Concept of community empowerment as land conflict resolution at The National Park of Mount of Halimun-Salak

(1)

KONSEP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

DALAM PENYELESAIAN KONFLIK LAHAN

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

WINDRA KURNIAWAN

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

B O G O R

2012


(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa Konsep Pemberdayaan Masyarakat Dalam Penyelesaian Konflik Lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan arahan komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukan rujukkannya dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk meraih gelar pada program sejenisnya dan Perguruan Tinggi lain.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Januari 2012

Windra Kurniawan NRP. P062034281


(3)

ABSTRACT

WINDRA KURNIAWAN. Concept of Community Empowerment as Land Conflict Resolution at The National Park of Mount of Halimun-Salak. Under Supervision of CECEP KUSMANA, SAMBAS BASUNI, ARIS MUNANDAR and HIKMAT RAMDAN.

Gunung Halimun Salak National Park (TNGHS) is a conservation area in West Java and Banten Provinces, has an important role in supporting community life and protecting surrounding ecosystems. One of crucial issues in the management of sustainable TNGHS are land use conflicts associated with spatial policies of the surrounding regencies and community land uses within the national park. The purpose of this research are : (a) to analyze problems of spatial planning of surrounding regencies with the national park zones; (b) to analyse institutions of management and use of TNGHS’s resources; and (c) to formulate the concept of community empowerment in resolving land use conflicts in the region of TNGHS. The discrepancy between the spatial plan of Lebak, Bogor, and Sukabumi as regencies surrounding the national park and the TNGHS zones has potential conflicts in landuses. Due to unsyncronized landuse between the TNGHS and the spatial plan of surrounding regencies has impacts to communities who live in the TNGHS. The local regencies legally are not be budgeted to supports their communities although the area which people lived is still pointed as economic regions according to the regency spatial planning. Recommendation to resolve land conflicts in the TNGHS are : (a) to harmonize TNGHS zone with the regencie spatial plan around the park; and (b) to perform community empowerment that will encourage the development potential of national parks in accordance with its function as a conservation area.The concept of community empowerment is the empowerment of communities that can be developed collaboratively conducted in zones that allow limited economic activity. The pattern of collaboration will be effective if conflict spatial policy between the Ministry of Forestry and the three regencies could be solved.

.


(4)

WINDRA KURNIAWAN. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Penyelesaian Konflik Lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Di bawah bimbingan CECEP KUSMANA, SAMBAS BASUNI, ARIS MUNANDAR dan HIKMAT RAMDAN.

Taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam. Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang berada di Provinsi Jawa Barat merupakan taman nasional yang memberikan nilai manfaat bagi kehidupan masyarakat dan perlindungan ekosistem di sekitarnya. Salah satu permasalahan dalam pengelolaan TNGHS adalah masih adanya potensi konflik pemanfaatan lahan oleh masyarakat dan kebijakan tata ruang kabupaten di sekitar TNGHS dengan zonasi kawasan TNGHS.

Penelitian ini bertujuan untuk : (a) menganalisis permasalahan tataruang wilayah kabupaten dengan kawasan TNGHS; (b) menganalisis kelembagaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya TNGHS; serta (c) merumuskan konsep pemberdayaan masyarakat dalam menyelesaikan konflik pemanfaatan lahan di kawasan TNGHS.

Analisis spasial konflik ruang dan pemanfaatan lahan dalam kawasan TNGHS yang dilakukan difokuskan untuk menganalisis seberapa luas ketidaksesuaian antara tata ruang Kabupaten Lebak, Bogor, dan Sukabumi dengan batas dan zonasi TNGHS. Kebijakan tata ruang Kabupaten Lebak, Bogor, dan Sukabumi yang ditetapkan menurut RTRWK masing-masing kabupaten dengan kebijakan ruang dalam wilayah kelola TNGHS berpotensi menjadi konflik lahan dalam TNGHS. Tentu saja kondisi ini akan berdampak terhadap kehidupan masyarakat yang ada di dalam TNGHS yang telah lama mendiami kawasan tersebut sebelum kawasan konservasi tersebut ditetapkan dan diperluas. Upaya mengatasi konflik lahan tersebut tentunya tidak dapat dilakukan secara represif karena dapat memicu konflik sosial yang lebih besar, di sisi lain upaya pengelola TNGHS untuk mengelola kawasan tersebut sebagai kawasan konservasi yang berkelanjutan harus tetap dijalankan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan karakteristik sosial dan ekonominya dengan tetap memperhatikan fungsi TNGHS sebagai kawasan konservasi.

Hasil analisi spasial yang dilakukan menunjukkan bahwa dari Kawasan TNGHS seluas 113.357 Ha, tingkat kesesuaian antara rencana tata ruang di wilayah Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Lebak dengan sistem kelola wilayah TNGHS menunjukkan seluas 62.489,7 Ha termasuk dalam kategori sesuai dan 50.869,3 Ha termasuk dalam kategori tidak sesuai. Lahan yang termasuk ke dalam kategori tidak sesuai yang merupakan sumber konflik lahan yang tersebar di Kabupaten Bogor seluas 1.395,3 Ha, Kabupaten Sukabumi seluas 3.023,7 Ha, dan Kabupaten Lebak seluas 46.450,2 Ha. Zona Kawasan Lindung pada RTRW Kabupaten Bogor seluas 1.322,5 Ha tidak sesuai dengan zonasi TNGHS. Wilayah yang diperuntukkan sebagai zona perkebunan atau tanaman tahunan seluas 72,9


(5)

Ha termasuk kategori tidak sesuai dengan zonasi Kawasan TNGHS. Zona yang diperuntukkan sebagai Kawasan Budidaya Hutan Produksi Terbatas merupakan zona terluas pada RTRW Kabupaten Sukabumi yang tidak sesuai dengan zonasi TNGHS, yaitu seluas 1.292,1 Ha. Begitu juga dengan wilayah yang telah ditetapkan sebagai Hutan Lindung pada RTRW Kabupaten Sukabumi seluas 558,7 Ha tidak sesuai dengan zonasi TNGHS. Zona-zona RTRW Kabupaten Sukabumi yang lainnya yang tidak sesuai dengan TNGHS seluruhnya mencapai luas 386,6 Ha di luar lahan enclave.

Ketidaksesuaian zonasi terluas terdapat pada Zona Rimba pada Kawasan TNGHS dengan Zona Kawasan Budidaya Hutan Produksi Terbatas pada zona tata ruang wilayah Kabupaten Sukabumi, yaitu seluas 1.017,6 Ha, sedangkan zonasi tataruang wilayah Kabupaten Lebak dan zonasi TNGHS terdapat ketidaksesuaian pada Zona Kawasan Tambang seluas 6.445,8 Ha.

Penunjukkan dan perluasan kawasan Gunung Halimun Salak sebagai taman nasional dinilai kurang memperhatikan kebijakan tata ruang Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Lebak, sehingga berpotensi konflik pemanfaatan ruang dan lahan. Akibat konflik kebijakan ruang tersebut menyebabkan masyarakat menjadi korban. Pihak TNGHS menilai bahwa keberadaan masyarakat dan lahan garapannya ilegal karena berada di kawasan hutan konservasi. Namun, masyarakat merasa bahwa keberadaannya tidak ilegal karena sudah tinggal jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai taman nasional dan merasa memiliki hak untuk mengakses sumberdaya alam yang ada di dalam TNGHS. Sikap masyarakat tersebut secara implisit didukung oleh kebijakan pemerintah kabupaten berdasarkan kebijakan tata ruang yang ditetapkannya.

Permasalahan konflik lahan di TNGHS menjadi kendala bagi pengelola TNGHS dan pemerintah kabupaten. Bagi pengelola TNGHS adanya berbagai aktifitas masyarakat dan pembangunan di kawasan tersebut menjadi kendala besar dalam mewujudkan pengelolaan kawasan konservasi yang berkelanjutan. Bagi pemerintah kabupaten menilai bahwa dengan ditetapkannya wilayah yang didiami masyarakat menjadi taman nasional tidak memungkinkan untuk mengalokasikan kegiatan pembangunan daerahnya di wilayah yang telah ditetapkan sebagai kawasan yang dikelola UPT Pusat (Kementerian Kehutanan) karena akan dinilai melanggar ketentuan perencanaan pembangunan dan sistem anggaran daerah yang tidak memperbolehkan mengalokasikan kegiatan dan anggaran di wilayah kerja yang dibiayai APBN.

Akibat tidak sinkronnya kebijakan ruang tersebut menyebabkan kegiatan pembangunan masyarakat di wilayah tersebut sangat kecil karena tidak dapat dianggarkan walaupun kebijakan tata ruangnya masih menunjuk kawasan tersebut dapat dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi. Untuk menyelesaikan konflik lahan di TNGHS perlu langkah-langkah penyelesaian sebagai berikut: (1) Melakukan proses paduserasi ruang antara Kementerian Kehutanan dengan Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Lebak untuk mendapatkan kepastian hukum kawasan dan tata ruang kabupaten yang tidak tumpang tindih, (2) Melakukan pemberdayaan masyarakat yang diarahkan untuk mendorong pengembangan potensi taman nasional sesuai dengan fungsinya sebagai kawasan konservasi.

Konsep pemberdayaan masyarakat yang dapat dikembangkan adalah pemberdayaan masyarakat secara kolaboratif yang dilakukan pada zona-zona yang memungkinkan kegiatan ekonomi terbatas. Pola kolaborasi akan efektif


(6)

mungkin dapat dilakukan antara pengelola TNGHS dengan masyarakat, adapun pemerintah kabupaten karena terkendala dengan aturan penganggaran tidak bisa terlibat secara langsung.

Kata Kunci : Taman nasional, konflik pemanfaatan lahan, pemberdayaan kolaboratif


(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritikan atau tujuan suatu masalah, dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

WINDRA KURNIAWAN

DISERTASI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

B O G O R

2012


(9)

Penguji luar komisi pada: Ujian Tertutup

Tanggal : 12 Januari 2012

1. 1. Dr. Ir. Agus Hikmat, M.FCF.

Staf pengajar di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB).

2. Dr. Ir. Omo Rusdina, M.Sc.

Staf pengajar di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB)

Ujian Terbuka

Tanggal : 19 Januari 2012

Dr. Ir. Rinekso Sukmadi, M.Sc.

Staf pengajar di Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB).

2. Dr. Ir. Herwarsono Sudidjo, M.Si.

Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).


(10)

Nama Mahasiswa : Windra Kurniawan Nomor Pokok : P.062034281

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. H. Cecep Kusmana, MS Prof. Dr. Ir. H. Sambas Basuni, MS

Ketua Anggota

Dr. Ir. H. Aris Munandar, MS Dr. Ir. Hikmat Ramdan, MSi

Anggota Anggota

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dekan

Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. H. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(11)

i

PRAKATA

Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan taman nasional yang berada di Provinsi Jawa Barat yang memiliki nilai penting dalam menyangga kehidupan masyarakat dan perlindungan ekosistem di sekitarnya. Namun demikian di dalam pengelolaannya permasalahan konflik pemanfaatan lahan menjadi masalah penting yang dapat menghambat tujuan pengelolaan TNGHS sebagai kawasan hutan konservasi yang berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan : (a) menganalisis permasalahan tataruang wilayah kabupaten dengan kawasan TNGHS; (b) menganalisis kelembagaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya TNGHS; serta (c) merumuskan konsep pemberdayaan masyarakat dalam menyelesaikan konflik pemanfaatan lahan di kawasan TNGHS.

Dengan terselesaikannnya disertasi yang berjudulKonsep Pemberdayaan Masyarakat Dalam Penyelesaian Konflik Lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak ini, maka dengan penuh kerendahan hati Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Komisi pembimbing Prof. Dr. Ir. H. Cecep Kusmana, MS., Prof. Dr. Ir. H. Sambas Basuni, MS., Dr. Ir. H. Aris Munandar, MS., dan Dr. Ir. Hikmat Ramdan, MSi yang telah memberikan arahan, bimbingan, saran dan perhatian dalam menyelesaikan Disertasi ini.

2. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr., selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, serta jajaran staff yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam kelancaran studi.

3. Prof. Dr. Ir. H. Cecep Kusmana, MS., sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, serta para staf dan dosen di Program Studi PSL dan Sekolah Pascasarjana IPB atas bekal ilmu, arahan dan segala masukkan yang diberikan guna menyusun Disertasi ini.

4. Dr. Ir. Omo Rosdiana dan Dr. Ir. Agus Hikmat, selaku penguji ujian tertutup, atas saran dan kritik dalam perbaikan sehingga Disertasi ini menjadi lebih baik.


(12)

5. Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc. dan Dr. Ir. Herwasono Sudidjo, M.Si., selaku penguji ujian terbuka, atas saran dan kritik dalam perbaikan sehingga Disertasi ini menjadi lebih baik.

6. Ayahanda Drs. K. Sabur dan Ibunda tercinta Ade Ruchyati serta seluruh keluarga atas motivasi, do’a dan kasih sayangnya.

7. Ananda Ahura Danish Sulaiman yang paling saya sayangi atas perhatian, pengertian, pengorbanan yang tulus serta semangat dan do’a yang selalu diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan Disertasi ini. 8. Semua pihak yang tak dapat disebutkan namanya yang telah banyak

membantu memberikan dukungan dan bantuan baik moril maupun meterial dalam penyelesaian studi ini.

Penulis berdo’a kepada Allah SWT semoga pengorbanan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis diberkati oleh-Nya serta semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin.

Bogor, Januari 2012


(13)

iii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 18 Agustus 1973 dari Ayah Drs. K. Sabur dan Ibu Ade Ruchyati. Penulis merupakan putera kedua dari tiga bersaudara.

Pendidikan penulis dimulai dengan memasuki Sekolah Dasar pada tahun 1980 di Sekolah Dasar Pengadilan Negeri II Bogor, dan lulus tahun 1986. Lulus Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Bogor pada tahun 1989, lulus Sekolah Menengah Atas Negeri 4 Bogor pada tahun 1992. Pada tahun 1998 memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Universitas Trisakti di Jakarta, dan pada tahun 2001 memperoleh gelar Magister Management Agiribisnis (MM) dari Intitut Pertanian Bogor. Pada tahun 2003 penulis mengikuti Program Doktor (S3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis bekerja di Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Bogor Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kementerian Pertanian pada tahun 2001 sampai tahun 2011. Pada pertengahan tahun 2011 sampai sekarang, penulis bekerja di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Bogor.

Bogor, Januari 2012


(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ...viii

DAFTAR LAMPIRAN... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar belakang ... 1

1.2. Kerangka Pemikiran... 5

1.3. Perumusan Masalah ... 7

1.4. Tujuan Penelitian ... 8

1.5. Manfaat Penelitian ... 9

1.6. Novelty(Kebaruan) ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Taman Nasional dan Konflik Pemanfaatan Lahan ... 10

2.2. Pemberdayaan Masyarakat... 19

2.2.1. Dimensi dan Permasalahan dalam Pemberdayaan... 22

2.2.2. Sasaran Pemberdayaan... 23

2.2.3. Metoda dan Strategi Pemberdayaan ... 25

2.2.4. Bentuk Pemberdayaan yang Pernah Dilakukan di Daerah Penyangga TNGHS ... 27

2.3. Analisis Manajemen Kelembagaan... 32

2.3.1. Model Analisis Oakerson ... 32

2.3.2. Model Analisis Kelembagaan dari Wade, Ostrom serta Baldand dan Platteau... 34

2.4. Konflik Pemanfaatan Lahan... 49

III. METODE PENELITIAN ... 52

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian... 52

3.1.1. Lokasi Penelitian ... 52

3.1.2. Waktu Penelitian... 52

3.2. Sumber Data, Aspek Penelitian dan Kegunaannya ... 52

3.3. Metode Pengumpulan Data dan Pengukuran Peubah ... 53

3.4. Metode Analisis ... 57

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 59

4.1. Kondisi Umum TNGHS... 59

4.2. Sistem Tenurial... 60

4.3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar TNGHS ... 61

4.3.1. Karakteristik Penduduk... 61

4.3.2. Ketenagakerjaan ... 64

4.3.3. Pendidikan ... 65


(15)

v

4.3.5. Penggunaan Lahan... 68

4.3.6. Aktivitas Masyarakat terhadap TNGHS ... 69

4.4. Persepsi Masyarakat terhadap Taman Nasional ... 71

4.5. Jenis Sumberdaya TNGHS dan Pemanfaatannya... 72

4.6. Sistem Kelembagaan... 73

4.6.1. Karakteristik Sistem Sumberdaya ... 73

4.6.2. Karakteristik Organisasi... 75

4.6.3. Pengaturan Kelembagaan... 81

4.6.4. Lingkungan Eksternal ... 83

4.7. Perbandingan Karakteristik Responden antara Lokasi Penelitian ... 86

4.8. Hubungan antara Karakteristik Masyarakat dengan Sikap Masyarakat terhadap Taman Nasional Gunung Halimun Salak ... 87

4.9. Hubungan antara Pendapatan Masyarakat dengan Sikap Masyarakat terhadap Taman Nasional Gunung Halimun Salak ... 88

4.10. Hubungan antara Kepemilikan Lahan dengan Sikap Masyarakat terhadap Taman Nasional Gunung Halimun Salak ... 89

4.11. Analisis Spasial Tataruang Wilayah Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Lebak dengan Wilayah Kelola TNGHS... 91

4.12. Konflik Pemanfaatan Lahan ... 102

4.13. Konsep Pemberdayaan Masyarakat ... 104

VII. KESIMPULAN DAN SARAN... 114

7.1. Kesimpulan... 114

7.2. Saran ... 115

DAFTAR PUSTAKA ... 117


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Penyebaran Taman Nasional di Indonesia ... 10

Tabel 2. Penelitian Pemberdayaan Masyarakat yang Pernah Dilakukan ... 21

Tabel 3. Sumber Data, Aspek Penelitian dan Kegunaannya ... 53

Tabel 4. Peubah, Indikator dan Satuan Pengukuran ... 54

Tabel 5. Jumlah Responden Pakar ... 57

Tabel 6. Sistem Tenurial di Lokasi Studi ... 61

Tabel 7. Sebaran Responden Berdasarkan Kegiatan, Kesadaran Pelestarian dan Pengelolaan TNGHS ... 70

Tabel 8. Sebaran Responden Berdasarkan Sikap Responden terhadap Taman Nasional... 71

Tabel 9. Analisis Deskriptif Karakteristik Sumberdaya Lahan ... 75

Tabel 10. Analisis Deskriptif Komponen Kelembagaan... 77

Tabel 11. Sebaran Responden Berdasarkan Karakteristik Aturan... 78

Tabel 12. Sebaran Responden Berdasarkan Hubungan antara Karakteristik Sistem Sumberdaya dan Karakteristik Kelembagaan... 80

Tabel 13. Sebaran Responden Berdasarkan Pengaturan Kelembagaan ... 83

Tabel 14. Analisis Deskriptif Komponen Lingkungan Eskternal... 85

Tabel 15. Sebaran Responden Berdasarkan Kendala dan Penerapan Teknologi ... 86

Tabel 16. Hasil Uji Beda Karakteristik Responden ... 87

Tabel 17. Hubungan antara Umur dengan Sikap Masyarakat terhadap Taman Nasional... 88

Tabel 18. Hubungan antara Pendapatan dengan Sikap Masyarakat terhadap Taman Nasional ... 89

Tabel 19. Hubungan antara Lama Kepemilikan Lahan dengan Sikap Masyarakat terhadap Taman Nasional... 90

Tabel 20. Hubungan antara Luas Penguasaan Lahan dengan Sikap Masyarakat terhadap Taman Nasional... 90

Tabel 21. Luas Zona Taman Nasional Gunung Halimun Salak Menurut TNGHS ... 91

Tabel 22. Luas Zona Tataruang Wilayah Kabupaten Bogor di dalam Kawasan TNGHS ... 93

Tabel 23. Luas Zona Tataruang Wilayah Kabupaten Sukabumi di dalam Kawasan TNGHS ... 94


(17)

vii

Tabel 24. Luas Zona Tataruang Wilayah Kabupaten Lebak di dalam

Kawasan TNGHS ... 95 Tabel 25. Tingkat Kesesuaian Zonasi Rencana Tata Ruang Wilayah

Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Lebak dalam Wilayah Kelola TNGHS Berdasarkan Aspek Legal (Kebijakan Pola

Ruang)... 98 Tabel 26. Kategori Kesesuaian Zonasi Pengelolaan Kawasan TNGHS

dengan Rencana Tataruang Wilayah Kabupaten Bogor,

Sukabumi, dan Lebak Menurut Kecamatan ... 99 Tabel 27. Rincian Zonasi Kawasan TNGHS pada Kategori Tidak Sesuai

Zona Tataruang Wilayah Kabupaten Sukabumi Berdasarkan

Aspek Legal (Kebijakan Pola Ruang) ... 100 Tabel 28. Rincian Zonasi Kawasan TNGHS pada Kategori Tidak Sesuai

Zona Tataruang Wilayah Kabupaten Lebak Berdasarkan Aspek Legal (Kebijakan Pola Ruang) ... 101 Tabel 29. Konsep Pemberdayaan Masyarakat dalam Kawasan Berpotensi


(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 7

Gambar 2.Model Oakerson untuk Analisis Kelembagaan ... 33

Gambar 3.Kerangka Penarikan Lokasi dan Sampel Penelitian ... 56

Gambar 4. Ilustrasi Proses Analisis SIG dengan Metode Clips... 58

Gambar 5. Peta Lokasi Studi ... 60

Gambar 6. Jumlah Penduduk di Lokasi Penelitian ... 62

Gambar 7. Sebaran Responden Berdasarkan Kategori Usia ... 63

Gambar 8. Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga... 63

Gambar 9. Sebaran Responden Berdasarkan Pekerjaan Pokok ... 64

Gambar 10. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan... 66

Gambar 11. Sebaran Responden Berdasarkan Kategori Tingkat Pendapatan... 67

Gambar 12. Sebaran Responden Berdasarkan Penguasaan Lahan ... 68

Gambar 13. Jenis Sumberdaya TNGHS dan Pemanfaatannya ... 72

Gambar 14. Sebaran Responden Berdasarkan Karakteristik Sistem Sumberdaya ... 73

Gambar 15. Sebaran Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Sumberdaya/ Lahan yang Digunakan... 74

Gambar 16. Sebaran Responden Berdasarkan Karakteristik Kelembagaan... 77

Gambar 17. Sebaran Responden Berdasarkan Hubungan antara Karakteristik Sistem Sumberdaya dan Karakteristik Organisasi ... 79

Gambar 18. Sebaran Responden Berdasarkan Pengaturan Kelembagaan... 82

Gambar 19. Sebaran Responden Berdasarkan Lingkungan Eksternal Teknologi ... 84

Gambar 20. Sebaran Responden Berdasarkan Lingkungan Eksternal Negara... 85

Gambar 21. Peta Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) ... 92

Gambar 22.Peta Potensi Konflik di Wilayah Kelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) ... 96

Gambar 23.Grafik Luas Tingkat Kesesuaian Tataruang Wilayah Tiga Kabupaten dengan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak... 97


(19)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner Penelitian... 123 Lampiran 2. Peta Wilayah Administrasi di Sekitar Taman Nasional

Gunung Halimun Salak ... 129 Lampiran 3. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Kabupaten Bogor ... 130 Lampiran 4. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Kabupaten Sukabumi ... 131 Lampiran 5. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Kabupaten Lebak ... 132 Lampiran 6. Peta RTRW Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Lebak

di Dalam Taman Nasional Gunung Halimun Salak

(TNGHS) ... 133 Lampiran 7. Peta Pola Ruang Wilayah Kabupaten Bogor, Sukabumi,

dan Lebak dalam Wilayah Kelola TNGHS ... 134 Lampiran 8. Peta Kesesuaian Tata Ruang Wilayah Kabupaten

dengan Wilayah Kelola Taman Nasional


(20)

1.1. Latar belakang

Sumberdaya hutan merupakan sumberdaya alam yang memiliki beragam nilai manfaat sebagai penyangga kehidupan masyarakat dan makhluk hidup lainnya. Nilai manfaat tersebut tidak hanya berupa nilai manfaat ekonomi yang menunjang langsung kehidupan ekonomi masyarakat dan usaha ekonomi lainnya, tetapi memiliki nilai ekologis dalam menyediakan jasa lingkungan seperti penyediaan air, pengatur iklim, penyerapan karbon, habitat hidupan liar, dan sebagainya. Salah satu kawasan hutan yang berperan penting dalam menyediakan manfaat jasa lingkungan tersebut adalah kawasan hutan konservasi, yaitu kawasan hutan negara dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Di dalam kategori kawasan hutan konservasi terdapat taman nasional (TN) yang merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam. Taman nasional yang dikelola dengan baik memberikan manfaat lainnya, seperti peningkatan nilai ekonomi masyarakat seperti dari wisata alam, menjaga keseimbangan ekosistem di wilayah sekitarnya, serta menjadi jaminan masa depan keanekaragaman sumberdaya hayati untuk dimanfaatkan saat ini dan masa depan.

Pemerintah Indonesia memberikan perhatian serius dalam pengelolaan hutan konservasi, bahkan sejak tahun 1889 Pemerintah Hindia Belanda telah menetapkan Cagar Alam Cibodas di Provinsi Jawa Barat untuk melindungi salah satu hutan pegunungan di Pulau Jawa. Sampai tahun 2011 jumlah taman nasional di Indonesia mencapai 50 buah, yaitu 12 TN berada di Pulau Sumatera, 12 TN berada di Pulau Jawa, 8 TN berada di Pulau Kalimantan, 8 TN berada di Pulau Sulawesi, 6 TN berada di Bali dan Nusa Tenggara, serta 5 TN berada di Maluku dan Papua. Salah satu TN yang berada di Pulau Jawa adalah Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).


(21)

2

Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang memiliki luas 113.357 ha berdasarkan Surat Penunjukan Menteri Kehutanan No 175/Kpts-II/2003 memiliki peranan penting dalam perlindungan hutan hujan dataran rendah dan sebagai wilayah tangkapan air bagi kabupaten-kabupaten di sekelilingnya. Wilayah TNGHS dengan kondisi yang bergunung-gunung, dua puncaknya yang tertinggi adalah Gunung Halimun (1.929 m dpl) dan Gunung Salak (2.211 m dpl) memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, dengan keberadaan beberapa jenis fauna penting yang dilindungi seperti elang jawa (Spizaetus bartelsii), macan tutul jawa (Panthera pardus javanensis), owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata) dan lain-lain.

Kawasan TNGHS dan sekitarnya ini juga merupakan tempat tinggal beberapa kelompok masyarakat adat, yaitu masyarakat adat Kasepuhan yang secara historis penyebarannya terpusat di Kampung Urug, Citorek, Bayah, Ciptamulya, Cicarucub, Cisungsang, Sirnaresmi, Ciptagelar dan Cisitu. Masyarakat Kasepuhan memiliki lembaga adat yang terpisah dari struktur administrasi pemerintahan formal (Desa). Masyarakat Kasepuhan memiliki kearifan tradisional dalam pemanfaatan dan konservasi hutan, melalui pembagian wilayah berhutan berdasarkan intensitas pemanfaatan dan tingkat perlindungannya, yaitu:leuweung titipan(hutan titipan),leuweung tutupan(hutan tutupan) dan leuweung sampalan(hutan bukaan). Mereka memiliki pengetahuan etnobotani dan menggunakan tanaman atau tumbuh-tumbuhan di sekitar mereka berdasarkan pengetahuan tersebut, serta mempertahankan pola pertanian yang mampu melestarikan sumberdaya genetik padi (Oryza sativa) lokal (Balai TNGHS, 2006).

Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) ditunjuk tanggal 26 Februari 1992 berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 282/Kpts-II/1992 luasnya 40.000 Ha yang sebelumnya merupakan Cagar Alam Gunung Halimun yang dilanjutkan dengan penetapan organisasi pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) dengan nama Balai Taman Nasional Gunung Halimun terdiri dari tiga seksi wilayah yaitu Sukabumi, Bogor dan Lebak melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 185/Kpts-II/1997.


(22)

Pada tahun 2003, Pemerintah menetapkan penambahan luas Taman Nasional Gunung Halimun menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak menjadi seluas 113.357 Ha berdasarkan Surat Penunjukan Menteri Kehutanan No 175/Kpts-II/2003 tanggal 10 juni 2003, yaitu dengan memasukkan Hutan Lindung dan Hutan Produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani KPH Bogor, Sukabumi dan Lebak.

Wilayah kerja Balai TNGHS terletak dalam 28 kecamatan, dimana 9 kecamatan di Kabupaten Bogor, 8 kecamatan di Kabupaten Sukabumi dan 11 kecamatan di Kabupaten Lebak. Secara keseluruhan terdapat 108 desa yang sebagian/seluruh wilayahnya merupakan kawasan TNGHS.

Berdasarkan data Balai TNGHS (2006), jumlah penduduk dari 108 desa-desa TNGHS terdiri dari: 155.345 jiwa di Kabupaten Sukabumi (Tahun 2006), 296.138 jiwa di Kabupaten Bogor (Tahun 2005) dan 154.892 jiwa di Kabupaten Lebak (Tahun 2005). Berdasarkan survey kampung yang dilakukan oleh GHSNP MP-JICA pada tahun 2005 dan 2007, tercatat ada 348 kampung yang berada di dalam kawasan TNGHS.

Kemampuan ekonomi masyarakat sekitar TNGHS relatif rendah, walaupun sebagian besar tidak termasuk dalam kategori rumah tangga miskin (RTM). Degradasi ekosistem hutan banyak terjadi di dalam dan sekitar kawasan TNGHS dan diduga terkait erat dengan rendahnya kemampuan ekonomi masyarakat (Balai TNGHS, 2006). Secara umum jumlah RTM di dalam dan di sekitar TNGHS dalam wilayah Kabupaten Sukabumi berjumlah 15.699 RTM atau 10% dari jumlah RT (data tahun 2006, tidak termasuk Desa Cianaga), sementara di Kabupaten Bogor berjumlah 29.718 RTM atau10 % dari jumlah RT (data tahun 2005), sedangkan di Kabupaten Lebak berjumlah 22.696 RTM atau 15 % dari jumlah RT (data tahun 2005, tidak termasuk desa Wangun Jaya).

Berbagai bentuk pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan TNGHS umumnya telah berlangsung sejak sebelum ditetapkannya kawasan tersebut sebagai taman nasional. Beberapa kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam di TNGHS yang penting, antara lain: pemanfaatan lahan untuk pemukiman, budidaya pertanian, penambangan (emas, panas bumi, dan galena), pembangunan infrastruktur (jaringan listrik, jalan kabupaten dan provinsi, serta pusat


(23)

4

pemerintahan desa) dan pemanfaatan hasil hutan di dalam kawasan TNGHS (Balai TNGHS, 2006). Balai TNGHS (2006) menyebutkan bahwa kerusakan ekosistem di TNGHS disebabkan oleh berbagai kegiatan antara lain kegiatan ilegal dan bencana alam. Kegiatan ilegal yang terjadi adalah penambangan emas tanpa ijin, penebangan liar, perburuan satwaliar dan eksploitasi flora yang bernilai ekonomi tinggi, serta perambahan terkait perluasan pemanfaatan lahan untuk pemukiman, lahan pertanian, dan kebutuhan lainnya.

Menurut Balai TNGHS (2006), beberapa kasus longsor dan banjir di kawasan TNGHS dilaporkan mempunyai kaitan erat dengan aktivitas penambangan emas dan penebangan liar. Selain kegiatan yang berkaitan dengan masyarakat, di dalam kawasan TNGHS terdapat dua perusahaan tambang yang beroperasi yaitu PT. Aneka Tambang dan PT. Chevron Geothermal Salak. PT. Aneka Tambang melakukan penambangan emas di Cikidang (Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak) dan Gunung Pongkor (Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor), sedangkan PT. Chevron Geothermal Salak melakukan penambangan panas bumi di kawasan Gunung Salak. Kedua perusahaan pertambangan tersebut mendapatkan ijin pinjam pakai kawasan sebelum alih fungsi hutan lindung dan hutan produksi menjadi hutan konservasi (TNGHS). Kawasan TNGHS dikelilingi pula oleh perusahaan perkebunan yaitu PT. Nirmala Agung, PTPN VIII Cianten, PTPN VIII Cisalak Baru, PT. Jayanegara, PT. Intan Hepta, PT. Yanita Indonesia, PT Salak Utama, PT. Baros Cicareuh, PT. Hevea Indonesia (HEVINDO) dan PT Pasir Madang. Selain itu, di sekitar kawasan TNGHS juga terdapat banyak perusahaan pengguna air, yaitu: industri air minum dalam kemasan, PDAM, industri makanan-minuman, pertambangan, perkebunan, peternakan, industri garmen, industri elektronik dan berbagai industri lainnya yang sumber mata airnya sangat dipengaruhi oleh keadaan ekosistem di dalam kawasan TNGHS (Balai TNGHS, 2006).

Pengelolaan kawasan konservasi tidak akan terlepas dari masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu masyarakat sangat penting untuk dilibatkan di dalam suatu sistem pengelolaan kawasan konservasi. Pembangunan kawasan konservasi diarahkan kepada pemanfaatan multi fungsi, dengan memperhatikan aspek


(24)

lingkungan, ekonomi, sosial dan ekologi, serta melibatkan dan mengutamakan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan hutan.

Konflik antara pemanfaatan lahan oleh masyarakat dengan sistem pengelolaan taman nasional sebagai kawasan konservasi dengan pemanfaatan yang terbatas merupakan permasalahan utama di dalam pengelolaan TNGHS. Dengan tingginya kegiatan masyarakat dalam kawasan TNGHS yang sudah berlangsung sejak kawasan konservasi tersebut belum ditetapkan sebagai taman nasional, maka konsep pemberdayaan masyarakat yang sesuai untuk menyelesaikan masalah tersebut perlu dikaji.

1.2. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 1. Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) sebagai kawasan konservasi dalam pengelolaannya dibagi ke dalam sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona rimba, dan zona pemanfaatan. Kawasan TNGHS secara administratif berada di tiga kabupaten di Provinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten Lebak, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Bogor. Masing-masing kabupaten tersebut di dalam pengaturan ruangnya mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) yang secara hukum dipayungi oleh peraturan daerah masing-masing kabupaten. Di dalam RTRWK tersebut diatur berbagai rencana penggunaan lahan baik yang mengatur kawasan lindung dan kawasan budidaya. Pola dan struktur ruang di dalam RTRWK idealnya sama dengan sistem zonasi TNGHS yang telah ditetapkan Pemerintah yang dalam hal ini kewenangannya berada di bawah Kementerian Kehutanan. Namun di dalam kenyataannya batas kawasan konservasi TNGHS berikut zonasi pengelolaannya ternyata tidak semuanya sesuai, sehingga berpotensi menimbulkan konflik pemanfaatan ruang atau lahan antara pemerintah dengan pemerintah kabupaten dimana kawasan TNGHS tersebut secara administratif berada. Di sisi lain, di dalam kawasan TNGHS terdapat masyarakat yang telah lama menetap dan menggantungkan kehidupannya pada pemanfaatan lahan di dalam dan sekitar TNGHS jauh sebelum kawasan hutan konservasi tersebut ditetapkan sebagai taman nasional. Berbagai kegiatan pemanfaatan lahan oleh masyarakat di dalam wilayah kelola TNGHS yang tidak


(25)

6

sesuai dengan rencana zonasi TNGHS akan menyebabkan terganggunya ekosistem hutan. Akibat ketidaksesuaian alokasi pemanfaatan lahan antara kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah berdampak terhadap kehidupan masyarakat yang secara ekonomi umumnya termasuk dalam kelompok masyarakat miskin dengan tingkat pendapatan yang rendah. Konflik pemanfaatan lahan yang bersifat tiga pihak yaitu pengelola TNGHS, pemerintah daerah, dan masyarakat membutuhkan solusi yang komprehensif untuk memecahkannya, sehingga tujuan pengelolaan TNGHS sebagai taman nasional akan sejalan dengan dinamika sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar TNGHS, diantaranya dengan mengembangkan konsep pemberdayaan masyarakat sebagai solusi atas konflik pemanfaatan lahan di kawasan TNGHS tersebut. Oleh karena itu di dalam penelitian ini ada beberapa analisis yang akan dilaksanakan yaitu (a) analisis spasial untuk memetakan wilayah yang secara tidak sesuai antara zonasi TNGHS dengan RTRWK masing-masing kabupaten; serta (b) analisis kelembagaan masyarakat terkait dengan pengelolaan TNGHS sesuai dengan karakteristik sosial ekonomi termasuk di dalamnya pemanfaatan lahan oleh masyarakat di dalam dan sekitar taman nasional. Hasil dari analisis spasial yang dilakukan akan menunjukkan wilayah-wilayah mana yang diatur dalam RTRWK yang sesuai dan tidak sesuai dengan zonasi TNGHS. Wilayah-wilayah yang tidak sesuai antara kebijakan RTRWK dengan zonasi TNGHS dikaji lebih lanjut untuk dirumuskan konsep pemberdayaan masyarakatnya. Sintesis dari analisis spasial dan analisis kelembagaan masyarakat tersebut diharapkan menjadi bahan dalam merumuskan konsep pemberdayaan masyarakat dalam penyelesaian konflik pemanfaatan lahan di kawasan TNGHS. Konsep pemberdayaan masyarakat yang dihasilkan disesuaikan dengan karakteristik sosial dan ekonomi masyarakat serta kelembagaannya dengan tetap memperhatikan fungsi TNGHS sebagai kawasan konservasi.


(26)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

1.3. Perumusan Masalah

Wilayah TNGHS pada jaman pemerintahan kolonial Belanda ditetapkan sebagai kawasan konservasi dengan status cagar alam. Dinas Kehutanan pemerintah kolonial Belanda dan Residen Belanda di Banten memiliki persepsi berbeda tentang status kawasan tersebut. Kehutanan menilai kawasan tersebut merupakan kawasan hutan, tetapi Residen Belanda di Banten menilai kawasan tersebut bukan kawasan hutan sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Konflik tersebut tidak dapat diselesaikan sampai penjajahan pemerintahan Belanda di Indonesia berakhir.

TAMAN NASIONAL GUNUNG

HALIMUN SALAK TATA RUANG KABUPATEN

PEMANFATAN LAHAN OLEH MASYARAKAT

KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI

ZONASI TAMAN NASIONAL (ZONA INTI, ZONA RIMBA,

ZONA PEMANFAATAN)

ALOKASI RUANG / PEMANFAATAN LAHAN

DALAM TNGHS

KETIDAKSESUAIAN ZONASI TNGHS DENGAN ALOKASI RUANG DAN PEMANFAATAN LAHAN

KONFLIK PEMANFAATAN LAHAN DALAM TNGHS

ANALISIS SPASIAL KONFLIK RUANG / PEMANFAATAN LAHAN DALAM

KAWASAN TNGHS

SESUAI

KESESUAIAN ZONASI DAN TATA RUANG

TIDAK SESUAI

KONSEP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENYELESAIAN KONFLIK LAHAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

ANALISIS KELEMBAGAAN


(27)

8

Konflik akibat pemanfaatan lahan di TNGHS terus berkembang sejalan dengan diperluasnya kawasan tersebut pada tahun 2003 berdasarkan Surat Penunjukan Menteri Kehutanan No 175/Kpts-II/2003 tanggal 10 juni 2003 tentang perluasan dan perubahan status TNGHS. Hal ini dikarenakan masih terdapat ratusan ribu orang yang berada di dalam kawasan TNGHS dan berdasarkan data TNGHS (2006) terdiri dari 155.345 jiwa di Kabupaten Sukabumi (Tahun 2006), 296.138 jiwa di Kabupaten Bogor (Tahun 2005) dan 154.892 jiwa di Kabupaten Lebak (Tahun 2005) yang mendiami 348 kampung. Ketergantungan penduduk terhadap sumberdaya lahan di kawasan TNGHS tersebut sangatlah tinggi yang dicirikan oleh beragamnya pola pemanfaatan lahan di dalam TNGHS tersebut, seperti pertanian lahan kering, sawah, pertambangan, permukiman, dan sebagainya dengan berbagai fasilitas fisik wilayah yang telah berkembang sejak lama. Perkembangan pemanfaatan lahan di kawasan tersebut berkaitan dengan kebijakan tata ruang Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Lebak yang belum seluruhnya sesuai dengan wilayah kelola TNGHS. Selain itu kondisi masyarakat di dalam TNGHS secara ekonomi umumnya tergolong miskin, sehingga perlu upaya-upaya peningkatan ekonominya. Namun dengan masih tidak sinkronnya antara tata ruang kabupaten dengan TNGHS menjadi kendala terkait program peningkatan ekonomi masyarakat, dimana program pembangunan masyarakat pemerintah kabupaten sulit dilakukan di wilayah yang pengelolaannya dilakukan oleh UPT Kementerian Kehutanan. Oleh karena itu pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah :

1) Bagaimana permasalahan ruang antara tata ruang wilayah Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Lebak dengan kawasan kelola TNGHS ?

2) Bagaimana konsep pemberdayaan masyarakat yang dapat dirumuskan untuk menyelesaikan konflik pemanfaatan lahan di kawasan TNGHS tersebut ?

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1) Menganalisis permasalahan tataruang wilayah kabupaten dengan kawasan TNGHS;


(28)

2) Menganalisis kelembagaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya TNGHS;

3) Merumuskan konsep pemberdayaan masyarakat dalam menyelesaikan konflik pemanfaatan lahan di kawasan TNGHS.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1) Memberikan solusi bagi pengelola TNGHS, pemerintah kabupaten, serta masyarakat dalam menyelesaikan konflik pemanfaatan lahan di kawasan TNGHS berbasis pemberdayaan masyarakat;

2) Memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama penyelesaian konflik lahan melalui pendekatan analisis spasial yang terintegrasi dengan kebijakan tata ruang dan pemberdayaan masyarakat.

1.6. Novelty(Kebaruan)

Kebaruan dalam penelitian ini adalah dari aspek hasil penelitian bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan bagian dan dasar solusi konflik pemanfaatan lahan di dalam kawasan konservasi TNGHS.


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Taman Nasional dan Konflik Pemanfaatan Lahan

Taman nasional (TN) merupakan salah satu bentuk kawasan pelestarian alam (KPA) selain taman wisata alam (TWA) dan taman hutan raya (TAHURA). Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya). Berdasarkan data Kementerian Kehutanan (2011), bahwa sampai tahun 2011, jumlah taman nasional di Indonesia mencapai 50 buah, yang selengkapnya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Penyebaran Taman Nasional di Indonesia

Lokasi Taman Nasional Nama Taman Nasional

Pulau Sumatera 1. Gunung Leuser (Cagar Biosfir dan World Heritage Sites) 2. Siberut (Cagar Biosfir)

3. Kerinci Seblat ((World Heritage Sites) 4. Bukit Tigapuluh

5. Bukit Duabelas 6. Berbak (Ramsar Sites) 7. Sembilang

8. Bukit Barisan Selatan (World Heritage Sites) 9. Way Kambas

10. Batang Gadis 11. Tesso Nilo

Pulau Jawa 1. Ujung Kulon (World Heritage Sites) 2. Kepulauan Seribu

3. Gunung Halimun Salak

4. Gunung Gede Pangrango 5. Karimunjawa

6. Bromo Tengger Semeru 7. Meru Betiri

8. Baluran 9. Alas Purwo 10. Gunung Merapi 11. Gunung Merbabu 12. Gunung Ciremai Bali dan Nusa Tenggara 1. Bali Barat

2. Gunung Rinjani

3. Komodo ( Cagar Biosfir dan World Heritage Sites) 4. Manupeu Tanah Daru


(30)

Lokasi Taman Nasional Nama Taman Nasional

Bali dan Nusa Tenggara 6. Kelimutu Pulau Kalimantan 1. Gunung Palung

2. Danau Sentarum (Ramsar Sites) 3. Betung Kerihun

4. Bukit Baka-Bukit Raya 5. Tanjung Puting (Cagar Biosfir) 6. Kutai

7. Kayan Mentarang 8. Sebangau Pulau Sulawesi 1. Bunaken

2. Bogani Nani Wartabone 3. Lore Lindu (Cagar Biosfir) 4. Taka Bonerate

5. Rawa Aopa Watumohai 6. Wakatobi

7. Kepulauan Togean 8. Bantimurung-Bulusaraung Maluku dan Papua 1. Manusela

2. Aketajawe-Lolobata 3. Teluk Cendrawasih

4. Lorentz (World Heritage Sites) 5. Wasur

Pembentukan taman nasional pada awalnya dimulai dengan tujuan sebagai penyangga kawasan produktif sehingga keseimbangan ekologis dalam suatu wilayah regional tetap terjaga (Abbas, 2005). MacKinnon et.al (1992) menyebutkan beberapa prinsip dasar yang sering digunakan dalam menetapkan suatu kawasan sebagai taman nasional adalah (a) karakteristik atau keunikan ekosistem, (b) memiliki keanekaragaman spesies atau spesies khusus yang bernilai, (c) memiliki lanskap dengan ciri geofisik atau estetik yang bernilai; (d) berfungsi untuk melindungi hidroorologis; (e) memiliki sarana untuk kegiatan wisata atau rekreasi alam, (f) memiliki tempat peninggalan sejarah budaya yang tinggi.

Widada (2004) menyebutkan bahwa taman nasional secara umum memiliki peranaan sebagai wahana pengembangan ilmu pengetahuan, wahana pendidikan lingkungan, mendukung pengembangan budidaya tumbuhan dan penangkaran satwa, wahana kegiatan wisata alam, sumber plasma nutfah dan perlindungan keanekaragaman hayati tumbuhan dan satwa, serta pelestarian ekosistem hutan sebagai pengatur tata air, iklim mikro dan sumber air bagi masyarakat di sekitar kawasan. Hartono (2008) menyebutkan kegiatan operasional pengelolaan taman nasional adalah sebagai berikut:


(31)

12

1) Perlindungan sistem penyangga kehidupan

Kegiatan ini merupakan semua upaya yang ditujukan agar semua proses-proses alami pada kawasan tersebut dapat berlangsung sebagaimana mestinya, dengan mengeliminir sampai tingkat seminimal mungkin aktivitas manusia yang dapat menimbulkan dampak, meliputi :

a) Pemberantasan penebangan liar dan perambahan kawasan; b) Pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan;

c) Pencegahan kegiatan perburuan;

d) Pencegahan berbagai aktivitas lain yang menimbulkan kerusakan; e) Pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.

2) Mempertahankan keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya

Kegiatan ini meliputi semua upaya yang ditujukan untuk mempertahankan keanekaragaman hayati pada kawasan yang bersangkutan. Kegiatan ini meliputi kegiatan :

a) Identifikasi dan inventarisasi flora dan fauna di dalam kawasan secara menyeluruh;

b) Identifkasikey featureskawasan;

c) Monitoring dinamikakey featureskawasan;

d) Monitoring dan evaluasi dampak aktivitas manusia terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistemnya;

e) Melakukan tindakan konservasi yang dibutuhkan untuk mencegah terjadinya

over populasi key features flora dan fauna (rehabilitasi, pembinaan habitat, pembinaan populasi, pembangunan koridor, dan lain-lain).

3) Pemanfaatan secara lestari

Kegiatan ini meliputi semua upaya yang dilakukan untuk memanfaatkan potensi kawasan dan ekosistemnya dengan dampak yang terukur dan terkendali. Kegiatan pokok ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

a) Identifikasi, pemanfaatan, dan pengaturan wisata alam secara berkelanjutan; b) Identifikasi, budidaya, dan pemanfaatan plasma nutfah;

c) Identifikasi dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada zona-zona tertentu; d) Identifikasi, pemanfaatan, dan pengaturan jasa lingkungan;


(32)

e) Media pendidikan, penelitian, bina cinta alam, dan pembinaan generasi muda. Lebih lanjut Hartono (2008) menyebutkan bahwa selain tiga tugas pokok tersebut, masing-masing pengelola taman nasional juga wajib melaksanakan tugas-tugas lain yang merupakan prasyarat (prerequisite) agar tiga tugas pokok tersebut dapat dilaksanakan secara optimal. Kegiatan yang bersifat prerequisite

tersebut adalah sebagai berikut :

1) Kegiatan pemantapan kelembagaan

Kegiatan ini meliputi semua kegiatan yang perlu dilakukan guna memperkuat kapasitas lembaga pengelola taman nasional sehingga mampu melaksanakan tugas pokok yang dibebankan yang meliputi :

a) Penyusunan pedoman dan petunjuk pelaksanaan kegiatan konservasi;

b) Pengaturan kesiapan, penempatan, dan pendayagunaan sumberdaya manusia; c) Sosialisasi dan penyuluhan peraturan perundangan;

d) Penyuluhan masyarakat;

e) Pembangunan/pengadaan, pemeliharaan sarana dan prasarana pengelolaan, termasuk infrastruktur wisata alam, pendidikan, dan penelitian;

f) Pengaturan dan administrasi keuangan.

2) Kegiatan pengelolaan kawasan

Kegiatan ini meliputi seluruh upaya yang dimaksudkan untuk memantapkan prakondisi pengelolaan di lapangan sehingga memungkinkan pengelola dapat melakukan tugas pokok secara sistematis dan berkesinambungan yang meliputi : a) Penataan dan pemeliharaan batas kawasan;

b) Penetapan dan penataan batas zonasi;

c) Penyusunan rencana-rencana pengelolaan kawasan; d) Monitoring dan evaluasi pengelolaan zonasi;

e) Pemasangan dan pemeliharaan rambu dan tanda-tanda.

Pengelolaan taman nasional menurut pemerintah berdasarkan Peraturan menteri Kehutanan No. P56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Naional, bahwa zona dalam kawasan taman nasional terdiri dari :

1. Zona inti;


(33)

14

3. Zona pemanfaatan; 4. Zona lain, antara lain:

a. Zona tradisional; b. Zona rehabilitasi;

c. Zona religi, budaya dan sejarah; d. Zona khusus.

Peruntukan masing-masing zona meliputi :

1. Zona inti untuk perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar, untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya.

2. Zona rimba untuk kegiatan pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan menunjang budidaya serta mendukung zona inti.

3. Zona pemanfaatan untuk pengembangan pariwisata alam dan rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfatan, kegiatan penunjang budidaya.

4. Zona tradisional untuk pemanfaatan potensi tertentu taman nasional oleh masyarakat setempat secara lestari melalui pengaturan pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.

5. Zona rehabilitasi untuk mengembalikan ekosistem kawasan yang rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya.

6. Zona religi, budaya dan sejarah untuk memperlihatkan dan melindungi nilai-nilai hasiI karya, budaya, sejarah, arkeologi maupun keagamaan, sebagai wahana penelitian; pendidikan dan wisata alam sejarah, arkeologi dan religius.

7. Zona khusus untuk kepentingan aktivitas kelompok masyarakat yang tinggal diwilayah tersebut sebelum ditunjukjditetapkan sebagai taman nasional dan sarana penunjang kehidupannya, serta kepentingan yang tidak dapat dihindari berupa sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan Iistrik.


(34)

Taman nasional memberikan manfaat secara langsung dan tidak langsung. Kelompok yang menerima manfaat langsung dari keberadaan taman nasional adalah petani, nelayan, pelancong, dan sebagainya. Adapun kelompok yang mengambil manfaat dari keberadaan taman nasional umumnya berupa manfaat-manfaat pilihan (option benefits) di masa mendatang (Effendi, 1998). Lebih lanjut Effendi (1998) menyebutkan bahwa nilai ekonomi taman nasional sangat bergantung pada preferensi, kebudayaan dan nilai etika yang sangat bervariasi tergantung dari distribusi pendapatan dan aset yang ada di masyarakat. Misalnya, masyarakat kaya akan bersedia membayar lebih besar daripada masyarakat miskin untuk kelestarian suatu taman nasional.

Kegiatan pembangunan pun banyak memperoleh manfaat dari taman nasional berupa manfaat ekologis, diantaranya udara yang bersih, penyerapan karbon, pengendalian cuaca, dan sebagainya. Taman nasional mengandung manfaat yang tak ternilai manfaatnya melaluimultiplier effects(efek ganda) yang memberikan kontribusi signifikan terhadap pembangunan ekonomi. Suatu studi penilaian ekonomi yang dapat menunjukkan peranan“induced benefit”(manfaat pendorong) serta efek penggandanya perlu dilakukan, sehingga dapat dijadikan alat kebijakan yang dapat menunjukkan kepada para pengambil keputusan bahwa pengelolaan taman nasional bukan merupakan cost-center, tapi lebih merupakan komponen penting dalam meningkatkan kinerja pembangunan ekonomi secara luas (Effendi, 1998).

Widada (2004) menyebutkan bahwa nilai manfaat ekonomi Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) berdasarkan analisis nilai ekonomi total (NET) mencapai Rp 439,75 milyar per tahun, terdiri dari nilai penyerap karbon Rp 429,77 milyar (97,73%), nilai ekowisata Rp 1.27 milyar (0,29%, nilai air (domestik dan pertanian) Rp 6,64 rnilyar (1 ,5%), nilai pelestarian Rp 0,67 rnilyar (0,15%), nilai pilihan Rp 0,76 milyar (0,17%), dan nilai keberadaan sebesar Rp 0,64 milyar (0,15%). Apabila nilai penyerap karbon tidak diperhitungkan, maka NET TNGH sebesar Rp 9,57 milyar, dengan nilai ekonomi air (domestik dan pertanian) menunjukkan proporsi yang tertinggi (66,58%), kemudian nilai ekowisata (12,70%), nilai pilihan (7,63%), nilai pelestarian (6,70%), dan nilai keberadaan (6,40%). Nilai manfaat dari taman nasional tersebut tentunya tidak


(35)

16

akan memberikan hasil yang optimal dan berkelanjutan apabila di dalam pengelolaannya masih terdapat permasalahan, terutama terkait konflik akibat interaksi kawasan taman nasional dengan masyarakat.

Wulan et.al. (2004) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang sering memicu konflik di sektor kehutanan berkaitan dengan akses, hak dan tata guna lahan terutama yang berhubungan dengan kawasan konservasi seperti taman nasional. Sebagai contoh konflik di kawasan konservasi di daerah Riung, Nusa Tenggara Timur disebabkan karena penetapan kawasan tersebut sebagai kawasan lindung, sehingga membatasi akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan dan laut. Adanya konflik tersebut menimbulkan malapetaka bagi pihak yang terlibat atau pihak lain yang tidak terlibat langsung. Individu-individu tertentu mendapat ancaman dan sumberdaya alam menjadi rusak, bahkan menelan korban fisik dan kematian (Wulanet.al. 2004).

Wulan et.al (2004) menyebutkan bahwa konflik yang terjadi di Taman Nasional Kutai diakibatkan oleh adanya perambahan lahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Pembatasan akses masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan sejak ditetapkannya kawasan tersebut sebagai taman nasional memicu konflik karena masyarakat merasa sudah lama tinggal di dalam kawasan tersebut sebelum kawasan tersebut menjadi taman nasional, sehingga pengambilan kayu dan hasil hutan lainnya dianggap tidak melanggar dari sudut pandang masyarakat. Masyarakat merasa bahwa lahan yang dibuka untuk kegiatan pertanian dan hasil hutan lainnya berasal dari wilayah adat atau wilayah pengelolaannya. Perbedaan persepsi inilah yang sering menimbulkan konflik (Yulianaet.al.,2004).

Kawasan TNGHS merupakan salah satu kawasan sarat konflik. Konflik pemanfaatan lahan seperti halnya di Taman Nasional Kutai terjadi juga di TNGHS. Gamma (2006) menyebutkan bahwa pada tahun 2003, Pemerintah (Menteri Kehutanan RI) menerbitkan SK No. 175/2003 tentang perluasan Taman Nasional Gunung Halimun dari luas 40.000 ha menjadi 113.359 ha, yang kemudian dinamakan sebagai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Kebijakan ini telah mengangkat kembali konflik tenurial antara masyarakat Kasepuhan dengan Pemerintah. Pemerintah berkeyakinan bahwa status tanah-tanah tersebut


(36)

merupakan Kawasan Hutan Negara dan telah dikuasai serta diselesaikan penataan batasnya sejak tahun 1923. Di lain pihak masyarakat adat mengaku, bahwa mereka telah menggarap tanah-tanah tersebut secara turun-temurun sejak tahun 1910.

Gamma (2006) menyebutkan bahwa berdasarkan hasil penelusuran dokumen Berita Acara Tata Batas (BATB), terdapat 18 kelompok hutan di Lebak yang ditunjuk dan ditata batas pada masa kolonial Hindia Belanda. Dari 18 kelompok hutan tersebut, tiga diantaranya yaitu kelompok Hutan Sanggabuana Selatan, Sanggabuana Utara dan Bongkok menjadi landasan hukum bagi penunjukan TNGHS. Dari hasil penelusuran dokumen tersebut, terbukti bahwa hutan-hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak telah ditata batas dan dikukuhkan, sehingga nampaknya pemerintah memiliki kekuatan hukum atas hutan-hutan tersebut.

Di lain pihak, berdasarkan catatan statistik di Residen Banten tahun 1934

(Staat der op 31 December 1934 in de Residentie Bantam Aanwezige

Boschreserve), dua kelompok hutan, yaitu Sanggabuana Selatan dan Bongkok,

bersengketa dengan tanah-tanah huma garapan masyarakat. Catatan statistik ini diselesaikan sebelum tahun 1924 menunjukkan bahwa walaupun hutan-hutan tersebut telah ditata batas dan dikukuhkan, proses penataan batas tidak berhasil menyelesaikan hak-hak masyarakat atas tanah garapannya. Sengketa tanah ini berasal dari pengakuan tanah-tanah huma sebagai hak sewa oleh Residen Banten tahun 1912, sesuai dengan ketentuan Gouverment Besluit van 8 November 1919 No.8. Pada tahun 1924, tanah-tanah huma tersebut diakui keberadaannya melalui

Besluit van den Resident van Bantam van 12 September 1924 No 10453/7,

Residen bersikukuh bahwa huma-huma garapan tersebut memiliki kekuatan hukum tetap. Di lain pihak, Dinas Kehutanan (Dienst van het Boschewzen) tidak mengakui bentuk-bentuk pengakuan Residen Banten dan memasukkan tanah-tanah tersebut ke dalam Kawasan Hutan Negara dengan alasan bahwa proses penataan batas dan pemetaan kawasan hutan telah diselesaikan sebelum tahun 1924.

Dinas Kehutanan menilai bahwa bentuk pengakuan dari Residen Banten atas tanah-tanah huma garapan masyarakat sebagai cacat hukum. Upaya Gubernur


(37)

18

Jenderal Hindia Belanda untuk menengahi konflik tersebut sampai akhir penjajahan Belanda tahun 1942 tidak membuahkan penyelesaian hukum atas sengketa tanah tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan konflik lahan di TNGHS disebabkan oleh ketidakpastian hukum atas penyelesaian sengketa tanah-tanah huma garapan masyarakat sejak jaman kolonial Hindia Belanda yang berlanjut sampai saat ini. Gamma (2006) menyarankan perlunya penyelesaian konflik lahan agar pengelolaan TNGHS tidak terganggu dengan tanpa mengabaikan akses masyarakat terhadap sumberdaya lahannya yang saat ini menjadi bagian dari kawasan TNGHS.

Penolakan terhadap perluasan TNGHS masih berlangsung. DPR (2011) menyebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten Lebak menolak perluasan TNGHS yang awalnya seluas 40 ribu hektar menjadi 113 ribu ribu hektar karena dianggap akan meningkatkan angka kemiskinan masyarakat Kabupaten Lebak. Akibat rencana tersebut, banyak masyarakat yang akan kehilangan mata pencaharian, tempat tinggal ataupun kehilangan berbagai sarana dan prasarana untuk kegiatan sosial, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya yang sebelumnya sudah ada.

Di areal yang masuk dalam rencana perluasan lahan saat ini terdapat sekitar 176 unit lembaga pendidikan, 312 unit sarana keagamaan, 21 unit sarana kesehatan dan 44 unit sarana pemerintahan yang berada di 1.180,50 ha kawasan permukiman, serta kawasan pertanian berupa kebun, ladang, dan sawah, sekitar 11.015,50 ha. Pemerintah Kabupaten Lebak sangat mengkhawatirkan dengan adanya perluasan TNGHS karena kegiatan perekomian masyarakat sekitar TNGHS yang masih memprihatinkan makin terpuruk. Kondisi masyarakat sekitar TNGHS sebagaimana riset Widada (2004) menunjukkan bahwa pada umumnya (90,34%) adalah petani dan kondisi sosial ekonomi mereka sangat memprihatinkan, yaitu: 93,18% hanya berpendidikan SD ke bawah, dan pendapatan per kapita rata-rata sebesar Rp 93.210 per bulan. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang memprihatinkan tersebut menyebabkan sebagian dari mereka masih melakukan aktivitas yang sifatnya negatif (contohnya: pencurian kayu, perambahan hutan, dan penambangan emas tanpa ijin), sehingga hal tersebut akan mengancam kelestarian TNGHS.


(38)

Konflik antara masyarakat dengan TNGHS sebagaimana diuraikan sebelumnya bermuara pada permasalahan konflik pemanfaatan lahan dan relatif masih rendahnya tingkat perekonomian masyarakat sekitar TNGHS. Oleh karena itu kajian tentang permasalahan tata ruang terkait dengan karakteristik sosial ekonomi masyarakat merupakan masalah utama yang akan dikaji dalam penelitian ini. Oleh karena itu konsep pemberdayaan masyarakat perlu dikaji sebagai prasarat penyelesaian konflik lahan di kawasan TNGHS dengan tujuan pengelolaan kawasan konservasi di kawasan tersebut dapat berjalan dengan baik dan akses masyarakat terhadap sumberdaya alam di dalam kawasan TNGHS dapat terjamin dengan baik.

2.2. Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat telah menjadi sebuah konsep yang paling banyak diwacanakan baik dalam tingkat pemerintahan desa hingga ke tingkat pemerintahan negara. Gagasan pemberdayaan berangkat dari realitas obyektif yang merujuk pada kondisi struktural masyarakat yang timpang dari alokasi kekuasaan dan pembagian akses terhadap sumberdaya (Sutoro, 2002).

Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment),

berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka (Ife 1995). Untuk dapat memahami konsep pemberdayaan masyarakat terdapat beberapa definisi dari berbagai penulis diantaranya :

1) Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung (Ife, 1995).

2) Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin, 1987).

3) Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa) atas kehidupannya (Rappaport, 1984).


(39)

20

4) Pemberdayaan adalah sebuah proses dimana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi, berbagi pengontrolan, dan mempengaruhi terhadap kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons et al., 1994:).

Berdasarkan pengertian dan definisi pemberdayaan di atas, dapat dinyatakan bahwa tidak ada sebuah pengertian maupun model tunggal pemberdayaan. Karena makna pemberdayaan yang dipahami oleh banyak pihak sangatlah berbeda menurut cara pandang orang maupun konteks kelembagaan-kelembagaan politik dan sosial budaya. Konteks lain menyatakan bahwa pemberdayaan dapat dilihat sebagai perluasan kebebasan akan pilihan dan tindakan dari masyarakat. Ini berarti peningkatan kekuasaan masyarakat, pengendalian sumberdaya dan keputusan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat (Sutoro, 2002). Dengan cara pandang kelembagaan, Bank Dunia memaknai pemberdayaan adalah perluasan modal dan kemampuan (assets and

capabilities) masyarakat untuk mengambil bagian, berunding dengan,

mempengaruhi, mengawasi, dan menguasai lembaga-lembaga yang bertanggung jawab yang mempengaruhi hidup mereka (Narayan, 2002).

Menurut Narayan (2002) modal mengacu pada modal materi, fisik, keuangan dan sosial. Modal mencakup lahan, perumahan, peternakan, tabungan dan perhiasan yang memungkinkan orang untuk menahan goncangan dan meningkatkan pilihan mereka akan kebutuhan hidup. Kemampuan pada sisi lain sudah menjadi sifat, melekat dalam diri masyarakat dan memungkinkan mereka menggunakan modalnya dengan cara berbeda untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Kemampuan manusia meliputi : kesehatan yang baik, pendidikan, dan produksi atau peningkatan keterampilan hidup lainnya. Kemampuan sosial meliputi, kepemilikan sosial, kepemimpinan, hubungan kepercayaan, suatu perasaan identitas, nilai nilai yang memberi arti hidup dan kemampuan untuk berorganisasi. Kemampuan politik meliputi: kemampuan untuk mewakili diri sendiri atau orang lain, mengakses informasi, membentuk perkumpulan, dan mengambil bagian dalam kehidupan politik bangsa atau negara.


(40)

Dalam konteks tingkat pemberdayaan, maka pendekatan kelembagaan, merupakan arena pemberdayaan yang paling krusial, karena pemberdayaan tidak hanya diletakkan pada kemampuan dan mental diri individu, tetapi harus diletakkan pada konteks relasi kekuasaan yang lebih besar, dimana setiap individu berada di dalamnya. Mengikuti pendapat (Sutoro, 2002), realitas obyektif pemberdayaan merujuk pada kondisi struktural yang mempengaruhi alokasi kekuasaan dan pembagian akses sumberdaya di masyarakat. Ia juga mengatakan bahwa realitas subyektif perubahan pada level individu (persepsi, kesadaran, dan pencerahan), memang penting, tetapi sangat berbeda dengan hasil-hasil obyektif pemberdayaan yakni perubahan kondisi sosial. Untuk dapat melihat penelitian pemberdayaan masyarakat yang pernah dilakukan dapat dilihat padaTabel 2.

Tabel 2. Penelitian Pemberdayaan Masyarakat yang Pernah Dilakukan

No Peneliti Judul Gambaran Umum

1 Basuni S. 2003. Inovasi Institusi untuk meningkatkan kinerja daerah penyangga kawasan konservasi

Penelitian mendeskripsikan pengelolaan daerah penyangga merupakan bagian integral dari perlindungan kawasan konservasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor pengelolaan lahan

merupakan peubah kunci yang menentukan kinerja daerah penyangga kawasan konservasi

2 Simanjuntak, S. 2003. Respon masyakarat terhadap perubahan kelembagaan dalam pembangunan

masyarakat (studi kasus pada proyek

pengembangan hutan kemasyarakatan di kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat)

Penelitian ini untuk menjabarkan kelembagaan masyarakat yang telah dipengaruhi oleh proyek pengembangan hutan kemasyarakatan pemerintah dan sejauh mana perubahan sosial budaya masyarakat Dayak akibat pembangunan

3 Sulistyowati, L. 2003. Analisis kebijakan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan

sumberdaya alam gugus kepulauan

Penelitian ini melihat tekanan terhadap sumberdaya pada daerah gugus kepulauan disebabkan oleh ketidakpahaman

penduduk terhadap upaya pelestarian sumberdaya alam. Sehingga diperlukan berbagai upaya pemerintah untuk dapat meningkatkan kesejahteraan

4 Santosa, I. 2004. Pemberdayaan petani tepian hutan melalui pembaharuan perilaku adaptif

Penelitian pemberdayaan ini diarahkan untuk melihat faktor-faktor eksternal pada daerah tepi hutan. Penelitian ini hanya melihat pola perilaku petani dengan membedakan antara perilaku adaptif dan tidak adaptif dalam pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah.


(41)

22

Menurut Heller (1994) setiap individu tidak bisa mengembangkan kemampuan dirinya karena dalam masyarakat terjadi pembagian kerja yang semu, relasi yang subordinatif, dan ketimpangan sosial. Pemberdayaan yang menekankan pada pencerahan dan emansipasi individu tidak cukup memadai untuk memfasilitasi pengembangan kondisi sosial alternatif.

2.2.1. Dimensi dan Permasalahan dalam Pemberdayaan

Kieffer (1981) mengemukakan tiga dimensi pemberdayaan berdasarkan kompetensinya, yakni :

1) Kompetensi kerakyatan

Kompetensi kerakyatan adalah kompetensi yang berhubungan dengan relasi kekuasaan antara pemerintah dan masyarakat, dimana relasi tersebut merupakan hubungan timbal balik yang memberikan rakyat sebuah kemampuan untuk dapat mengelola dirinya, sementara pemerintah hanya bersifat memfasilitasi untuk dapat meningkatkan kemampuan tersebut.

2) Kemampuan sosiopolitik

Kemampuan sosial politik adalah kemampuan masyarakat untuk dapat ambil bagian dalam kehidupan sosialnya, mempunyai kemampuan dan kemandirian untuk dapat menyatakan pendapat, akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan relasi politik yang dipergunakan dalam pengambilan keputusan.

3) Kompetensi partisipatif

Kompetensi partisipatif merupakan sebuah kompetensi keikutsertaan masyarakat ikut mengambil bagian dalam mendukung dan mengsukseskan program diprakarsai oleh masyarakat itu sendiri. Kompetensi ini merupakan relasi antar kekuasaan, ekonomi politik

Menurut Parsons et al. (1994), pemberdayaan menurut prosesnya sedikitnya mencakup tiga dimensi:

1) Sebuah proses pembangunan yang bermula dari pertumbuhan individual yang kemudian berkembang menjadi sebuah perubahan sosial yang lebih besar. 2) Sebuah keadaan psikologis yang ditandai oleh rasa percaya-diri, berguna dan


(42)

3) Pembebasan yang dihasilkan dari sebuah gerakan sosial, yang dimulai dari pendidikan dan politisasi orang-orang lemah dan kemudian melibatkan upaya-upaya kolektif dari orang-orang lemah tersebut untuk memperoleh kekuasaan dan mengubah struktur-struktur yang masih menekan.

Dari berbagai dimensi pemberdayaan di atas, maka terdapat permasalahan yang dihadapi dalam konteks memberdayakan masyarakat, dimana oleh sebagian dari pengambil kebijakan menggunakan nilai uang sebagai alat pemberdayaan. Sebagai contoh, banyak proyek-proyek Inpres yang tekanannya memberikan bantuan material kepada masyarakat desa justru mematikan swadaya masyarakat, bahkan sebaliknya menjadikan masyarakat menggantungkan diri kepada pemberi bantuan. Pola pemberdayaan dengan hanya memberikan bantuan uang atau bantuan proyek kepada masyarakat desa tidak akan merangsang peran serta masyarakat untuk terlibat di dalam pembangunan (JICA, 2006).

Dalam kasus tertentu, di dalam konsep pembangunan masyarakat, bantuan material memang diperlukan, akan tetapi yang lebih penting adalah pengembangan swadaya-self help-masyarakat untuk membangun diri sendiri. Ciri khas dari suatu kegiatan swadaya adalah adanya sumbangan dalam jumlah besar yang diambil dari sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat baik yang dimiliki individu maupun kelompok di dalam masyarakat.

2.2.2. Sasaran Pemberdayaan

Pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan di atas dicapai melalui penerapan sasaran pemberdayaan. Parsons et al. (1994) menyatakan bahwa proses pemberdayaan umumnya dilakukan secara kolektif, dimana proses pemberdayaan terjadi dalam hubungan antara pekerja sosial dan masing-masing individu. Meskipun pemberdayaan seperti ini dapat meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan diri individu, hal ini bukanlah strategi utama pemberdayaan. Namun demikian, tidak semua intervensi LSM dapat dilakukan melalui kolektivitas. Dalam beberapa situasi, strategi pemberdayaan dapat saja dilakukan secara individual meskipun pada gilirannya strategi ini pun tetap berkaitan dengan kolektifitas, dalam arti mengkaitkan masyarakat dengan sumber atau sistem lain


(43)

24

di luar dirinya. Pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan: mikro, mezzo, dan makro.

1) Pendekatan Mikro

Pemberdayaan dilakukan secara individu melalui bimbingan, konseling,stress

management dan crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing

atau melatih individu dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai Pendekatan yang Berpusat pada Tugas (task centered approach).

2) PendekatanMezzo

Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok masyarakat. Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap masyarakat agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya.

3) Pendekatan Makro

Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar (large-system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial,

lobbying, pengorganisasian masyarakat dan manajemen konflik, merupakan beberapa strategi dalam pendekatan ini. Pendekatan makro memandang sekelompok masyarakat sebagai kelompok yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri dan untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak.

Menurut Ife (1995), pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan di sini diartikan bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau penguasaan masyarakat atas:

1) Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup: kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal, pekerjaan.


(44)

2) Pendefinisian kebutuhan: kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan keinginannya.

3) Ide atau gagasan: kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan dalam suatu forum atau diskusi secara bebas dan tanpa tekanan. 4) Lembaga-lembaga: kemampuan menjangkau, menggunakan dan

mempengaruhi pranata-pranata masyarakat, seperti lembaga kesejahteraan sosial, pendidikan dan kesehatan.

5) Sumber-sumber: kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal dan kemasyarakatan.

6) Aktivitas ekonomi: kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi, dan pertukaran barang serta jasa.

7) Re-produksi: kemampuan dalam kaitannya dengan proses pendidikan dan sosialisasi.

2.2.3. Metoda dan Strategi Pemberdayaan

Masyarakat yang kehilangan daya tidak dapat dibiarkan secara terus-menerus, mereka perlu diberdayakan, karena mereka dalam keadaan tereksploitasi dan terpinggirkan. Keadaan mereka masih mencerminkan adanya kelemahan dan kekurangan dalam: keswadayaan, kemandirian, partisipasi, solidaritas sosial, keterampilan, sikap kritis, wawasan transformatif, rendahnya mutu dan taraf hidup. Hal ini sebagai akibat sempitnya ruang gerak yang diberikan pemerintah terhadap rakyat kecil dalam melakukan pembangunan.

Untuk membangun keberdayaan yang lemah dikemukakan bahwa upaya memberdayakan masyarakat dapat dilakukan melalui 3 (tiga) cara yaitu (Kartasasmita, 1996):

1) Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang. Asumsi dasar untuk menciptakan suasana yang memungkinkan masyarakat untuk berkembang adalah bahwa setiap individu dan masyarakat memiliki potensi.

2) Memperkuat aset atau sumberdaya yang dimiliki oleh rakyat. Untuk memperkuat potensi atau daya yang dimiliki maka perlu diterapkan langkah nyata dengan menampung berbagai masukan, menyediakan prasarana dan


(45)

26

sarana baik fisik (irigasi, jalan, listrik) maupun sosial (pendidikan, fasilitas pelayanan kesehatan) yang dapat diakses oleh lapisan masyarakat paling bawah.

3) Kemampuan melindungi dan membela kepentingan masyarakat yang lemah. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah jangan sampai yang lemah bertambah lemah atau makin terpinggirkan dalam menghadapi yang kuat (Priyono dan Pranaka 1996).

Ife (1995) menyatakan bahwa metode pemberdayaan tidak terlepas dari kondisi dan posisi kekuasaan dalam masyarakat. Metode yang dikembangkan didasarkan pada perspektif mengenai kekuasaan yaitu: (1) perspektif pluralis, dengan perspektif ini mengisyaratkan pemberdayaan dilakukan dengan memberikan kemampuan pelajaran kepada individu-individu atau kelompok-kelompok tentang bagaimana mereka berkompetisi sesuai aturan; (2) perspektif elite, yakni kegiatan pemberdayaan dilaksanakan dengan mengembangkan kemampuan untuk dapat kerjasama dan memberikan pengaruh pada elite, membentuk aliansi dengan elite, melakukan perlawanan dan mencari untuk merubah elite; (3) menurut strukturalis, kegiatan pemberdayaan dilakukan dengan mengembangkan liberalisasi, melakukan perubahan pada landasan struktur, dan menolak adanya struktur yang tertindas; dan (4) menurut perspektif post-strukturalis yakni pemberdayaan dilakukan dengan melakukan perubahan wacana, mengembangkan pemahaman subyektif baru dan pendidikan kebebasan.

Keadaan tersebut melahirkan berbagai pandangan mengenai pemberdayaan, yaitu : (1) suatu bentuk penghancuran kekuasaan ataupower to no

body. Didasari pada keyakinan bahwa kekuasaan telah mengasingkan dan

menghancurkan manusia dari eksistensinya, maka untuk mengembalikan eksistensi manusia dan menyelamatkan manusia dari keterasingan dan penindasan kekuasaan harus dihapuskan; (2) pemberdayaan adalah pembagian kekuasaan kepada setiap orang (power to every body). Pandangan ini didasarkan pada keyakinan bahwa kekuasaan yang terpusat menimbulkan pengingkaran kekuasaan dan cenderung mengalienasi hak normatif manusia yang tidak berkuasa atau yang dikuasai. Oleh karena itu, kekuasaan harus didistribusikan kepada semua orang, agar semua orang dapat mengaktualisasikan diri; dan (3) pemberdayaan adalah


(46)

penguatan kepada yang lemah tanpa menghancurkan yang kuat. Pandangan ini adalah pandangan yang moderat dari dua pandangan sebelumnya. Pandangan ini merupakan antitesis dari pandangan power to no body dan pandangan power to every body. Menurut pandangan ini, power to no body adalah kemustahilan dan

power to every body adalah chaos dan anarkhi. Oleh sebab itu, menurut

pandangan ini, yang paling realistis adalahpower to powerless.

Rose (1990) menyatakan bahwa prinsip-prinsip pemberdayaan itu terdiri atas 3 (tiga) hal, yaitu: (1) kontekstualisme, yakni kegiatan pemberdayaan harus difokuskan pada pemahaman individu/kelompok sendiri terhadap kesejahteraan dirinya. Walaupun pemahaman itu sudah diserahkan kepada individu/kelompok, namun pihak yang diberdayakan tetap mempunyai peluang untuk dialog sehingga individu/kelompok ini dapat memahami realitasnya sendiri; (2) empowerment,

yaitu proses dimana pemberdayaan akan mendukung individu/kelompok, untuk mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan kebutuhannya. Pekerjaan ini dipusatkan untuk membantu individu/kelompok membuat keputusan tindakan yang perlu dilakukan; dan (3)collectivity yaitu memfokuskan pada pengurangan perasaan terisolasi dan membuat hubungan dengan individu/kelompok yang lain (Payne, 1991).

2.2.4. Bentuk Pemberdayaan yang Pernah Dilakukan di Daerah Penyangga TNGHS

Bentuk pemberdayaan yang telah ada di daerah penyangga di Kabupaten Bogor adalah model pembangunan partisipatif melalui program Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan dimantapkan dalam program pembangunan prasarana pendukung desa tertinggal (P3DT). Kemudian program tersebut disempurnakan melalui pelaksanaan program pengembangan kecamatan (PPK) dan program pemberdayaan daerah mengatasi dampak krisis ekonomi (PDMDKE) dan dilanjutkan dengan program jaring pengaman sosial dan pemberdayaan masyarakat. Selain itu terdapat juga program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan multinasional dan oleh lembaga peneliti dari Jepang. Untuk dapat melihat penjabarannya dapat dilihat sebagai berikut :


(47)

28

1) Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) (Gunawan, 1999)

Program pemberdayaan masyarakat di daerah penyangga mulai dilaksanakan sejak tahun 1994/95, melalui program Inpres Desa Tertinggal. Program IDT pada awalnya bersifat pembangunan ekonomi sosial. Program IDT menekankan aspek kebersamaan masyarakat lokal untuk menumbuhkan peran aktif masyarakat lokal dalam mengatasi masalah mereka sendiri. Wadah kebersamaan tersebut diwujudkan dalam pembentukan kelompok masyarakat sebagai wadah kegiatan sosial ekonomi produktif yang dapat memberikan tambahan penghasilan yang berkelanjutan. Bantuan langsung kepada masyarakat diberikan dalam bentuk bantuan modal bergulir dan bantuan pendampingan melalui penyediaan tenaga pendamping dari berbagai komponen pembangunan, antara lain pendampingan khusus oleh sarjana pendamping purna waktu (Gunawan, 1999).

2) Bantuan Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal

Program pembangunan sosial ekonomi yang menekankan pendekatan wilayah dikembangkan berdasarkan pengalaman pelaksanaan program IDT. Pendekatan wilayah dalam pelaksanaan pembangunan sosial ekonomi ini diwujudkan dalam penentuan sasaran lokasi dalam satucluster, dimana masing-masing unit lokasi dalam satu cluster dapat saling melengkapi upaya pengembangan wilayah. Pengembangan IDT diimplementasikan dalam program pembangunan prasarana pendukung desa tertinggal (P3DT) yang merupakan pendukung program IDT (Gunawan, 1999). Program P3DT yang dioperasionalkan mulai tahun anggaran 1995/96 menekankan bantuan pembangunan prasarana dan sarana dasar yang dapat mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat lokal. Peran serta aktif masyarakat lokal dalam kegiatan pembangunan di tingkat lokal. penguatan kelembagaan-kelembagaan, pembangunan di tingkat lokal, dan pelestarian hasil pembangunan melalui pemantapan sistem pelaporan. Prinsip penguatan pembangunan yang dilaksanakan oleh masyarakat lokal dan diwujudkan melalui wadah LKMD menjadi dasar pelaksanaan pembangunan prasarana dan sarana dasar sosial ekonomi, melalui pelaporan yang tertib, perkembangan dan pelestarian pelaksanaan kegiatan hasil


(48)

pembangunan dan dampaknya dapat diketahui guna meningkatkan kapasitas masyarakat (Gunawan, 1999).

3) PPK (Program Pemberdayaan Kecamatan) atau (Program Pengembangan Kecamatan Fase Kedua Laporan Tahunan III 2004)

Program Pemberdayaan Kecamatan merupakan penyempurnaan program P3DT. Program Pemberdayaan Kecamatan menekankan pentingnya mekanisme perguliran dana bantuan langsung melalui lembaga keuangan milik masyaraat yang disebut unit pengelola keuangan (UPK). Penggunaan dana bantuan melalui PPK ini dibatasi oleh persyaratan ketat. Dana bantuan yang dimanfaatkan langsung oleh masyarakat hanya boleh digunakan untuk membiayai investasi sosial dan ekonomi produktif. Program pengembangan kecamatan merupakan model kelembagaan pembangunan masyarakat yang berkelanjutan yang menerapkan prinsip pembangunan partisipatif. Model partisipatif mengutamakan pembangunan yang mengutamakan yang dilakukan dan dikelola langsung oleh masyarakat lokal khususnya di pedesaan dalam wadah musyawarah pembangunan tingkat kecamatan. Setiap kecamatan mengkoordinasi 5 (lima) desa dengan kriteria tertentu. Setiap kecamatan menerima 3 (tiga) kali dengan nilai antara Rp 500 juta hingga Rp 750 juta setiap tahun. Bantuan kepada desa yang dikoordinasi di kecamatan ini dapat digunakan untuk membiayai investasi sosial berupa pembangunan prasarana umum, investasi ekonomi yang menghasilkan dana bergulir, dan peningkatan kemampuan masyarakat. Dalam tahun anggaran 1988/99, bantuan langsung telah diprogramkan untuk 1500 kecamatan yang meliputi 7500 desa. Unit pengelola di tingkat desa dan kecamatan perlu dibentuk untuk mengoptimalkan pengelolaan dana bantuan. Pengelolaan dilakukan sendiri oleh masyarakat. Unit Pengelola Keuangan berperan sebagai lembaga keuangan yang dapat menampung dan mengelola berbagai bantuan dan dana yang berputar di masyarakat. Unit Pengelola Keuangan dapat berkembang menjadi lembaga keuangan alternatif (LKM) milik masyarakat, dimana LKM ini merupakan embrio lembaga keuangan dengan prinsip-prinsip perbankan yang menyelenggarakan dan menerapkan prinsip kebersamaan. Dalam perkembangan selanjutnya dapat berbadan hukum koperasi atau berbadan hukum bank.


(49)

30

Prinsip-prinsip dalam menjalankan program PPK adalah transparansi, keberpihakan pada orang sejahtera, kompetisi yang sehat dan desentralisasi pembangunan. Prinsip-prinsip tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a) Transparansi adalah: Kegiatan PPK dilakukan secara terbuka diketahui oleh masyarakat luas, dapat diikuti dan dipertanggungjawabkan.

b) Partisipasi yang dilakukan pada setiap tahap kegiatan melibatkan semua unsur masyarakat secara aktif, terutama kelompok masyarakat sejahtera dan perempuan, mereka memiliki hak penuh dalam menentukan kegiatan, pengelolaan dana, serta pengelolaan kegiatan.

c) Keberpihakan pada orang sejahtera; dimana orientasi setiap kegiatan ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang kurang mampu. Setiap kegiatan selalu mempertimbangkan keberadaan orang kurang mampu mulai dari sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan sampai pada pemeliharaan hasil kegiatan.

d) Kompetisi sehat; semua warga berhak menentukan sendiri program yang terbaik untuk wilayahnya. penentuan ini berdasarkan hasil kajian atau telaah dari berbagai alternatif pilihan. Karena keterbatasan jumlah dana, maka pengalokasian dana PPK ditentukan melalui perengkingan dan kompetisi sehat.

Program ini telah sukses pada beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor khususnya di Kecamatan Pamijahan dimana tingkat pengembalian modal ke unit usaha kecamatan telah mencapai lebih dari 98% pada tahun 2004, dan 97% pada tahun 2005.

4) Beras untuk Keluarga Miskin, Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan dan Hutan dan Bantuan Langsung Tunai (Gunawan, 1999)

Program Jaring Pengaman Sosial yang sering kali diberikan melalui aparatur desa dan Badan Pemberdayan Masyarakat desa, merupakan pemberian bantuan langsung terhadap berbagai kegiatan yang dilakukan masyarakat dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan hidup masyarakat. seperti pemberian bantuan langsung Beras untuk Keluarga Miskin (RASKIN) untuk masyarakat sejahtera. Program ini didasarkan atas tekanan ekonomi sebagai akibat dari meningkatnya harga bahan bakar dan beras.


(50)

Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan dan Hutan (GNRLH) bantuan lainnya dilakukan oleh sektor pertanian dan kehutanan dengan memberikan bantuan bibit dan pemberdayaan masyarakat untuk menanam tanaman ekonomis seperti durian, mangga disamping untuk merehabilitasi lahan kritis, program ini juga diharapkan memberikan pengaruh ekonomi pada masyarakat. Disamping itu terdapat juga Bantuan Langsung Tunai (BLT), yang merupakan kompensasi dari kenaikan harga bahan bakar kepada masyarakat langsung. Walaupun dalam kenyataannya bantuan tersebut banyak yang tidak mencapai sasaran yang diinginkan.

5) Program pemberdayaan yang dilakukan oleh PerusahaanGeothermal

CEVRON

Program pemberdayaan yang diberikan oleh perusahaan Geothermal

Chevron yang dahulunya UNOCAL merupakan bantuan langsung terhadap desa yang dipergunakan untuk mendukung kegiatan masyarakat desa dalam konteks pendidikan. Bantuan tersebut disesuaikan dengan permintaan dari desa yang berada di sekitar perusahaan Geothermal tersebut. Sayangnya program ini tidak memperlihatkan unsur pemberdayaan masyarakat dalam kegiatannya. karena pihak perusahaan memberikan bantuan ini hanya kepada pihak yang sangat terbatas dan tidak memberikan insentif langsung kepada masyarakat (Gunawan, 1999).

6) Model Kampung Konservasi (MMK)

Model ini awalnya dirancang melalui fasilitasi yang dilakukan oleh JICA (Japan International Cooperation Agency) untuk memperbaiki perencanaan tata guna lahan, hak atas lahan, dan pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat yang berada di sekitar wilayah taman nasional ini. Proses perencanaan ini akan dilakukan secara partisipatif dan interaktif yang meliputi empat tahap: penilaian situasi, merancang rencana pembangunan desa, pelaksanaan dan pemantuan, serta pengkajian dan evaluasi yang mengarah kepada penyempurnaan rancangan awal (JICA, 2006). Komponen ini terutama bertujuan untuk mencapai suatu Kesepakatan Konservasi Desa (KKD), yang secara legal akan mengatur semua akses desa terhadap sumberdaya yang ada di dalam taman nasional dan di daerah penyangganya, dan menjamin adanya bantuan dana pembangunan sebagai


(51)

32

imbalan atas kerjasama masyarakat dalam perlindungan taman nasional dan pelestarian keragaman hayati di lahan-lahan desa. Proses ini, yang memerlukan persiapan dan pelaksanaannya, akan segera dimulai dan tetap dilakukan dalam setiap desa yang menjadi target di bawah pimpinan fasilitator desa bekerjasama dengan para pemimpin formal desa dan kelompok-kelompok desa lainnya. Sementara sasaran utama kegiatan ini adalah masyarakat di sekitar taman nasional yang hidupnya sebagian besar mengandalkan sumberdaya dari dalam taman nasional, masyarakat desa secara keseluruhan merupakan anggota KKD. Di desa-desa letaknya berbatasan dengan Taman Nasional, kegiatannya terutama adalah menggalakkan pengelolaan hutan oleh masyarakat (JICA, 2006). Tujuan umum model ini adalah untuk mencapai kesepakatan konservasi antara masyarakat desa yang tinggal di daerah penyangga TNGHS, Pihak Pengelola TNGHS, dan Pemerintah Daerah. Kesepakatan ini akan:

a) Secara resmi menyebutkan akses warga desa terhadap sumberdaya yang ada di daerah penyangga, yang dilakukan secara lestari dan ramah lingkungan. b) Menyediakan manfaat sosial dan ekonomi bagi desa-desa sebagai imbalan atas

kerjasama mereka dalam menghormati dan memelihara batas-batas resmi TNKS, melestarikan keragaman hayati di lahan-lahan desa dan di dalam wilayah pengusahaan hutan.

2.3. Analisis Manajemen Kelembagaan 2.3.1. Model Analisis Oakerson

Oakerson (1992) mengemukakan suatu model dinamis mengenai hubungan kepemilikan umum yang dapat digunakan untuk membandingkan permasalahan dan penyelesaian antara berbagai kisaran situasi kepemilikan umum. Dalam modelnya, Oakerson menetapkan 4 (empat) komponen utama seperti yang disajikan pada Gambar 2. Selanjutnya disusun suatu model teoritis umum yang digunakan untuk mengakses sumberdaya sebagai milik umum. Permasalahan utama bahasannya adalah bagaimana mengkoordinasikan penggunaan bersama oleh masyarakat pengguna untuk mendapatkan tingkat penggunaan (atau aliran sumberdaya) optimal.


(52)

Hubungan antara atribut fisik, karakteristik sosio-ekonomi dan pengaturan pembuatan keputusan menghasilkan suatu pemahaman mengenai bagaimana sumberdaya alam milik umum dikelola. Analisis ini mengkaitkan 5 (lima) atribut untuk memahami kepemilikan umum, yaitu :

(Sumber: Oakerson 1992 : 236)

Gambar 2.Model Oakerson untuk Analisis Kelembagaan 1) Atribut Fisik dan Teknis

Variabel atribut fisik dan teknis mengindikasikan penggunaan bersama dari barang publik. Pada saat yang sama, milik umum akan dikurangkan dari penggunaan individual baik berupa aliran sumberdaya atau ekstraksi dari panen total milik umum per satuan waktu. Atribut fisik lainnya adalah sumberdaya yang tidak dapat dibagi yang tergantung pada skala yang ditetapkan melalui batasan fisik seperti ukuran komunitas/masyarakat yang menggunakan sumberdaya alam. 2) Pengaturan Pembuatan Keputusan

Karakteristik pembuatan keputusan (decision-making) mengindikasikan beberapa komponen seperti manajemen resolusi konflik, sistem seremonial, untuk menunjukkan bagaimana masyarakat mengelola milik umum dalam hubungannya dengan mata pencahariannya. Pengaturan pembuatan keputusan secara luas didefinisikan sebagai pengaturan kelembagaan dan organisasional

Atribut teknis dan fisik sumberdaya

Pengaturan pembuatan keputusan

Pola interaksi Konsekuensi dan

Outcome Ciri-ciri


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)