Parameter Fisik Kondisi Sampah dan Pengelolaannya

dibanding dengan suhu air perairan penerima. Hal ini disebabkan adanya campuran air panas dari perumahan dan kegiatan industri. Kenaikan suhu air dapat mempercepat reaksi-reaksi kimia, mengurangi kelarutan gas, memperhebat pengaruh rasa, bau dan mempercepat pertumbuhan tanaman pengganggu tertentu Saeni 1989. Berdasarkan hasil pengukuran suhu keseluruhan lokasi pengamatan musim kemarau ada perbedaan suhu di setiap lokasi pengambilan sampel air sumur. Suhu air tanah di lokasi penelitian dapat dipengaruhi oleh arah pola aliran air bawah tanah diantaranya Mayonganteng 26 C, Lalamping 28 C, Sinarjaya 29 C. Suhu yang melampaui standar baku mutu air adalah Cimangir I 30 o C dan Cimangir II 30 C. Sedangkan pada daerah yang tidak terpengaruh arah pola aliran air bawah tanah suhu air sumur di Galuga 27 C, Moyan baru 26 C. Suhu yang melampaui standar baku mutu adalah Cisasak Isuhu 31 C dan Cisasak II suhu air 31 C. lampiran 1 Berdasarkan standar mutu air peraturan mentri kesehatan Republik Indonesia No.416 MenKesPerIX1990, suhu air sumur masih memenuhi memenuhi standar 26 C-29 C, yang melampaui standar baku mutu daerah yang tidak terpengaruh yaitu Cisasak I dan Cisasak II dan daerah yang terpengaruh Cimangir I dan Cimangir II hal ini karena pengambilan sampel air sumur dilakukan pada pagi hari hingga sore hari. B. Warna Hasil analisis laboratorium warna dari ke-9 sampel tersebut air bawah permukaan pada daerah arah pola aliran air bawah tanah yang terpengaruh seperti: Moyangenteng =9, Lalamping = 2, Sinarjaya = 2, Cimangir I = 4 dan Cimangir II = 4, dan pada daerah arah pola aliran air bawah tanah yang tidak terpengaruh seperti Galuga= 0, Moyan baru = 0, Desa Cijujung, Cisasak I = 6 dan Cisasak II = 14. Oleh karena itu semua sampel masih memenuhi nilai baku mutu air bersih menurut PerMenKes No. 146 Men. Kes Per. IX 1990 warna 50 PtCo. Dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 Analisis w C. Bau dan Rasa Hasil analisis menunjukkan bahwa musim kemarau dan sumur yang memiliki tanah adalah Lalampi pada daerah yang tida daerah arah pola alir menumpuknya baran sumur yang tidak me ketiga sampel dari sum tabel 14 P tC o warna sampel air sumur sis in situ terhadap air sumur gali di sekita a secara kualitatif ada beberapa air sumur tida n air sumur yang berbau lumpur pada musim iki rasa pada daerah terpengaruh arah pola a ping dan Sinarjaya dengan rasa agak sepet. sum tidak terpengaruh adalah Galuga. Hal ini diseb liran air bawah tanah dan aktivitas yang ber ang-barang bekas yang diambil dari TPA. P memenuhi standar baku mutu air yang telah sumur Lalamping dan Sinarjaya dan Galuga. Da kitar TPA Galuga tidak berbau pada usim kemarau. Air aliran air bawah sumur yang berasa sebabkan letak air berlangsung. Yaitu Pada sampel air ah ditetapkan dari Dapat dilihat pada Tabel 14 Kondisi bau dan rasa pada sampel No. Sampel Bau Rasa 1 Moyan ganteng Tidak berbau Normal 2 Lalamping 2 Tidak berbau Agak sepet 3 Sinar jaya Tidak berbau Agak sepet 4 Cimangir Ilir I Tidak berbau Normal 5 Cimangir Ilir II Tidak berbau Normal 6 Galuga Tidak berbau Agak sepet 7 Moyanbaru Tidak berbau Normal 8 Cisasak I Tidak berbau Normal 9 Cisasak II Tidak berbau Normal 5.1.2 Parameter Kimia A. Derajat Keasaman pH Air minum yang memiliki syarat untuk diminum umumnya mempunyai pH adalah 6,5-7,5. Air dapat bersifat asam atau basa, tergantung pada besar kecilnya pH air atau besarnya konsentrasi ion hidrogen di dalam air. Nilai pH ditentukan oleh interaksi berbagai zat yang ada dalam air. Termasuk secara kimiawi tidak stabil. Oleh karena itu pengukuran pH harus in situ atau setelah sampel diambil tidak diawetkan Hasil analisis sampel pada daerah penelitian masih memenuhi standar yang ditentukan oleh batas standar kualitas air pada PerMenKes RI No. 416IX Tahun1990 bahwa batas minimum dan maksimum pH adalah 6,5-8,5. Sebagai perbandingan pH dapat dilihat pada tabel 15 ini. Tabel 15 Hasil analisis pH di sekitar TPA Galuga No. Sampel Hasil Pengukuran pH 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Mayonganteng Lalamping Sinarjaya Cimangir I Cimangir II Galuga Moyan baru Cisasak I Cisasak II 7.17 6.8 6.97 7.08 7.61 6.28 5.92 6.97 6.94 Tidak terpengaruh B. Kebutuhan Oksigen Biologis BOD BOD adalah singkatan dari Biochemical Oxygen Demand, yaitu jumlah oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik menjadi senyawa - senyawa yang stabil. BOD merupakan salah satu indikator kualitas perairan pada kandungan bahan organiknya. Bahan organik terlarut akan menghabiskan oksigen dalam limbah serta akan menimbulkan rasa dan bau yang tidak sedap pada air. Proses yang terlibat proses biologi dan proses kimia Hariady et al.1995. Hasil pengukuran BOD pada daerah arah pola aliran air bawah tanah yang terpengaruh bahwa sampel air sumur yang melampaui standar baku mutu air kelas 1 yaitu: di Moyanganteng kadar BOD 22 mgl, Lalamping 30 mgl, Sinarjaya 26 mgl, Cimangir I 26 mgl dan Cimangir II 22 mgl. Di daerah arah pola aliran air bawah tanah yang tidak terpengaruh yaitu: Galuga 22 mgl di Moyan baru 34 mgl, Cisasak I 30 mgl, Cisasak II 34 mgl. Hasil dari BOD ke 9 sampel air sumur memperlihatkan di sekitar TPA Galuga tergolong telah melampaui ambang batas maksimum yang diperbolehkan 2,0 mgl. Hal ini menurut PP No. 82 Tahun 2001. Air sumur tersebut sudah tercemar oleh senyawa organik yang berasal dari limpasan lindi sampah pada TPA Galuga sehingga tidak layak untuk dikonsumsi. Hasil pengukuran BOD pada musim kemarau untuk seluruh air dapat dilihat pada gambar di bawah ini berkisar dari 2-34 mgl. Kondisi ini menunjukkan, bahwa banyak kandungan bahan organik yang dioksidasi oleh mikroorganisme. Hal ini sejalan dengan pendapat Alaerts dan Santika 1984 dan Fardiaz 1992 yang menyatakan bahwa angka BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerob untuk menguraikan hampir semua senyawa organik terlarut melalui beberapa reaksi biokimia. Gambar 6 Kandungan BOD sampel air sumur di sekitar TPA Galuga C. Kebutuhan Ukuran Oksigen Kimia COD Nilai Chemical Oksigen Demand COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh senyawa organik yang secara alamiah dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologi yang menyebabkan berkurangnya DO dalam air Alaert dan Santika, 1987. Uji COD merupakan suatu uji untuk menentukan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh suatu bahan oksidan seperti kalium dikromat untuk mengoksidasi bahan organik dalam air. Hasil analisis laboratorium nilai COD berkisar dari 51-64.COD air sumur pada daerah arah pola aliran air bawah tanah yang terpengaruh diantaranya: Mayonganteng COD 57 mgl, Lalamping 2 57 mgl, Sinarjaya 59 mgl, Cimangir I 53 mgl, Cimangir II 55 mgl. Sedangkan daerah arah pola aliran air bawah tanah yang tidak terpengaruh yaitu: Galuga COD 55 mgl, Moyan baru 59 mgl, Cisasak 22 22 30 34 26 30 34 26 22 5 10 15 20 25 30 35 40 1 2 3 4 5 6 7 8 9 B O D m g l II terpengaruh = tidak terpengaruh I 53 mgl dan di Cisasak II 51 mgl. Sesuai pendapat Hariady et al. 1995, bahwa peningkatan nilai COD suatu perairan sejalan dengan peningkatan bahan jumlah organik diperairan tersebut, karena COD memberikan gambaran jumlah total bahan organik yang ada, baik yang mudah maupun yang sulit terurai non biodegradable . Tingginya COD dalam air mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut yang digunakan untuk pemurnian air itu sendiri. Sawyer Mc Carty 1989. Hasil pengukuran nilai COD pada ke-9 sampel air sumur tersebut menunjukkan hasil yang memiliki nilai ambang batas. Menurut ketentuan standar baku mutu air dalam Peraturan Pemerintah No 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air yaitu diperbolehkan 10 mgl. Sehingga dari hasil pengujian tersebut kualitas air sumur melampaui ambang batas yang telah ditentukan dan tidak layak untuk dikonsumsi untuk air minum. Gambar 7 Kandungan COD pada sampel air sumur di sekitar TPA Galuga D. Amoniak NH 3 dan Nitrit NO 2 - Nitrogen merupakan salah satu penyusun protein, plankton dan merupakan dasar semua rantai makanan yang berhubungan dengan air. Hal ini menyebabkan bahwa nitrogen merupakan unsur yang sangat penting bagi kehidupan Henry dan Heinke, 1989. Nitrogen dalam air bentuk gas N 2 bebas dan segera berubah menjadi Nitrit NO 2 - Nitrat NO 3 dan Amoniak NH3 dimana sebagai sumber utamanya adalah dari limbah hasil buangan berupa protein dan senyawa organik Wardoyo 1982. 55 57 64 59 59 53 51 53 55 10 20 30 40 50 60 70 1 2 3 4 5 6 7 8 9 C D m g l II terpengaruh = tidak terpengaruh Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan Amoniak pada daerah arah pola aliran air bawah tanah yang terpengaruh Mayonganteng Amoniak NH3- N 0,461 mgl, Lalamping 2 7,330 mgl, Sinarjaya 0,144 mgl, Cimangir I 0,144 mgl, Cimangir II 0,144 mgl. Pada daerah arah pola aliran air bawah tanah yang tidak terpengaruh mengandung amoniak yaitu: Galuga 2,02 mgl masih memenuhi syarat. Moyanbaru 0,144 mgl, Cisasak I 2,19 mgl dan Cisasak II 0,144 mgl. Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 kandungan amoniak untuk air kelas 1 adalah 0,5 mgl. Hal ini menunjukkan bahwa pada musim kemarau ini di Galuga, di Lalamping dan di Cisasak I melampaui batas ambang baku mutu air. Ini disebabkan karena rembesan air dari TPA dan juga pengaruh dari aktivitas di atas lahan sekitar lokasi penelitian Gambar 9. Gambar 9 Kandungan amoniak NH3 pada sampel air sumur di sekitar TPA Galuga Tingginya kandungan amoniak dalam air sumur di sekitar TPA Galuga tersebut disebabkan karena tempat pembuangan tinja, sehingga terjadi kontaminasi bakteri dengan air sumur tersebut. Menurut Jackson et al 1989 bahwa kotoran tinja mengandung nitrogen organik yang mudah terurai menghasilkan garam ammonium. Ion ammonium dapat dioksidasi oleh bakteri menjadi nitrit yang kemudian menjadi nitrat. Ammonia bebas dalam air minum akan terikat oleh klor pada proses desinfeksi, sehingga akan menyebabkan pemborosan bagi pemakaian klor. Oleh karena itu banyaknya ammonia dalam air menentukan banyaknya klor yang dibutuhkan untuk mendapatkan sisi klor bebas 2.02 0.461 7.33 0.144 0.144 2.19 0.144 0.144 0.144 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 9 N H 3 m g l II terpengaruh = tidak terpengaruh dalam air. Ammonia dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti batuk, muntah, iritasi pada paru-paru dan saluran pernapasan, keluar lendir dari hidung, bibir, dan paru-paru, iritasi dan kebutaan sementara Slamet, 1994, Azwar, 1996 Beberapa keadaan ion nitrit ditemukan juga dalam air Saeni, 1989. Nitrogen dalam bentuk ammoniak juga dapat digunakan sebagai sumber nitrogen dan sumber energi bagi pembentuk nitrit dan nitrat atau bakteri nitrifikasi. Bakteri yang dibutuhkan adalah Nitrosomonas yang mengoksidasi ammoniak menjadi nitrit dan nitrobakter yang mengoksidasi nitrit menjadi nitrat Jenie dan Rahayu, 1993. Senyawa nitrit berguna pada pertumbuhan tubuh dengan kadar 1 mgl, terutama untuk makhluk nabati perairan. Kandungan nitrit yang banyak pada tubuh akan bersifat racun dalam pembentukan metamoglobin haemoglobin yang tidak mampu mengikat oksigen. Jika pada bayi menyebabkan tubuh bayi menjadi biru yang disebut blue baby disease Melanby. 1972. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa kandungan nitrit NO 2 yang terdapat pada sampel air sumur Mayonganteng 0,001, Lalamping II 0,001, Sinar jaya tidak ada kandungan nitrit dan Cimangir I 0,001 Cimangir II 0,001. Pada daerah yang tidak terpengaruh Galuga nitrit NO 2 0,041 1, Moyan baru 1,37, Cisasak I 3,45, Cisasak II 0,001. Jadi yang melampaui ambang batas baku mutu air adalah di Moyanbaru dan di Cisasak I. Hasil dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Gambar 10 Kandungan Nitrit NO 2 pada sampel air sumur di sekitar TPA Galuga 0.041 0.001 0.001 1.37 0.009 3.45 0.001 0.001 0.001 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 N it ri t m g l II terpengaruh = tidak terpengaruh Hasil dari penelitian menunjukkan daerah arah pola aliran air bawah tanah yang terpengaruh kandungan zat KMnO4 terdapat pada sampel air sumur di Mayonganteng 2 mgl, di Lalamping II tidak terdeteksi, Sinarjaya tidak terdeteksi Cimangir I 1 mgl, Cimangir II adalah 4 mgl. Pada daerah arah pola aliran air bawah tanah yang tidak terpengaruh yaitu: Galuga tidak terdeteksi kandungan bahan organik, di Moyan baru yaitu 3 mgl, Cisasak I adalah 17 mgl, Cisasak II adalah 1 mgl. Jadi menurut PP No. 82 tahun 2001 ambang batas baku mutu air adalah semua sampel zat KMnO4 standarnya 10 mgl Gambar 11. Gambar 11 Kandungan Zat Organik KMnO4 pada sampel air sumur di sekitar TPA Galuga 5.1.3 Parameter Biologi A. Escherichia coli E. Coli Pada awalnya, mikroba memiliki peranan yang penting dalam menjaga saluran pencernaan menurut Dr. Rheodor Escherch pada tahun 1985. Sekitar tahun 1940- an ditemukan bahwa bakteri ini dapat menyebabkan penyakit diare yang mencemari makanan dan minuman. E. coli ini dapat menyebabkan empat jenis diare berdasarkan interaksinya dengan permukaan usus. Perbedaan gejala penyakit dan perbedaan seri tipe O somatic dan H Flagella. Keempat kategori tersebut adalah E. coli Enteropategonik EPEC. E. coli Enteroinvasi EIEC, E. coli Enterotoksit ETEC E. coli Enterohermorhagik EHEC. Keempat E. coli ini diasosiasikan dengan penyakit yang disebabkan oleh makanan food-borne diseases Levine, 1987. Selain itu Fardiaz 1992 menambahkan bahwa E. coli 0.9 2 0.9 3 0.9 7 1 1 4 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 9 K M n O 4 m g l II terpengaruh = tidak terpengaruh adalah salah satu bakteri yang tergolong koliform dan hidup secara normal didalam kotoran hewan dan kotoran manusia, dan disebut coliform fecal. Bakteri lainnya berasal dari hewan dan juga tanaman mati disebut coliform non fekal. E. coli termasuk dalam famili enterobacteriaceae, berbentuk spora dan tidak membentuk spora. Hasil dari analisis diketahui bahwa E. coli di dalam air sumur di sekitar TPA Galuga dari ke-9 air sumur yang melampaui ambang batas adalah Mayonganteng 40 MPN Lalamping II 30 MPN, Sinarjaya 70 MPN, Cimangir I negatif, Cimangir II negatif sedangkan pada dearah yang tidak terpengaruh Galuga 20 MPN, yang belum terkontaminasi adalah Moyan baru negatif Cisasak I E . Coli, negatif, Cisasak II negatif. Kandungan E. Coli pada air sumur dapat dipengaruhi oleh aktivitas mahkluk hidup disekitar seperti kotoran hewan dan manusia. Gambar 12 Kandungan E. Coli pada sampel air sumur di sekitar TPA Galuga

5.2. Keberadaan TPA terhadap Kesehatan Masyarakat di Sekitar TPA

Galuga Pengelolan TPA sampah Galuga pada saat ini dilaksanakan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan DKP Kota Bogor dari tahap pengumpulan, pengangkutan, penyapuan jalan sampai kepada tahap pengelolaan sampah sampai ke TPA Galuga di Kecamatan Cibungbulang. Pada TPA Galuga, penambahan sampah secara terus menerus mengakibatkan terjadinya proses degradasi sampah yang berlangsung secara kumulatif dan mengakibatkan tingkat degradasi jenis 20 40 30 70 10 20 30 40 50 60 70 80 1 2 3 4 5 6 7 8 9 E -C o li M P N II terpengaruh = tidak terpengaruh sampah secara bersamaan, sehingga mengakibatkan daerah yang dimanfaatkan akan bertambah terus walaupun dilakukan pemadatan dari alat yang digunakan untuk meratakan sampah yang ada. TPA Galuga saat sekarang adalah hanya sebagai tempat pembuangan saja tidak ada pengomposan setelah selama enam bulan jadi sampah semakin banyak yang menumpuk, walaupun pengomposan sudah dilaksanakan sejak tahun 2003 dengan kapasitas produksi 5- 50 tonhari yang dikelola. Penambahan luas areal TPA Galuga menjadikan jumlah sampah yang terakumulasi semakin meningkat dan saat ini umur TPA Galuga 20 tahun. Mason 1981 berpendapat, bahwa sampah akan menentukan tingkat penguraian, dimana penguraian akan semakin sulit dan perubahan kimia akan terus terjadi sampai mencapai taraf kestabilan. Penguraian sampah organik akan menghasilkan zat-zat berupa hara, zat-zat kimia yang bersifat toksik dan bahan-bahan organik terlarut. Semua zat-zat yang terurai baik dari sampah organik maupun yang anorganik didalam pengelolaan sampah open dumping maupun sanitari landfill akan sangat berpengaruh terhadap kualitas air di sekitar wilayah tersebut: dekomposisi yang terjadi akan menghasilkan konsentrasi air lindi dan terjadi proses yang lebih cepat pada sampah yang dipadatkan secara berlapis. Air lindi tidak ada proses pengolahan dan saat sekarang pengomposan tidak berjalan. Hasil dari ke-9 lokasi sampel air sumur penduduk yang telah dianalisis diambil secara purposive, menurut pola arah aliran air tanah adalah: Galuga, Mayonganteng, Lalamping, Moyanbaru, Sinarjaya, Cisasak I, Cisasak II, Cimangir I Cimangir II. Hasil analisis sifat fisika, kimia dan biologi sampel air dibandingkan dengan baku mutu air minum, karena adanya kandungan yang bervariasi dari tiap sampel yang telah dianalisis akibat dari pencemaran sampah yang ada di sekitar. Hasil kuesioner tentang kondisi kesehatan masyarakat dapat diketahui jenis penyakit yang sering dialami yaitu: demam, batuk, influenza pengepul 30,8, pemulung 38,8 dan pedagang 20,3. Penyakit diare pemulung 6,5,