Jalan Menuju Pemerataan Penguasaan dan Akses Lahan

126 pada pemodal besar sehingga mengabaikan kepentingan dan akses atas sumber daya alam 3 Ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam berpusat pada negara sehingga pengelolaan sumber daya alam yang sentralistik. 4. Implementasi pengelolaan yang dilakukan pemerintah bersifat sektoral, sehingga sumber daya alam tidak dilihat sebagai sistem ekologi yang terintegrasi. Implikasinya, bangunan kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya alam menjadi tidak terintegrasi dan tidak terkoordinasi antara sektor yang satu dengan sektor yang lain, sehingga setiap sektor cenderung berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan visi sektornya masing-masing Nurjaya 2006. Bila melihat isi Pasal 33 UUD 45, negara atau pemerintah yang diberi wewenang dalam mengelola sumberdaya hutan, seharusnya memberikan manfaat hutan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sulit dipahami, jika tujuan memakmurkan rakyat itu ditempuh dengan jalan menyingkirkan rakyat dari sumber penghidupannya.

8.4 Jalan Menuju Pemerataan Penguasaan dan Akses Lahan

Hutan damar, hutan Kemiri, hutan RAKYAT contoh pemberian akses khusus yang lebih luas. Kondisi pertanahan di Indonesia kontemporer belum berubah dari zaman kolonialisme. Sengketa dan ketimpangan pemilikan serta penguasaan tanah adalah warisan penjajahan. Konsep semula yang digunakan adalah tanah dan hutan adalah milik Raja Mataram yang berkuasa di Pulau Jawa. Oleh karena Raja Mataram telah menyerahkan kekuasaannya atas sebagian wilayah Pulau Jawa kepada VOC, maka hutan-hutan di Pulau tersebut menjadi hak milik domein VOC atau Raja Mataram. Hal ini disimpulkan berdasarkan plakat 8 September 1803 yang pada pokoknya menyatakan, bahwa semua hutan kayu di Jawa harus dibawah pengawasan Company sebagai domein hak milik negara dan regalia hak istimewa raja dan para penguasa. Tidak seorangpun boleh menebang atau memangkas apalagi menjalankan suatu tindakan kekuasaan. Kalau larangan dilanggar, maka pelanggarnya akan dijatuhi hukuman badan. Pendirian tersebut kemudian diikuti oleh Gubernur Jenderal Daendels,yang memerintah Pulau Jawa pada tahun 1808-1811. Antara lain ditunjukan dengan tindakannya yang menjual tanah-tanah disekitar Jakarta dan Krawang kepada Orang-orang Eropa dan Tionghoa yang kaya, yang juga diberi 127 hak untuk menuntut pekerjaan rodi dari penduduk yang bermukim diatas tanah itu. Inilah asal mula adanya tanah-tanah Partikelir di Pulau Jawa. Raffles sebagai wakil pemerintah Inggris yang berkuasa antara tahun 1811-1816 meneruskan penjualan tanah-tanah di Pulau Jawa, sehingga semakin memperbanyak tanah-tanah Partikelir. Bahkan kemudian memproklamirkan bahwa semua tanah di Indonesia adalah milik raja. Oleh karena kekuasaan Raja diambil alih oleh pemerintah Inggris, maka tanah adalah milik pemerintah Inggris. Oleh sebab itu petani diwajibkan membayar sewa tanah kepada pemerintah Inggris sebanyak 25 dari hasil tanaman. Menurut John Ball 6 sejak proklamasi Raffles itulah gelombang perampasan hak milik masyarakat lokal dikawasan Asia dimulai. Ketika Belanda kembali berkuasa di Pulau Jawa pada tahun 1816, mereka tetap mengikuti proklamasi Raffles. Seiring dengan perkembangan kekuatan Partai Liberal yang menguasai parlemen Negeri Belanda pada pertengahan abad ke 19 serta pertumbuhan modal di Eropa pada masa itu, maka Pemerintah Belanda berusaha menciptakan perundang-undangan yang bertujuan untuk melindungi kepentingan para pemilik modal bangsa Belanda. Untuk itu maka pada tahun 1870 pemerintah Hindia Belanda menetapkan Agrarische Wet 1870 yang kemudian diikuti dengan Agrarische Besluit 1870 sebagai aturan pelaksanaannya yang kemudian lebih populer disebut Domein Verklaring Pernyataan Tanah Negara. Lebih kanjut, pada tahun 1927 pemerintah Hindia Belanda menetapkan Bosordonantie 1927. Kedua peraturan perundang- undangan tersebut, sangat banyak mempengaruhi pemikiran dan praktik hukum di Indonesia sampai saat ini, terutama dibidang hukum penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam. Sebelum tahun 1870 pengusaha-pengusaha tidak dapat mendirikan perusahaan pertanian yang besar serta tidak ada kesempatan untuk mengembangkan sayapnya di Nederland Indie Hindia Belanda. Mereka tidak dapat bisa mendapat tanah dengan hak “eigendom” dan hanya dapat menyewa tanah-tanah yang masih merupakan hutan belukar atau tanah kosong dengan waktu yang terbatas, yaitu tidak lebih dari 20 tahun saja. Hak sewa menurut hukum Eropa adalah hak yang bersifat pribadi, yaitu hak yang melekat pada orangnya, tidak terletak pada tanahnya. Bagi kalangan pengusaha, hak sewa tersebut dipandang tidak kuat dan tidak dapat dijadikan tanggungan untuk mendapatkan pinjaman dibank. Oleh sebab itu, Agrarische Wet 1870 128 mengintroduksi hak erfpacht dengan jangka waktu maksimum 75 tahun dan masih dapat diperpanjang bila dibutuhkan. Hak erfpacht dipandang lebih memenuhi kebutuhan para pengusaha, karena hak tersebut terlekat pada bendanya tanah, sehingga dapat dijadikan tanggungan dalam meminjam uang di bank untuk menambah modal. Meskipun sudah ada jenis hak yang dapat mengakomodasi kepentingan para pengusaha, belum berarti pemerintah dengan mudah memberikan hak tersebut kepada pengusaha. Karena, hak pemerintah dibatasi oleh hak-hak rakyat yang diperoleh menurut kebiasaan setempat hak adat. Oleh sebab itu, maka diumumkan pernyataan tanah negara Domeinverklaring, melalui Agrarische Besluit tahun 1870 staatblad 1870 no 118. Pernyataan tersebut pada pokoknya menyatakan, bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan sebagai hak eigendom seseorang, adalah tanah milik negara Domein vanden staat. Dengan demikian, maka semua tanah yang dikuasai oleh bangsa-bangsa pribumi menurut kebiasaan setempat, tergolong tanah milik negara tanah negara. Karena, tidak satupun jenis hak menurut hukum kebiasaan di Indonesia hukum adat dapat disamakan dengan hak eigendom dalam hukum Eropa. Setelah penegasian hak-hak bangsa pribumi masyarakat adat atas tanah, maka pemerintah Hindia Belanda menjadi leluasa dalam memberikan hak- hak erfpact dan hak-hak lainnya kepada pengusaha untuk mendirikan perusahaan perkebunan. Itulah sebabnya meskipun ada bagian dari Agrarische wet 1870 yang memperingatkan agar Gubernur Jenderal Hindia Belanda jangan melanggar hak-hak pribumi dalam pemberian hak atas tanah, ketentuan tersebut menjadi tidak banyak berarti. Pernyataan tanah negara sebagaimana diatur dalam besluit tersebut hanya berlaku di Pulau Jawa Madura, khususnya didaerah-daerah yang diperintahkan langsung oleh Belanda, tetapi tidak berlaku didaerah-daerah yang tidak diperintah langsung oleh Belanda berpemerintahan sendiri swapraja. Menurut Schrieke, sampai menjelang kejatuhan pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia ada sekitar 93 pulau Jawa Madura dan sekitar 40 wilayah diluar Pulau Jawa Madura, merupakan daerah gubernemen. Jadi, pernyataan tanah negara sebagaimana diatur dalam besluit tersebut, tidak berlaku untuk sebagian besar daerah diluar Pulau Jawa Madura yang merupakan daerah swapraja. Di daerah-daerah tersebut, tetaplah berlaku hukum adat masing-masing yang tentu saja pluralistik. Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintahan kolonial 129 Belanda memperluas wilayah berlakunya Domeinverklaring melalui sejumlah pernyataan khusus, antara lain untuk daerah-daerah gubernemen di Sumatra staatblad 1874no 94, Manado staatblad 1877 no 55, serta Kalimantan Selatan dan Timur staatblad 1888 no 58. Cengkeraman para pemilik modal dan hukum Eropa terhadap tanah di Indonesia semakin kokoh, ketika pemerintah menetapkan sejumlah ordonansi erfpact, antara lain ordonansi erfpact untuk daerah-daerah swapraja diluar pulau Negara Baru, Hukum Lama Sebagaimana lazimnya bangsa yang merasa berhasil menumbangkan kekuasaan penjajahnya, maka segala hal yang berbau penjajah harus dirombak. Semangat perombakan itu, mendominasi sepanjang masa kekuasaan Presiden Republik Indonesia yang pertama, Soekarno. Pidato Menteri Agraria Mr. Sadjarwo pada pembahasan Rancangan Undang-undang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria tahun 1960 lebih populer disebut UUPA 1960 dalam sidang DPR-GR, menyatakan : “…rancangan undang-undang ini selain akan menumbangkan puncak- puncak kemegahan modal asing yang telah berabad-abad memeras kekayaan dan tenaga bangsa Indonesia, hendaknya akan mengakhiri pertikaian dan sengketa- sengketa tanah antara rakyat dan kaum pengusaha asing, dan aparat-aparat pemerintahan dengan rakyatnya sendiri……”. Dalam konsideran UUPA 1960 antara lain menyatakan, bahwa perundang- undangan agraria kolonial tidak menjamin kepastian hukum bagi rakyat asli masyarakat adat. Oleh sebab itu diperlukan Undang-undang agraria baru yang berdasarkan hukum adat, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. Lebih lanjut dalam penjelasan umum UUPA 1960 dinyatakan, bahwa asas domein sebagaimana yang dianut Agrarische Besluit 1870 bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia. Oleh karena itu, maka asas tersebut ditinggalkan dan pernyataan pernyataan domein dicabut kembali. UUPA 1960 berpangkal pada pendirian, bahwa tidak pada tempatnya negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika negara sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat bertindak selaku badan penguasa. Isi konsideran dan penjelasan UUPA 1960 tersebut menunjukan, bahwa UUPA 1960 dapat dipandang sebagai monumen pembongkaran terhadap tatanan perundang-undangan agraria kolonial, dan sekaligus menetapkan hukum adat sebagai tuan dirumahnya sendiri. 130 Ketidakjelasan status lahan mengakibatkan terjadinya ratusan kasus- kasus kriminalisasi terhadap petani dengan dasar Undanga-undang non or 41 tahun 1999. Maraknya reklaiming dalam beberapa tahun terakhir setelah kejatuhan Soeharto yang dilakukan oleh masyarakat adat dan petani terhadap kawasan hutan dan lahan perkebunan swasta dan pemerintah di seluruh Indonesia. Permasalahan yang terjadi pada status kepimilikan lahan yang tidak jelas. Akibatnya banyak kasus-kasus Reklaming yang dilakukan masyarakat digolongkan pada kriminalisasi sesuai dengan UU 41 tahun 1999. Setidaknya 300 kasus terjadi di Jawa Barat dan 542 di Jawa Tengah. UU 4199 dijadikan pegangan hukum bagi perhutani untuk memenjarakan orang-orang tersebut. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa hutan yang dikelola masyarakat Serikat Petani Pasundan di kawasan selatan Jawa Barat jauh lebih baik kondisi hutan yang dikelola Perhutani. Berbagai negara memang telah melakukan gerakan dengan menyerahkan penguasaan lahan hutan land ownership kepada masyarakat lokal. Di Amerika Latin 1.juta hektar kawasan hutan telah dikelola oleh masyarakat. Hampir 75 persen masyarakat di Mexico telah memperoleh hak atas sumberdaya hutan. Demikian juga dengan Afrika, negara-negara Afrika Timur dan Selatan hampir seluruhnya telah meningkatkan pengakuan terhadap hak masyarakat lokal atas sumberdaya hutan. Antara tahun 1994 dan tahun 1998, 2,5 juta hektar hutan hampir 20 dari wilayah Filipina diklasifikasikan sebagai wilayah adat, hal serupa juga terjadi di India, Nepal, Philipina, Thailand, Jepang, Korea Selatan dan China. World Summit of Sustainable Development di Afrika Selatan yang dihadiri 130.000 orang di seluruh dunia, juga mengakui bahwa gerakan community forestry akan menjadi sintesa dari gerakan kehutanan dunia. Pemerintah yang terbukti telah gagal mengelola hutan, sudah saatnya mengkuasakan sebagian dari kawasan hutan negara kepada masyarakat. Dilain pihak, keengganan pemerintah dapat pula dipahami, selain hal tersebut bertentangan dengan UU 411999, semakin rapuhnya kelembagaan dan kearifan masyarakat lokal, maka penguasaan hutan kepada masyarakat dikawatirkan hanya memindahkan nasib hutan dari mulut singa ke mulut harimau. Kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam memprioritaskan tindakan ke arah pengakuan atau pemberian hak-hak pengelolaan, atau jika memungkinkan, kepemilikan kepada masyarakat setempat baik secara kolektif 131 maupun perseorangan atas tanah di dalam kawasan hutan. Hukum di Indonesia tidak menyediakan landasan yang kuat bagi Kementerian Kehutanan untuk memiliki tanah di dalam kawasan hutan negara. Landasan hukum yang ada hanyalah memberikan pemerintah kontrol dan pengelolaan atas sumberdaya alam Pasal 33 UUD 1945. Sebaliknya, Undang-Undang Pokok Agraria UUPA memungkinkan bagi negara untuk menguasai secara langsung tanah, jika hanya ketika tidak ada pihak lain yang mengklaim hak atas tanah tersebut. Setelah dilakukan kajian menyangkut hak-hak atas tanah di dalam kawasan hutan, walaupun tanah tersebut dikuasai langsung oleh negara, kewenangan Kehutanan hanyalah menyangkut pengelolaan sumberdaya hutan pada tanah tersebut, Fay dan Sirait, 2004. Inti dari masalah tersebut yang dihadapi petani adalah kecilnya aset atau akses masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi terutama tanah, dan terbatasnya akses ke sumber sosial serta ke sumber politik. Program pemerataan sumberdaya agraria dapat menjadi solusi yang dilaksanakan. Perlu segera realisasi pemerataan pengelolaan sumberdaya agraria seperti yang sudah dicanangkan oleh pemerintah sejak tahun 2006 melalui Program Pembaharuan Agraria PPAN. Reforma agraria merupakan salah satu alternatif solusi yang bisa dipilih untuk realisasi pemerataan pengelolaan sumberdaya agraria. Reforma agraria bukan sekedar bagi-bagi tanah tetapi adalah mengubah pola relasi kelas di masyarakat melalui redistribusi ruang kelola yang berkeadilan. Program reforma agraria harus menyeluruh dan menyentuh penataan pada empat segi dasar yaitu: 1 penataan perubahan dalam tata kuasa atas sumber-sumber agraria, 2 perubahan dalam tata guna sumber-sumber agraria, 3 perubahan tata produksi, dan 4perubahan tata konsumsi. Menurut Winoto 2008 reforma agraria berdasar pada sebuah proses distribusi yang adil atas tanah. Tanah bagi kebanyakan manusia merupakan identitas yang melekat kepadanya status kebangsaan dan Kenegaraannya. Agar tanah dapat menjadi modal kehidupan, harus didasarkan kepada empat prinsip berikut: i pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; ii pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan tatanan hidup berkeadilan; iii pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, dan 132 kebangsaan Indonesia; dan iv pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk menata kehidupan yang harmonis dan mengatasi berbagai konflik sosial. Reforma Agraria merupakan agenda yang harus menjadi mainstreaming bangsa ini kini dan esok . Dengan reforma agrarian akan menyelesaikan berbagai masalah struktural bangsa yang selama ini tidak terpecahkan dan akan mengembalikan identitas kewargaan yang selama ini kadang tidak terdengar karena alienasi pembangunan. Kepemilikan tanah berpengaruh pada kemakmuran, keadilan, dan keberlanjutan. Reforma Agraria tidak lain untuk melanjutkan amanat UUD 45, tanah dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Karena negara memiliki kekuasaan atas seluruh bumi, air, dan udara, maka dengan reforma agraria berarti negara telah mendorong proses tegaknya keadilan social Winoto 2008. Negara mana pun yang kini maju, selalu diawali dengan pelaksanaan reforma agraria dalam fase awal pembangunan bangsanya. Reforma agraria merupakan kebijakan mendasar yang langsung dapat membuka akses terhadap kedua sumber itu. Inti dari reforma agraria adalah penataan ulang struktur penguasaan tanah menjadi lebih berkeadilan sosial. Melalui landreform, rakyat miskin, terutama kaum tani yang hidupnya bergantung pada penggarapan tanah, dipastikan akan mendapatkan akses pemilikan tanah. Namun persoalannya bukan sekedar kepemilikan sumberdaya, namun yang tidak kalah penting adalah keberdayaan masyarakat, tanpa masyarakat menjadi berdaya, apapun dan berapapun sumberdaya alam yang mereka kuasai akan jatuh ke tangan mereka yang tidak berhak. Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa akses yang tinggi terhadap sumberdaya hutan yang melimpah tidak menjamin taraf hidup masyarakat. Kekurang berdayaan miskinnya pendidikan, keterampilan, kelembagaan, sarana dan prasarana serta pasar telah membuat mereka gagal mentransfer sumberdaya berharga yang mereka miliki kedalam nilai pasar. Tragisnya, apabila aksesibilitas ekonomi mereka di suatu saat meningkat, belum tentu mereka menjadi penikmat sumberdaya alam yang mereka miliki, karena pada saat itu berbagai pemodal kuat dari luar akan berdatangan untuk mengepung sumberdaya yang mereka miliki, dan mereka biasanya akan semakin termarginalisasi. Melalui Perpres No 102006 Badan Pertanahan Nasional ditugaskan untuk melaksanakan reforma agraria, dalam merumuskan naskah awal konsep, 133 strategi, dan model reforma agraria. Namun, reforma agraria itu agenda besar yang lintas sektor dan lintas kepentingan sehingga butuh kelembagaan yang juga bisa menjembatani beragam kepentingan dan sektor-sektor yang ada. Idealnya, reforma agraria itu dipimpin Presiden melalui suatu lembaga khusus yang melibatkan banyak pihak yang punya kapasitas dan kepentingan sejalan. Perwujudan pemenuhan hak asasi manusia, baik hak-hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak-hak sipil politik, sesungguhnya dapat ditemukan dalam UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria UUPA 1960 misalnya, telah memuat sejumlah peraturan yang menegaskan perlunya dipenuhi hak atas tanah untuk penghidupan yang layak bagi kelompok masyarakat yang hidupnya sangat tergantung kepada tanah. UUPA 1960 juga mengatur bagaimana Negara seharusnya memberikan jaminan dan pelayanan untuk mengatur seluruh sumber-sumber agraria di Indonesia untuk tujuan sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Prinsip utama yang diuraikan dalam UUPA 1960 adalah prinsip keadilan dalam penguasaan tanah dengan memberikan prioritas kepada petani dan keluarga tani yang tidak memiliki tanah. Prinsip ini merupakan perwujudan dari pandangan bahwa penguasaan tanah dalam luasan tertentu akan memberikan menjamin terjadinya peningkatan produktivitas mereka yang sekaligus akan menjamin kebutuhan pangan serta mencapai kehidupan yang layak. Walaupun UUPA 1960 telah merumuskan dan menjamin hak-hak rakyat khususnya kaum tani untuk mencapai penghidupan yang layak, menguatnya kecenderungan untuk memberikan fasilitas yang sebesar-besarnya kepada kepentingan pengusaha untuk menguasai tanah dan sumber-sumber agraria lainnya lebih mendominasi kebijakan pemerintah di Indonesia pasca 1965. Akibatnya yang terjadi adalah ketimpangan dalam penguasaan tanah yang disusul dengan maraknya konflik pertanahan sebagai akibat dari praktek-praktek penggusuran dan proses peningkatan ketuna-kismaan landlessness. Sudah 51 tahun sejak UUPA 1960 ditetapkan sebagai payung hukum tunggal atas persoalan agraria, namun sampai saat ini kondisi kaum tani di Indonesia belumlah sejahtera. Reforma Agraria adalah cita-cita dari kemerdekaan nasional demi kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran rakyat. Untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan tersebut maka dibuatlah UUPA 1960. Namun dalam kenyataannya, Reforma Agraria sebagai salah satu tujuan Negara belum pernah secara sungguh-sungguh dijalankan sesuai dengan amanat UUPA 134 1960 dan UUD 1945 pasal 33. Alih-alih menjalankan UUPA 1960, Negara justru menyelewengkannya dengan menerbitkan pelbagai undang-undang yang sektoral seperti UU Sumber daya Air, UU Perkebunan, UU Pertambangan dan undang-undang lainnya. Reforma Agraria yang sejati masih jauh api dari panggang. Politik agraria yang dianut rezim pemerintahan yang berkuasa. Sepanjang rezimnya menganut politik agraria yang kapitalistik, otoritarian, dan represif, sengketa agraria struktural akan terus terjadi. Kita mesti terlebih dahulu bersepakat untuk mengubah politik agraria kita, dari politik agraria yang progolongan ekonomi kuat kapitalis menjadi progolongan ekonomi lemah. Sosial forestri dengan demikian adalah sebuah upaya untuk meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat yang hidup di sekitar hutan, terlepas sumber pencahariannya bersumber dari hutan atau bukan. Hutan tidak mungkin dipertahankan kelestariannya apabila masyarakat di sekitarnya dalam kondisi papa miskin dan tidak berdaya. Hutan hanya akan dapat dijaga kelestariannya oleh masyarakat yang berdaya. Dengan demikian sosial forestri adalah upaya membuat masyarakat disekitar hutan berdaya Masalah sosial-ekonomi masyarakat menjadi kunci utama terjaminya kelestarian hutan, dengan demikian sosial forestri perlu dijabarkan secara lebih leluasa, yang meliputi seluruh upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan. Sosial forestri adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat, bukan sekedar pengusahaan hutan oleh masyarakat De Soto 2006 berpendapat bahwa kapitalisme gagal di luar Barat bukanlah karena alasan-alasan : perbedaan budaya, kurangnya kewirausahaan, agama, inefisiensi, ataupun faktor kemalasan. Kepemilikan properti sebagai kunci untuk mengakhiri kemiskinan, yang hanya dapat bekerja jika orang miskin mampu menggunakan properti mereka untuk menghasilkan kemakmuran. Properti yang menurut De Soto adalah aset-aset yang bisa menghasilkan kapital, sangat menentukan perkembangan kapitalisme. Teori pembangunan modern gagal memahami proses pengembangan sistem hak milik yang terpadu, sehingga membuat kaum miskin tidak mungkin dapat menggunakan apa yang dimilikinya secara informal untuk digunakan sebagai instrumen dan kapital guna mengembangkan jati dirinya. akibatnya, 135 kelompok petani di dunia berkembang, selalu terperangkap dalam jerat kemiskinan karena mereka hanya mampu hidup secara subsisten. Masyarakat di dunia berkembang umumnya tidak memiliki sistem kepemilikan tanah formal yang terpadu sehingga hanya memiliki kepemilikan secara informal terhadap tanah dan barang-barang. Menurut Mubyarto 2006 bagi kita di Indonesia apa yang disampaikan De Soto dalam buku The Mistery of Capital sangat relevan terutama setelah terjadi krisis moneter 1997-98 jelas-jelas membuktikan kegagalan upaya menerapkan kapitalisme oleh pemerintah Orde Baru sejak 1966. Para penentu kebijakan ekonomi Orde Baru mengira sistem ekonomi kapitalisme sama dengan sistem demokrasi ekonomi berdasar atas asas kekeluargaan yang bersumber pada Pancasila. Kesadaran bahwa sistem kapitalisme liberal tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan demokrasi ekonomi Pancasila tidak pernah ada sampai menjadi sangat terlambat pada saat krisis moneter meledak Agustus 1997, 30 tahun sejak mula-mula diterapkan. Adalah sangat merisaukan bahwa banyak pakar ekonomi tetap tidak percaya tentang kekeliruan atau ketidak tepatan sistem kapitalisme bagi Indonesia yang berpaham Pancasila, dan hanya menyalahkan penerapannya saja. Kesilauan terhadap sistem ekonomi kapitalisme mengakibatkan secara langsung pandangan yang meremehkan peranan ekonomi rakyat yang “tak ber-kapital”. Ekonomi Rakyat yang lebih banyak mengandalkan pada modal sendiri dianggap “extra-legal”, bahkan tak diakui eksistensinya.

8.5 Skenario Kebijakan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan