7 Penebangan ribuan pohon yang terjadi pada era reformasi merupakan
”bom waktu” yang dibuat karena adanya penindasan dan larangan Perhutani terhadap masyarakat untuk mengakses hutan. Pada Tahun 2001 Perhutani
mengalami kerugian milyaran rupiah dalam waktu singkat akibat hilangnya ribuan pohon jati dan kerusakan hutan di kawasan yang melimpah sumber daya
hutannnya. Menghadapi kondisi kritis ini Perhutani masih bekerja seolah-olah tidak ada kejadian luar biasa business as usual Peluso, 2006.
Persoalan akses menjadi awal munculnya gerakan masyarakat hutan desa, karena hutan masih dianggap sebagai warisan leluhur mereka yang harus
mereka kelola dan manfaatkan untuk kepentingan anak cucu mereka. Keberadaan hukum formal dalam mewujudkan keadilan dan kemanfaatan hutan
menjadi tidak berguna lagi. Tindakan-tindakan untuk melawan dominasi perhutani terus berlangsung di beberapa daerah di pulau Jawa, meskipun dari
bentuk yang paling kecil seperti mengirim surat penolakan sampai menganggap bahwa perhutani merupakan perpanjangan kepentingan kolonial. Perlawanan
Serikat Petani Pasundan SPP di kawasan selatan Jawa Barat dengan pengelolaan hutan oleh rakyat dan ternyata hutan di kawasan itu lebih baik
dibandingkan dengan hutan yang dikelola Perhutani. Berbagai bentuk perlawananan masyarakat tidak menjadi koreksi ataupun kritik terhadap
pemerintah malah mereka dianggap sebagai ancaman kedaulatan, dan dikrimiminalkan.
1.1.3 Meningkatnya Kesadaran Perlunya Pelibatan Masyarakat
Era reformasi membawa perubahan sistem sosial politik perubahan pembangunan sumberdaya hutan diantaranya: 1. Semangat sentralistik
menjadi desentralistik, 2 Melemahnya wibawa pemerintah pusat di mata masyarakat, 3 Munculnya suara demokratis dari rakyat yang menggugat
kepemilikan sumberdaya alam yang dikuasai negara, 4 Munculnya pendekatan pengelolaan sumberdaya alam dari state based menuju community based, 5
munculnya perlawanan kelompok masyarakat yang tersingkirkan melalui gerakan penjarahan hutan secara massif Awang,2009.
Maraknya konflik tenurial sumberdaya hutan di era reformasi, mendorong lahirnya kesadaran baru tentang pentingnya melibatkan masyarakat di sekitar
hutan dalam pengelolaan hutan. Semua orang sepakat mengelola hutan tanpa kebersamaan dengan masyarakat sekitar hutan tidak mungkin lagi dilakukan.
8 Siapa pun pengelola hutan tidak mungkin berhasil tanpa dukungan dari
organisasi masyarakat. Banyaknya gangguan sistem pengelolaan hutan Perhutani di berbagai
wilayah menjadi salah satu faktor pendorong lahirnya program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PHBM meskipun kebanyakan staf Perhutani
seperti ”terpaksa” mengembangkan PHBM Affianto, 2005. Program PHBM merupakan bentuk kemitraan yang dilaksanakan antara Perhutani bersama
dengan masyarakat yang dirancang untuk bisa menampung dinamika dan kebutuhan masyarakat sekitar hutan dengan melibatkan mereka. Sebagai
sebuah pranata sosial yang baru dibentuk, PHBM disangsikan dapat mengakomodasi nilai-nilai lokal, tradisi, kepemimpinan yang sebenarnya suda
ada pada masyarakat. Dari segi landasan filosofinya dapat dicermati bahwa PHBM merupakan
penyempurnaan dari ideologi pembangunan yang bersumber dari pendekatan karitatif charity kapitalisme. PHBM masih dipahami sebagai projek dan belum
menunjukkan dimensi pemihakan terhadap masyarakat sendiri, belum menjadi transformasi kehutanan yang konkrit, tetapi baru melakukan perubahan pada
tingkat pengelolaan dan teknis. Dengan pendekatan yang belum jelas karena ketidakjelasan filosofi dan prinsip dasarnya, maka harapan agar PHBM dapat
memberdayakan masyarakat akan sulit direalisasikan. Program ini belum menjadi emanasi dari suprastruktur, ideologi, politik kebijakan pengelolaan hutan
yang berpihak kepada masyarakat. Diperlukan pergeseran konseptual dalam Pengelolaan kehutanan
masyarakat. Pengelolaan yang mengutamakan akses masyarakat untuk bisa memanfaatkan sumberdaya hutan berkaitan erat dengan keberadaan institusi
lokal. Pengelolaan hutan kemasyarakatan perlu dukungan pengembangan institusi lokal sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat. Membangun
kelembagaan hutan kemasyarakatan di tingkat internal melalui simpul belajar untuk mengubah pola pikir aparat kehutanan pusat dan daerah dari paradigma
konvensional yang berorientasi ke arah pengelolaan hutan bersama masyarakat berbasis kemitraan, berdasarkan pengalaman lapangan. Campbell 1997
mengusulkan adanya perubahan sikap dan orientasi, mekanisme institusional, dan manajemen dalam tabel 1.
Kajian tentang program kehutanan masyarakat telah banyak dilakukan. Peluso 2006 meneliti tentang kebijakan pengelolaan hutan di Jawa dengan
9 mengambil lokasi di beberapa desa pinggiran hutan Kabupaten Blora, Jawa
Tengah. Perhutani sebagai pengelola hutan di Jawa mempunyai hubungan yang rumit dengan masyarakat sekitar hutan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
sejak masa kolonial hingga sekarang masyarakat dan hutan justru menjadi korban, penguasaan sumber daya berdampak pada pemiskinan rakyat di
sekitarnya. Program-program sosial yang dikembangkan oleh pengelola hutan sejak awal telah gagal memberi solusi yang mendasar, yakni menjadikan hutan
sebagai basis material penopang kehidupan masyarakat sekitar hutan yang sebagian besar adalah petani tak bertanah. Penelitian ini merupakan telaah
ekologi politik dengan melihat berbagai fenomena ekonomi politik, kekuasaan, kewenangan dan institusi dalam pengelolaan hutan di Jawa.
Kusdamayanti 2008 menekuni tentang pengelolaan hutan kolaboratif di Kabupaten Malang dalam bentuk Pola Kemitraan Pengelolaan Hutan PKPH
sebagai sebuah kebijakan yang dimulai sejak 2004. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa peran negara dan partisipan lainnya dalam proses
formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan belum setara. Berbagai bentuk dominasi negara yang direpresentasikan oleh Perum Perhutani dan Pemerintah
Daerah terjadi. Dialog otentik yang diperlukan untuk berlangsungnya kebijakan deliberatif belum berjalan. Adanya perlawanan rakyat secara tertutup karena
kebutuhan ekonomi, perlawanan terbuka berupa demonstrasi sebagai bentuk respon dari penyelesaian konflik yang tidak memuaskan. Dialog akibat adanya
kebuntuan komunikasi. Upaya untuk menjadikan PKPH sebagai kebijakan yang lebih demokratis dan adil mengalami kegagalan karena masih kuatnya dominasi
yang dilakukan oleh negara dan belum siapnya para partisipan untuk menjalankan kebijakan PKPH sebagai kebijakan yang deliberatif.
Purwita 2009 mengkaji tentang Kegiatan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PHBM di wilayah Pengalengan, KPH Bandung Selatan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa PHBM belum sepenuhnya mampu mengentaskan masyarakat sekitar hutan dari belenggu kemiskinan, tetapi cukup
berhasil mengatasi perambahan kawasan hutan lindung melalui program alih komoditas dari bertanam sayur menjadi bertanam kopi yang lebih ramah
lingkungan. Kebijakan ekonomi dan kelembagaan terbukti belum mampu sepenuhnya mengatasi masalah kemiskinan diperlukan dukungan penguatan
kelembagaan sebagai prasyarat yang diharapkan mampu memperbaiki keragaan implementasi PHBM di level mikro.
10
Tabel 1, Pergeseran Konseptual yang Diperlukan
Sumber : Campbell, 1997 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku ekonomi rumah tangga
petani PHBM adalah luas lahan garapan, harga faktor input pupuk, obat, bibit, harga output, upah tenaga-kerja, pendapatan, serta total biaya produksi
usahatani. Faktor lahan, harga input dan upah dapat menjadi instrumen kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah dan Perhutani untuk
memberdayakan petani keluar dari belenggu kemiskinan. Suhardjito 1992 menelaah dinamika komunitas pedesaan sekitar hutan
KPH Saradan. Penelitian ditujukan untuk memahami proses sosial dan proses teknis dalam penerapan program perhutanan sosial serta pengaruhnya terhadap
produktivitas usaha tani tumpangsari, pendapatan rumah tangga, pemerataan sosial ekonomi, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan secara
berkelanjutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan yang diperoleh No. Dari Kondisi
Menuju Kondisi A
Sikap dan orientasi 1
Pengendalian Fasilitasi
2 Penerima Manfaat
Mitra 3
Pengguna Pengelola
4 Keputusan unilateral
Partisipatif 5
Orientasi penerimaan Orientasi sumberdaya
6 Keuntungan nasional
Orientasi keadilan lokal 7
Diarahkan oleh perencanaan Proses belajar evolusi
B Institusional dan Administratif
8 Sentralisasi
Desentralisasi 9
Manajemen oleh pemerintah Kemitraan
10 Top down
Partisipatif negosiatif 11
Orientasi target Orientasi proses
12 Anggaran kaku untuk rencana
makro Anggaran fleksibel dengan
rencana mikro 13
Peraturan untuk menghukum Penyelesaian konflik
C Metode Manajemen
14 Kaku
Fleksibel 15
Tujuan Tunggal Tujuan beragam
16 Keseragaman
Keanekaragaman 17
Produk tunggal Produk beragam
18 Menu manajemen tetap dengan
aturan silvikultur tunggal Beragam pilihan aturan silvikultur
untuk bspesifikasi lokasi 19
Tanaman Regenerasi alam
20 Tenaga kerjaburuhPengumpul
Manajer pelaksanapemrosespemasar
11 usaha tani tumpangsari memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan,
petani berlahan sempit dan buruh tani mempunyai ketergantungan besar terhadap usaha tani tumpangsari. Kondisi ekologis berpengaruh terhadap
besarnya manfaat dari program perhutanan sosial. Petugas lapangan Perhutani masih mendominasi dalam hubungan sosial dengan pesanggem. Perhutani
menggunakan kelompok tani hutan yang ada untuk menyampaikan informasi. Dalam penelitian Ichwandi dan Saleh 2000, pola kemitraan dalam
pengelolaan hutan memberikan manfaat dari segi sosial, yaitu: 1 untuk mengatasi konflik tanah 2 membantu pembangunan lembaga sosial ekonomi,
3 membantu pembangunan sumber daya manusia masyarakat. Dari segi ekologi, membantu penurunan tingkat degradasi dan kerusakan lahan melalui
kegiatan penanaman sehingga kondisi hutan menjadi lebih baik. Terkait dengan partisipasi masyarakat, Pujo 2003 mengkaji tentang
partisipasi masyarakat dalam program kehutanan sosial di Perhutani unit III Jawa Barat. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa program PHBM mampu
meningkatkan pemerataan pendapatan dibanding program PMDH. Keberhasilan program perhutanan sosial berkaitan dengan peserta partisipasi masyarakat.
Pelibatan masyarakat perlu dilakukan pada proses kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pemanfaatan hasil. Faktor-faktor
yang mempengaruhi partisipasi masyarakat adalah faktor intrinsik dan faktor lingkungan.
Siswiyanti 2006 juga melakukan kajian hubungan karakteristik anggota masyarakat sekitar hutan dan beberapa faktor pendukung dengan partisipasinya
dalam pelestarian hutan di BKPH Parung Panjang, KPH Bogor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan baik
dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pemanfaatan tergolong rendah. Penyebab rendahnya partisipasi adalah : 1 Pengambilan keputusan dalam
PHBM didominasi Perum Perhutani 2 Tanaman pohon merupakan investasi jangka panjang 3 kegiatan PHBM belum dapat menjamin pemenuhan
kebutuhan masyarakat. Pemilihan lokasi penelitian di Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan
BKPH Parung Panjang, Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan KPH Bogor, dengan pertimbangan bahwa kegiatan PHBM di BKPH Parung Panjang
mempunyai kompleksitas masalah yang rumit dengan tingkat keberhasilan sangat beragam dari masing-masing kelompok tani hutan KTH dan Lembaga
12 masyarakat Desa hutan LMDH. Oleh karena itu pengkajian secara holistik
implementasi PHBM di BKPH Parung Panjang, dapat menjadi contoh kasus untuk mengkaji lebih mendalam persoalan hutan kemasyarakatan. Fokus
penelitian ini bertolak dari pengkajian yang bersifat mikro berupa aktivitas dan dinamika kelompok tani hutan KTH, dan LMDH di lokasi penelitian.
1.2 Permasalahan Penelitian