Tabel 2 Curah hujan di stasiun meteorologi Cibadak Kabupaten Bogor
Tahun Jan
Peb Mar
Aprl Mei
Jun Jul
Agus Sep
Okt Nop
Des 2001
543 416
108 206
349 283
264 138
255 248
247 103
2002 552
296 200
465 165
271 226
75 69
258     276 359
2003 197
311 235
325 221
164 14
120 145
344 155
213 2004
312 277
153 400
266 149
125 47
496 202
352 286
2005 223
476 278
205 264
448 310
199 323
265 268
174 2006
441 286
134 196
154 165
136 58
8 114
305 529
2007 287
319 295
336 120
235 66
_ 104
329 239
404 2008
192 324
491 296
161 110
176 174
134 211
343 254
2009 273
296 171
226 441
205 90
13 183
375 321
195 2010
249 336
Rata- rata
3269 6137
2065 2655
2141 2030
1407 824
1717 2346
2506 2517
Sumber Badan Meteorologi Geofisika Bogor 2010 4.3 Kondisi Morfologi
Wilayah  penelitian  sebagian  besar  morfologinya  berada  pada  bentang wilayah  pegunungan,  dengan  puncak  tertinggi  ditempati  oleh  Gunung  Galuga
yang  mempunyai  ketinggian  291  meter  d.p.l.  Ke  arah  utara  morfologi  semakin datar..  Berdasarkan  kelas  kelerengan  daerah  penelitian  ada  empat  bagian  dalam
Syahruliati 2005 seperti disajikan pada Tabel 3 Tabel 3 Kelas kelerengan menurut Van Zuidam
Kelas lereng karakteristik
Luas area 0-2
2-7 7-15
15-30 Datar
Miring landai Miring
Agak terjal 30 ±115 Ha
31±118 Ha 18 ±69Ha
21±80Ha
Gunung Galuga dan sekitarnya memiliki kelerengan lebih tinggi kelas ke tiga  kelerengan  15-30  sehingga  jika  terjadi  hujan  run  off    lebih  besar
dibanding  daya  infiltrasi.  Tetapi  di  sekitar  lahan  yang  digunakan  sebagai  kebun, dan  semak  belukar  menjadikan  air  diserap  tahan  dengan  jumlah  yang  besar.
Sehingga run off  berkurang.
4.3.1 Tata Guna lahan
Kondisi  dilapangan  berdasarkan  peta  guna  lahan  yang  dari  Bakosurtanal 1999 kondisi fisik pada lapangan adalah ± 75 lahan digunakan sebagai kebun
dan  persawahan,  pemukiman  digunakan    ±  16  Semak  belukar  7,  tegalan  1 dan  lokasi  TPA  ±  1.  Pada  sekitar  lokasi  TPA  terdapat  bangunan  yang  tidak
permanen,  gubuk  yang  merupakan  tempat  penampungan  barang-barang  yang diambil  dari  TPA,  dan  di  sekitar  jalan  masuk  menuju  TPA  terdapat    bangunan
yang permanen yaitu pemukiman penduduk. Peta penggunaan lahan  dan kegiatan
lain di sekitar TPA Galuga. Dapat dilihat pada Gambar 4 dan Tabel 4.
Sumber: KLH Bogor tahun 2010
Gambar 4  Peta Penggunaan Lahan  di Sekitar TPA Galuga
Tabel 4  Penggunaan lahan TPA Galuga
Sumber:
KLH Bogor tahun 2010
4.4 Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk 4.4.1 Kondisi penduduk
Pada  data  statistik  jumlah  dari  pertambahan  penduduk  dapat  diketahui dengan melihat berapa banyak jumlah penduduk yang lahir dan yang meninggal,
keadaan  penduduk  Desa  Galuga,  Desa  Cijujung  dan  Desa  Dukuh    dapat  dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Keadaan penduduk Desa Galuga, Cijujung, dan Dukuh  2009 No.
Keadaan Penduduk Jumlah
1.
2.
3.
4.
5. Total jumlah penduduk jiwa
Galuga Dukuh
Cijujung Jumlah penduduk laki-laki jiwa
Galuga Dukuh
Cijujung Jumlah penduduk perempuan jiwa
Galuga Dukuh
Cijujung Jumlah kepala keluarga KK
Galuga Dukuh
Cijujung Angka  kematian  kasar  CDR  Per  seribu  penduduk
5.367 6.114
8.672
2.769 3.157
4.530
2.607 2.955
4.142
1.352 853
18
No Penggunaan Lahan
Luas ha
1 Areal pembongkaran sampah
1.040 2
Sarana jalan dan saluran drainase 0.510
3 Saluran dan kolam pengolahan lindi
0.360 4
Kantor dan pos pengawas 0.600
5 Pos pelayanan kesehatan
0.020 6
Lahan penampungan sampah 7.476
7 Pabrik kompos
1.000 8
Penggunaan lainnya 3.500
6.
7.
8.
9. per tahun
Galuga Dukuh
Cijujung Angka  kelahiran  kasar  CBR    Per  seribu  penduduk
per tahun Galuga
Dukuh Cijujung
Tingkat  migrasi  kasar      per  seribu  penduduk  per tahun
Galuga Dukuh
Cijujung Jumlah pelayanan kesehatan Bidan
Galuga Dukuh
Cijujung Jumlah tempat pelayan kesehatan
Galuga Dukuh
Cijujung 28
18 23
121 126
149
15 3
3
1 1
1
1
Sumber: Data BPS Kecamatan Cibungbulang dalam angka 2009
4.4.2 Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk
Kondisi sosial ekonomi sangat beragam di Desa Galuga, DesaCijujung dan Desa  Dukuh.  Saat  ini  terbesar  disemua  sektor  adalah  sektor  pertanian,  industri
kecil  dan  menengah  serta  perdagangan,  bahkan  sektor  jasa  yang  semakin berkembang  pesat.  Pengembangan  ekonomi  masyarakat  kemudian  diikuti  oleh
sektor industri kecil dan perdagangan serta sektor jasa.
4.4.3 Sumberdaya Manusia dan Kesehatan
Sumber  daya  manusia  disekitar  TPA  Galuga  mempunyai  tingkat pendidikan  yang  bervariasi.  Pendidikan  penduduk  Desa  Galuga,  Desa  Cijujung
dan Desa Dukuh tidak sekolah, tamat SD, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Sekolah  Menengah  Atas.  Sarana  pendidikan  mulai  dari  sekolah  dasar,  jumlah
sekolah  Dasar  2  di  Desa  Galuga,  3  buah  di  Desa  Dukuh,  dan  Cijujung  4  buah. Sekolah lanjutan tingkat pertama Desa Dukuh 1 buah dan Desa Cijujung 1 buah.
Keadaan  tingkat  pendidikan  Desa  Galuga,  Desa  Dukuh  dan  Desa  Cijujung  pada
tahun 2009, dapat dilihat sebagaimana pada tabel 6 berikut:
Tabel 6 Keadaan pendidikan penduduk Desa Galuga, Cijujung dan Dukuh tahun 2009
No. Tingkat Pendidikan
Jumlah orang 1.
2.
3.
4. Tidak tamat sekolah Dasar
Galuga Dukuh
Cijujung Tamat Sekolah Dasar
Galuga Dukuh
Cijujung Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SLTP
Galuga Dukuh
Cijujung Sekolah Lanjuatan Tingakat Atas SLTA
Galuga Dukuh
Cijujung 1.073
1.174 1.233
1.565 1.687
3.007
945 1.170
1.789
741 967
1.354 Jumlah
Belum sekolah Galuga
Dukuh Cijujung
716 782
822
Total jumlah penduduk
Sumber: Badan pusat statistik Kecamatan dalam angka Cibungbulang  tahun    2009
Kondisi  kesehatan  masyarakat  pada  lokasi  penelitian  dapat  dilihat  dari  hasil laporan  tahunan  Puskesmas  Cijujung  tahun  2009.  Pola  penyakit  10  besar  yang
sering  ditemukan  di  UPF  Puskesmas  Cijujung  wilayah  kecamatan  Cibungbulang diantaranya seperti Tabel 7.
Pola penyakit yang paling banyak di UPT Puskesmas Cibungbulang menurut umur 14 tahun adalah penyakit Common Cold yaitu sebanyak 4,523 penderita
untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 7 Penyakit 10 besar di UPF Puskesmas Cijujung tahun 2009 No.
Penyakit Jumlah
1 ISPA
4168 32,99
2 Dermatitis
2785 22,04
3 Gastroduodenitis tidak spesifik
1773 14,03
4 Diare
1277 10,1
5 StomatitisGinggivitis
781 6,18
6 Hipertensi
821 6,49
7 Kongjungtivitis
487 3,85
8 Otitis Media Akut
416 3,29
9 TBC
125 1,00
10  Pneumonia 18
0,14 Jumlah
12651 100
Sumber: Laporan tahunan UPF Puskesmas Cijujung 2009
Tabel 8  Pola Penyakit rawat jalan di Puskesmas umur 14 tahun UPT Puskesmas Cibungbulang tahun 2009
No Jenis Penyakit
Jumlah 1
Common Cold 4.523
2 Tukak Lambung
3.581 3
Hypertensi 3.545
4 ISPA Akut tidak spesifik
2.322 5
Demam yang tidak ndiketahui penyebabnya 1.936
6 Migren dan sindrom nyeri kepala lainnya
1.694 7
Diare dan Gastroenteritis 1.599
8 Myalgia
1.148 9
Dermatitis 927
10 Tuberulosis pari klinis
745 Jumlah
22.020 Sumber:
Laporan tahunan UPT Puskesmas Cibungbulang tahun 2009
4.5 Kondisi Sampah dan Pengelolaannya
Sampah  padat  di  TPA  Galuga,  Cibungbulang  terdiri  dari  sampah  rumah tangga, sampah dan pertokoan dan perkantoran. Volume sampah terangkut di kota
Bogor  berdasarkan  data  dari  DKP  per  harinya  1.437  m
3
sehingga  dalam  sebulan mencapai  43.110  m
3
.  Data  volume  sampah  yang  di  hasilkan  untuk  tahun  2001 sebesar  507.795  m
3
.  Terjadi  peningkatan  volume  sampah  sebesar  2.  Sehingga pada tahun 2003 Volume sampah terangkut menjadi sebesar 524 m
3
dengan luas wilayah lokasi TPA 9,6 ha DKP Bogor 2004.
Sumber  sampah  di  TPA  Galuga  berkaitan  dengan  penggunaan  daerah dimana  sumber  dari  sampah  yang  bermacam-macam.  Seperti  pemukiman,
perdagangan,  jalan  raya,  industri,  tempat  kumuh  dan  pertanian.  Sampah  yang berasal  dari  pemukiman  terdiri  dari  kegiatan  rumah  tangga,  seperti  hasil
pengelolaan  makanan,  sisa-sisa  minyak,  kardus  bekas,  kertas  bekas,  karpet  tua, perabot rumah tangga dan bekas botol minuman Kusnoputranto, 1983
Tabel 9 Jenis sampah di Kabupaten Bogor No
Jenis sampah Persentase
1. 2.
3. 4.
5. 6.
7. 8.
9. Organik
Plastik Kertas
Kacagelas Kaintekstil
Logam Karet
Kay Lain-lain
75,7 9,5
5,5 2,0
1,7 1,5
1,8 1,0
1,2
Jumlah 100
Sumber: DKP Kota Bogor, 2004
Permasalahan sampah di Kota Bogor semakin pelik dan butuh penanganan yang  serius.  Karena  jumlah  penduduk  setiap  tahun  bertambah  maka  laju
pertambahan  sampah  akan  semakin  meningkat  hasinya  tiap  tahun.Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk Kota Bogor menyebabkan aktivitas ekonomi yang
berpengaruh  secara  tidak  langsung  terhadap  pola  konsumsi  masyarakat  sehingga jenis  sampah  yang  dihasilkan  beragam  seperti  tabel  diatas.  Sistem  pengelolaan
sampah  yang  diterapkan  adalah  open  dumping  pembuangan  terbuka  yaitu  cara pembuangan  sampah  yang  sederhana.  Kebanyakan  kemungkinan  dibakar
sehingga memungkinkan beberapa faktor lingkungan dan kesehatan. Pembakaran harus sesuai dengan sifat fisik kimia sampah. dapat dipengaruhi oleh adanya lindi,
gas, bau debu dan penyakit BPPT 1982. Pada  saat  ini  sumber  daya  manusia  yang  langsung  terkait  dengan
pengelolaan  TPA  Galuga  berjumlah  28  orang  yang  terdiri  atas  7  orang  dengan status  PNS,  9  orang  tenaga  kontrak  dan  12  orang  sukarelawan.    Di  lokasi  TPA
Galuga  terdapat  sekitar  400  orang  pemulung  aktif  yang  mengolah  dan memanfaatkan  sampah  non-organik  sehingga  dapat  didaur  ulang  recycle
danatau  dipergunakan  kembali  reuse  yang  pada  akhirnya  memberikan pendapatan bagi para pemulung tersebut.  Selain itu ada sekitar 46 warga sekitar
yang menjadi karyawan di TPA yang terkait dengan kegiatan pembuatan kompos tetapi  sudah  enam  bulan  tidak  beroperasi.  Keberadaaan  pemulung  dan  pengepul
juga mampu memberikan kontribusi terhadap pengurangan volume dari tumpukan sampah  di  TPA  Galuga.  Jumlah  pemulung  yang  melakukan  aktivitas  di  sekitar
TPA Galuga sampai saat ini ± 400 orang yaitu anak-anak, dewasa dan orang tua. Hasil penelitian terdahulu oleh KLH Kota Bogor memantau perkembangan
dari  akibat  adanya  TPA  terhadap  kaulitas  air  tanah  dilakukan  pengukuran  dan pengambilan  contoh  air  pada  1  Nopember  2008.  Lokasi  pengambilan  contoh  air
tanah adalah : 1 sumur penduduk lokasi di area TPA, dekat kolam pengolah air lindi;  2  sumur  penduduk  lokasi  mushola,  RT  8  Kp.  Lalamping;  3  sumur
penduduk  lokasi  Kp.  Cimangir.  Parameter  yang  diukur  dan  baku  mutu  yang digunakan berdasarkan Permenkes No.416 tahun 1990.
Hasil  pengukuran  kualitas  air  tanah  Tabel  10,  menunjukkan  bahwa beberapa  parameter  yang  diukur  di  beberapa  lokasi  sampling  pada  umumnya
masih  berada  di  bawah  baku  mutu  lingkungan  berdasarkan  Permenkes  No. 416Men.  KesPerIX1990  kecuali  parameter  koliform  dimana  air  tanah  di  area
TPA  nilainya  sama  dengan  BML  50  gl,  di  kampung  Lalamping  koliform  80 mgl  dan  Kampung  Cimangir  koliform  300  mgl  telah  melampaui  baku  mutu
50  mgl.  Hal  ini  diduga  air  lindi  merembes  ke  dalam  air  tanah  sedangkan cemaran  koliform  pada  beberapa  lokasi  mungkin  disebabkan  sistem  sanitasi
penduduk yang kurang baik. Apabila  mencermati  kualitas  air  sumur  yang  berada  di  sekitar  TPA,  maka
ada indikasi bahwa keberadaan sampah di TPA Galuga telah mencemari air tanah yang  berada  di  sekitarnya,  khususnya  sebelah  Utara  bagian  hilir  dari  areal
penumpukan  sampah,  berupa  pencemaran  mikrobiologi  yang  lebih  tinggi  dari BML  Permenkes  No.  4161990.    Dengan  demikian  air  sumur  tersebut  bukan
untuk air minum, tetapi untuk keperluan lain, seperti budidaya pertanian. Keadaan tersebut  sudah  dapat  dimengerti  oleh  penduduk  setempat  karena  air  sumur
tersebut  mereka  gunakan  untuk  keperluan  mandi,  cuci,  kakus  MCK  sedangkan
kebutuhan  air  minum  dipasok  dari  pelayanan  air  bersih  yang  disediakan  oleh pengelola TPA Galuga Pemkot Bogor.
Tingginya  nilai  arsen  pada  semua  titik  pengambilan  sampel  diduga  berasal dari  pelapukan  bebatuan  yang  melepaskan  arsen  dalam  bentuk  oksida  dan
senyawa  sulfur.  Selain  itu  berasal  dari  proses  biologis  perubahan  senyawa anorganik arsen menjadi senyawa organ arsen yang bersifat toksik.
Tingginya  mangan  pada  dua  lokasi  diduga  berasal  dari  aktivitas  bakteri anaerob  yang  melakukan  dekomposisi  bahan  organik  dalam  jumlah  yang  besar
menjadi  amonium.  Sedangkan  cemaran  koliform  pada  beberapa  lokasi  mungkin disebabkan sistem sanitasi penduduk yang kurang baik.
Pada  pemantauan  lingkungan  yang  telah  dilaksanakan  KLH  ada  hasil penelitian  yang  telah  dikerjakan  seperti  pada  Tabel  10,  1,12  bahwa  beberapa
parameter yang ada telah diketahui kondisi kualitas air sekitar ada parameter yang telah tercemar oleh karena pengaruh dari TPA Galuga.
Tabel 10 Hasil pengukuran air sumur Nopember 2008
No Parameter
Satuan Hasil Pengukuran
Baku Mutu
A B
C Fisik
1 TDS
mgl 1130
50 54
1500
Kimia
1 Arsen
mgl 0,002
0,002 0,002
0,05 2
Besi mgl
0,297 0,086
0,019 1,0
3 Mangan
mgl 0,397
0,059 0,017
0,5 4
Nitrat mgl
2,02 4,57
5,56 10
5 Nitrit
mgl 0,040
0,009 0,004
1,0
Mikrobiologi
1 Koliform
Jlh100 ml 50
80 300
50 Sumber: KLH Bogor tahun 2010
Keterangan :
A = sumur penduduk lokasi dalam area TPA, dekat kolam pengolah air lindi; B = sumur penduduk lokasi mushola, RT 8 Kp. Lalamping;
C = sumur Penduduk lokasi Kp. Cimangir Baku mutu :Permenkes Nomor 416Men. KesPerIX1990.
Tabel 11  Hasil pengukuran air sumur pada bulan Juni 2008
No Parameter
Satuan Air Sumur
BML A
B C
Fisik
1 TDS
mgl 160
118 136
1500
Kimia
2 Arsen
mgl 1,34
1,50 0,86
0,05 3
Besi mgl
0,198 0,127
0,204 1,0
4 Mangan
mgl 2,26
0,017 1,24
0,5 5
Nitrat mgl
2,23 5,25
2,65 10
6 Nitrit
mgl 0,011
0,012 0,137
1,0
Mikrobiologi
1 Koliform
Jlh100 ml 100
70 -
50
Sumber: KLH Bogor 2009
Tabel 12  Hasil pengukuran kualitas air tanah pada bulan September tahun 2009
No. Parameter
Satuan Hasil Pengukuran
Baku Mutu
A B
C Fisika
1 Bau
- Tdk
berbau Tdk
berbau Tdk
berbau -
2 TSS
mgl 302
102 274
1500 3
Kekeruhan NTU
1 5
4 25
4 Rasa
- Normal
Normal Normal
- 5
Suhu C
26 27
27 ±1-3
C 6
Warna PtCo
12 30
25 50
Kimia
1 Air raksa Hg
mgl 0,001
0,001 0,001
0,001 2
Arsen As mgl
0,002 0,002
0,002 0,05
3 Besi Fe
mgl 0.016
0,380 0,338
1,0 4
Flourida F mgl
0,158 0,385
0,290 1,5
5 Kadmium Cd
mgl 0,005
0,005 0,005
0,005 6
Kesadahan sebagai CaCO
3
mgl 62
32 92
500 7
Klorida Cl
-
mgl 77
9 52
600 8
Kromium, valensi 6 Cr
6+
mgl 0,011
0,011 0,011
0,05 9
Mangan Mn mgl
0,540 0,218
0,085 0,5
10 Nitrat NO
3
mgl 32,81
13,72 9,98
10 11
Nitrit NO
2
mgl 0,001
0,011 0,007
1,0 12
pH -
7,1 7,1
6,9 6,5-9,0
13 Selenium Se
mgl 0,001
0,001 0,001
0,01 14
Seng Zn mgl
0,008 0,897
0,755 15
15 Sianida CN
mgl 0,001
0,002 0,002
0,1 16
Sulfat SO
4
mgl 38
5 28
400 17
Timbal Pb mgl
0,030 0,030
0,030 0,05
Kimia Organik
No. Parameter
Satuan Hasil Pengukuran
Baku Mutu
A B
C
1 Deterjen
mgl 0,028
0,019 0,71
0,50 2
Zat Organik mgl
2 3
1 10,00
3 Pestisida Gol Organo Fosfat
mgl Tda
Tda Tda
0,00 4
Pestisida Gol. Organo Klorida
mgl Tda
Tda Tda
0,00 5
Pestisida Gol. Organo Karbamat
mgl Tda
Tda Tda
0,00
C. Mikrobiologi
1 MPN golongan Coliform
Per 100 ml 20
20 40
50
Sumber : KLH Kota Bogor
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.
Identifikasi Dampak TPA Sampah Terhadap Parameter Kualitas Air Sumur
Penilaian  kualitas  air  tanah  di  daerah  penelitian,  sebagaian  besar  mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air
dan  pengendalian  pencemaran  air  dan Peraturan  Menteri  Kesehatan  No.  416 Men.KesPerIX1990 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air. menurut
Alpons,  Kristijanto  dan  Soenarto  2005,  air  hujan  mempercepat  proses pembusukan mikrobiologi dan bahan-bahan organik yang ada disampah. Pada saat
yang  sama,  partikel-partikel  seperti  nitrat,  fosfat,  besi,  sulfat  serta  kation  dan anion  lainnya  akan  terlarut.  Selain  itu,  air  hujan  juga  bertindak  sebagai  media
meresapnya  air  lindi  ke  air  tanah.  Kualitas  air  mengalami  penurunan  kualitas seperti  kulitas  fisika,  kimia  dan  mikrobiologi  air  minum.  Lokasi  penelitian  di
pengelompokan  menjadi dua bagian yaitu seperti pada Tabel 13.
Tabel 13 Pengelompokan lokasi sampel air sumur berdasarkan daerah terpengaruh dan tidak terpengaruh lindi TPA Galuga
menurut Syahrulyati tahun 2005 No
Terpengaruh Tidak terpengaruh
1 2
3 4
5
Mayonganteng Lalamping
Sinarjaya Cimangir I
Cimangir II
Galuga Moyan baru
Cisasak I
Cisasak II
5.1.1 Parameter Fisik
A. Suhu Suhu  merupakan  salah  satu  indikator  penting  yang  menentukan  kualitas
air.  Suhu  memiliki  hubungan  yang  erat  dengan  indikator  kualitas  air  lainnya seperti:  jumlah  oksigen  terlarut,  kecepatan  reaksi  kimia  dan  kehidupan  ikan  dan
hewan lainnya dalam air Fardiaz, 1992. Umumnya, suhu air limbah lebih tinggi
dibanding  dengan  suhu  air  perairan  penerima.  Hal  ini  disebabkan  adanya campuran air panas dari perumahan dan kegiatan industri. Kenaikan suhu air dapat
mempercepat  reaksi-reaksi  kimia,  mengurangi  kelarutan  gas,  memperhebat pengaruh rasa, bau dan mempercepat pertumbuhan tanaman pengganggu tertentu
Saeni 1989. Berdasarkan  hasil  pengukuran  suhu  keseluruhan  lokasi  pengamatan  musim
kemarau ada perbedaan suhu di setiap lokasi pengambilan sampel air sumur. Suhu air  tanah  di  lokasi  penelitian  dapat  dipengaruhi  oleh  arah  pola  aliran  air  bawah
tanah  diantaranya  Mayonganteng  26 C,  Lalamping  28
C,  Sinarjaya  29 C.  Suhu
yang melampaui standar baku mutu air adalah Cimangir I 30
o
C dan Cimangir II 30
C. Sedangkan  pada  daerah  yang  tidak  terpengaruh  arah  pola  aliran  air  bawah tanah suhu air sumur di Galuga 27
C, Moyan baru 26 C. Suhu  yang melampaui
standar  baku  mutu  adalah  Cisasak  Isuhu  31 C
dan  Cisasak  II  suhu  air  31 C.
lampiran 1 Berdasarkan  standar  mutu  air  peraturan  mentri  kesehatan  Republik
Indonesia    No.416  MenKesPerIX1990,  suhu  air  sumur  masih  memenuhi memenuhi standar 26
C-29 C, yang melampaui standar baku mutu daerah yang
tidak  terpengaruh  yaitu  Cisasak  I  dan  Cisasak  II  dan  daerah  yang  terpengaruh Cimangir  I  dan  Cimangir  II  hal  ini  karena  pengambilan  sampel  air  sumur
dilakukan pada pagi hari hingga sore hari.
B. Warna Hasil  analisis  laboratorium  warna  dari  ke-9  sampel  tersebut  air  bawah
permukaan  pada  daerah  arah  pola  aliran    air  bawah  tanah  yang  terpengaruh seperti:  Moyangenteng  =9,  Lalamping  =  2,  Sinarjaya  =  2,  Cimangir  I  =  4  dan
Cimangir  II  =  4,  dan  pada  daerah  arah  pola  aliran    air  bawah  tanah  yang  tidak terpengaruh seperti Galuga= 0, Moyan baru = 0, Desa Cijujung, Cisasak I = 6 dan
Cisasak II = 14. Oleh karena itu semua sampel masih memenuhi nilai baku mutu air  bersih
menurut PerMenKes  No.  146    Men.  Kes  Per.  IX  1990  warna  50
PtCo. Dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5  Analisis w
C. Bau dan Rasa Hasil  analisis
menunjukkan  bahwa musim  kemarau  dan
sumur  yang  memiliki tanah adalah Lalampi
pada  daerah  yang  tida daerah  arah  pola  alir
menumpuknya  baran sumur  yang  tidak  me
ketiga sampel dari sum tabel 14
P tC
o
warna sampel air sumur
sis  in  situ  terhadap  air  sumur  gali  di  sekita a  secara  kualitatif  ada  beberapa  air  sumur  tida
n  air  sumur  yang  berbau  lumpur  pada  musim iki  rasa  pada  daerah  terpengaruh  arah  pola  a
ping dan Sinarjaya dengan rasa agak sepet. sum tidak  terpengaruh  adalah  Galuga.  Hal  ini  diseb
liran  air  bawah  tanah  dan  aktivitas  yang  ber ang-barang  bekas  yang  diambil  dari  TPA.  P
memenuhi  standar  baku  mutu  air  yang  telah sumur Lalamping dan Sinarjaya dan Galuga. Da
kitar  TPA  Galuga tidak  berbau  pada
usim  kemarau.  Air aliran  air  bawah
sumur yang berasa sebabkan  letak  air
berlangsung.  Yaitu Pada  sampel  air
ah  ditetapkan  dari Dapat dilihat pada
Tabel 14  Kondisi bau dan rasa pada  sampel No.
Sampel Bau
Rasa
1 Moyan ganteng
Tidak berbau Normal
2 Lalamping 2
Tidak berbau Agak sepet
3 Sinar jaya
Tidak berbau Agak sepet
4 Cimangir Ilir I
Tidak berbau Normal
5 Cimangir Ilir II
Tidak berbau Normal
6 Galuga
Tidak berbau Agak sepet
7 Moyanbaru
Tidak berbau Normal
8 Cisasak I
Tidak berbau Normal
9 Cisasak II
Tidak berbau Normal
5.1.2 Parameter Kimia A. Derajat Keasaman pH
Air minum yang memiliki syarat untuk diminum umumnya mempunyai pH adalah 6,5-7,5. Air dapat bersifat asam atau basa, tergantung pada besar kecilnya
pH  air  atau  besarnya  konsentrasi  ion  hidrogen  di  dalam  air.  Nilai  pH  ditentukan oleh  interaksi  berbagai  zat  yang  ada  dalam  air.  Termasuk  secara  kimiawi  tidak
stabil.  Oleh  karena  itu  pengukuran  pH  harus  in  situ  atau  setelah  sampel  diambil tidak  diawetkan  Hasil  analisis  sampel  pada  daerah  penelitian  masih  memenuhi
standar  yang  ditentukan  oleh  batas  standar  kualitas  air  pada  PerMenKes  RI  No. 416IX  Tahun1990  bahwa  batas  minimum  dan  maksimum  pH  adalah  6,5-8,5.
Sebagai perbandingan pH dapat dilihat pada tabel 15 ini.
Tabel 15  Hasil analisis pH di sekitar TPA Galuga No.
Sampel Hasil Pengukuran pH
1. 2.
3. 4.
5. 6.
7. 8.
9. Mayonganteng
Lalamping Sinarjaya
Cimangir I Cimangir II
Galuga Moyan baru
Cisasak I Cisasak II
7.17 6.8
6.97 7.08
7.61 6.28
5.92 6.97
6.94 Tidak terpengaruh
B. Kebutuhan Oksigen Biologis BOD BOD  adalah  singkatan  dari  Biochemical  Oxygen  Demand,  yaitu  jumlah
oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik menjadi  senyawa  -  senyawa  yang  stabil.  BOD  merupakan  salah  satu  indikator
kualitas perairan pada kandungan bahan organiknya. Bahan organik terlarut akan menghabiskan oksigen dalam limbah serta akan menimbulkan rasa dan bau yang
tidak sedap pada air. Proses yang terlibat proses biologi dan proses kimia Hariady et al.1995.
Hasil pengukuran BOD pada daerah arah pola aliran  air bawah tanah yang terpengaruh  bahwa  sampel  air  sumur    yang  melampaui  standar  baku  mutu  air
kelas  1  yaitu:  di  Moyanganteng  kadar  BOD  22  mgl,  Lalamping  30  mgl, Sinarjaya  26 mgl, Cimangir I 26 mgl dan Cimangir II 22 mgl. Di  daerah arah
pola  aliran    air  bawah  tanah  yang  tidak  terpengaruh  yaitu:  Galuga  22  mgl  di Moyan baru  34 mgl, Cisasak I 30 mgl, Cisasak II 34 mgl. Hasil dari BOD ke 9
sampel  air  sumur  memperlihatkan  di  sekitar  TPA  Galuga  tergolong  telah melampaui  ambang  batas  maksimum  yang  diperbolehkan  2,0  mgl.  Hal  ini
menurut PP No. 82 Tahun 2001. Air sumur tersebut sudah tercemar oleh senyawa organik yang berasal dari limpasan lindi sampah pada TPA Galuga sehingga tidak
layak untuk dikonsumsi.
Hasil pengukuran BOD pada musim kemarau untuk seluruh air dapat dilihat pada  gambar  di  bawah  ini  berkisar  dari  2-34  mgl.  Kondisi  ini  menunjukkan,
bahwa  banyak  kandungan  bahan  organik  yang  dioksidasi  oleh  mikroorganisme. Hal  ini  sejalan  dengan    pendapat  Alaerts  dan  Santika  1984  dan  Fardiaz  1992
yang menyatakan bahwa angka BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerob untuk menguraikan hampir semua senyawa organik terlarut
melalui beberapa reaksi biokimia.
Gambar 6  Kandungan BOD sampel air sumur di sekitar TPA Galuga
C. Kebutuhan Ukuran Oksigen Kimia COD Nilai  Chemical  Oksigen  Demand  COD  merupakan  ukuran  bagi
pencemaran  air  oleh  senyawa  organik  yang  secara  alamiah  dapat  dioksidasikan melalui  proses  mikrobiologi  yang  menyebabkan  berkurangnya  DO  dalam  air
Alaert  dan  Santika,  1987.  Uji  COD  merupakan  suatu  uji  untuk  menentukan jumlah  oksigen  yang  dibutuhkan  oleh  suatu  bahan  oksidan  seperti  kalium
dikromat untuk mengoksidasi bahan organik dalam air. Hasil analisis laboratorium nilai COD berkisar dari 51-64.COD air sumur
pada  daerah  arah  pola  aliran  air  bawah  tanah  yang  terpengaruh  diantaranya: Mayonganteng COD 57 mgl, Lalamping 2 57 mgl, Sinarjaya 59 mgl, Cimangir I
53 mgl, Cimangir II 55 mgl. Sedangkan daerah arah pola aliran  air bawah tanah yang tidak terpengaruh yaitu: Galuga COD 55 mgl, Moyan baru 59 mgl, Cisasak
22 22
30 34
26 30
34 26
22
5 10
15 20
25 30
35 40
1 2
3 4
5 6
7 8
9 B
O D
m g
l
II terpengaruh        = tidak terpengaruh
I 53 mgl dan di Cisasak II 51 mgl. Sesuai pendapat Hariady et al. 1995, bahwa peningkatan  nilai  COD  suatu  perairan  sejalan  dengan  peningkatan  bahan  jumlah
organik  diperairan  tersebut,  karena  COD  memberikan  gambaran  jumlah  total bahan  organik  yang  ada,  baik  yang  mudah  maupun  yang  sulit  terurai  non
biodegradable .  Tingginya  COD  dalam  air  mengakibatkan  penurunan  kadar
oksigen  terlarut  yang  digunakan  untuk  pemurnian  air  itu  sendiri.  Sawyer  Mc Carty 1989.
Hasil  pengukuran  nilai  COD  pada  ke-9  sampel  air  sumur  tersebut menunjukkan hasil yang memiliki nilai ambang batas. Menurut ketentuan standar
baku mutu air dalam Peraturan Pemerintah No 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas  air  yaitu  diperbolehkan  10  mgl.  Sehingga  dari  hasil  pengujian  tersebut
kualitas air sumur melampaui ambang batas yang telah ditentukan dan tidak layak untuk dikonsumsi untuk air minum.
Gambar 7  Kandungan COD pada  sampel air sumur di sekitar TPA Galuga
D. Amoniak NH
3
dan Nitrit NO
2 -
Nitrogen merupakan salah satu penyusun protein, plankton dan merupakan dasar semua rantai makanan yang berhubungan dengan air. Hal ini menyebabkan
bahwa nitrogen merupakan unsur yang sangat penting bagi kehidupan Henry dan Heinke,  1989.  Nitrogen  dalam  air  bentuk  gas  N
2
bebas  dan  segera  berubah menjadi  Nitrit  NO
2 -
Nitrat  NO
3
dan  Amoniak  NH3  dimana  sebagai  sumber utamanya  adalah  dari  limbah  hasil  buangan  berupa  protein  dan  senyawa  organik
Wardoyo 1982.
55 57
64 59
59 53
51 53
55
10 20
30 40
50 60
70
1 2
3 4
5 6
7 8
9 C
D m
g l
II terpengaruh        = tidak terpengaruh
Hasil  penelitian  menunjukkan  bahwa  kandungan  Amoniak  pada  daerah arah pola aliran air bawah tanah yang terpengaruh Mayonganteng Amoniak NH3-
N 0,461 mgl, Lalamping 2 7,330 mgl,  Sinarjaya 0,144 mgl, Cimangir I 0,144 mgl, Cimangir II 0,144 mgl. Pada daerah arah pola aliran air bawah tanah yang
tidak terpengaruh mengandung amoniak yaitu: Galuga 2,02 mgl masih memenuhi syarat. Moyanbaru 0,144 mgl, Cisasak I 2,19 mgl dan Cisasak II 0,144 mgl.
Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 kandungan amoniak untuk air kelas 1 adalah 0,5  mgl.  Hal  ini  menunjukkan  bahwa  pada  musim  kemarau  ini  di  Galuga,  di
Lalamping  dan  di  Cisasak  I  melampaui  batas  ambang  baku  mutu  air.  Ini disebabkan karena  rembesan air dari TPA dan juga pengaruh dari aktivitas di atas
lahan sekitar lokasi penelitian Gambar 9.
Gambar 9  Kandungan amoniak NH3 pada sampel air sumur di sekitar TPA Galuga
Tingginya  kandungan  amoniak  dalam  air  sumur  di  sekitar  TPA  Galuga tersebut  disebabkan  karena  tempat  pembuangan  tinja,  sehingga  terjadi
kontaminasi  bakteri  dengan  air  sumur  tersebut.  Menurut  Jackson  et  al  1989 bahwa  kotoran  tinja  mengandung  nitrogen  organik  yang  mudah  terurai
menghasilkan  garam  ammonium.  Ion  ammonium  dapat  dioksidasi  oleh  bakteri menjadi  nitrit  yang  kemudian  menjadi  nitrat.  Ammonia  bebas  dalam  air  minum
akan  terikat  oleh  klor  pada  proses  desinfeksi,  sehingga  akan  menyebabkan pemborosan bagi pemakaian klor. Oleh karena itu banyaknya ammonia dalam air
menentukan banyaknya  klor  yang dibutuhkan untuk mendapatkan sisi klor bebas
2.02 0.461
7.33
0.144 0.144
2.19 0.144
0.144 0.144
1 2
3 4
5 6
7 8
1 2
3 4
5 6
7 8
9 N
H 3
m g
l
II terpengaruh        = tidak terpengaruh
dalam  air.  Ammonia  dapat  menyebabkan  gangguan  kesehatan  seperti  batuk, muntah, iritasi pada paru-paru dan saluran pernapasan, keluar lendir dari hidung,
bibir, dan paru-paru, iritasi dan kebutaan sementara Slamet, 1994, Azwar, 1996 Beberapa  keadaan  ion  nitrit  ditemukan  juga  dalam  air  Saeni,  1989.
Nitrogen dalam bentuk ammoniak juga dapat digunakan sebagai sumber nitrogen dan sumber energi bagi pembentuk nitrit dan nitrat atau bakteri nitrifikasi. Bakteri
yang  dibutuhkan  adalah  Nitrosomonas  yang  mengoksidasi  ammoniak  menjadi nitrit dan  nitrobakter  yang mengoksidasi nitrit menjadi nitrat Jenie dan Rahayu,
1993.  Senyawa  nitrit  berguna  pada  pertumbuhan  tubuh  dengan  kadar  1  mgl, terutama  untuk  makhluk  nabati  perairan.  Kandungan  nitrit  yang  banyak  pada
tubuh akan bersifat racun dalam pembentukan metamoglobin haemoglobin yang tidak mampu mengikat oksigen. Jika pada bayi menyebabkan tubuh bayi menjadi
biru yang disebut blue baby disease Melanby. 1972. Hasil  dari  penelitian  menunjukkan  bahwa  kandungan  nitrit  NO
2
yang
terdapat  pada  sampel  air  sumur  Mayonganteng  0,001,  Lalamping  II  0,001,  Sinar
jaya  tidak  ada  kandungan  nitrit  dan  Cimangir  I  0,001  Cimangir  II  0,001.  Pada
daerah  yang  tidak  terpengaruh  Galuga  nitrit  NO
2
0,041  1,  Moyan  baru  1,37,
Cisasak  I  3,45,  Cisasak  II  0,001.  Jadi  yang  melampaui  ambang  batas  baku  mutu air  adalah  di  Moyanbaru  dan  di  Cisasak  I.    Hasil  dapat  dilihat  pada  gambar  di
bawah ini.
Gambar 10  Kandungan Nitrit NO
2
pada sampel air sumur di sekitar TPA Galuga
0.041 0.001 0.001 1.37
0.009 3.45
0.001 0.001 0.001 0.5
1 1.5
2 2.5
3 3.5
4
1 2
3 4
5 6
7 8
9
N it
ri t
m g
l
II terpengaruh        = tidak terpengaruh
Hasil dari penelitian menunjukkan daerah arah pola aliran air bawah tanah yang  terpengaruh  kandungan  zat  KMnO4  terdapat  pada  sampel  air  sumur  di
Mayonganteng    2  mgl,  di  Lalamping  II    tidak  terdeteksi,  Sinarjaya    tidak terdeteksi  Cimangir  I  1  mgl,  Cimangir  II  adalah  4  mgl.  Pada  daerah    arah  pola
aliran  air  bawah  tanah    yang  tidak  terpengaruh  yaitu:  Galuga  tidak  terdeteksi
kandungan bahan organik, di Moyan baru yaitu 3 mgl, Cisasak I adalah 17 mgl,
Cisasak II adalah 1 mgl. Jadi menurut PP No. 82 tahun 2001 ambang batas baku
mutu air adalah semua sampel zat KMnO4 standarnya 10 mgl Gambar 11.
Gambar 11  Kandungan Zat Organik KMnO4 pada sampel air sumur di sekitar TPA Galuga
5.1.3 Parameter Biologi A. Escherichia coli E. Coli
Pada  awalnya,  mikroba  memiliki  peranan  yang  penting  dalam  menjaga saluran pencernaan menurut Dr. Rheodor Escherch pada tahun 1985. Sekitar tahun
1940-  an  ditemukan  bahwa  bakteri  ini  dapat  menyebabkan  penyakit  diare  yang mencemari  makanan    dan  minuman.  E.  coli  ini  dapat  menyebabkan  empat  jenis
diare berdasarkan interaksinya dengan permukaan usus. Perbedaan gejala penyakit dan perbedaan seri tipe O somatic dan H Flagella. Keempat kategori tersebut
adalah  E.  coli  Enteropategonik  EPEC.  E.  coli    Enteroinvasi  EIEC,  E.  coli Enterotoksit  ETEC  E.  coli  Enterohermorhagik  EHEC.  Keempat  E.  coli  ini
diasosiasikan  dengan  penyakit  yang  disebabkan  oleh  makanan  food-borne diseases
Levine,  1987.  Selain  itu  Fardiaz  1992  menambahkan  bahwa  E.  coli
0.9 2
0.9 3
0.9 7
1 1
4
1 2
3 4
5 6
7 8
1 2
3 4
5 6
7 8
9
K M
n O
4 m
g l
II terpengaruh        = tidak terpengaruh
adalah  salah  satu  bakteri  yang  tergolong  koliform  dan  hidup  secara  normal didalam kotoran hewan dan kotoran manusia, dan disebut  coliform fecal. Bakteri
lainnya berasal dari hewan dan juga tanaman mati disebut  coliform non fekal. E. coli
termasuk  dalam  famili  enterobacteriaceae,    berbentuk  spora  dan  tidak membentuk  spora.
Hasil dari analisis  diketahui bahwa E. coli di dalam air sumur  di sekitar TPA  Galuga    dari  ke-9  air  sumur    yang    melampaui  ambang  batas  adalah
Mayonganteng  40 MPN Lalamping II  30 MPN, Sinarjaya  70 MPN, Cimangir I negatif,  Cimangir  II    negatif  sedangkan  pada  dearah  yang  tidak  terpengaruh
Galuga 20 MPN, yang belum terkontaminasi adalah Moyan baru negatif Cisasak I E
.  Coli,  negatif,  Cisasak  II  negatif.  Kandungan  E.  Coli  pada  air  sumur  dapat dipengaruhi  oleh  aktivitas  mahkluk  hidup  disekitar  seperti  kotoran  hewan  dan
manusia.
Gambar 12  Kandungan E. Coli pada sampel air sumur di sekitar TPA Galuga
5.2. Keberadaan TPA terhadap Kesehatan Masyarakat di Sekitar TPA
Galuga
Pengelolan  TPA  sampah  Galuga  pada  saat  ini  dilaksanakan  oleh  Dinas Kebersihan  dan  Pertamanan  DKP  Kota  Bogor  dari  tahap  pengumpulan,
pengangkutan, penyapuan jalan sampai kepada tahap pengelolaan sampah sampai ke  TPA  Galuga  di  Kecamatan  Cibungbulang.  Pada  TPA  Galuga,  penambahan
sampah secara terus menerus mengakibatkan terjadinya proses degradasi sampah yang  berlangsung  secara  kumulatif  dan  mengakibatkan  tingkat  degradasi  jenis
20 40
30 70
10 20
30 40
50 60
70 80
1 2
3 4
5 6
7 8
9 E
-C o
li
M P
N
II terpengaruh        = tidak terpengaruh
sampah  secara  bersamaan,  sehingga  mengakibatkan  daerah  yang  dimanfaatkan akan  bertambah  terus  walaupun  dilakukan  pemadatan  dari  alat  yang  digunakan
untuk  meratakan  sampah  yang  ada.  TPA  Galuga  saat  sekarang  adalah  hanya sebagai  tempat  pembuangan  saja  tidak  ada  pengomposan  setelah  selama  enam
bulan  jadi  sampah  semakin  banyak  yang  menumpuk,  walaupun  pengomposan sudah  dilaksanakan  sejak  tahun  2003  dengan  kapasitas  produksi  5-  50  tonhari
yang dikelola. Penambahan  luas  areal  TPA  Galuga  menjadikan  jumlah  sampah  yang
terakumulasi semakin meningkat dan saat ini umur TPA Galuga 20 tahun. Mason 1981 berpendapat, bahwa sampah akan menentukan tingkat penguraian, dimana
penguraian  akan  semakin  sulit  dan  perubahan  kimia  akan  terus  terjadi  sampai mencapai taraf  kestabilan.
Penguraian sampah organik akan menghasilkan zat-zat berupa hara, zat-zat kimia yang bersifat toksik dan bahan-bahan organik terlarut. Semua zat-zat  yang
terurai  baik  dari  sampah  organik  maupun  yang  anorganik  didalam  pengelolaan sampah open dumping maupun sanitari landfill akan sangat berpengaruh terhadap
kualitas  air  di  sekitar  wilayah  tersebut:  dekomposisi  yang  terjadi  akan menghasilkan  konsentrasi  air  lindi  dan  terjadi  proses  yang  lebih  cepat  pada
sampah  yang  dipadatkan  secara  berlapis.  Air  lindi  tidak  ada  proses  pengolahan dan saat sekarang pengomposan tidak berjalan.
Hasil  dari  ke-9  lokasi  sampel  air  sumur  penduduk  yang  telah  dianalisis diambil  secara  purposive,  menurut  pola  arah  aliran  air  tanah  adalah:  Galuga,
Mayonganteng,  Lalamping,  Moyanbaru,  Sinarjaya,  Cisasak  I,  Cisasak  II, Cimangir  I  Cimangir  II.  Hasil  analisis  sifat  fisika,  kimia  dan  biologi  sampel  air
dibandingkan  dengan  baku  mutu  air  minum,  karena  adanya  kandungan  yang bervariasi  dari  tiap  sampel  yang  telah  dianalisis  akibat  dari  pencemaran  sampah
yang ada di sekitar. Hasil  kuesioner  tentang  kondisi  kesehatan  masyarakat  dapat  diketahui
jenis  penyakit  yang  sering  dialami  yaitu:  demam,  batuk,  influenza  pengepul 30,8, pemulung 38,8  dan pedagang 20,3.  Penyakit diare  pemulung 6,5,
pengepul  3.8,  pedagang  sebayak  2,1  dan  penyakit  kulit  pemulung  29,6, pengepul  3,7    dan    4,7    pedagang.  Sedangkan  ISPA  pada  pemulung  27,8,
pengepul  50,  dan  pedagang  3,1.  Hasil  kuesioner  menunjukkan  bahwa  yang paling  sering  sakit  adalah  pengepul,  hal  ini  disebabkan  karena  dengan  kontak
langsung  ketika  menerima  sampah  dari  pemulung  seperti  barang-barang  bekas. Pemulung  saat  bekerja  dan  mengumpulkan  barang–barang  bekas  di  TPA  tidak
mengggunakan perlindungan seperti masker, sarung tangan, tetapi dengan tangan dan pakaian biasa  pemulung langsung memilah sampah. Gambar 13
Gambar 13  Jenis penyakit yang diderita di sekitar TPA Galuga Hasil kuesioner tentang frekuensi sakit pemulung, pengepul dan pedagang
1x  seminggu  23,1,  11,5  dan  7,3  sedangkan  1x  sebulan  pemulung  24,1 pedagang  5,2.  Frekuensi  sakit  1x  3  bulan    pemulung  25,9,  pengepul  15,4,
pedagang  7,8    sedangkan  1x  setahun  pemulung  26,9,  pengepul  73,1, pedagang  6,8.  Frekuensi  sakit  pemulung  lebih  sering  karena  kontak  langsung
dan menghirup bau sampah Gambar 14.
30.8
3.8 3.7
50.7 38.8
6.5 29.6
27.8 20.3
2.1 4.7
3.1 10
20 30
40 50
60
Deman, Batuk, Influenza
Diare Penyakit Kulit
ISPA P
er se
n R
es p
o n
d en
Pengepul Pemulung
Pedagang
Gambar 14  Frekuensi sakit penduduk di sekitar TPA Galuga Hasil  kuesioner  diagram  kunjungan  ke  Puskesmas  pemulung  42,6,
pengepul 46,2 dan pedagang 62 dengan frekuensi kunjungan 2 kali pertahun sedangkan frekuensi yang tertinggi adalah 1 kali pertahun yaitu:pengepul 84,6,
pemulung  65,5  dan  pedagang  terendah  10,9.  Hal  ini  menunjukkan  bahwa keberadaan  TPA  Galuga  tidak  begitu  banyak  pengaruhnya  pada  frekuensi
kunjungan  ke Puskesmas. Pemulung lebih memilih membeli obat warung apabila mengalami sakit dari pada berobat ke Puskesmas.
. Gambar 15  Frekuensi kunjungan ke Puskesmas
Hasil kuesioner tentang biaya kesehatan pemulung 68,5 Rp 100.000 per tahun,  pengepul  84,6  biaya  kesehatan  Rp50.000,00  per  tahun,  dan  pedagang
11.5 15.4
73.1
23.1 24.1
25.9 26.9
7.3 5.2
7.8 6.8
10 20
30 40
50 60
70 80
1X seminggu 1X sebulan
1X 3 bulan 1X  6 bulan
P er
se n
R es
p o
n d
en Pengepul
Pemulung Pedagang
3.8 23.1
26.9 46.2
30.6 18.5
9.3 42.6
10.4 4.2
6.2 62
10 20
30 40
50 60
70
Lebih dari 3 kalitahun3 kali  tahun 2 kali  tahun
1 kali tahun P
er se
n R
es p
o n
d en
Pengepul Pemulung
Pedagang
10,96  biaya  pengobatan  Rp  50.000,00  per  tahun.  Dari  hasil  kuesioner  dapat dikatakan  bahwa  biaya  kesehatan  masih  tetap  rendah  karena  dari  lokasi
masyarakat secara mudah mendapat pengobatan dari Puskesmas setempat dengan biaya yang relatif  terjangkau Rp 3.000,00 sekali kunjungan.
Gambar 16  Biaya kesehatan penduduk di sekitar TPA Galuga Hasil  kuesioner  pada  responden  bahwa  di  sekitar  TPA  Galuga    penyakit
yang  disebabkan  oleh  TPA  Galuga  yang  menjawab  sering  adalah:  pemulung 17,6,  pengepul  26,9  dan  pedagang  12,5.  Sedangkan  yang  memberikan
jawaban  jarang  adalah:  pemulung  65,4,  pengepul  57,5  dan  pedagang  8,8. Hal  ini  menunjukkan  bahwa  responden  kurang  menyadari  penyakit  bersumber
dari  TPA  Galuga.  Walaupun  dari  hasil  kuesioner,  oleh  responden  menganggap jarang  tetapi  jika  dilihat  dilokasi  ada  penyakit  yang  disebabkan  TPA  Galuga
Gambar 17.
84.6
7.7 7.7
68.5
12 3.7
12 10.9
6.2 5.2
6.2 10
20 30
40 50
60 70
80 90
Rp. 50.000,00 tahun
Rp. 100.000,00 tahun
Rp. 150.000,00tahun
Rp. 200.000,00 atau lebihtahun
R es
p o
n d
en Pengepul
Pemulung Pedagang
Gambar  17    Penyakit  akibat  TPA  menurut  pendapat  penduduk  di  sekitar TPA  Galuga
5.3 Hubungan  Keberadaan  TPA  Sampah  Galuga  terhadap  Aspek  Sosial
Ekonomi Masyarakat di sekitar TPA Galuga 5.3.1
Persepsi Masyarakat
Persepsi  masyarakat  tentang  pengelolaan  sampah  di  TPA  merupakan kegiatan  yang  akan  berpengaruh  terhadap  aspek  sosial  lainnya  baik  secara
langsung  maupun  tidak  langsung  Tonny  1990.  Berdasarkan  hasil  kuesioner tentang persepsi masyarakat, manfaat TPA Galuga bagi pemulung 99, pengepul
100  dalam  dan  pedagang  60  menyediakan  peluang  kerja.  Hasil  kuesiner pemulung yang menyatakan TPA tidak memberi manfaat 1 , dan pedagang 29
Gambar 26.
Gambar 18  Manfaat TPA Galuga bagi masyarakat sekitar
3.8 26.9
57.7
11.5 1.9
17.6 65.4
11.1 2.6
12.5 8.8
3.1 10
20 30
40 50
60 70
Sering sekali Sering
Jarang Tidak ada
R es
p o
n d
en
Pengepul Pemulung
Pedagang
100
1 99
29 6
10 60
20 40
60 80
100 120
Tidak memberi manfaat
Sampah terkumpul pada
satu lokasi Mudah
membuang sampah
Menyediakan Peluang Kerja
R es
p o
n d
en Pengepul
Pemulung Pedagang
Persepsi masyarakat berdasarkan hasil kuesioner, dimana fungsi organisasi tidak  ada  bagi  pemulung  sebesar  92,  pengepul  77  dan  pedagang  100.
Kenyataan yang ada di lapangan bahwa di TPA Galuga tidak ada organisasi dalam pekerjaan  mereka  sebagai  pemulung  dan  pengepul.  Pedagang  hanya  berusaha
sendiri tanpa ada organisasi Gambar 19.
Gambar 19  Fungsi organisasi di TPA bagi masyarakat sekitar
Hasil  kuesioner  persepsi    tentang  sistem  pengelolaan  TPA  Galuga  di lapangan  secara  open  dumping  sebesar  32  pemulung,  15  pengepul  dan  42
pedagang mengakui bahwa pengelolaan TPA tersebut tidak baik. Hasil kuesioner 31  pemulung  yang  menjawab  cukup  baik.  Pengelolaan  cukup  baik  25
pemulung,  42 pengepul dan 29 pedagang.  Hasil penelitian dan pementauan langsung  kelapangan  pengelolaan  TPA  tidak  baik  karena  terjadi  longsor  pada
bulan Pebruari dan Maret  2010 yang telah menelan korban jiwa Gambar 20.
77
4 12
8 92
1 19
100
20 40
60 80
100 120
Tidak ada fungsinya
Menambah wawasan dan
penyuluhan Meyatukan
ide,forum berunding
Menyelesaikan konflik sesama
P er
se n
R es
p o
n d
en
Pengepul Pemulung
Pedagang