liar membuat biaya produksi di Indonesia sangat tinggi. Selain itu, harga bahan baku rotan di luar negeri juga lebih murah
dibandingkan harga bahan baku rotan di dalam negeri. Perbedaan harga yang relatif besar tersebut, terjadi karena eksportir
membeli langsung kepada petani rotan sementara pengrajin furnitur membeli rotan di pasar bahan baku. Rantai distribusi rotan dari petani sampai ke pedagang
bahan baku sangat panjang sehingga menyebabkan harga menjadi lebih mahal. Selain itu beliau juga memaparkan sebelum adanya ekspor rotan, tahun
2005, kapasitas produksi furnitur rotan untuk ekspor dari Cirebon mencapai sekitar 2.500 kontainer per bulan. Namun, saat ini produksi mebel rotan Cirebon
untuk ekspor kurang dari 1800 kontainer per bulan. Mulai awal tahun 2006, penyerapan bahan baku rotan turun sekitar 40 karena harga furnitur rotan
produksi luar negeri lebih murah dibandingkan produksi dalam negeri. Sebenarnya masih ada potensi pasar untuk produk – produk rotan
Indonesia yang jenis dan coraknya bermacam – macam khususnya bagi pasar dalam negeri maupun ekspor, meski kini
pasar mebel rotan dunia, tengah mengalami perubahan tren pasar, desain serta bahan baku mebel telah berubah
dari hanya berbahan baku rotan saja menjadi campuran dengan kayu atau logam maupun jenis lain.
Masalah yang juga dihadapi oleh pengusaha pengrajin rotan Cirebon pada umumya adalah kurangnya daya saing serta penyelesaian akhir yang kurang
menarik sehingga penampilan produk tersebut kurang menarik bagi konsumen sehingga perlu dilakukan peningkatan kualitas akhir produk rotan Cirebon
termasuk desain yang dapat mengikuti selera konsumen.
Peranan pemerintah dalam pembinaan kepada pengrajin rotan khususnya di bidang perindustrian seharusnya dapat ditingkatkan melalui pendidikan dan
latihan di bidang desain dan penyelesaian akhir. Selanjutnya untuk dapat mengikuti perkembangan teknologi industri kerajinan rotan di luar negeri dan di
masa mendatang, perlu peran aktif pemerintah mengajak pengusaha – pengusaha rotan mengikuti pameran di luar negeri, guna mengetahui perkembangan produk –
produk industri rotan teknologi, model dan menjajaki kekuatan pasar industri pengrajin rotan Indonesia.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6. 1 Kesimpulan
1. Potensi produksi rotan di Indonesia berjumlah sekitar 250.000 – 270.000
tontahun, sedangkan produsen dalam negeri hanya mampu menyerap sebanyak 125.000 tontahun. ASMINDO, 2006
2. Kelangkaan bahan baku yang terjadi pada industri pengolahan rotan di
Kabupaten Cirebon bukan dikarenakan persediaan bahan baku yang telah menipis, melainkan karena tingginya ekspor bahan baku rotan mentah dengan
kualitas bagus sehingga industri pengolahan rotan dalam negeri khususnya di Kabupaten Cirebon memperoleh bahan baku dengan kualitas yang kurang baik
dengan harga yang tinggi, terutama untuk jenis rotan manau asalan dan core. 3.
Pasar masih dapat menyerap produk meubel dan furniture rotan Indonesia, tergantung kemampuan desain dan inovasi serta daya saing dari industri yang
bersangkutan. 4.
Pengendalian persediaan hampir dilakukan oleh seluruh perusahaan dalam skala industri menengah dan besar, sedangkan untuk industri kecil hanya
beberapa yang melakukan pengendalian persediaan. 5.
Ada beberapa industri menengah yang tidak melakukan pengendaliaan persediaan bahan baku, dan hanya melakukan pemesanan kepada pengesub
secara langsung. 6.
Umumnya industri kecil hanya berperan sebagai sub kontraktor atau produsen barang setengah jadi yang memperoleh bahan baku dari pemberi
pesanan yang berasal dari industri menengah dan atau besar, sehingga sangat jarang bagi industri kecil untuk melakukan pengendalian persediaan,
dikarenakan bahan baku yang diperoleh langsung habis terpakai untuk proses produksi.
7. Pada industri menengah CV Pesona Rattan Nusantara, kuantitas pemesanan
optimal yang dapat meminimalkan biaya persediaan untuk batang poles 28 – 30 mm, core 15 mm, fitrit 3,5 mm dan asalan semambu 26 – 28 mm
masing – masing adalah sebesar 1.243,51 Kg, 175,43 Kg, 1.190,85 Kg, dan 695,41 Kg. Banyaknya pemesanan untuk masing – masing rotan adalah sebelas
kali, dua kali, tujuh belas kali, dan dua kali, sedangkan besarnya titik pemesanan kembali untuk masing – masing rotan tersebut adalah sebesar
147,09 Kg, 3,03 Kg, 223,56 Kg, dan 12,87 Kg. Pada industri besar PT Rotan Habemindo Mutiara, kuantitas pemesanan optimal untuk core 11 mm, batang
poles 26 – 28 mm, fitrit 3 mm, dan tohiti poles 26 – 28 mm adalah sebesar 1.419,2 Kg, 5.075,42 Kg, 3.670,84 Kg, dan 1.905,25 Kg. Banyaknya
pemesanan untuk masing – masing rotan dilakukan sebanyak sembilan kali, dua puluh lima kali, tiga puluh empat kali, dan delapan kali. Sedangkan
besarnya titik pemesanan kembali untuk masing – masing rotan tersebut adalah 292,5 Kg, 2.837,34 Kg, 2.836,32 Kg dan 334,08 Kg.
6.2 Saran
1. Kepada Pemerintah disarankan untuk lebih memihak kepada industri pengolahan rotan, baik itu dalam pengambilan kebijakan, bantuan
permodalan berupa alat dan pinjaman modal serta promosi produk dalam rangka memperoleh pasar yang luas.
2. Perlunya peningkatan teknologi dalam hal desain produk inovatif yang disukai dan melakukan perencanaan produksi volume penjualan yang didasarkan atas
siklus produk menjadi produk baru yang efisien serta melakukan riset pasar untuk mengetahui penjualan potensial dan penjualan aktual bagi para pelaku
industri pengolahan rotan. 3. Perlu dilakukan market intelligence bagi pemerintah dan ASMINDO
untuk menjamin pemasaran hasil industri rotan agar mampu bersaing dengan negara produsen produk rotan lainnya, terutama Cina dan Vietnam.
4. Melihat kondisi setelah diberlakukannya Peraturan Mendag Nomor : 12M- DagPer62005, disarankan bagi pengusaha industri pengolahan rotan untuk
mengurangi penggunaan bahan baku rotan dan mencari alternatif bahan baku yang harganya lebih murah dan tanpa mengurangi kualitas produknya.