permintaan atas produk akhir penjualan dan kapasitas produksi. Jika persediaan di tangan masih mencukupi, maka persediaan tersebut digunakan
terlebih dahulu. Setelah itu, perlu menentukan kebutuhan bersihnya yang merupakan hasil pengurangan dari kebutuhan kotor dengan penerimaan
terjadwal dan persediaan di tangan, kemudian ditentukan ukuran lot pemesanan bahan baku dengan teknik LFL dan teknik EOQ sistem MRP.
4.3.2.1. Teknik LFL
Sistem pengendalian persediaan bahan baku dengan teknik LFL melakukan pemesanan tepat sebesar kebutuhan bersih dan
sesuai dengan tenggang waktu masing-masing persediaan. Namun, karena dalam pengadaan bahan baku x dan y pemesanan harus
dilakukan sesuai kelipatan ukuran kemasan standar, maka besarnya pesanan menjadi kelipatan ukuran kemasan standar terkecil yang
memenuhi kebutuhan bersihnya. Dalam teknik LFL, kebutuhan persediaan bahan baku diharapkan tersedia dalam jumlah dan
waktu yang tepat, sehingga dapat menghilangkan adanya persediaan di gudang. Hal ini dapat mengurangi biaya penyimpanan
yang dikeluarkan oleh perusahaan. Selama periode Maret 2008 – Februari 2009, perkembangan
persediaan bahan baku x PT. Boehringer Ingelheim Indonesia tersaji dalam Tabel 12.
Tabel 12. Perkembangan persediaan bahan baku x, PT. Boehringer Ingelheim Indonesia periode Maret 2008 – Februari 2009 dengan teknik LFL
Bulan Kebutuhan
Kotor kg Persediaan
Awal kg Kebutuhan
Bersih kg Pembelian
kg Persediaan
Akhir kg
Maret 230
250 20
April 225
20 205
225 20
Mei 295
20 275
300 25
Juni 200
25 175
200 25
Juli 180
25 155
175 20
Agsts 290
20 270
275 5
Sept 135
5 130
150 20
Okt 175
20 155
175 20
Nov 195
20 175
200 25
Des 250
25 225
250 25
Jan 260
25 235
250 15
Feb 265
15 250
275 25
Total 2.700
470 2.250
2.475 245
Frekuensi pemesanan kali 11
Sumber : Data diolah kembali dari Lampiran 5 Berdasarkan Tabel 12, secara total, jumlah pembelian bahan
baku x yang dihasilkan oleh teknik LFL lebih rendah dibandingkan dengan jumlah pemakaiannya. Hal ini dikarenakan teknik LFL
berusaha untuk meminimumkan jumlah persediaan, dimana pembelian bahan baku dilakukan sebesar kelipatan ukuran kemasan
standar terkecil yang dapat memenuhi kebutuhan bersihnya dengan tetap menjaga kebutuhan untuk QC sampling 1 kg. Hal ini
dilakukan, karena perusahaan farmasi memerlukan suatu persediaan pengaman untuk digunakan dalam QC sampling.
Pada awal periode, PT. Boehringer Ingelheim Indonesia memiliki persediaan bahan baku x 250 kg, sehingga meskipun
pemakaian bahan baku x 2.700 kg, namun PT. Boehringer Ingelheim Indonesia hanya melakukan pembelian 2.475 kg dengan
persediaan akhir periode sebesar 25 kg. Sedangkan perkembangan persediaan bahan baku y PT.
Boehringer Ingelheim Indonesia yang dihasilkan oleh teknik LFL selama periode Maret 2008 – Februari 2009, dapat dilihat pada
Tabel 13.
Tabel 13. Perkembangan persediaan bahan baku y PT. Boehringer Ingelheim Indonesia periode Maret 2008 – Februari 2009 dengan teknik LFL
Bulan Kebutuhan
Kotor kg Persediaan
Awal kg Kebutuhan
Bersih kg Pembelian
kg Persediaan
Akhir kg
Maret
175
175
20
20 April
170
20 150
160
10 Mei
245
10 235
240
5
Juni 155
5 150
160 10
Juli 145
10 135
140 5
Agsts 225
5 220
240 20
Sept 95
20 75
80 5
Okt 140
5 135
140 5
Nov 150
5 145
160 15
Des
190
15 175
180
5 Jan
200
5 195
200
5 Feb
210
5 205
220
15
Total 2.100
280 1.820
1.940 120
Frekuensi pemesanan kali 12
Sumber : Data diolah kembali dari Lampiran 6 Berdasarkan Tabel 13, jumlah pembelian bahan baku y yang
dihasilkan oleh metode MRP teknik LFL secara total lebih rendah dibandingkan dengan jumlah pemakaiannya. Pada awal periode,
PT. Boehringer Ingelheim Indonesia memiliki persediaan bahan baku y 175 kg, sehingga walaupun pada periode tersebut
pemakaian bahan baku x 2.100 kg, namun PT. Boehringer Ingelheim Indonesia hanya melakukan pembelian 1.940 kg dengan
persediaan akhir periode 15 kg. Pada bahan baku x, teknik LFL menghasilkan frekuensi
pemesanan 11 kali, lebih tinggi jika dibandingkan dengan metode perusahaan yang menghasilkan frekuensi pemesanan 7 kali. Hal ini
terjadi, karena teknik LFL melakukan pemesanan sebesar kebutuhan bersih, sehingga frekuensi pemesanannya menjadi
tinggi. Begitu pula pada bahan baku y, teknik LFL menghasilkan frekuensi pemesanan 12 kali, lebih tinggi dibandingkan frekuensi
pemesanan yang dihasilkan dengan metode perusahaan 9 kali. Pada bahan baku x, total kuantitas pemesanan yang
dihasilkan oleh teknik LFL adalah 2.475 kg, lebih rendah dibandingkan metode perusahan yang menghasilkan 2.800 kg.
Sedangkan pada bahan baku y, teknik LFL menghasilkan total
kuantitas pemesanan 1.940 kg, lebih rendah dibandingkan metode perusahan yang menghasilkan 2.000 kg. Biaya persediaan bahan
baku x dan y dengan teknik LFL dapat dilihat pada Tabel 14 Lampiran 7 dan 8.
Tabel 14. Biaya persediaan bahan baku x dan y dengan teknik LFL
Bahan Baku
Frekuensi kali
Biaya Pemesanan
Rp Biaya
Penyimpanan Rp
Biaya Persediaan
Rp x
11 3.186.562,50
14.089,80 3.200.652,30 y
12 4.252.500,00
7.900,00 4.260.400,00 Sumber : Data diolah kembali dari Lampiran 7 dan 8
Berdasarkan Tabel 14, biaya penyimpanan pada teknik LFL ini terjadi, karena adanya persediaan awal dan karena pesanan
dilakukan sebesar ukuran kemasan standar, sehingga ada persediaan yang merupakan selisih antara pembelian dan kebutuhan
bersihnya. Total biaya pemesanan bahan baku x dan y dengan metode
LFL masing-masing Rp 3.186.562,50 untuk bahan baku x dan Rp 4.252.500,00 untuk bahan baku y. Biaya penyimpanan yang
dihasilkan Rp 14.089,80 untuk bahan baku x dan Rp 7.900,00 untuk bahan baku y. Dengan menggunakan teknik LFL, didapatkan
total biaya persediaan bahan baku x Rp 3.200.652,30 dan biaya persediaan bahan baku y Rp 4.260.400,00.
4.3.2.2. Teknik EOQ