26 yaitu suatu kecenderungan yang stabil untuk berlaku atau bertindak secara
tertentu di dalam situasi yang tertentu pula Polak, 1976. Secara umum persepsi merupakan proses yang terjadi di dalam diri
individu yang dimulai dengan diterimanya rangsang, sampai rangsang itu disadari dan dimengerti oleh individu sehingga individu dapat mengenali dirinya
sendiri dan keadaan di sekitarnya. Persepsi merupakan proses pengorganisasian dan penginterpretasian terhadap stimulus oleh organisme atau individu sehingga
didapat sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang terintegrasi dalam diri individu.
Persepsi juga mencakup konteks kehidupan sosial, sehingga dikenallah persepsi sosial. Persepsi sosial merupakan suatu proses yang terjadi dalam diri
seseorang yang bertujuan untuk mengetahui, menginterpretasi, dan mengevaluasi orang lain yang dipersepsi, baik mengenai sifatnya, kualitasnya,
ataupun keadaan lain yang ada dalam diri orang yang dipersepsi sehingga terbentuk gambaran mengenai orang lain sebagai objek persepsi tersebut
Lindzey Aronson.
2.5 Pemberdayaan Masyarakat dalam Kemitraan
Program kemitraan yang dilaksanakan antara Perhutani dan masyarakat seharusnya mendasarkan pada prinsip pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.
Pemberdayaan empowerment bermakna pemberian kekuasaan sebagai sebuah proses yang mempunyai tiga tahapan : penyadaran, pengkapasitasan,
dan pendayaan Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 2007. Dalam tahap penyadaran, target yang hendak diberdayakan diberi ”pencerahan” berupa pemberian
penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mempunyai ”sesuatu”. Target dapat menjadi kaya jika mereka mempunyai kapasitas untuk keluar dari
kemiskinannya. Prinsip dasarnya adalah membuat target mengerti bahwa mereka merasa perlu diberdayakan, proses pemberdayaan ini dimulai dari dalam
diri mereka sendiri bukan dari orang luar. Tahap kedua adalah pengkapasitasan capacity building atau
memampukan. Untuk bisa diberdayakan target harus mampu terlebih dahulu. Proses pengkapasitasan mencakup manusia, organisasi, dan sistem nilai.
Pengkapasitasan manusia berarti memampukan manusia baik secara individu maupun kelompok. Pengkapasitasan organisasi dilakukan dalam bentuk
restrukturisasi organisasi yang hendak menerima daya. Pengkapasitasan sistem
27 nilai dilakukan dengan membantu membuatkan aturan main diantara mereka
sendiri. Tahap ketiga adalah pemberian daya, pada tahap ini, target diberikan
daya, kekuasaan, otoritas, atau peluang. Pemberiaan daya ini sesuai dengan kualitas kecakapan yang telah dimiliki. Proses pemberian daya atau kekuasaan
diberikan sesuai dengan kecakapan penerima. Pemberdayaan adalah proses penguatan agar seseorang atau
sekelompok masyarakat dapat berpartisipasi dalam mengkontrol dan mempengaruhi jalannya kekuasaan dan lembaga-lembaga yang terkait dan
mempengaruhi kehidupan seseorang atau masyarakat. Dalam konteks ini, pemberdayaan menekankan pentingnya masyarakat menguasai keterampilan,
pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupan dirinya dan masyarakat sekitarnya yang menjadi bagian dari tanggung jawab
sosialnya Parson, et.al; 1994. Menurut Friedmann 1992, pemberdayaan masyarakat merupakan
proses dialektika, baik pada tataran ideologis atau praksis, tidak hanya sebatas masalah ekonomi, tetapi juga masalah politik, sehingga masyarakat mempunyai
posisi tawar yang lebih baik. Pada tataran ideologis, pemberdayaan masyarakat adalah hasil dialektika antara konsep top down dan bottum up, maupun antara
growth strategy dan people centered strategy; Sedangkan pada tataran praksis muncul pertentangan antar otonomi. Fokus pemberdayaan masyarakat bersifat
lokalitas, karena masyarakat madani akan merasa siap diberdayakan melaui isu- isu lokal. Untuk itu dipandang perlu memperhatikan kekuatan-kekuatan ekonomi
dan struktur-sturktur di luar masyarakat madani tersebut. Dalam konsep pemberdayaan, menurut Prijono dan Pranarka
1996,manusia adalah subyek dari dirinya sendiri. Proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan kemampuan kepada masyarakat agar
menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Lebih lanjut
dikatakan bahwa pemberdayaan harus ditujukan pada kelompok atau lapisan masyarakat yang tertinggal.
Paradigma baru pembangunan dan pemberdayaan masyarakat mencakup 4 aspek, yakni; 1 people centered, 2 participatory, 3 empowering,
and 4 sustainable Chambers, 1987. Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan mempunyai beberapa prinsip dasar, yakni; 1 masyarakat menjadi pelaku utama
28 dari setiap kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengambilan manfaat, 2
masyarakat berperan sebagai pengambil keputusan, 3 pemerintah sebagai pendamping dan pengendalian kegiatan, 4 kepastian hak dan kewajiban semua
pihak, 5 kelembagaan ditentukan oleh masyarakat, dan 6 pendekatan berdasarkan pada upaya kelestarian fungsi hutan termasuk keanekaragaman
hayati Dept.Hut, 2000. Keterbelakangan dan kemiskinan yang muncul dalam proses
pembangunan disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam pemilikan atau akses pada sumber–sumber power. Proses historis yang panjang menyebabkan
terjadinya power dispowerment, yakni peniadaan power pada sebagian besar masyarakat, akibatnya masyarakat tidak memiliki akses yang memadai terhadap
akses produktif yang umumnya dikuasai oleh mereka yang memiliki power. Pada gilirannya keterbelakangan secara ekonomi menyebabkan mereka makin jauh
dari kekuasaan. Sumodiningrat 1999 menyebutkan bahwa penyempurnaan pendekatan
pembangunan memerlukan strategi pemberdayaan masyarakat melalui tiga arah, yakni: 1 pemihakan dan pemberdayaan masyarakat, 2 pemberian otonomi
dan pendelegasian wewenang dalam pengelolaan pembangunan daerah yang mengembangkan peran serta masyarakat, 3 modernisasi melalui penajaman
arah perubahan struktur sosial budaya dan ekonomi masyarakat lokal. Pemberdayaan masyarakat berarti upaya realokasi kekuasaan melalui
pengubahan struktur sosial dan budaya Swift dan Levin, 1987; caranya dengan meningkatkan kemampuan masyarakat dan kelembagaan sehingga mampu
menguasai atau berkuasa untuk menentukan arah kehidupannya Rapport, 1984;
Schlager dan Ostrom 1992 menyatakan bahwa hak-hak atas sumberdaya alam SDA dapat diklasifikasi menjadi 5 kategori; 1 Hak atas
akses rights of access, yakni hak untuk memasuki suatu wilayah tertentu, 2 Hak pemanfaatan right of withdrawal, yakni untuk mengambil sesuatu atau
memanen sesuatu hasil alam, 3 Hak pengelolaan rights of management, yakni hak untuk mengatur pola pemanfaatan internal dan mengubah sumberdaya yang
ada untuk tujuan meningkatkan hasil atau produksi, 4 Hak pembatasan rights of exclusion, yakni hak untuk menentukan siapa saja yang dapat memperoleh
hak atas akses dan membuat aturan pemindahan hak atas akses dari seseorang
29 ke orang lainnya, kelompok atau lembaga, dan 5 Hak pelepasan rights of
alienation, yakni hak untuk menjual atau menyewakan atau kedua-duanya. Akses masyarakat terhadap kekuasaan dan sumber-sumber instrumental
dalam memperkuatan pengambilan keputusan dan formulasi kebijakan membutuhkan adanya modal sosial. Modal sosial dapat dipergunakan untuk
melihat fungsi-fungsi hubungan hierarki organisasi, seperti struktur organisasi formal, regim politik, sistem hukum, sistem pengadilan, dan kebebasan politik
Krishna, 1999. Kemiskinan dan kekurangan pangan masyarakat miskin menurut Sen
1981 bukan semata-mata karena keterbatasan SDA, tetapi lebih karena mekanisme sosial politik yang mengakibatkan kekuarangan pengakuan hak
pertukaran bagi masyarakat miskin. Pengakuan hak sering bersifat mendua, dan berada pada wilayah abu-abu, sehingga membuatnya menjadi konsep yang
bermanfaat bagi analisis sosial politik. Dietz 1998 menyatakan bahwa bentang alam dan cadangan SDA dalam
suatu kawasan adalah gelanggang politik yang diperebutkan. Berkaitan dengan beragam SDA, maka pengakuan hak mencakup tiga hal; 1 hak atas
sumberdaya sendiri, 2 hak untuk memanfaatkannya, dan 3 hak untuk ikut serta dalam proses pembuatan keputusan-keputusan pengelolaannya. Dari
beberapa uraian di atas, dapat diketahui bahwa masalah tenurial terjadi dan berkaitan langsung dengan masalah kekuasaan sistem politik, sosial budaya,
ekonomi dan hukum.
2.6 Kelembagaan sebagai Prakondisi Pelibatan Rakyat