Kelompok Miskin, Lemah dan Tidakberdaya

sebagai modal usaha; 2 pembangunan prasarana sebagai pendukung pengembangan sosial ekonomi rakyat; 3 penyediaan sarana untuk memperlancar pemasaran hasil produksi dan jasa masyarakat; 4 pelatihan bagi aparat dan masyarakat; 5 penguatan kelembagaan sosial ekonomi rakyat. Mashoed 2004 menyebutkan beberapa strategi pemberdayaan yang dapat dilakukan secara simultan, yaitu:1. Strategi De-Linking: Asumsi dasar dari strategi ini adalah bahwa salah satu sumber kemiskinan karena adanya hubungan dependensi antara kaum miskin dengan birokrasi. Mereka sangat tergantung kepada birokrasi. Oleh karenanya sasaran penanggulangan kemiskinan adalah meningkatkan kemampuan mereka untuk mengartikulasikan kepentingan kepada sistem sehingga dapat diharapkan adanya sustainability atau keberlanjutan program pengentasan kemiskinan.; 2. Strategi desentralisasi: Dengan menempatkan lokus pengambilan keputusan pada unit yang paling dekat dengan kelompok sasaran, akan terwujud keputusan yang paling merefleksikan aspirasi dan kepentingan objektif masyarakat miskin. Apabila pusat pelayanan masyarakat termasuk pelayanan pemerintah berada jauh dari lokasi kelompok sasaran masyarakat miskin, maka diperlukan upaya untuk mendekatkan pelayanan dan berada pada lingkungan masyarakat miskin tersebut.; 3. Strategi Integrasi Spatial: Dengan strategi ini, pengentasan kemiskinan dilakukan melalui perencanaan yang terintegrasi, yaitu antara rural dan urban, antara desa tertinggal dengan kota terdekat, antara desa terisolasi dengan kota kecamatan, dan seterusnya. Pemberdayaan masyarakat memerlukan kebijakan, komitmen, organisasi, program, serta pendekatan yang tepat. Lebih dari itu diperlukan juga suatu sikap yang tidak memperlakukan orang miskin hanya sebagai objek, tetapi sebagai subjek. Orang miskin bukanlah orang yang tidak memiliki apa pun, melainkan orang yang memiliki sesuatu walaupun hanya sedikit.

2.1.4. Kelompok Miskin, Lemah dan Tidakberdaya

Pengertian kemiskinan dari batasan yang digariskan oleh BPS dan Depsos dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak; 2. Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan poverty line atau batas kemiskinan poverty threshold. Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya; 3. Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntunan non-material yang diterima oleh seseorang. Secara luas kemiskinan meliputi kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk, kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat Suharto, 2004; 4. Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan; 5. Kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi: a modal produktif atau asset tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan, b sumber keuangan pekerjaan, kredit, c organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama koperasi, partai politik, organisasi sosial, d jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa, e pengetahuan dan keterampilan, dan f informasi yang berguna untuk kemajuan hidup Suharto, 2004. Menurut SMERU 2001, kemiskinan memiliki berbagai dimensi: 1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar pangan, sandang dan papan; 2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi.; 3. Tidak adanya jaminan masa depan karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga.; 4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal; 5. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam.; 6. Tidak dilibatkannya dalam kegiatan sosial masyarakat.; 7. Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan; 8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.; 9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial anak telantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil. Dari berbagai pendapat selajutnya Suharto 2004 mengembangkan beberapa indikator pemberdayaan, yang disebut sebagai empowerment index atau indeks pemberdayaan: i. Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk pergi ke luar rumah atau wilayah tempat tinggalnya, seperti ke pasar, fasilitas medis, rumah ibadah, ke rumah tetangga; ii. Kemampuan membeli komoditas „kecil’: kemampuan individu untuk membeli barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari beras, minyak tanah, minyak goreng, bumbu; kebutuhan dirinya minyak rambut, sabun mandi, rokok, bedak, sampo,dll; iii. Kemampuan membeli komoditas „besar’: kemampuan individu untuk membeli barang-barang sekunder atau tersier, iv. Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputuan rumah tangga: mampu membuat keputusan secara sendiri mapun bersama suamiistri mengenai keputusan- keputusan keluarga; v. Kebebasan relatif dari dominasi keluarga; vi. Kesadaran hukum dan politik; vii. Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes; vii. Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga: memiliki rumah, tanah, asset produktif, tabungan. Seseorang dianggap memiliki poin tinggi jika ia memiliki aspek-aspek tersebut secara sendiri atau terpisah dari pasangannya Tujuan utama pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan masyarakat miskin dan kelompok lemah lainnya. Mereka adalah kelompok yang pada umumnya kurang memiliki keberdayaan. Oleh karena itu, untuk melengkapi pemahaman mengenai pemberdayaan perlu diketahui konsep mengenai kelompok lemah dan ketidakberdayaan yang dialaminya. Beberapa kelompok yang dapat dikategorikan sebagai kelompok lemah atau tidak berdaya meliputi: i. Kelompok lemah secara struktural, baik lemah secara kelas, gender, maupun etnis; ii. Kelompok lemah khusus, seperti manula, anak- anak dan remaja, penyandang cacat, masyarakat terasing; iii. Kelompok lemah secara personal, yakni mereka yang mengalami masalah pribadi danatau keluarga; iv. Kelompok-kelompok tertentu yang mengalami diskriminasi dalam suatu masyarakat, seperti masyarakat kelas sosial ekonomi rendah, kelompok minoritas etnis, wanita, populasi lanjut usia, serta para penyandang cacat, adalah orang-orang yang mengalami ketidakberdayaan. Keadaan dan perilaku mereka yang berbeda dari „keumuman’ kerapkali dipandang sebagai „deviant’ penyimpang. Mereka seringkali kurang dihargai dan bahkan dicap sebagai orang yang malas, lemah, yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Padahal ketidakberdayaan mereka seringkali merupakan akibat dari adanya kekurangadilan dan diskriminasi dalam aspek-aspek kehidupan tertentu.

2.1.5. Faktor-Faktor Penyebab Ketidakberdayaan Masyarakat