143 lahan,kandang, dan tenaga kerja untuk pemeliharaan, sedangkan investor
menyediakan : bibit, pakan, dan pasar produk peternakan. Skenario kebijakan yang dapat dipilih dalam pengelolaan hutan
kemasyarakatan di Perhutani BKPH Parung panjang dapat terlihat pada gambar 9 berikut.
Gambar 9 Alternatif Kebijakan dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan
8.5 Penguatan Kelembagaan
Kelembagaan bukan hanya sekedar adanya organisasi atau tata aturan yang sudah dibuat tetapi menyangkut juga bgaimana menguatkan organisasi
petani sekitar hutan sehingga anggota KTH sadar dan mengetahui hak dan kewajiban. Penting untuk memperkuat organisasi masyarakat pengelola hutan
kemasyarakatan agar mereka memahami dengan benar hak dan kewajibannya terhadap sumberdaya hutan. Dengan institusi sosial yang kuat, instrumen
organisasi dan norma-norma yang benar yang dibangun di dalam institusi sosial masyarakat , program hutan kemasyarakatan dapat dilaksanakan dengan baik.
Kelembagaan bukan hanya sebatas pada kegiatan membetuk organisasi masyarakat sebagai pelaksana program. Kelembagaan ini mencakup juga
aktivitas untuk mempertegas menentukan batas-batas yuridiksi atas lahan, mengupayakan permodalan. Dukungan kebijakan terhadap program merupakan
aspek lain yang cukup penting. Akhirnya kelembagaan yang ada diharapkan dapat melaksanakan program pemberdayaan yang demokratis.
Aspek kelembagaan merupakan salah satu hal terpenting dalam rencana pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Ada enam isu
144 pokok dalam aspek kelembagaan pemberdayaan masyarakat di dalam dan
sekitar hutan yakni: 1 kurangnya peran dan sinergitas diantara para pihak stakeholder, baik
sinergitas antar sektor maupun antar tingkat pemerintahan; 2 lemahnya akses masyarakat terhadap modal finansial, lahan, saprodi,
pasar, iptek, informasi, dan dalam proses pengambilan kebijakan; 3 melemahnya social capital kepercayaan, kebersamaan, partisipasi,
jejaring masyarakat yang diberdayakan; 4 keempat, kesenjangan antara kebijakan dan pelaksanaan; 5 lemahnya posisi tawar masyarakat dalam
kemitraan pengelolaan sumber daya hutan; 6 lemahnya data dan informasi tentang masyarakat di dalam dan sekitar hutan serta kurangnya kepedulian
terhadap data Dephut, 2007. Kurangnya peran dan sinergitas diantara para mengakibatkan terjadinya
tumpang tindih kegiatan sehingga tidak efektif. Hal ini juga berakibat pada sulitnya menciptakan komitmen bersama dalam mengembangkan potensi
sumberdaya hutan secara optimal. Akibat dari kurangya peran dan sinergitas diantara para pihak, laju pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan
menjadi lambat. Lemahnya akses masyarakat terhadap modal, pasar, iptek, informasi,
dan dalam proses pengambilan kebijakan menyebabkan masyarakat tetap dalam kondisi marginal dan apatis. Pengembangan unit usaha sulit tercipta karena
peluang masyarakat untuk memperoleh modal pengembangan terbatas. Lemahnya akses masyarakat terhadap modal mengakibatkan program
pemberdayaan masyarakat bersifat top down dan tidak tepat sasaran. Modal sosial berpengaruh terhadap kesuksesan program
pemberdayaan masyarakat. Melemahnya modal social kepercayaan, kebersamaan, partisipasi, jejaring masyarakat yang diberdayakan akan
berdampak pada terhambatnya pengembangan potensi masyarakat, rendahnya posisi tawar masyarakat, dan tidak efektifnya berbagai program. Program
pemberdayaan masyarakat menjadi kehilangan arah dan berpotensi menimbulkan konflik sosial di masyarakat. Rendahnya modal sosial dapat
menjadi faktor penyebab resistensi masyarakat terhadap program pemberdayaan dari pemerintah dan kurang optimalnya internalisasi kebijakan di tingkat
masyarakat.
145 Adanya kesenjangan antara kebijakan dan pelaksanaan merupakan
permasalahan kelembagaan yang cukup serius. Kesenjangan antara substansi kebijakan dan implementasi mengakibatkan kurangnya kepercayaan masyarakat
pada aparat pemerintah sehingga program-program tidak bisa berjalan efektif. Selain itu masyarakat akan kecewa dan apatis, yang berpotensi menimbulkan
konflik sosial. Apabila kesenjangan antara kebijakan dan pelaksanaan sangat lebar, jika terjadi kegagalan program maka sesungguhnya masyarakatlah yang
menjadi korban. Lemahnya posisi tawar masyarakat dalam pengelolaan sumber daya
hutan menyebabkan masyarakat akan dirugikan dan peran masyarakat semakin termarginalkan. Pengaruhnya akan dapat menurunkan semangat masyarakat
dalam berusaha dan mengurangi kreativitas masyarakat. Lemahnya data dan informasi tentang masyarakat sekitar hutan
mengakibatkan rendahnya akurasi dan kepedulian terhadap keberhasilan program, serta kekeliruan dalam penetapan program kerja dan kebijakan
sehingga bermuara pada program yang tidak tepat sasaran. Lemahnya data dan informasi serta kurangnya kepedulian terhadap data adalah refleksi dari
perencanaan yang ceroboh atau terkesan asal jadi. Dalam tataran implementasi kebijakan terjadi kesenjangan informasi sehingga pengelolaan sumber daya
hutan kurang optimal. Akibat lemahnya data dan informasi, potensi masyarakat tidak dapat tergali secara optimal, sehingga sulit melakukan evaluasi dan
akhirnya terjadi kesalahan dalam pengambilan keputusan. Kegiatan pemberdayaan masyarakat yang terkesan kurang terkoordinasi
selama ini karena belum adanya lembaga khusus yang menangani pemberdayaan masyarakat di lingkup departemen kehutanan. Hal ini
mengakibatkan belum terjaminnya perluasan akses peningkatan mutu dan akuntabilitas program pemberdayaan serta tidak terfokusnya kegiatan
pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan. Pengelolaan sumberdaya hutan lebih efektif jika dikelola oleh masyarakat
yang tinggal dekat dengan sumberdaya tersebut sehingga terdapat hubungan yang selaras antara masyarakat lokal dengan kondisi social ekonomi setempat.
Kerja sama dengan masyarakat lokal dilakukan untuk mendukung strategi pembangunan dengan skala kecil, bottom up, dan pengukuran respon skala
lokal berdasarkan kehendak masyarakat lokal, bukan strategi pembangunan yang berskala besar dan investasi dalam bidang infrastruktur.
146
Penguatan kapasitas lokal untuk melakukan kerja sama dapat mendorong kemampuan masyarakat lokal dalam membuat keputusan
sendiri. Penguatan kapasitas kadang-kadang diperlukan untuk membangun modal sosial, seperti jaringan, norma, dan social trust yang
memfasilitasi koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan dengan pihak-pihak lain.
Ketidakberdayaan dengan kemiskinan dalam banyak hal merupakan suatu hal yang tidak jauh berbeda. Orang-orang miskin tidak mempunyai
kesempatan untuk melakukan pilihan, control atas sumberdaya, juga kesempatan untuk mempengaruhi masa depan, karena semuanya berhubungan
dengan representasi aspek-aspek kekuasaan. Mereka tidak mampu melindungi kepentingan dan hak-haknya dari berbagai kepentingan eksternal. Kekuasaan
pemerintah seharusnya dapat melindungi orang-orang miskin dan lemah untuk mempertahankan hak-haknya.
Dalam penguatan kapasitas, faktor manusia menjadi fokus perhatian. Manusia membangun identitas dirinya dengan cara sosialisai, pendidikan dan
pekerjaan. Sosialisasi adalah proses interaksi yang ada dalam masyarakat, yang dilakukan oleh individu dalam berkomunikasi, bersikap, membangun nilai dan
kepercayaan pada kelompok-kelompok sosial. Sosialisasi merupakan internalisasi norma-norma sosial, aturan-aturan sosial dan regulasi lain yang
dirasakan urgen oleh masyarakat. Sosialisasi dapat dilakukan: di dalam keluarga, di sekolah dan sejumlah kelompok-kelompok, dan di masyarakat dengan cara
melibatkan kelompok-kelompok pekerja, anggota masyarakat. Advokasi terhadap masyarakat miskin diperlukan agar dapat mengontrol
sumberdaya yang ada di wilayahnya sehingga akan membantu mereka mendapatkan bagian yang lebih besar dari pengaturan sumberdaya alam.
Dengan diberikannya kewenangan pengelolaan hutan membuat masyarakat miskin yang tinggal di sekitar hutan mendapatkan akses yang lebih besar
terhadap hutan dan dapat menentukan sendiri keputusannya dalam mengelola sumberdaya lokal.
Pengembangan jaringan atau network merupakan hal yang penting harus dibangun untuk penguatan organisasi. Tanpa network oraganisasi akan
lemah dan tidak cukup dukungan untuk melakukan bargaining. Network lebih berguna sebagai strategi pengembangan daripada sebagai alat, keduanya
memerlukan investasi waktu dan biaya sebelum pengaruhnya dapat terasa
147 secara penuh. Keduanya memungkinkan orang dan organisasi untuk belajar
dari sesama, bertukar sumberdaya dan hasilnya menjadi lebih mandiri Eade
1995
Kebijkan yang bisa memberikan akses dan kewenangan dalam pengelolaan sumberday hutan adalah devolusi. Kebijakan devolusi
memberikan dampak langsung bagi rakyat yaitu adanya legitimasi dalam pengelolaan lahan hutan. Masyarakat lokal mendapatkan status yang jelas
dan mendapatkan dukungan sumberdaya dari Pemerintah, investor, LSM dalam pelaksanaan pengelolaan hutan
Edmunds Wollenberg,2002.
Perlindungan terhadap hutan dapat dilakukan secara individual atau kelompok, tetapi pelibatan kelompok lebih berdampak. Pelibatan kelompok harus
dirancang dalam bentuk organisasi dengan struktur yang didasarkan pada norma, aturan dan regulasi, serta nilai dan sanksi. Banyak organisasi di
pedesaan telah difungsikan untuk mengelolaan hutan. Salah satu peran institusi itu tidak hanya dapat dilihat pada perlindungan hutan, tetapi juga pada
perubahan sikap masyarakat dan pengguna hutan terhadap pengelolaan dan kepercayaan masyarakat pada kemampuan masyarakat desa yang tergabung
dalam program Roy 1993 Ada beberapa cara yang dilakukan untuk menaikkan kapasitas
masyarakat: organisasi dibentuk untuk memudahkan mobilisasi masyarakat. Organisasi itu dibentuk secara botton up, mulai dengan pembuatan kelompok-
kelompok kecil di dalam masyarakat hingga kekelompok yang lebih besar. Penyebaran informasi dapat dilakukan melalui ketua-ketua kelompok. Ketua
kelompok dipilih dari anggota kelompok oleh anggota. Pengkaderan selalu dilakukan secara terus-menerus melalui traning maupun pelibatan langsung
dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan kelompok, baik bentuk pengelolaan maupun penyelesaian masalah yang ada.
Untuk memperkuat mobilisasi masyarakat, para instruktur melakukan
doktrin melalui pelatihan-pelatihan yang diadakan. Pengadaan teknologi di dalam
masyarakat dilakukan secara bertahap dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan tingkat pengetahuan masyarakat. Bila para petani cepat menguasai pengelolaan
teknologi baru maka transforamsi pengetahuan pun akan semakin cepat. Tim memfasilitasi pengelolaan kelompok-kelompok masyarakat. Pendekatan yang
digunakan problem-solving. Setiap kelompok melakukan pertemuan secara teratur untuk memajukan kelompoknya, mengidentifikasi masalah, dan mencari
148 solusi secara bersama-sama. Program ditetapkan untuk mempermudah
pelayanan terhadap anggota kelompok dan diurut berdasarkan tingkatan
urgensinya. Dukungan dari luar didapatkan berdasarkan kerjasama-kerjasama
yang bergerak pada bidang yang relevan. Di samping itu, dukungan didapatkan dari pemerintah dan institusi lainnya untuk menguatkan kekuatan aturan main
dalam kelompok, termasuk dukungan dari peraturan pemerintah. Korten 1986 Kelembagaan bukan hanya sekedar adanya organisasi atau aturan yang
sudah dibuat tetapi menyangkut bagaimana menguatkan organisai petani
sehingga anggota KTH sadar dan mengetahui hak dan kewajiban. Penting untuk
memperkuat organisasi masyarakat agar mereka memahami dengan benar hak dan kewajiban atas sumberdaya hutan. Dengan institusi sosial yang kuat, piranti
organisasi dan norma-norma yang benar yang dibangun di dalam institusi sosial masyarakat program community forestry dapat berlangsung dengan baik.
Kelembagaan bukan hanya sebatas pada membentuk organisasi masyarakat, tetapi harus lebih menjangkau batas-batas yuridiksi atas lahan, permodalan,
dukungan kebijakan, dan pemberdayaan yang demokratis. Pengembangan kelembagaan dapat terjamin jika : 1 ada insentif bagi
orang atau organisasi 2 penguatan organisasi sasaran pengembangan :siapa yang diuntungkan 3 ada keseimbangan kepemilikan dan akses terhadap
informasi 4 kepemilikan dan akses terhadap sumber daya terjamin 5 ada usaha pengendalian perilaku opportunistic. Tindakan opportunistic termasuk
perilaku menyimpang yang dapat diklasifikasikan korupsi, penyuapan, free rider, dan moral hazard. 6 ada aturan yang ditegakkan dan ditaati Djogo, 2003.
Berbagai negara memang telah melakukan gerakan dengan menyerahkan penguasaan lahan hutan land ownership kepada masyarakat
lokal. Di Amerika Latin 1.juta hektar kawasan hutan telah dikelola oleh masyarakat. Hampir 75 persen masyarakat di Mexico telah memperoleh hak atas
sumberdaya hutan. Demikian juga dengan Afrika, negara-negara Afrika Timur dan Selatan hampir seluruhnya telah meningkatkan pengakuan terhadap hak
masyarakat lokal atas sumberdaya hutan. Antara tahun 1994 dan tahun 1998, 2,5 juta hektar hutan hampir 20 dari wilayah Filipina diklasifikasikan sebagai
wilayah adat, hal serupa juga terjadi di India, Nepal, Philipina, Thailand, Jepang, Korea Selatan dan China. World Summit of Sustainable Development di Afrika
Selatan yang dihadiri 130.000 orang di seluruh dunia, juga mengakui bahwa gerakan community forestry akan menjadi sintesa dari gerakan kehutanan dunia.
149 De Soto 2006 berpendapat bahwa kapitalisme gagal di luar Barat
bukanlah karena alasan-alasan : perbedaan budaya, kurangnya kewirausahaan, agama, inefisiensi, ataupun faktor kemalasan. Kepemilikan properti sebagai
kunci untuk mengakhiri kemiskinan, yang hanya dapat bekerja jika orang miskin mampu menggunakan properti mereka untuk menghasilkan kemakmuran.
Properti yang menurut De Soto adalah aset-aset yang bisa menghasilkan kapital, sangat menentukan perkembangan kapitalisme.
Teori pembangunan modern gagal memahami proses pengembangan sistem hak milik yang terpadu, sehingga membuat kaum miskin tidak mungkin
dapat menggunakan apa yang dimilikinya secara informal untuk digunakan sebagai instrumen dan kapital guna mengembangkan jati dirinya. akibatnya,
kelompok petani di dunia berkembang, selalu terperangkap dalam jerat kemiskinan karena mereka hanya mampu hidup secara subsisten. Masyarakat
di dunia berkembang umumnya tidak memiliki sistem kepemilikan tanah formal yang terpadu sehingga
hanya memiliki kepemilikan secara informal terhadap tanah dan barang-barang. Menurut Mubyarto 2006 bagi kita di Indonesia apa yang disampaikan De
Soto dalam buku The Mistery of Capital sangat relevan terutama setelah terjadi krisis moneter 1997-98 jelas-jelas membuktikan kegagalan upaya menerapkan
kapitalisme oleh pemerintah Orde Baru sejak 1966. Para penentu kebijakan ekonomi Orde Baru mengira sistem ekonomi kapitalisme sama dengan sistem
demokrasi ekonomi berdasar atas asas kekeluargaan yang bersumber pada Pancasila. Kesadaran bahwa sistem kapitalisme liberal tidak sejalan atau bahkan
bertentangan dengan demokrasi ekonomi Pancasila tidak pernah ada sampai menjadi sangat terlambat pada saat krisis moneter meledak Agustus 1997, 30
tahun sejak mula-mula diterapkan. Adalah sangat merisaukan bahwa banyak pakar ekonomi tetap tidak percaya tentang kekeliruan atau ketidak tepatan
sistem kapitalisme bagi Indonesia yang berpaham Pancasila, dan hanya menyalahkan penerapannya saja. Kesilauan terhadap sistem ekonomi
kapitalisme mengakibatkan secara langsung pandangan yang meremehkan peranan ekonomi rakyat yang “tak ber-kapital”. Ekonomi Rakyat yang lebih
banyak mengandalkan pada modal sendiri dianggap “extra-legal”, bahkan tak diakui eksistensinya.
Kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam memprioritaskan tindakan ke arah pengakuan atau pemberian hak-hak pengelolaan, atau jika
150 memungkinkan, kepemilikan kepada masyarakat setempat baik secara kolektif
maupun perseorangan atas tanah di dalam kawasan hutan. Hukum di Indonesia tidak menyediakan landasan yang kuat bagi Kementerian Kehutanan untuk
memiliki tanah di dalam kawasan hutan negara. Landasan hukum yang ada hanyalah memberikan pemerintah kontrol dan pengelolaan atas sumberdaya
alam Pasal 33 UUD 1945. Sebaliknya, Undang-Undang Pokok Agraria UUPA memungkinkan bagi negara untuk menguasai secara langsung tanah, jika hanya
ketika tidak ada pihak lain yang mengklaim hak atas tanah tersebut. Setelah dilakukan kajian menyangkut hak-hak atas tanah di dalam kawasan hutan,
walaupun tanah tersebut dikuasai langsung oleh negara, kewenangan Kehutanan hanyalah menyangkut pengelolaan sumberdaya hutan pada tanah
tersebut, Fay Sirait, 2004. Kebijakan yang mungkin bias dilakukan akan mengarah kepada
penguasaan hutan yang lebih masuk akal dan diterima luas. Hasilnya diakui oleh masyarakat setempat dan seharusnya diarahkan untuk sebuah pengelolaan
bersama co-management sumberdaya hutan antara masyarakat setempat dengan pemerintah.
Persoalannya bukan sekedar kepemilikan sumberdaya, namun yang tidak kalah penting adalah keberdayaan masyarakat. Tanpa adanya masyarakat yang
menjadi berdaya, apapun dan berapapun sumberdaya alam yang mereka kuasai akan jatuh ke tangan mereka yang tidak berhak.
Akses yang tinggi terhadap sumberdaya hutan yang melimpah tidak menjamin taraf hidup masyarakat. Kekurangberdayaan rendahnya: pendidikan,
keterampilan, kelembagaan, sarana dan prasarana serta pasar telah membuat masyarakat gagal mentransfer sumberdaya berharga yang dimiliki ke dalam nilai
pasar. Seringkali jika aksesibilitas ekonomi mereka suatu saat meningktat, belum tentu mereka menjadi penikmat sumberday alam yang dimiliki. Sebab pada saat
ituberbagai pemodal kuat dari luar akan berdatangan untuk mengepung sumberdaya yang mereka miliki, dan mereka biasanya akan semakin
termarginalisasi. Hutan kemasyarakatan menjadi model sebuah upaya untuk meningkatkan
kondisi ekonomi masyarakat yang hidup di sekitar hutan, terlepas sumber pencahariannya bersumber dari hutan atau bukan. Hutan tidak mungkin
dipertahankan kelestariannya apabila masyarakat di sekitarnya dalam kondisi papa miskin dan tidak berdaya. Hutan hanya akan dapat dijaga kelestariannya
151 oleh masyarakat yang berdaya. Dengan demikian sosial forestri adalah upaya
membuat masyarakat disekitar hutan berdaya. Masalah sosial-ekonomi masyarakat menjadi kunci utama terjaminya
kelestarian hutan, dengan demikian sosial forestri perlu dijabarkan secara lebih leluasa, yang meliputi seluruh upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan.
Hutan kemasyaraktan adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat, bukan sekedar pengusahaan hutan oleh masyarakat
Dalam demokrasi harus diwujudkan partisipasi dan emansipasi ekonomi. Sistem ekonomi model “majikan-buruh” harus ditinggalkan, sperti hubungan
antara inti dan plasma dalam PIR Perkubunan inti rakyat haruslah berupa hubungan participatory-emancipatory , bukan hubungan subordinasi yang
diskriminatif yang menumbuhkan ketergantungan pihak plasma rakyat kiepada majikan inti. Prinsip triple-co yaitu co-ownership, co-determination, co-
responsibility. Prinsip keterbawasertaan partisipasi dan emansipasi pembangunan selama ini belum bias diwujudkan. Kemajuan ekonomi rakyat
haruslah inheren dengan kemajuan pembangunan nasional seluruhnya. Tidak boleh terjadi marjinalisasi, penyingkiran terhadap rakya miskin dan lemah.
Rakyat yang berada di bawah harus terangkat dan terbawa serta dalam pembangunan Swasono 2009.
8.7 Ikhtisar