Hubungan Antara Pengendalian Persediaan dengan Ketersediaan

“kelangkaan” dalam hal harga. Informasi yang diperoleh dari salah satu pemasok bahan baku yaitu CV Pesona, menyebutkan bahwa peningkatan harga terjadi untuk jenis dan ukuran tertentu khususnya rotan manau asalan dengan diameter 30 – 32 mm yang semula hanya Rp.7.800 batang, kini meningkat menjadi Rp.14.500batang dan core lambang diameter 5 – 20 mm yang semula hanya Rp. 8.900 Kg menjadi Rp.12.500 Kg. Harga dari bahan baku yang digunakan oleh kedua industri merupakan faktor penentu seberapa besarnya dana yang harus disediakan oleh kedua industri untuk menyelenggarakan persediaan bahan baku dalam jumlah unit tertentu. Terjadinya peningkatan harga bahan baku yang dipergunakan, mengakibatkan untuk mencapai sejumlah persediaan tertentu akan diperlukan dana yang semakin besar, dan pembelian persediaan bahan baku dengan jumlah yang relatif kecil akan mengakibatkan frekuensi pembelian bahan baku menjadi semakin besar. Seiring dengan bertambah besarnya frekuensi pembelian bahan baku, maka biaya pemesanan bahan baku akan menjadi semakin tinggi pula. Dengan demikian maka besarnya modal kerja yang digunakan akan menjadi semakin tinggi. Pada ketiga Industri ini modal kerja yang digunakan dapat berasal dari pinjaman perbankan sumber dana lain atau dari modal sediri. Dari hasil pengamatan dan wawancara dengan pengusaha dari ketiga perusahaan diperoleh informasi bahwa untuk PO Junaidi yang tergolong dalam industri kecil, kebutuhan pinjaman dana dari perbankan cenderung mengalami kesulitan baik prosedur maupun jaminan. Prosedur dalam hal ini merupakan persyaratan pembukuan akuntansi PO Junaidi tidak melakukan pencatatan dengan baik atas keuangan dalam perusahaan, sedangkan untuk jaminan, PO Junaidi juga tidak memiliki bukti sertifikat yang kuat untuk digunakan sebagai jaminan. Untuk CV Pesona Rattan Nusantara yang tergolong dalam industri menengah dan PT Mutiara Habemindo Rotan HBM yang tergolong dalam Industri besar, sumber dana dari perbankan tidak mengalami kesulitan baik prosedur tata cara maupun jaminan. Namun ketiga perusahaan tersebut umumnya mengeluhkan disamping prosedur pinjaman, juga bunga pinjaman yang dinilai terlalu tinggi yang saat ini mencapai diatas 15 . Akibat dari tingginya bunga tersebut perusahaan sulit untuk mamproduksi produk yang dapat manghasilkan keuntungan atau margin diatas bunga bank. Dalam pemasaran produknya, pada industri menengah dan industri besar menggunakan fasilitas internet untuk mencari buyer dan memasarkan produknya ke luar negeri. Selain itu pada masing – masing industri tersebut juga memiliki eksportir tersendiri, sehingga memudahkan kedua industri tersebut dalam mencari buyer . Mengenai pasar sendiri, ketiga perusahaan tersebut masih dalam kondisi yang baik terutama pada CV Pesona Rattan Nusantara yang terus melakukan design yang inovatif meski kini sudah tidak lagi menggunakan rotan sebagai bahan baku utama melainkan abaca dan eceng. Pada industri kecil yaitu PO Junaidi hingga kini tetap dapat berproduksi meski hanya melayani pasaran lokal saja dan dalam jumlah yang tidak terlalu banyak, sedangkan pada PT HBM juga masih memiliki pasar luar negeri yang cukup luas. Industri ini juga banyak melakukan inovasi dalam design sehingga masih dapat bertahan dan tetap diminati oleh kalangan konsumen luar negeri khususnya Eropa. Pembayaran atas produk yang dipesan pada ketiga industri dilakukan dengan kredit atau piutang, namun selama ini pembayaran dari pembeli atau buyer dibayarkan secara tepat waktu begitu produk telah sampai di tangan pembeli.

5.8 Permasalahan yang Dihadapi pada Industri Pengolahan Rotan di Kabupaten Cirebon

Kondisi saat ini sedikit tidak kondusif bagi para pengusaha rotan di Kabupaten Cirebon karena kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada pengusaha rotan dalam negeri dalam melakukan pembukaan kran ekspor terhadap bahan baku rotan. Kondisi ini merangsang kebangkitan industri rotan Cina dan Vietnam, dua negara pesaing bagi industri rotan Cirebon dalam merebut pangsa pasar rotan dunia. Pembukaan kembali keran ekspor, menjadikan pemodal asing yang berinvestasi dalam industri rotan di Cirebon, secara perlahan menarik investasinya. Mereka memindahkan modalnya kembali ke negerinya, seperti Jerman dan Taiwan. Bahkan, tak sedikit mengalihkan investasi ke Vietnam dan Cina yang dalam hitungan ekonomi jauh lebih murah dibanding Indonesia Cirebon. Meski Cirebon dikenal sebagai sentra industri rotan nomor satu di tanah air, sesungguhnya Cirebon bukanlah daerah penghasil utama rotan mentah. Industri rotan Cirebon sangat bergantung pada suplai rotan mentah asal Sulawesi dan Kalimantan. Sebelum Permenperdag No.122005 diberlakukan, industri rotan Cirebon mendapat perlindungan, karena petani rotan Sulawesi dan Kalimantan dilarang menjual rotan mereka ke luar negeri. Stok bahan baku rotan untuk memenuhi kebutuhan para pengusaha dan perajin rotan Cirebon pun melimpah. Namun, begitu keran ekspor dibuka, para pelaku industri rotan Cina dan Vietnam lebih leluasa mendapatkan bahan baku dari Indonesia. Dibukanya keran ekspor justru memberi stimulan bagi para petani rotan Sulawesi dan Kalimantan untuk menjual ke pasar luar negeri dibandingkan harus menjual ke perajin Cirebon. Selain faktor harga lebih menarik, menjual rotan ke luar negeri juga lebih memberikan keuntungan dari selisih nilai jual antara dollar dan rupiah. Sehingga berdampak pada menurunnya pasokan rotan mentah untuk Cirebon. Selain kebijakan tersebut, pemerintah juga tidak memberikan fasilitas modal yang mendukung industri rotan di Kabupaten Cirebon, baik itu dalam bentuk pinjaman dana maupun alatmesin. Saat ini potensi produksi rotan di Indonesia berjumlah sekitar 250.000 – 270.000 ton tahun, sedangkan produsen dalam negeri hanya mampu menyerap sebanyak 125.000 ton tahun, dengan kondisi ini seharusnya tidak terjadi kekurangan bahan baku bagi industri rotan. Kekurangan bahan baku di dalam negeri diduga karena maraknya penyelundupan dari sentra produksi rotan ke luar negeri sehingga menyebabkan peningkatan harga untuk beberapa jenis rotan tertentu. Penyelundupan menyebabkan harga ekspor rotan jauh di bawah harga rotan legal. Sejumlah informasi menyebutkan harga produk rotan yang seharusnya US 4 per Kg justru tidak mampu bersaing dengan harga di Cina yang turun hingga US 1,8 per Kg.