89 badan usaha, tenaga kerja petani penggarap. Petani penggarap akan
mendapatkan bagi hasil panen sebesar 25 dari jumlah pohon yang ditanam. Investor sebagai pemodal untuk biaya pengadaan bibit, pupuk, peralatan, upah
petani, dan biaya manajemen mendapatkan 40. Pemilik lahan mendapatkan 10. Pemerintahan desa mendapatkan bagi hasil 10.
www.jati-ubh.com ,
2011.
7.4 Kinerja LMDHKTH dalam Implentasi PHBM
LMDH atau KTH merupakan lembaga yang dengan sengaja dibentuk untuk melaksanakan program PHBM. Kehadiran LMDH di dalam masyarakat
diharapkan dapat menjadi wadah bagi berbagai aktivitas sosial ekonomi masyarakat desa hutan. Dalam LMDH umumnya terdiri dari beberapa kelompok
tani hutan KTH di suatu desa. Anggota dari KTH adalah para petani penggarap yang melaksanakan kegiatan mulai menanam bibit sekaligus menanam tanaman
pangan dengan sistem tumpangsari. Petani juga bertugas memelihara tanaman dan mengamankan hutan di lahan blok garapannya.
Implementasi PHBM tidak dapat berhenti setelah terbentuknya LMDH di setiap desa hutan. Kelembagaan yang telah dibangun itu masih lemah.
Lembaga baru yang sudah dibentuk tidak otomatis dapat berfungsi secara optimal, masih diperlukan adanya kelengkapan struktur pengurus dan
pemenuhan kebutuhan kelembagaan yang ada. Aktivitas kelompok sangat dipengaruhi kemampuan pengurus untuk dapat menggerakkan roda organisasi
dalam menampung aspirasi dan dinamika masyarakat. Lembaga yang kuat dapat melakukan bargaining position dengan pihak lain, seperti: Perhutani,
pemerintah desa, dan para pihak yang terlibat dalam program PHBM. LMDH dalam PHBM hanyalah salah satu lembaga institusi dari sekian
institusi yang turut berperan dan menentukan tingkat keberhasilan pencapaian tujuan PHBM. Institusi lainnya yang berpengaruh adalah Perhutani, pemerintah
daerah setempat, lembaga swadaya masyarakat, dan komunitas bisnis investor, pengusaha.
Sebagai sebuah sistem, PHBM menuntut optimalisasi, pengakuan dan kejelasan peran, status dan sifat dari masing-masing institusi yang terlibat dalam
implementasi. Perlu disadari bahwa kontribusi yang diberikan oleh institusi- institusi itu memiliki dampak yang signifikan bagi keberhasilan program. Peran
90 lembaga menjadi kunci sekaligus energi bagi berjalannya sistem PHBM dan
membuahkan hasil yang diharapkan bersama. Sebuah organisasi LMDH tidak akan dapat membangun dan
memberdayakan komunitasnya, jika organisasi itu sendiri tidak mampu beradaptasi dengan dinamika perubahan yang berlangsung sangat cepat. Oleh
karena itu, hal yang paling penting untuk segera dilakukan adalah penguatan institusi. Penguatan LMDH menjadi titik penting bagi upaya mewujudkan tujuan
dari implementasi PHBM. LMDH mempunyai potensi menjadi lembaga yang mampu memberikan
peluang bagi petani untuk bisa mengakses sumber daya alam di hutan sekitranya. Potensi ini sangat bergantung pada usaha dan kerja keras dari
seluruh jajaran pengurus lembaga dan anggota kelompok tani hutan untuk mampu melakukan perubahan. Peningkatan kesejahteraan rakyat hanya dapat
terwujud jika semua lembaga yang terkait berkomitmen untuk melakukan perubahan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan.
Di wilayah Perhutani BKPH Parung Panjang, terdapat 8 LMDH, dan 27 KTH. Daftar LMDHKTH dalam wilayah BKPH Parung Panjang dapat dilihat
dalam lampiran. LMDH merupakan wadah atau lembaga bagi masyarakat untuk memudahkan pengaturan, koordinasi dan pengorganisasian. Setiap desa
dibentuk Lembaga LMDH yang terdiri dari kelompok-kelompok Tani Hutan KTH. Masing-masing kelompok tani hutan ini membentuk pengurus. Setiap KTH dan
LMDH mempunyai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, yang memuat ketentuan-ketentuan dalam turut mengelola kawasan hutan bersama Perum
Perhutani. Proses implementasi PHBM berlangsung tidak seragam dan dipengaruhi
berbagai faktor baik internal lembaga maupun eksternal. Di tiga desa penelitian aktivitas LMDH berbeda-beda kondisinya. Aktivitas kelompok tani yang paling
aktif terdapat di LMDH Flora Jaya di Desa Babakan. Ketua LMDH Flora Jaya merupakan petani penggarap yang kegiatan sehari-harinya bekerja di lahan
hutan garapannya sekaligus melakukan pemantauan wilayah hutan yang menjadi tanggung jawabnya. Giliran jaga hutan setiap hari juga diberlakukan bagi seluruh
petani di blok-blok yang menjadi wilayah garapan petani masing-masing. LMDH Flora Jaya berusaha melaksanakan fungsi dan tugasnya
manajemen lembaga sebaik mungkin. Aktivitas LMDH untuk urusan administrasi diselenggarakan di rumah pengurus LMDH. Kelengkapan administrasi, AD ART,
91 kegiatan-kegiatan lembaga, rapat dicatat dan diarsipkan. Meskipun belum tertata
rapih, dokumentasi dari setiap kegiatan sudah tercatat. Permasalahan- permasalahan yang timbul di dalam lembaga diusahakan diselesaikan secara
internal lembaga sebelum dibawa ke pihak luar. Termasuk penanganan masalah pencurian skala kecil oleh anggota kelompok.
Penyelesaian kasus pencurian kayu skala kecil yang dilakukan oleh anggota KTH diproses dan diselesaikan secara internal dalam LMDH. Anggota
KTH yang mencuri diberikan pemahaman tentang pentingnya kebersamaan dalam menjaga hutan yang menjadi tanggung jawab bersama antara Perhutani
dengan kelompok tani. Mereka harus membuat surat pernyataan yang berisi pernytaan tidak akan melakukan pencurian lagi baik di wilayah garapannya atau
di wilayah lainnya. Surat pernyataan diketahui oleh pengurus LMDH. KTH di kampung Hajere, Desa Tapos lebih dahulu terbentuk dan
melakukan pembinaan dalam kegiatan kelompok sebelum adanya LMDH di Desa Tapos. Kegiatan kerja sama dengan Perhutani sudah dilakukan oleh KTH
andalan yang lebih dahulu terbentuk. Hubungan antara KTH dan LMDH di Desa Tapos kurang harmonis, KTH dengan LMDH terlihat berjalan sendiri-sendiri.
Pengurus KTH merasa lebih berpengalaman daripada LMDH yang baru dibentuk belum lama.
Menurut serorang Ketua LMDH, PHBM dianggap masih didominasi mandor Perhutani. Tidak ada transparansi, mandor seenaknya saja tidak
memberikan informasi atau berkomunikasi dengan baik kepada penggarap pada saat kegiatan seperti penanaman, penebangan. Uang bagi hasil penjarangan
tidak jelas waktu pembagiannya. LMDH hanya kebagian capainya saja, tanggung jawab terhadap keamanan hutan tidak sebanding dengan bagi hasil yang
diterima. Aktivitas LMDH d iselenggarakan di rumah ketua LMDH. Beberapa tahun sebelumnya sebenarnya sudah tersedia kantor LMDH di salah satu Kantor
Kepala Desa Tapos. Sekarang tidak ada lagi kantor LMDH karena dipakai untuluan keperluan lain sehingga aktivitas LMDH dijalankan di rumah ketuanya.
Mundurnya beberapa penggerak KTH Hajere menjadi indikasi adanya permasalahan dalam pelaksanaan PHBM di lapangan. Ketua KTH Hajere sudah
mundur sejak 2008 yang lalu tidak mau lagi meneruskan menjadi ketua KTH, kemudian diganti ketua yang baru. Menurut Ketua yang mengundurkan diri,
sampai saat ini tidak ada perkembangan aktivitas yang bisa dilakukan setelah PHBM berjalan selama lima tahun. Bersama dengan para tokoh di desa Tapos
92 dan petani lainnya, mereka mendirikan Gabungan Kelompok Tani Gapoktan
sebuah institusi baru yang dibentuk untuk dapat mengakses salah satu program bantuan modal usaha tani dari Kementerian Pertanian.
LMDH Ciomas sudah lama terbentuk, aktivitas petani disamping tumpangsari banyak juga penduduk yang mengembangkan ternak lebah madu.
Pengurus LMDH Ciomas beberapa kali mengajukan usulan usaha produktif budidaya lebah madu. Bentuk usulannya adalah disediakannya kawasan hutan
yang akan ditanami pohon yang menghasilkan bunga untuk konsumsi lebah. Sampai sekarang usulan tersebut belum direalisasikan.
Aktivitas LMDH baik untuk urusan administrasi, pertemuan, rapat ada di rumah ketua LMDH. Sebagai Ketua LMDH Ciomas, disamping menjadi pengelola
LMDH juga pegiat dalam Forum Komunikasi PHBM. Tetapi usulan yang disampaikan dalam pelbagai forum di Bogor, dan Jawa Barat belum ada
tanggapan untuk membantu mengembangkan LMDH yang dikelolanya.. Pembangunan kelembagaan merupakan suatu proses untuk memperbaiki
kemampuan suatu lembaga dalam menggunakan sumberdaya yang tersedia berupa manusia dan dana secara efektif. Keefektifan lembaga tergantung pada
lokasi aktivitas dan teknologi yang digunakan oleh suatu lembaga. Konsep keefektifan diartikan sebagai kemampuan suatu lembaga dalam mendefinisikan
seperangkat standar dan menyesuaikannya dengan tujuan operasionalnya Israel, 1987.
Dalam penguatan PHBM perlu dilakukan pendekatan komprehensif, antara lain melalui pendekatan sistem sosial budaya, pendekatan
pengembangan ekonomi wilayah, dan pendekatan kelembagaan. Dalam pendekatan kelembagaan, disyaratkan adanya mekanisme untuk
mengkonversikan aspirasi dan kebutuhan objektif masyarakat. Diperlukan pula kelengkapan kebutuhan kelembagaan, mobilisasi untuk memenuhi tuntutan
kebutuhan masyarakat, dan pengaturan wahana struktural organisasi, serta adanya teladan birokrasi dalam melakukan penguatan kapasitas. Dalam konteks
perubahan sosial, proses implementasi sistem PHBM dilaksanakan dengan dinamis, tidak seragam di semua wilayah. Implementasi PHBM tidak berada di
dalam ruang yang hampa dan steril dari beragam intervensi dan kepentingan. Lembaga-lembaga yang terlibat dalam pengelolaan hutan sistem PHBM:
masyarakat desa hutan MDH termasuk di dalamnya petani hutan dan masyarakat secara umum, baik yang merupakan anggota KTHLMDH maupun
93 yang bukan anggota. Perum Perhutani sebagai badan usaha milik negara yang
mendapatkan mandat pengelolaan hutan di Jawa. Pemerintah Desa, Kecamatan, dan pemerintah daerah, petani, dinas instansi atau pihak terkait yang lain, LSM,
investor, pedagang hasil pertanian dan hasil hutan. Pelaksanaan pembangunan hutan dapat berjalan dengan baik, dengan
adanya dukungan dari berbagai pihak. Sumberdaya hutan perlu dikelola dengan bijaksana dengan memperhatikan kepentingan banyak pihak. Hutan tidak
menjadi objek saja tetapi sebagai bagian dari subjek pengelolaan Perum Perhutani. Tanggung jawab pembangunan hutan tidak hanya di tangan
Perhutani, tetapi juga di tangan instansipihak terkait dan masyarakat desa hutan. Masyarakat Desa Hutan MDH adalah masyarakat yang tinggal di dalam
dan atau sekitar hutan. Masyarakat desa hutan yang memperoleh kesempatan dan kepercayaan untuk terlibat dalam pengelolaan hutan akan merasa ikut
memiliki. Dengan demikian masyarakat akan termotivasi diri untuk ikut menjaga kelestarian sumberdaya hutan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan
dalam pengelolaan hutan. MDH meliputi petani hutan yang tergabung dalam kelompok tani hutan
KTH di tiap blok atau petak, tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat dan kebijakan di masyarakat desa. Kedekatan geografis
masyarakat dengan hutan mau tidak mau haurs berinteraksi dengan hutan baik langsung maupun tidak langsung. MDH tidak hanya berinteraksi dengan hutan
tapi juga yang mendapatkan akibat secara langsung dari pengelolaan hutan yang dilakukan.
Adanya kelembagaan seperti KTH LMDH dan aktivitas lembaga tersebut membantu keamanan hutan. Kebakaran hutan merupakan ancaman keamanan
yang paling membayakan, sekarang kejadian kebakaran semakin jarang terjadi. Jika ada kebakaran misalnya mereka langsung terlibat dan segera melaporkan
kepada Perhutani sehingga dapat ditangani dengan cepat sebelum kebakaran meluas.
Pencurian kayu yang biasa dilakukan oleh petani dapat dikurangi meskipun masih terjadi pencurian. Dengan adanya tanggung jawab sosial untuk
menjaga keamanan hutan yang menjadi wilayah garapannya pencurian kayu semakin jarang ditemukan. Sebagian besar anggota kelompok tani merasa
mempunyai tanggung jawab keamanan di wilayah garapannya masing-masing, sehingga kasus pencurian di wilayah mereka semakin berkurang.
94 LMDH dituntut untuk terus menerus berada dalam proses pembelajaran,
memperbaharui dirinya dan mengembangkan kreativitas-kreativitas sosial ekonomi dalam mewujudkan tujuannya. Dengan demikian LMDH sebagai
motivator dan stimulator pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa hutan, tidak tertinggal jauh dari arus perubahan itu sendiri. Masyarakat desa
hutan dibekali kemampuan untuk dan memahami potensi diri dan lingkungannya, dibekali kemampuan untuk merumuskan dan merencanakan tujuan yang ingin
dicapainya. Kemampuan lain untuk “menjual” nilai tambah yang dimilikinya, dan kesempatan untuk dapat menjalin kemitraan dan kerjasama dengan lembaga,
institusi, organisasi lainnya. Optimalisasi kelembagaan yang menjadi tahapan sangat kritis itu,
memerlukan energi yang sangat besar untuk dilakukan. dalam optimalisasi kelembagaan ini, diperlukan adanya peningkatan kapasitas kelembagaan yang
terlibat dalam PHBM, baik itu Perum Perhutani, jajaran institusi pemerintah, dan lembaga terkait lainnya, sehingga semua penyelenggaraan kegiatan
terkoordinasikan dengan baik, sinergis dan secara berkelanjutan. Masalahnya, masing-masing institusi tersebut memiliki kepentingan dan alur kerja sendiri atau
ego sektoral yang terkadang sulit untuk diselaraskan. Untuk bisa berkembang LMDH dituntut untuk terus menerus dalam
proses pembelajaran, memperbaharui dirinya dan mengembangkan kreativitas- kreativitas sosial ekonomi dalam mewujudkan amanah yang dibebankan
kepadanya. Dengan demikian LMDH sebagai motivator dan pendorong pemberdayaan masyarakat desa hutan, mampu mengantisipasi arus perubahan
yang terus berlanjut. LMDH dan masyarakat desa hutan perlu dibekali kemampuan untuk
mengenali, menggali dan memahami potensi diri dan lingkungannya. Lembaga ini juga mampu untuk merumuskan dan merencanakan tujuan yang ingin
dicapainya, mengevaluasi kinerjanya, dan mampu menjual nilai tambah yang dimilikinya. LMDH harus memiliki kemampuan dan kesempatan untuk dapat
menjalin kemitraan dan kerjasama dengan lembaga, institusi, organisasi serta warga bangsa lainnya.
Proses penyusunan rencana dilakukan secara bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan hutan, dengan proses yang partisipatif. Semua
pihak yang terlibat duduk bersama, saling terbuka dan berkomitmen sama untuk mewujudkan kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam proses
95 tersebut dapat digali potensi dan peluang, kendala-kendala yang ada dalam
melaksanakan pembangunan hutan, sehingga dapat dicari jalan keluar yang terbaik yang menguntungkan semua pihak yang terlibat. Alternatif pemecahan
masalah ini yang kemudian disusun sebagai rencana partisipatif dalam pengelolaan hutan. Rencana partisipatif ini menjabarkan kegiatan-kegiatan
dalam pengelolaan hutan yang meliputi kegiatan teknik kehutanan, pengembangan kelembagaan, pengembangan ekonomi dan sosial
kemasyarakatan. Menurut Awang 2001, sangat penting untuk memperkuat organisasi
masyarakat pengelola social forestry agar mereka memahami dengan benar hak dan kewajiban atas sumberdaya hutan. Dengan institusi sosial yang kuat, piranti
organisasi dan norma-norma yang benar yang dibangun di dalam institusi sosial masyarakat program community forestry dapat berlangsung dengan baik.
Kelembagaan bukan hanya sebatas pada membentuk organisasi masyarakat, tetapi harus lebih menjangkau batas-batas yuridiksi atas lahan, permodalan,
dukungan kebijakan, dan pemberdayaan yang demokratis. Penguatan institusi lokal harus dilaksanakan sebagai sarana untuk
meleburkan peran dan tanggung jawab semua pihak Perum Perhutani, masyarakat, pemda, investor. Pengembangan institusi bisa dimulai dari proses
membangun mekanisme lembaga musyawarah di tingkat desa, kelompok kerja kehutanan di tingkat kecamatan sampai kabupaten. Diperlukan fasilitasi
munculnya peraturan daerah dan peraturan lokal tentang desentralisasi dan devolusi pengelolaan sumber daya hutan yang sesuai dengan kondisi nyata di
lapangan. Devolusi pengelolaan hutan diharapkan dapat mendekatkan perencanaan
dan pengawasan pada masyarakat desa hutan MDH, Perhutani, dan pemerintahan lokal sekaligus secara bertahap mengubah struktur Perhutani dari
“penguasa” menjadi pelayan publik. Dengan demikian akan mendekatkan struktur kekuasaan dengan struktur sosial dan pemerintahan lokal. Kebijakan
yang dilaksankan harus disesuaikan dengan kondisi spesifik lokal daerah. Kendala utama dalam pengembangan lembaga adalah terhentinya atau
terputusnya proses pengembangan kelembagaan, yang akhirnya mengalami kegagalan. Proses pengembangan kelembagaan merupakan rangkaian dari
proses panjang, rumit meskipun tidak berurutan, harus ada dalam sebuah proses
96 pemberdayaan masyarakat. Diperlukan komitmen kuat, kesabaran, dan keuletan
luar biasa untuk dapat terus menerus mengembangkan lembaga. Para pihak yang berkaitan dengan program PHBM selain Perum
Perhutani adalah pemerintahan desa, investor, LSM, Forum Komunikasi PHBM. Perum Perhutani merupakan pihak yang diberi kewenangan oleh negara melalui
Departemen Kehutanan untuk melakukan pengelolaan hutan di wilayah hutan negara. Perhutani memiliki perangkat yang dapat menjangkau seluruh kawasan
hutan dan memahami kondisi hutan yang dikelolanya. Perhutani harus terlibat langsung sebagai pengelola dan penerima manfaat ekonomi dari produksi hasil
hutannya. Pemerintah desa sebagai pemangku wilayah administratif memiliki
kewenangan dalam pengambilan kebijakan di wilayahnya serta memiliki kekuatan sosial dalam mengatur masyarakatnya. Pada umumnya di desa hutan
para perangkat desa atau yang biasa disebut perangkat desa merupakan tokoh yang memiliki pengaruh dan sebagai panutan bagi masyarakat yang desa.
Investor merupakan pihak yang menginvestasikan atau menanamkan modalnya untuk kegiatan pengelolaan hutan, baik untuk pengembangan
tanaman kayu maupun hasil hutan nonkayu. Investor mempunyai peran yang sangat potensial untuk bisa mengembangkan program. Pelaku bisnis mempunyai
keterlibatan yang tidak langsung dengan hutan tapi merupakan pihak yang memiliki peran besar dalam pemasaran hasil hutan. Pihak lain yang berperan
dalam pemasaran hasil pertanian dan kehutanan adalah koperasi petani. Koperasi petani berfungsi sebagai penampung produk pertanian dari para petani
dan penyedia kebutuhan para petani seperti pupuk, benih, obat-obatan pemberantas hama dan lain-lain.
Lembaga swadaya masyarakat merupakan lembaga yang dapat mendampingi petani dalam melakukan negosiasi dengan pihak lain melalui
advokasi. LSM dapat pula dapat menjadi mediator yang menjembatani kepentingan petani dan pihak luar. Fasilitasi dapat juga dilakukan lembaga ini
untuk mengakses sumber daya alam, modal, dan pasar. Forum Komunikasi PHBM FK PHBM adalah lembaga desa yang
mewakili kepentingan masyarakat desa hutan untuk memberi masukan-masukan berkaitan dengan pelaksanaan program PHBM. FK PHBM berfungsi melakukan
koordinasi dan mengkomunikasikan informasi-informasi yang berkait dengan pengelolaan hutan dalam pelaksanaan PHBM. FK PHBM mempunyai tugas
97 untuk membina, mengawasi, mengevaluasi LMDH dan KTH dalam pengelolaan
hutan.
7.5 Partisipasi Masyarakat Dalam PHBM